BAB I PENDAHULUAN. pendengaran, baik sebagian maupun seluruhnya yang berdampak kompleks

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. manusia. Salah satu tujuan bangsa Indonesia yang tertuang dalam pembukaan

BAB I PENDAHULUAN. yang beralamat di Jl. Rajekwesi 59-A Perak Bojonegoro. Di SLB-B Putra

BAB I PENDAHULUAN PENERAPAN METODE MONTESSORI DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN OPERASI HITUNG PENGURANGAN PADA PESERTA DIDIK TUNARUNGU KELAS I SDLB

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. dapat digunakan untuk membantu meningkatkan kemampuan operasi

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Budaya belajar merupakan serangkaian kegiatan dalam

BAB I PENDAHULUAN. belajarnya. Segala bentuk kebiasaan yang terjadi pada proses belajar harus. terhadap kemajuan dalam bidang pendidikan mendatang.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan bagi setiap individu telah diatur di dalam Undang-Undang

FAKTOR-FAKTOR STRATEGIK PEMEROLEHAN BAHASA ANAK TUNARUNGU ( Studi kasus di SLB B Karnnamanohara Yogyakarta ) T E S I S

NIM. K BAB 1 PENDAHULUAN

Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Bab II pasal 3 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan Nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kondisi kecerdasan intelektual yang berada di bawah rata-rata dan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Merayakan Ulangtahun Sebagai Strategi Pembelajaran Kosakata Abstrak (Tanggal, Bulan, Tahun) Lisza Megasari, S.Pd

BAB I PENDAHULUAN. 1 SLB Golongan A di Jimbaran. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan di Indonesia merupakan suatu hal yang wajib ditempuh oleh semua warga negara.

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. segala potensinya. Oleh sebab itu pendidikan harus diterima olah setiap warga negara,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Keterbatasan, tidak menjadi halangan bagi siapapun terutama keterbatasan

METODE PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI SEKOLAH LUAR BIASA TUNARUNGU (SLB/B) MELALUI ALAT PERAGA UNTUK PENINGKATAN HASIL BELAJAR SISWA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

repository.unisba.ac.id BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah hal yang sangat mendasar untuk perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. realitas diri dengan mengoptimalkan semua potensi kemanusiaan. (educational for all) yang tidak diskriminatif.

BAB I PENDAHULUAN. kesulitan pula dalam memproduksi suara atau bunyi bahasa yang terdapat. menerima konsep-konsep ilmu pengetahuan.

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah hak asasi setiap warga negara. Oleh karena itu, pemerintah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. emosional, mental sosial, tapi memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.

BAB I PENDAHULUAN Desi Nurdianti, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Semua individu berhak mendapatkan pendidikan. Hal tersebut sesuai

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sri Hani Widiyanty, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dan masyarakat. Pendidikan juga merupakan usaha sadar untuk menyiapkan

JASSI_anakku Volume 18 Nomor 1, Juni 2017

PELAKSANAAN PEMBELAJARAN KETERAMPILAN TATA BUSANA PADA ANAK TUNARUNGU KELAS VII SMPLB DI SLB-B PRIMA BHAKTI MULIA KOTA CIMAHI

2015 UPAYA GURU D ALAM MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN VOKASIONAL BAGI ANAK TUNAGRAHITA RINGAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

Seminar Tugas Akhir BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. memperoleh pendidikan yang seluas-luasnya. Penyelenggaraan pendidikan di

2015 PENGARUH METODE DRILL TERHADAP PENINGKATAN KETERAMPILAN MEMAKAI SEPATU BERTALI PADA ANAK TUNAGRAHITA RINGAN KELAS 3 SDLB DI SLB C YPLB MAJALENGKA

BAB I PENDAHULUAN. secara fisik. Anak Berkebutuhan Khusus dibagi ke dalam dua kelompok yaitu

BAB I PENDAHULUAN. yang telah merubah peradaban manusia, menjadikan manusia menjadi. berguna bagi diri sendiri maupun orang lain. Ilmu pengetahuan dan

BAB I PENDAHULUAN. investasi untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan keahlian untuk

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. yang penting yang harus dialami oleh setiap manusia, mulai dari Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tita Nurhayati, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Putri Permatasari, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam kehidupan bernegara, ada yang namanya hak dan kewajiban warga

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Gilang Angga Gumelar, 2015

BAB I PENDAHULUAN. memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Pendidikan luar biasa

2015 STUD I D ESKRIPTIF PELAKSANAAN PEMBELAJARAN PEND IDIKAN JASMANI D I SLB-A CITEREUP

BAB I PENDAHULUAN. Ita Witasari, 2013

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Konteks Penelitian. Manusia merupakan makhluk sosial yang memerlukan interaksi dengan

BAB I PENDAHULUAN. manusia dengan masing-masing perbedaan, baik fisik maupun mental.

