Lex Administratum, Vol. IV/No. 2/Feb/2016

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu

II. TINJAUAN PUSTAKA. umur harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responsibility

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan

KEJAHATAN DAN PELANGGARAN TERHADAP NYAWA DAN TUBUH ORANG

II. TINJAUAN PUSTAKA. dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian

BAB III PERILAKU SEKSUAL SEJENIS (GAY) DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ANAK PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN. 1. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,

Lex Crimen Vol. V/No. 3/Mar/2016. KAJIAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PERJUDIAN (PENERAPAN PASAL 303, 303 BIS KUHP) 1 Oleh: Geraldy Waney 2

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pasal 1 angka 11 Bab 1 tentang Ketentuan Umum Kitab Undang-Undang Hukum

BAB I PENDAHULUAN. hukuman yang maksimal, bahkan perlu adanya hukuman tambahan bagi

Lex Crimen Vol. V/No. 1/Jan/2016. Pangemanan, SH, MH; M.G. Nainggolan, SH, MH, DEA. 2. Mahasiswa pada Fakultas Hukum Unsrat, NIM,

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENCABULAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK. 1. Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

II. TINJAUAN PUSTAKA. dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya. Untuk adanya pertanggungjawaban

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai

BAB II LANDASAN TEORI. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah : 6. a. untuk menghindari anak dari penahanan;

II. TINJAUAN PUSTAKA. KUHP tidak ada ketentuan tentang arti kemampuan bertanggung jawab. Yang

TINDAK PIDANA ASUSILA TERHADAP HEWAN DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. perzinaan dengan orang lain diluar perkawinan mereka. Pada dasarnya

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

BAB I PENDAHULUAN. tertentu, bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. umumnya maksud tersebut dapat dicapai dengan menentukan beberapa elemen,

I. PENDAHULUAN. tidak sesuai dengan perundang-undangan. Sebagai suatu kenyataan sosial,

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP

BAB I PENDAHULUAN. segala perbuatan melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji,

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBUNUHAN BERENCANA. tertentu tanpa menyebutkan wujud dari tindak pidana. Unsur-unsur yang dapat

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

I. PENDAHULUAN. Manusia didalam pergaulan sehari-hari tidak dapat terlepas dari interaksi dengan

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 9/Okt-Des/2016

BAB I PENDAHULUAN. berada disekitar kita. Pemerkosaan merupakan suatu perbuatan yang dinilai

BAB I PENDAHULUAN. kongkrit. Adanya peradilan tersebut akan terjadi proses-proses hukum

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ATMAJAYA YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

I. PENDAHULUAN. berlainan tetapi tetap saja modusnya dinilai sama. Semakin lama kejahatan di ibu

TINJAUAN PUSTAKA. Efektivitas berasal dari kata efektif yang mengandung pengertian dicapainya

Lex Crimen Vol. VI/No. 6/Ags/2017

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana. Belanda yaitu strafbaar feit yang terdiri dari tiga kata, yakni straf

BAB II. PENGATURAN TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA A. Tindak Pidana Kekerasan Dalam Hukum Pidana

Lex Administratum, Vol. IV/No. 4/Apr/2016. bidang hukum privat, dan dalam bidang hukum publik. 3 Undang-Undang No. 35 Tahun 2014

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah Tindak Pidana atau strafbaarfeit atau perbuatan pidana merupakan suatu

Lex Crimen Vol. VI/No. 7/Sep/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 6/Ags/2017

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Sebagai UU yang Mengatur Tindak Pidana Khusus

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang-

Lex Privatum Vol. V/No. 3/Mei/2017

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang,

BAB II PENERAPAN KONSEP NOODWEER DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN SEBAGAI AKIBAT ADANYA TINDAK PIDANA KEHORMATAN KESUSILAAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana. hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan

Lex Crimen Vol. V/No. 2/Feb/2016. PENJATUHAN PIDANA TERHADAP PERBUATAN PERCOBAAN MELAKUKAN TINDAK PIDANA 1 Oleh: Magelhaen Madile 2

BAB I PENDAHULUAN. eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA ANAK TURUT SERTA DENGAN SENGAJA MEMBUJUK ANAK MELAKUKAN PERSETUBUHAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK

NASKAH PUBLIKASI SKRIPSI PERBANDINGAN PENJATUHAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERTAMA DAN RESIDIVIS.

BAB I PENDAHULUAN. di gunakan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari- hari. Sehingga dalam setiap

I. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pidana yang bersifat khusus ini akan menunjukan ciri-ciri dan sifatnya yang khas

HAKIKAT DAN PROSEDUR PEMERIKSAAN TINDAK PIDANA RINGAN 1 Oleh: Alvian Solar 2

PENERAPAN PASAL 285 KUHP TENTANG PELAKU TINDAK PIDANA PERKOSAAN DOORTJE D. TURANGAN, SH, MH

Lex Crimen Vol. III/No. 2/April/2014

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008

ANALISA YURIDIS PEMIDANAAN PADA TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR (STUDI KASUS PUTUSAN NO.85/PID.SUS/2014/PN.DPS.

PENGGUNAAN KEKERASAN SECARA BERSAMA DALAM PASAL 170 DAN PASAL 358 KUHP 1 Oleh : Soterio E. M. Maudoma 2

BAB I PENDAHULUAN. Setiap tindak pidana kriminal di samping ada pelaku juga akan

Bab XIV : Kejahatan Terhadap Kesusilaan

Lex Crimen Vol. VI/No. 9/Nov/2017

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

DAFTAR PUSTAKA. Andi Hamzah, Asas - Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008.

