EKSISTENSI ASAS OPORTUNITAS DALAM PENUNTUTAN PADA MASA YANG AKAN DATANG

dokumen-dokumen yang mirip
PRAPENUNTUTAN DALAM KUHAP DAN PENGARUH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA 1 Oleh: Angela A.

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sorotan masyarakat karena diproses secara hukum dengan menggunakan

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

PERLINDUNGAN HUKUM ATAS HAK TERHADAP TERSANGKA DI TINGKAT PENYIDIKAN OLEH KEPOLISIAN

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

KAJIAN JURIDIS TERHADAP PEMERIKSAAN TAMBAHAN DEMI KEPENTINGAN PENYIDIKAN OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini.

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

BAB I PENDAHULUAN kemudian Presiden mensahkan menjadi undang-undang pada tanggal. 31 Desember 1981 dengan nama Kitab Undang-undang Hukum Acara

JAKSA AGUNG DAN PENGESAMPINGAN PERKARA DEMI KEPENTINGAN UMUM Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 8 Agustus 2016; disetujui: 13 Oktober 2016

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. pembahasan di atas, dapat ditarik tiga kesimpulan sebagai berikut:

NASKAH PUBLIKASI KEKUTAN PEMBUKTIAN BUKTI ELEKTRONIK DALAM PERSIDANGAN PIDANA UMUM

KEWENANGAN KEJAKSAAN SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. melindungi individu terhadap pemerintah yang sewenang-wenang dan

BAB I PENDAHULUAN. maka akan dikenakan sanksi, dalam proses inilah hukum harus ditegakkan. upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum

PENYIDIKAN TAMBAHAN DALAM PERKARA PIDANA

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang pengaruhnya sangat luas. Perubahan-perubahan yang

BAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Salah satu upaya untuk menjamin. dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ).

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

URGENSI PERADILAN TATA USAHA MILITER DI INDONESIA. Oleh: Kapten Chk Sator Sapan Bungin, S.H.

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP. Oleh : LBH Jakarta

V. PENUTUP. 1. Alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim Komisaris. dalam RUU KUHAP Tahun 2009 atau hal utama digantinya lembaga pra

I. PENDAHULUAN. kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan, serta wajib menjunjung hukum

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Dasar Hukum Penyampingan Perkara(Seponering) 1. Pengertian Penyampingan Perkara (Seponering)

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan tersebut selain melanggar dan menyimpang dari hukum juga

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam

PENGEMBALIAN BERKAS PERKARA OLEH PENUNTUT UMUM DALAM PRAPENUNTUTAN

Lex Crimen Vol. VI/No. 8/Okt/2017

A. Penerapan Bantuan Hukum terhadap Anggota Kepolisian yang. Perkembangan masyarakat, menuntut kebutuhan kepastian akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara republik Indonesia adalah negara hukum, berdasarkan pancasila

BAB 1 PENDAHULUAN. 1989), hal.1. Presindo, 1986), hal.1. Universitas Indonesia. Lembaga hakim..., Ervan Saropie, FHUI, 2009

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 1. perundang-undangan lain yang mengatur ketentuan pidana di luar KUHP

III. METODE PENELITIAN. Pendekatan yang digunakan dalam pembahasan penulisan penelitian ini adalah

Hukum Acara Pidana. Pertemuan XXVIII & XXIX Malahayati, S.H., LL.M. (c) 2014 Malahayati 1

I. PENDAHULUAN. manapun (Pasal 3 Undang -Undang Nomor 30 Tahun 2002). Sebagai lembaga independen,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1)

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. setelah melalui proses pemeriksaan dan pemutusan perkaranya, akan merasa

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB IV. A. Bantuan Hukum Terhadap Tersangka Penyalahgunaan Narkotika. Dalam Proses Penyidikan Dihubungkan Dengan Undang-Undang

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

9/13/2012 8:29 AM Ngurah Suwarnatha 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan tindak pidana dalam kehidupan masyarakat di

I. PENDAHULUAN. Korupsi di Indonesia kini sudah kronis dan mengakar dalam setiap sendi kehidupan.

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Negara Indonesia adalah negara bardasarkan hukum bukan

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan norma hukum tentunya tidaklah menjadi masalah. Namun. terhadap perilaku yang tidak sesuai dengan norma biasanya dapat

I. PENDAHULUAN. Hukum acara pidana merupakan perangkat hukum pidana yang mengatur tata cara

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BADUNG NOMOR 4 TAHUN 1988 TENTANG