ALAT IDENTIFIKASI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (AI ABK)

PENDAHULUAN. mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal tersebut akan dapat tercapai jika

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Meirani Silviani Dewi, 2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lia Afrilia,2013

BAB I. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai kodratnya manusia adalah makhluk pribadi dan sosial dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. merealisasikan hak-hak asasi manusia lainnya. Pendidikan mempunyai peranan

BAB I PENDAHULUAN. Keterampilan berhitung merupakan aspek yang sangat penting dalam

SEKOLAH UNTUK ANAK AUTISTIK

BAB 1 PENDAHULUAN. suatu sistem yang telah diatur dalam undang-undang. Tujuan pendidikan nasional

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan anak usia dini merupakan salah satu bentuk

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari, tidak bisa terlepas dari berbagai

BAB I PENDAHULUAN. (verbal communication) dan komunikasi nonverbal (non verbal communication).

BAB I PENDAHULUAN. Maha Esa dan berbudi pekerti luhur. Sebagaimana yang diamanatkan Undang-

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

PENDIDIKAN KHUSUS & PENDIDIKAN LAYANAN KHUSUS

BAB I PENDAHULUAN. bervariasi dan terpusat pada peserta didik.

PENDIDIKAN KHUSUS LANDASAN YURIDIS

BAB I PENDAHULUAN. rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan sarana mutlak yang dipergunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Komunikasi merupakan suatu proses atau kegiatan yang sukar dihindari

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

WALIKOTA PROBOLINGGO

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BUPATI GARUT PERATURAN BUPATI GARUT NOMOR 735 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah pembinaan yang ditujukan kepada

BAB I PENDAHULUAN. syndrome, hyperactive, cacat fisik dan lain-lain. Anak dengan kondisi yang

BAB 1 PENDAHULUAN. sangat penting dalam memajukan harkat dan martabat suatu bangsa yang

BAB I LATAR BELAKANG. dari anak kebanyakan lainnya. Setiap anak yang lahir di dunia dilengkapi dengan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BUPATI CIAMIS PROVISI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 29 TAHUN 2015 TENTANG. PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF Dl KABUPATEN CIAMIS

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PELAYANAN BAGI PENYANDANG DISABILITAS

BAB I PENDAHULUAN. Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak tunarungu adalah anak yang mengalami kehilangan fungsi pendengaran, baik sebagian maupun seluruhnya yang berdampak kompleks dalam kehidupannya. Anak tunarungu secara fisik terlihat seperti anak normal, tetapi bila diajak berkomunikasi barulah terlihat bahwa anak mengalami gangguan pendengaran. Anak tunarungu tidak berarti anak itu tunawicara, akan tetapi pada umumnya anak tunarungu mengalami ketunaan sekunder yaitu tunawicara. Penyebabnya adalah anak sangat sedikit memiliki kosakata dalam sistem otak dan anak tidak terbiasa berbicara. Anak tunarungu memiliki tingkat intelegensi bervariasi dari yang rendah hingga jenius. Anak tunarungu yang memiliki intelegensi normal pada umumnya tingkat prestasinya di sekolah rendah. Hal ini disebabkan oleh perolehan informasi dan pemahaman bahasa lebih sedikit bila dibanding dengan anak mampu dengar. Anak tunarungu mendapatkan informasi dari indera yang yang masih berfungsi, seperti indera penglihatan, perabaan, pengecapan dan penciuman. Anak tunarungu mendapat pendidikan khusus di lembaga informal dan formal. Pendidikan informal yang menangani anak tunarungu yaitu LSM, organisasi penyandang cacat, posyandu dan klinik-klinik anak berkebutuhan khusus. Lembaga pendidikan formal yang menangani anak tunarungu adalah home schooling, sekolah inklusi, dan Sekolah Luar Biasa 1

