BAB I PENDAHULUAN. Belajar merupakan suatu kegiatan yang kompleks dan juga dapat dilakukan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja adalah masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa

BAB 1 PENDAHULUAN. Y, 2009). Pada dasarnya pendidikan seksual merupakan suatu informasi

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa remaja rasa ingin tahu terhadap masalah seksual sangat penting

BAB I PENDAHULUAN. berbagai tantangan dan masalah karena sifatnya yang sensitif dan rawan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB V PEMBAHASAN. A. Karakteristik responden yang mempengaruhi sikap seks pranikah

BAB I PENDAHULUAN. Qur an, seperti yang terdapat dalam firman-nya: aturannya, karena semua sudah jelas di atur dalam Al-Qur an dan

Pendidikan seksualitas remaja. Intan Silviana Mustikawati, SKM, MPH

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan, makin banyak pula ditemukan penyakit-penyakit baru sehingga

BAB I PENDAHULUAN. untuk dibicarakan. Hal ini dimungkinkan karena permasalahan seksual telah

BAB I PENDAHULUAN. dibicarakan di depan anak-anak apalagi untuk mengajarkannya kepada

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Masa remaja adalah masa transisi dari masa kanakkanak. menjadi masa dewasa. Masa transisi ini kadang

BAB 1 PENDAHULUAN. alat kelamin atau hal-hal yang berhubungan dengan perkara-perkara. dua orang yang berlainan jenis kelamin (Dariyo, 2004).

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang jelas dan benar, yang meliputi proses terjadinya pembuahan,

BAB I PENDAHULUAN. ke masa dewasa, yang disertai dengan berbagai perubahan baik secara fisik, psikis

BAB I PENDAHULUAN. Tri Lestari Octavianti,2013 GAMBARAN PENGETAHUAN REMAJA TENTANG SEKS BEBAS DI SMA NEGERI 1 KADIPATEN KABUPATEN MAJALENGKA

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan seksual yang memuaskan dan aman bagi dirinya, juga mampu. berapa sering untuk memiliki keturunan (Kusmiran, 2012 : 94).

FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERILAKU SEKS PRANIKAH PADA SISWA KELAS XI SMK MUHAMMADIYAH 2 BANTUL YOGYAKARTA NASKAH PUBLIKASI

BAB I PENDAHULUAN. perilaku remaja dalam pergaulan saat ini. Berbagai informasi mampu di

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa peralihan diantara masa kanak-kanak dan dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menikmati masa remajanya dengan baik dan membahagiakan, sebab tidak jarang

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa peralihan antara anak-anak yang dimulai saat

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah bagian yang penting dalam masyarakat, terutama di negara

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang pesat baik secara fisik, psikologis maupun intelektual. Pada

BAB 1 PENDAHULUAN. adanya penampakan karakteristik seks sekunder (Wong, 2009: 817).

DAN LINGKUNGAN PERGAULAN DENGAN SIKAP TERHADAP PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA MAHASISWA S1 KEPERAWATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia yang potensial adalah generasi mudanya. Tarigan (2006:1)

BAB I PENDAHULUAN. yang ditandai adanya proses perubahan pada aspek fisik maupun psikologis

SIKAP POSITIF TERHADAP PENDIDIKAN SEKSUAL DAPAT MENCEGAH PELECEHAN SEKSUAL DAN KEKERASAN PADA SISWA

SKRIPSI. Proposal skripsi. Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S-1 Kesehatan Masyarakat

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat penting dalam meningkatkan kualitas manusia, hal ini. tidak lepas dari dua komponen yaitu siswa dan guru.