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

III. METODE PENELITIAN. Untuk memecahkan masalah guna memberikan petunjuk pada permasalahan yang

LEMBARAN DAERAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR : 120 TAHUN 1987 SERI : D

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. negara hukum. Negara hukum merupakan dasar Negara dan pandangan. semua tertib hukum yang berlaku di Negara Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. dipersidangan, dan hakim sebagai aparatur penegak hukum hanya akan


RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

BAB III PENUTUP. pidana pembunuhan berencana yang menggunakan racun, yaitu: b. Jaksa Penuntut Umum membuat surat dakwaan yang merupakan dasar

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai dimana-mana. Sejarah membuktikan bahwa hampir tiap Negara

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada Periode Sebelum dan Sesudah Berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, (Tesis Fakultas Hukum Indonesia:1999) hal.3.

LAMPIRAN II : Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 600/PRT/M/2005 Tanggal : 23 Desember 2005

PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA

BAB III PENUTUP. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis penulis yang telah dilakukan maka dapat

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016. PENAHANAN DITINJAU DARI ASPEK YURUDIS DAN HAK ASASI MANUSIA 1 Oleh : Muhamad Arif 2

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) seperti

Transkripsi:

EKSISTENSI ASAS OPORTUNITAS DALAM PENUNTUTAN PADA MASA YANG AKAN DATANG oleh Mazmur Septian Rumapea I Wayan Sutarajaya I Ketut Sudjana Bagian Hukum Peradilan Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT The existence of the principle of opportunity in the prosecution in the future will increasingly have a broad understanding and inclusion of penal mediation as one of the provisions of the principle of opportunity to do by the prosecutor. Key Words : Principle of Opportunity, Prosecution, Penal Mediation, Prosecutor ABSTRAK Eksistensi asas oportunitas pada masa yang akan datang akan semakin memiliki pengertian yang luas dan memasukkan mediasi penal sebagai salah satu ketentuan agar dapat dilakukannya asas oportunitas oleh jaksa penuntut umum. Kata Kunci: Asas Oportunitas, Penuntutan, Mediasi Penal, Penuntut Umum I. PENDAHULUAN Prinsip negara hukum yang dianut Indonesia mengakui dan melindungi hak-hak asasi manusia di bidang hukum yaitu segala warga negara bersamaan dengan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu tanpa terkecuali. Itu berarti setiap perbuatan hukum atau bukan perbuatan hukum akan memperoleh akibat perbuatannya tersebut. Pasal 1 ayat (1) KUHP berisi suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada. Dalam terjemahan sehari-harinya tidak ada suatu pidana dapat dijatuhkan jika tidak ada undang-undang yang mengaturnya. Ini lebih sering disebut asas legalitas dalam hukum pidana. KUHP dapat disebut hukum pidana materiil mengatur tentang apa, siapa dan bagaimana orang dapat dihukum. Sedangkan hukum pidana formal merupakan hukum yang mengatur cara-cara menghukum seseorang yang melanggar peraturan pidana atau hukum pidana formal berguna untuk menegakkan hukum pidana materiil agar dapat 1

berjalan sesuai dengan peraturan yang berlaku (hukum positif). Hukum pidana formal lebih sering dikenal dengan Hukum Acara Pidana. Dalam hukum acara pidana, ada proses yang disebut penuntutan. Penuntutan yang dilakukan oleh penuntut umum harus memiliki dua asas yang sangat mendasar yaitu asas legalitas dan asas oportunitas. Kedua asas yang harus ada dalam semua penuntutan. Menurut asas legalitas, penuntut umum wajib menuntut seseorang yang didakwa telah melakukan tindakan pidana. Sedangkan menurut asas opportunitas, penuntut umum tidak wajib menuntut seseorang yang melakukan suatu tindak pidana jika menurut pertimbangannya apabila orang tersebut dituntut akan merugikan kepentingan umum. Jadi demi kepentingan umum, seseorang yang melakukan tindak pidana dapat tidak dituntut 1. Menurut asas legalitas, penuntut umum wajib menuntut seseorang yang didakwa telah melakukan tindak pidana. Sedangkan asas oportunitas, penuntut umum tidak wajib menuntut seseorang yang melakukan suatu tindak pidana jika menurut pertimbangannya apabila orang tersebut dituntut akan merugikan kepentingan umum 2. Mediasi penal ini merupakan bagian dari ADR yang dapat dilakukan dalam Hukum Pidana. Mediasi penal ini sudah diterapkan dalam hukum positif Indonesia, ini ditunjukkan dalam Pasal 82 KUHP dan Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955. Di institusi penegak hukum dilakukan pertama kalinya di Indonesia pada institusi POLRI dengan Surat Kapolri No Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009 serta Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008. Mediasi penal merupakan salah satu bentuk alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Mediasi penal sebenarnya akan menjadi hukum positif di perkara pidana apabila RUU KUHP dan RUU KUHAP disahkan. Mediasi penal ini menjadi salah satu unsur yang dimuat dalam Pasal 145 RUU KUHP tahun 2004 dan Penjelasan Pasal 42 ayat (2) yang memasukkan penyelesaian di luar proses menjadi alasan gugurnya kewenangan menuntut dan di RUU KUHAP itu menjadi salah satu alasan melakukan asas oportunitas. Sejalan dengan perumusan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, tulisan ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana eksistensi asas 1. Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, 1987, Mengenal Lembaga Kejaksaan di Indonesia, PT Bina Aksara, Jakarta, h. 29. 2. Djoko Prakoso, 1985, Eksistensi Jaksa Ditengah-tengah Masyarakat, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 29. 2