2 (SLB). Penyelenggaraan pendidikan khusus tersebut termuat dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 32 ayat 1 yang menyatakan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena memiliki kelainan fisik, emosional, mental, sosial dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Pendidikan khusus yang dimaksud yaitu pemberian layanan pendidikan sesuai kebutuhan anak tunarungu. Pendidikan khusus dilaksanakan secara tersistem. Salah satu wujud pendidikan khusus adalah pelaksanaan pembelajaran di kelas. Pelaksanaan pembelajaran bagi anak tunarungu harus dimulai dari hal-hal yang dialami anak dalam kehidupan sehari-hari. Prinsip pembelajaran bagi anak tunarungu dimulai dari hal-hal yang mudah kemudian berangsur ke tingkat yang lebih sulit. Pembelajaran bagi anak tunarungu dapat dilakukan dengan cara memberikan pengalaman-pengalaman nyata dan secara berulang-ulang. Anak tunarungu kurang memiliki pemahaman infomasi verbal. Hal ini menyebabkan anak sulit menerima materi yang bersifat abstrak, sehingga dibutuhkan media untuk memudahkan pemahaman suatu konsep pada anak tunarungu. Media gambar yang menarik dan digemari siswa adalah dirasa sebagai media yang relevan untuk membantu anak tunarungu dalam mengatasi permasalahan pembelajaran yang memiliki materi abstrak. Anak tunarungu mengalami kesulitan dalam pembelajaran yang bersifat abstrak. Salah satu pembelajaran utama di SLB tingkat dasar adalah pelajaran matematika. Pelajaran matematika adalah mata pelajaran ilmu pasti. Melalui

3 matematika dapat diamati gejala-gejala alam dan digeneralisasikan dalam berbagai pola, hubungan ataupun aksioma. Hasil generalisasi kemudian dituliskan dalam bahasa simbol. Matematika dapat dikatakan pelajaran abstrak. Anak tunarungu mengalami kesulitan terhadap pembelajaran yang bersifat abstrak. Kompetensi dasar mata pelajaran matematika yang mendasar adalah siswa dapat melakukan operasi penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian. Penjumlahan merupakan operasi penggabungan antara bilangan satu dengan bilangan yang lain. Angka adalah sebuah simbol abstrak dari bahasa matematika, yaitu konversi dari simbol bilangan. Pembelajaran dengan sifat abstrak ini sulit diterima anak tunarungu yang cenderung memiliki daya abstrak rendah. Untuk itu dibutuhkan media untuk menjembatani pemikiran anak tunarungu dalam mempelajari konsep penjumlahan. Spongebob adalah tokoh kartun yang digemari anak pada serial Spongebob Squerpans. Spongebob adalah spons laut yang tinggal di laut Atlantik. Spongebob memiliki karakter polos, rajin bekerja, ceria, lucu dan penuh semangat. Spongebob mempunyai bentuk yang unik yaitu kotak dan berwarna kuning menyala. Anak tunarungu walaupun tidak dapat mendengar percakapan dalam film, tetapi mereka menikmati alur cerita dalam film. Pada saat observasi penulis menanyakan tokoh kartun favorit pada 3 siswa tunarungu kelas III. Dari pertanyaan yang diajukan penulis, dua siswa menjawab Spongebob dan seorang siswa menjawab Hello Kity.

4 Berdasarkan hasil observasi di SLB Bina Taruna Manisrenggo Klaten, siswa kelas III belum menguasai kemampuan operasi penjumlahan. Pada soal latihan penjumlahan jawaban siswa banyak yang keliru. Soal penjumlahan 34+2=. Jawaban siswa bervariasi. Salah satu siswa tunarungu kelas III 34+2=54. Jawaban ini berasal dari 3 (puluhan) ditambahkan 2 (satuan) hasilnya adalah 5, sedangkan 4 dituliskan di belakang 5. Jadi hasil penjumlahan adalah 54. Seringkali siswa ini menjawab 34 + 2 = 9. Jawaban 9 diperoleh dari penjumlahan semua angka yaitu 3 + 4 + 2 = 9. Dari penjelasan contoh di atas, kekeliruan penjumlahan dikarenakan siswa belum menguasai konsep bilangan dan nilai tempat bilangan (puluhan dan satuan). Operasi penjumlahan yang dilakukan siswa tunarungu tersebut adalah angka dengan nilai puluhan ditambahkan dengan angka dengan nilai satuan. Jawaban dari siswa lain 34+2=37. Siswa tunarungu ini telah menguasai konsep bilangan dan nilai tempat bilangan, akan tetapi hasil penjumlahan keliru dikarenakan proses penjumlahan yang keliru. Siswa tunarungu kelas III tergesa-gesa dalam menjawab soal penjumlahan. Kemampuan siswa kelas III dasar seharusnya sudah menguasai materi pecahan sederhana, tetapi kondisi di lapangan siswa masih mempelajari penjumlahan dua angka atau penjumlahan hingga angka 90. Penjumlahan dua angka merupakan kompetensi dasar yang seharusnya telah dikuasai siswa pada kelas I semester II. Meskipun siswa belum menguasai kompetensi yang diajarkan tetapi siswa akan terus naik kelas setiap tahunnya. Sistem kenaikan kelas di SLB ini adalah maju berkelanjutan.