BAB I PENDAHULUAN. penerus bangsa diharapkan memiliki perilaku hidup sehat sesuai dengan Visi Indonesia Sehat

PENDIDIKAN SEKSUALITAS PADA REMAJA MELALUI MEDIA PEMBELAJARAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan suatu masa dalam perkembangan hidup manusia. WHO

BAB I PENDAHULUAN. dewasa yang meliputi semua perkembangannya yang dialami sebagai. persiapan memasuki masa dewasa (Rochmah, 2005). WHO mendefinisikan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Masa remaja merupakan masa perubahan atau peralihan dari masa kanak-kanak

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja yang dalam bahasa Inggris adolesence, berasal dari bahasa latin

Riska Megayanti 1, Sukmawati 2*, Leli Susanti 3 Universitas Respati Yogyakarta *Penulis korespondensi

BAB I PENDAHULUAN. berkembang mendorong semua lapisan masyarakat untuk masuk kedalam

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Perilaku kesehatan reproduksi remaja semakin memprihatinkan. Modernisasi,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENGALAMAN REMAJA DALAM MENERIMA PENDIDIKAN SEKS

Pendidikan Agama Katolik

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, khususnya remaja. Berdasarkan laporan dari World Health

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanan menuju masa dewasa.

SKRIPSI. Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar S1 Kesehatan Masyarakat. Disusun oleh : DYAH ANGGRAINI PUSPITASARI

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB I PENDAHULUAN. biasanya dimulai pada usia 9-14 tahun dan prosesnya rata-rata berakhir pada

BAB I PENDAHULUAN. survey BKKBN tahun 2010 terdapat 52 % remaja kota medan sudah tidak

Gambaran konsep pacaran, Nindyastuti Erika Pratiwi, FPsi UI, Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa. reproduksi sehingga mempengaruhi terjadinya perubahan perubahan

BAB I PENDAHULUAN. and Development (ICPD) di Kairo (1994), adalah tentang seksual dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH. Remaja adalah mereka yang berada pada tahap transisi

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat melekat pada diri manusia. Seksualitas tidak bisa dihindari oleh makhluk

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan reproduksi mempengaruhi kualitas sumber daya manusia,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. topik yang menarik untuk dibicarakan. Topik yang menarik mengenai masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Kasus pernikahan usia dini banyak terjadi di berbagai penjuru dunia. Hal

perubahan-perubahan fisik itu (Sarwono, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. seks mendorong remaja untuk memenuhi kebutuhan seksnya, mereka

SKRIPSI Diajukan UntukMemenuhi Salah Satu Persyaratan Meraih Derajat Sarjana S-1 Keperawatan. Oleh : ROBBI ARSYADANI J

BAB I PENDAHULUAN. remaja. Proses pola asuh orangtua meliputi kedekatan orangtua dengan remaja,

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. diberikan sejak dini sangat berpengaruh dalam kehidupan anak ketika mereka

PERAN TEMAN SEBAYA TERHADAP PERILAKU SEKSUAL PRA NIKAH PADA REMAJA DI SMA MUHAMMADIYAH 3 SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki abad 21 seperti pada zaman sekarang, terjadi perubahan-perubahan

BAB I PENDAHULUAN. belahan dunia, tidak terkecuali Indonesia. Tahun 2000 jumlah penduduk

BAB 1 PENDAHULUAN. Hubungan karakteristik..., Sarah Dessy Oktavia, FKM UI, 2009 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. dalam tubuh yang mengiringi rangkaian pendewasaan. Pertumbuhan organ-organ

BAB I PENDAHULUAN. tentang kesehatan reproduksi ini penting untuk. diberikan kepada remaja, melihat semakin meningkatnya kasus-kasus remaja

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Remaja sejatinya adalah harapan semua bangsa, negara-negara yang

BAB I PENDAHULUAN. I.1.Latar Belakang. antara 10 hingga 19 tahun (WHO). Remaja merupakan suatu

KELAYAKAN BAHAN AJAR BIOLOGI BERBASIS MASALAH PADA KONSEP SISTEM REPRODUKSI DI SMA NEGERI BANDA ACEH

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masalah seksualitas merupakan salah satu topik yang menarik untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada masa transisi yang terjadi di kalangan masyarakat, secara khusus

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia berkualitas untuk mewujudkan bangsa yang berkualitas

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa yang

BAB I PENDAHULUAN. data BkkbN tahun 2013, di Indonesia jumlah remaja berusia tahun sudah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Remaja merupakan populasi yang besar dari penduduk dunia. Menurut World

BAB 1 PENDAHULUAN. sama yaitu mempunyai rasa keingintahuan yang besar, menyukai pertualangan dan