oportunitas dalam penuntutan pada masa yang akan datang sesuai dengan RUU KUHAP dan RUU KUHP. II. ISI MAKALAH 2.1 METODE PENELITIAN Jenis penelitian dalam mengkaji permasalahan ini adalah penelitian yuridis normatif. Penelitian yang berupa inventarisasi hukum positif atau sering disebut dengan penelitian hukum normatif yang membandingkan hukum positif (Ius Constitutum) dengan hukum yang dicita-citakan (Ius Constituendum). Penelitian ini bersifat deskriptif karena memperkuat pengertian asas oportunitas terutama hal kepentingan umum dalam penuntutan pada masa yang akan datang. Untuk menunjang penelitian ini maka diperlukan data primer yaitu data yang bersumber peraturan perundang-undangan dan disertai data sekunder yaitu buku literatur, media elektronik dan kamus. 2.2 HASIL DAN PEMBAHASAN 2.2.1. Eksistensi Asas Oportunitas Dalam Penuntutan Di Indonesia Menurut Hukum Yang Dicita-Citakan Berbeda dengan hukum acara pidana yang berlaku sebelumnya, yakni Het Herziene Indlandsch Reglement (HIR) Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44 yang diberlakukan sebagai pedoman tentang acara perkara pidana sipil oleh semua pengadilan dan kejaksaan di seluruh wilayah Republik Indonesia berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1/Drt/1951, KUHAP memiliki kelebihan-kelebihan mendasar, seperti: Lebih diperhatikannya hak-hak tersangka dan terdakwa; Adanya bantuan hukum pada semua tingkat pemeriksaan; Diaturnya dasar hukum untuk untuk pernangkapan/penahanan disertai dengan pembatasan jangka waktunya; Ketentuan mengenai ganti rugi dan rehabilitasi; Ketentuan mengenai dimungkinkannya penggabungan perkara gugatan ganti kerugian pada perkara pidana; Tersedianya upaya-upaya hukum yang lebih lengkap; Ketentuan mengenai koneksitas; serta Adanya pengawasaan pelaksanaan putusan pengadilan. 3 Apapun sebutannya, setelah KUHAP diberlakukan selama kurun waktu 20 (dua puluh) tahun, ternyata semakin menampakkan adanya keterbatasan. Harapan-harapan 3. Al. Wisnubroto dan G. Widiartama, 2005, Pembaharauan Hukum Acara Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 2. 3