5 Pada pembelajaran matematika guru sudah berusaha menggunakan media untuk memudahkan pemahaman siswa mengenai penjumlahan. Guru menggunakan media papan tulis dan kapur. Bila akan melakukan penjumlahan, maka guru menggambar benda pada papan tulis. Media yang digunakan masih dirasa abstrak bagi siswa. Media yang digunakan guru masih dirasa kurang optimal dalam mengatasi masalah pembelajaran. Teknik yang digunakan oleh guru dalam operasi penjumlahan dirasa kurang efektif bila digunakan untuk penjumlahan dua angka. Saat observasi di kelas III penulis mendapati siswa sedang menjawab soal penjumlahan dengan membuat garis (turus) sebanyak angka yang akan dijumlahkan. Guna menjawab soal penjumlahan 34+2=, siswa menulis turus sebagai berikut: IIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIII+II=. Setelah siswa menulis semua bilangan dalam bentuk turus, kemudian siswa menghitung turus dari turus pertama (34) dan dilanjutkan menghitung turus pada angka selanjutnya (2). Hasil penjumlahan siswa benar yaitu 36, akan tetapi waktu yang digunakan untuk menjawab soal penjumlahan sangatlah lama. Karena banyaknya turus tidak jarang siswa keliru dalam menghitungnya. Hal ini mengakibatkan hasil penjumlahan siswa pun salah. Pelajaran matematika dianggap sebagian siswa sebagai pelajaran sulit dan menakutkan. Saat pembelajaran siswa terlihat kurang semangat. Bila ditanya apa sebab tidak tenang, maka anak akan menjawab pelajaran berhitung susah. Siswa lebih senang belajar keterampilan atau olahraga yang

6 tidak berhubungan dengan bilangan. Mata pelajaran matematika masih menjadi mata pelajaran momok bagi siswa. Pada penelitian ini difokuskan mengenai masalah rendahnya kemampuan operasi penjumlahan pada siswa tunarungu kelas III. Masalah ini diangkat karena dianggap penting untuk diatasi. Penjumlahan merupakan kemampuan dasar yang harus dikuasai siswa, karena matematika adalah pelajaran maju bersyarat. Bila siswa belum menguasai kemampuan dasar maka tidaklah mungkin siswa dapat menguasai materi selanjutnya. Permasalahan rendahnya kemampuan operasi penjumlahan pada siswa tunarungu kelas III disinyalir karena siswa kurang memahami konsep bilangan, nilai tempat bilangan, dan penjumlahan. Pada penelitian ini dibatasi penjumlahan dua angka. Hal ini disesuaikan dengan masalah yang dihadapi siswa dan pembelajaran yang sedang berlangsung di sekolah. Penelitian tindakan kelas ini dimaksudkan untuk menyelesaikan permasalahan pembelajaran yang terjadi pada kelas yang bersangkutan. Penulis merekomendasikan penggunaan media gambar Spongebob. Tokoh Spongebob dipilih karena tokoh ini sedang digemari oleh siswa. Melalui tokoh ini siswa dapat belajar penjumlahan dengan senang dan lebih aktif.