Pentingnya Sex Education Bagi Remaja

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pengalaman, dan keterampilan dalam proses belajar mengajar. Dalam kurikulum

BAB I PENDAHULUAAN. Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa anak-anak ke masa

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. WHO mendefinisikan, masa remaja (adolence) mulai usia 10 tahun sampai 19

FORMULIR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN

BAB I PENDAHULUAN. habis-habisnya mengenai misteri seks. Mereka bertanya-tanya, apakah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. peka adalah permasalahan yang berkaitan dengan tingkat kematangan seksual

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Remaja adalah masa peralihan diantara masa kanak-kanak dan dewasa.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 1 PENDAHULUAN. remaja-remaja di Indonesia yaitu dengan berkembang pesatnya teknologi internet

BAB I PENDAHULUAN. demonstrasi di International Computer Communication Conference (ICCC) pada

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit Menular Seksual adalah penyakit yang penularannya terutama

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Perilaku seksual merupakan segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat

BAB 1 PENDAHULUAN. Undang-Undang No.23 Tahun 1992 mendefinisikan bahwa kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kepulauan Karimunjawa merupakan wilayah Kecamatan dari Kabupaten Jepara,

BAB 1 : PENDAHULUAN. produktif. Apabila seseorang jatuh sakit, seseorang tersebut akan mengalami

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Belajar merupakan suatu kegiatan yang kompleks dan juga dapat dilakukan dimana dan kapan saja. Skinner (Dimyati dan Mudjiono, 2006: 9) berpandangan bahwa belajar adalah suatu perilaku. Pada saat orang belajar, maka responnya menjadi lebih baik. Sebaliknya bila ia tidak belajar maka responnya menurun. Kegiatan belajar mengajar (KBM) secara formal dapat dilakukan di sekolah sebagai pelaksana kegiatan. Sekolah adalah tempat mempelajari ilmu pengetahuan seperti berhitung, pengetahuan alam, pengetahuan sosial, dan lain sebagainya. Salah satu hal yang tak kalah penting untuk dipelajari adalah pendidikan seks. Pendidikan seks adalah membimbing serta mengasuh seseorang agar mengerti tentang arti, fungsi, dan tujuan seks sehingga ia dapat menyalurkan secara baik, benar, dan legal. (http://manadoinfoment.wordpress.com/2009/10/08/pengertian-sex-educationpendidikan-seks/). Seks merupakan bahan pembicaraan yang sangat peka. Dalam kehidupan sehari-hari apabila kita mendengar kata seks diperbincangkan di khalayak umum, secara otomatis pikiran kita berpikir tentang hal yang hanya pantas dibicarakan oleh orang dewasa. Informasi mengenai seks rasanya masih tabu untuk dibicarakan di depan anak-anak maupun remaja. Orang dewasa beranggapan seks tidak boleh 1

2 dibicarakan kepada anak-anak, remaja atau siapapun yang belum menikah. Hal ini disebabkan karena seks selalu dikonotasikan dengan hubungan kelamin, sehingga dianggap tabu untuk dibicarakan. Selain itu kata seks itu sendiri selalu dikonotasikan dengan hal-hal negatif, seperti jorok, tidak sopan, atau porno. Pandangan atau pendapat seperti itulah yang menyebabkan informasi yang diperoleh anak-anak, atau remaja mengenai seks tidak sepenuhnya benar. Pendidikan seks seharusnya diberikan sejak dini atau sejak masa kanak-kanak. Pendidikan seks yang diberikan sejak dini akan berpengaruh terhadap kehidupan anak, terutama ketika mulai memasuki masa remaja. Selain itu, anak-anak zaman sekarang memiliki rasa keingintahuan yang besar, yang menyebabkan mereka kritis baik dari segi pertanyaan maupun perilaku. Menurut Singgih, D. Gunarsa (1991: 199) dikemukakan bahwa penyampaian materi pendidikan seks seharusnya diberikan sejak dini ketika anak sudah mulai bertanya tentang perbedaan kelamin antara dirinya dan orang lain, berkesinambungan dan bertahap, disesuaikan dengan kebutuhan dan umur anak serta daya tangkap anak. Apa yang dipelajari pada waktu masa anak-anak akan terbawa sampai remaja, pada masa ini remaja sedang mengalami beberapa perubahan biologis, fisik, dan psikis, akibat peralihan masa anak-anak menuju masa remaja. Pada masa remaja rasa ingin tahu terhadap masalah seks sangat besar. Oleh karena itu, pendidikan seks pada masa remaja sudah seharusnya diberikan, agar remaja tidak mencari dari orang lain atau sumber-sumber yang tidak jelas atau bahkan keliru sama sekali.