terhadap KUHAP telah berubah menjadi pertanyaan-pertanyaan setelah pada kenyataannya masih saja terjadi pelanggaran hak asasi manusia pada proses peradilan pidana. Di sisi lain, ternyata KUHAP masih saja menampakkan peluang-peluang untuk ditafsirkan sekehendak pihak yang berkepentingan sehingga justru semakin kehilangan aspek kepastian hukumnya. KUHAP harus direvisi dan dengan disahkan RUU KUHAP yang telah dirancang menjadi KUHAP yang baru maka beberapa substansi yang akan diubah juga termasuk juga pada pasal yang memuat tentang asas oportunitas. Pada KUHAP Pasal 14 ayat (h), asas oportunitas sangat diartikan sangat sempit karena di dalam pasal ini penuntut umum diberikan wewenang untuk menutup perkara demi kepentingan umum tanpa menjelaskan bagaimana dan apa saja yang bisa dikategorikan kedalam kepentingan umum tersebut, ditambah lagi di bagian penjelasan umum Pasal 14 tidak ada pengertian yang lebih detil lagi mengenai kepentingan umum. Sedangkan di dalam UU Kejaksaan Pasal 31 ayat (1) huruf c berisi salah satu tugas dan wewenang yaitu mengesampingkan perkara demi kepentingan umum dan kepentingan umum lebih dijelaskan lagi pada bagian Penjelasan Pasal 35 huruf c. Dari Penjelasan Pasal 35 huruf c maka dapat disimpulkan bahwa asas oportunitas hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung saja dengan meminta saran dan pendapat Badan-badan Kekuasaan Negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut. Sesuai dengan sifat dan bobot perkara yang menyampingkan tersebut, Jaksa Agung dapat melaporkan terlebih dahulu rencana penyampingan perkara kepada Presiden untuk petunjuk. Di dalam RUU KUHAP Tahun 2010 memiliki perbedaan yang sangat mendasar mengenai asas oportunitas ini dapat dilihat pada Pasal 42 ayat (2) ayat (5). Jika dilihat maka sangat besarlah perbedaan ruang lingkup antara asas oportunitas dalam KUHAP dengan asas oportunitas yang akan digunakan pada RUU KUHAP. Asas oportunitas dalam RUU KUHAP dan RUU KUHP dapat dilakukan oleh semua penuntut umum yang diberikan tugas dan wewenang untuk melakukan penuntutan dalam suatu perkara. Kedua RUU ini berkaitan karena RUU KUHP memasukkan penyelesaian di luar proses menjadi salah satu gugurnya kewenangan menuntut yang juga diatur dalam RUU KUHAP. Sedangkan saat mediasi penal ditempuh bukan menggeser asas oportunitas tapi justru dengan adanya mediasi penal maka asas oportunitas dapat dilakukan oleh penuntut umum karena dalam RUU KUHAP dan RUU KUHP diatur didalam salah satu syarat gugurnya kewenangan menuntut. Eksistensi asas oportunitas pada masa yang 4

akan datang dalam penuntutan di Indonesia akan lebih memiliki arti yang lebih luas agar bisa mewujudkan pengakuan hak-hak asasi manusia dengan memperlakukan seseorang yang menjadi terdakwa lebih manusiawi. Asas oportunitas pada masa yang akan datang tidak perlu lagi menunggu lagi dari seorang Jaksa Agung yang harus berkoordinasi dulu dengan pejabat-pejabat negara yang berkaitan dengan kasus tersebut sehingga asas oportunitas dapat dilakukan dalam suatu perkara pidana di Indonesia. III. KESIMPULAN Asas oportunitas dalam hukum positif Indonesia belum memiliki pengertian dan pelaksanaan yang jelas karena hanya berpatokan pada UU No. 16 Tahun 2004 dan undang-undang tersebut belum bisa mengakomodir semua yang harusnya ada dalam pelaksanaan asas oportunitas. Hal ini yang menyebabkan perkembangan asas oportunitas masih jalan di tempat dan tidak memiliki arti yang luas terhadap penggunaannya. Dan pada masa yang akan datang akan lebih diperluas lagi daripada asas oportunitas yang ada saat ini. Dalam RUU KUHAP asas oportunitas dapat dilakukan oleh semua penuntut umum baik dengan syarat maupun tanpa syarat tapi dengan kewajiban menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada kepala kejaksaan tinggi setempat melalui kepala kejaksaan negeri setiap bulannya. Asas oportunitas dalam RUU KUHAP juga berhubungan dengan kewenangan penuntutan pada RUU KUHP yang berisi bahwa kewenangan penuntutan akan gugur apabila adanya penyelesaian di luar proses dan pengenaan asas oportunitas oleh Jaksa Agung. DAFTAR PUSTAKA Al. Wisnubroto dan G. Widiartama, 2005, Pembaharauan Hukum Acara Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung. Djoko Prakoso, 1985, Eksistensi Jaksa Ditengah-tengah Masyarakat, Ghalia Indonesia, Jakarta. Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, 1987, Mengenal Lembaga Kejaksaan di Indonesia, PT Bina Aksara, Jakarta. KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. UU 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Surat Kapolri No Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009. 5