7 B. Identifikasi Masalah Berdasaran latar belakang masalah di atas ada beberapa masalah yang dapat diidentifikasi, yaitu sebagai berikut: 1. Rendahnya kemampuan siswa dalam menjawab soal penjumlahan, ditandai dengan siswa belum menguasai konsep bilangan, nilai tempat bilangan, dan konsep penjumlahan. 2. Media pembelajaran yang digunakan guru dirasa belum optimal, media yang digunakan belum dapat menyelesaikan masalah pembelajaran matematika. 3. Teknik penjumlahan yang digunakan guru dirasa belum efektif, dimana siswa menulis turus sebanyak angka yang akan dijumlah. Kemudian menghitung dari turus yang mewakili angka pertama dilanjutkan turus angka kedua. Teknik ini memerlukan waktu yang lama dan hasil penjumlahan seringkali keliru. 4. Siswa merasa pelajaran matematika adalah pelajaran yang sulit dan menakutkan. Siswa kurang bersemangat saat mengikuti pelajaran matematika. C. Batasan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah di atas, perlu kiranya penulis membatasi masalah agar penelitian ini spesifik. Batasan masalah dalam penelitian ini adalah: Rendahnya kemampuan siswa dalam menjawab soal penjumlahan. Masalah ini penting diteliti karena penjumlahan merupakan dasar dari matematika hitung. Rendahnya kemampuan operasi penjumlahan

8 ini karena siswa kurang memahami konsep bilangan, nilai tempat bilangan, dan konsep penjumlahan. D. Rumusan Masalah Berdasarkan batasan masalah di atas ditarik rumusan masalah: Bagaimana peningkatan kemampuan operasi penjumlahan pada mata pelajaran matematika dengan bantuan media gambar Spongebob? E. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk meningkatan kemampuan operasi penjumlahan siswa tunarungu dengan bantuan media gambar Spongebob. F. Manfaat Hasil Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak, antara lain: 1. Praktis: a. Bagi siswa: membantu meningkatkan kemampuan operasi penjumlahan pada mata pelajaran matematika dengan menggunakan media gambar Spongebob. b. Bagi guru: sebagai bahan referensi pemanfaatan media gambar Spongebob dapat digunakan sebagai alat bantu penjumlahan pada mata pelajaran matematika. c. Bagi kepala sekolah: sebagai dasar kebijakan penggunaan media gambar Spongebob dalam pembelajaran matematika. Media ini

9 relevan dengan kondisi siswa, sehingga sekolah dapat menyelenggarakan pendidikan sesuai kebutuhan anak. d. Bagi peneliti: menambah wawasan mengenai kemampuan operasi penjumlahan pada mata pelajaran matematika dapat ditingkatkan dengan bantuan media gambar Spongebob. 2. Teoritis: Menambah kajian bahwa media gambar Spongebob dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan operasi penjumlahan bagi siswa tunarungu. G. Definisi Operasional Beberapa definisi istilah dapat bervariasi maknanya sesuai dengan orang yang menafsirkannya. Agar terhindar dari kesimpangsiuran dalam mendefinisikan istilah yang digunakan dalam penelitian ini, maka penulis mengemukakan definisi operasional sebagai berikut: 1. Kemampuan operasi penjumlahan Kemampuan operasi penjumlahan yaitu kesanggupan siswa dalam memahami materi konsep bilangan, konsep nilai tempat bilangan, dan konsep penjumlahan yang telah diajarkan. Siswa dikatakan berhasil bila menguasai materi 60% sesuai dengan kriteria ketuntasan minimum. 2. Media gambar Spongebob Media yang dimaksudkan adalah gambar cetak seorang tokoh kartun yang bernama Spongebob. Gambar ini berwarna kuning dan

10 kotak. Agar gambar tidak tipis maka dilapisi sterofoam pada sisi belakang gambar. Adapun penggunaan media ini yaitu untuk membantu menjelaskan (1) konsep bilangan, (2) konsep nilai tempat bilangan, (3) konsep penjumlahan. 3. Anak Tunarungu Anak tunarungu dalam penelitian ini adalah anak yang mengalami ketidakberfungsian indera pendengaran dengan derajat kehilangan pendengaran lebih dari 70 db. Kemampuan yang dimilikinya yaitu tidak dapat mendengar percakapan sehari-hari sehingga berdampak kompleks dalam kehidupannya terutama dalam aspek komunikasi. Anak tunarungu ini hanya dapat mendengar suara keras kurang dari 30 cm, kemampuan berbahasa sangat lemah dan mereka tidak memiliki ketunaan ganda.