3 Meningkatnya minat remaja pada masalah seksual dan sedang berada dalam potensi seksual yang aktif, menyebabkan remaja berusaha mencari berbagai informasi mengenai hal tersebut. Dari sumber informasi yang berhasil mereka dapatkan, pada umumnya hanya sedikit remaja yang mendapatkan seluk beluk seksual dari orang tuanya. Oleh karena itu remaja mencari atau mendapatkan dari berbagai sumber informasi yang mungkin dapat diperoleh, misalnya seperti di sekolah atau perguruan tinggi, membahas dengan teman-teman, buku-buku tentang seks, media masa atau internet. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Synovate sejak September 2004 bahwa sekitar 65% informasi tentang seks remaja dapatkan dari kawan dan juga 35% sisanya dari film porno. Ironisnya hanya 5% responden remaja ini mendapatkan informasi tentang seks dari orang tuanya. (http://situs.kesrespo.info). Di Sekolah Luar Biasa (SLB) pendidikan seks lebih dikenal dengan pembelajaran kesehatan reproduksi. Pembelajaran ini bertujuan untuk memberikan informasi yang dibutuhkan siswa, serta untuk menghasilkan manusia-manusia dewasa yang dapat menjalankan kehidupan yang bahagia dan juga bertanggung jawab terhadap dirinya dan orang lain seperti yang disepakati dalam interpersonal conference of sex education and family planning pada tahun 1962. Pendidikan kesehatan reproduksi remaja sebagai salah satu upaya untuk mengerem beberapa perilaku seksual yang sering terjadi pada masa remaja. Berdasarkan penelitian perilaku seksual remaja menyebutkan, dari tahun ke tahun terjadi peningkatan angka remaja yang sudah pernah berhubungan seks. Survei yang

4 dilakukan BKKBN tahun 2008 menyebut 63% remaja di beberapa kota besar di Indonesia telah melakukan seks pra-nikah. (http://www.seksehat.info/kesehatanreproduksi/seks-pranikah-sejak-usia-dini memicu-kanker-serviks.html). Sebagian orang tidak menyadari atau pura-pura tidak tahu tentang resiko yang diperoleh dari perilaku seks bebas. Penting bagi para orangtua, pemerintah, dan pihak sekolah, untuk memberikan informasi yang tepat tentang seks kepada remaja. Diharapkan dengan adanya pembelajaran kesehatan reproduksi siswa dapat memperoleh informasi yang dibutuhkan dengan tepat. Pemahaman pendidikan seks bagi siswa/siswi SMPLB dan SMALB di SLB sangat perlu diteliti. Hal ini bermanfaat untuk mengetahui sampai sejauh mana pengetahuan dan sikap siswa/siswi tunanetra tersebut tentang pendidikan seks. Berangkat dari permasalahan di atas, maka penulis terdorong untuk menggali dan menelaah Hubungan antara Pendapat Siswa Tunanetra tentang Pembelajaran Kesehatan Reproduksi dengan Pemahaman Pendidikan Seks. B. Identifikasi Masalah Kebutuhan akan pendidikan kesehatan reproduksi saat ini sangat penting karena permasalahan remaja kian kompleks dan memprihatinkan. Penanganan ini tidak dapat dilakukan oleh orang tua atau pemerintah, namun diperlukan kerjasama dari berbagai pihak. Salah satunya adalah sekolah, dimana remaja lebih banyak beraktivitas setiap harinya. Pemberian pendidikan kesehatan reproduksi bukan berarti membuka peluang untuk perilaku seks bebas, melainkan lebih menekankan

5 perbedaan lelaki dan perempuan secara seksual, kapan terjadi pembuahan, apa dampaknya jika berprilaku seks tanpa dilandasi tanggungjawab, termasuk resiko terkena infeksi menular seksual. Tujuan pembelajaran kesehatan reproduksi adalah menumbuhkan kesadaran akan perlunya menjaga kesehatan organ reproduksi seksual dan perlunya membina relasi seksual yang sehat. Apabila peserta didik memahami tujuan dan manfaat pembelajaran kesehatan reproduksi, maka akan terjadi perubahan positif dalam bentuk perilaku pada diri peserta didik. Hambatan yang dialami oleh remaja dengan gangguan penglihatan akan berakibat pada terhambatnya pemahaman materi. Oleh karena itu, komponenkomponen pembelajaran haruslah disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan mereka, jika tidak, informasi yang mereka peroleh akan setengah-setengah atau tidak utuh. Penting sekali memperhatikan konsep dasar pembelajaran bagi tunanetra yaitu dari abstrak ke konkrit. C. Batasan Masalah Penelitian ini akan mengungkapkan seberapa besar hubungan antara pendapat siswa tunanetra tentang pembelajaran kesehatan reproduksi dengan pemahaman pendidikan seks. Dalam penelitian ini pembelajaran kesehatan reproduksi dibatasi pada aspek tujuan, materi, pendekatan, metode, media, alat peraga, siswa, dan evaluasi. Sedangkan pemahaman pendidikan seks dibatasi pada materi ajar yang telah diberikan kepada peserta didik.

6 D. Rumusan Masalah Penelitian ini bertitik tolak dari permasalahan berikut: Adakah hubungan yang positif dan signifikan antara pendapat siswa tunanetra tentang pembelajaran kesehatan reproduksi dengan pemahaman pendidikan seks? E. Hipotesis Penelitian Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian. Oleh karena itu rumusan masalah penelitian biasanya disusun dalam bentuk kalimat pertanyaan. Seperti yang diungkapkan oleh Margono (2005:67) bahwa hipotesis adalah jawaban sementara terhadap masalah penelitian yang secara teoritis dianggap paling mungkin atau paling tinggi tingkat kebenarannya. Lebih lanjut Margono menjelaskan bahwa secara teknik, hipotesis adalah penyataan mengenai keadaan populasi yang akan diuji kebenarannya melalui data yang diperoleh dari sampel penelitian. Sedangkan secara statistik, hipotesis merupakan pernyataan keadaan parameter yang akan diuji melalui statistik sampel. Berdasarkan pada pernyataan di atas maka hipotesis dalam penelitian ini adalah: Terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara pendapat siswa tunanetra tentang pembelajaran kesehatan reproduksi dengan pemahaman pendidikan seks.

7 F. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran secara menyeluruh tentang hubungan antara pendapat siswa tunanetra tentang pembelajaran kesehatan reproduksi dengan pemahaman pendidikan seks. Sedangkan secara khusus peneliti ingin mengetahui seberapa besar hubungan antara pendapat siswa tentang pembelajaran kesehatan reproduksi dengan pemahaman pendidikan seks. 2. Kegunaan Penelitian a. Secara Teoritis Penelitian ini secara teoritis dapat memberikan pengetahuan dan wawasan keilmuan bagi penulis dan juga pembaca sekalian. b. Secara Praktis 1) Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat secara langsung maupun tidak langsung kepada berbagai pihak mengenai pentingnya pendidikan seks bagi remaja. 2) Bagi peneliti, penelitian ini sangat bermanfaat. Karena peneliti dapat secara langsung mempraktekkan apa yang peneliti dapatkan selama kuliah, serta mengetahui bagaimana pembelajaran kesehatan reproduksi diterapkan di sekolah pada anak tunanetra. 3) Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi mahasiswa Pendidikan Luar Biasa (PLB) dan dapat dijadikan sebagai referensi

8 atau pencerahan dalam penyusunan skripsi. Sedangkan bagi Jurusan Pendidikan Luar Biasa semoga dapat bermanfaat sebagaimana mestinya.