BAB I PENDAHULUAN. persoalan yang cukup menyita waktu, khususnya persoalan pribadi yang

Lex et Societatis, Vol. V/No. 1/Jan-Feb/2017

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

Unsur-Unsur Tindak Pidana Pada Kejahatan Terhadap Kesopanan

Lex et Societatis, Vol. V/No. 2/Mar-Apr/2017

Lex Crimen Vol. VI/No. 5/Jul/2017

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

ABSTRAK. Kata kunci : Penerapan sanksi pidana bagi anak, tindak pidana persetubuhan.

Lex Administratum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ada tiga golongan utama teori untuk membenarkan penjatuhan pidana:

I. PENDAHULUAN. dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh dan, berkembang, dan

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum.

ANALISIS TERHADAP VOORGEZETTE HANDELING

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ]

BAB I PENDAHULUAN. suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap

BAB I PENDAHULUAN. mendorong terjadinya krisis moral. Krisis moral ini dipicu oleh ketidakmampuan

BAB II PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA PENCABULAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK A. KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP)

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan suatu aturan hukum tertulis yang disebut pidana. Adapun dapat ditarik kesimpulan tujuan pidana adalah: 2

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Pembuktian dan Hukum Pembuktian

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya aktivitas manusia tersebut harus didukung oleh fasilitas pendukung

BAB II LANDASAN TEORI

BAB IV ANALISIS STUDI KOMPARATIF ANTARA HUKUM POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEDOFILIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, maka

BAB I PENDAHULUAN. dipertegas dalam Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen ke-3 Pasal 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa,

BAB III PENUTUP. mulai dari pembuktian selesai, dilanjutkan dengan pembelaan dari. terdakwa/penasehat hukum, kemudian replik dan duplik.

BAB I PENDAHULUAN. bermasyarakat yang tidak terlepas dari norma-norma yang berlaku di dalam

TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG KEBIJAKAN PENGATURAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI INDONESIA

Transkripsi:

KAJIAN HUKUM TENTANG KEJAHATAN TERHADAP KESOPANAN MENURUT PASAL 285 KUHP 1 Oleh: Vistalio A. Liju 2 ABSTRAK Tujuan dilkaukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaturan kejahatan terhadap kesopanan dalam KUHPidana dan bagaimana penerapan hukum Pasal 285 dalam proses persidangan perkara pidana.. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, maka dapat disimpulkan: 1. Kejahatan kesopanan di bidang kesusilaan adalah kejahatan kesopanan mengenai hal yang berhubungan dengan masalah seksual (disebut kejahatan kesusilaan). 2. Rumusan Undangundang tidak mensyaratkan keharusan adanya unsur kesengajaan pada diri pelaku dalam melakukan perbuatan yang dilarang didalam Pasal 285 KUHP, tetapi dengan dicantumkannya unsur memaksa di dalam rumusan ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 285 KUHP tersebut, kiranya sudah jelas bahwa tindak pidana perkosaan seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 285 KUHP itu harus dilakukan dengan sengaja. Karena seperti yang telah kita ketahui, bahwa tindak pidana perkosaan dalam Pasal 285 KUHP harus dilakukan dengan sengaja, dengan sendirinya unsur kesengajaan tersebut harus dibuktikan baik oleh penuntut umum maupun oleh hakim disidang pengadilan yang memeriksa dan mengadili perkara pelaku yang oleh penuntut umum telah didakwa melanggar larangan yang diatur dalam Pasal 285 KUHP. Kata kunci: Kejahatan, kesopanan PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana kesopanan dibentuk untuk melindungi kepentingan hukum (rechtsbelang) terhadap rasa kesopanan masyarakat (rasa kesusilaan termasuk di dalamnya). Kehidupan sosial manusia dalam pergaulan sesamanya selain dilandasi oleh norma-norma hukum yang mengikat secara hukum, juga dilandasi oleh 1 Artikel Skripsi. Dosen Pembimbing : Dr. Youla O. Aguw, SH, MH; Deizen Rompas, SH, MH 2 Mahasiswa pada Fakultas Hukum Unsrat, NIM. 120711023 norma-norma pergaulan yaitu norma-norma kesopanan. 3 Norma-norma kesopanan berpijak pada tujuan menjaga keseimbangan batin dalam hal rasa kesopanan bagi setiap manusia dalam pergaulan kehidupan bermasyarakat. Patokan patut dan atau tidak patutnya suatu tingkah laku yang dianggap menyerang kepentingan hukum mengenai rasa kesopanan itu tidaklah semata-mata bersifat individual, tetapi lebih ke arah sifat universal walaupun mungkin mengenai suatu hal tertentu lebih terbatas pada lingkungan masyarakat tertentu. Nilai-nilai kesopanan yang dijunjung tinggi oleh masyarakat yang mencerminkan sifat dan karakter suatu lingkungan masyarakat bahkan suatu bangsa (bersifat nasional), telah teradopsi di dalam norma-norma hukum mengenai tindak pidana terhadap kesopanan ini. Dalam usaha negara menjamin terjaganya nilai-nilai kesopanan yang dijunjung tinggi oleh warga masyarakat inilah dibentuk tindak pidana dalam Bab XIV buku II KUHP mengenai kejahatan terhadap kesopanan (disingkat kejahatan kesopanan) dan Bab VI buku III KUHP mengenai pelanggaran terhadap kesopanan (disingkat pelanggaran kesopanan). 4 B. PERUMUSAN MASALAH 1. Bagaimana pengaturan kejahatan terhadap kesopanan dalam KUHPidana? 2. Bagaimana penerapan hukum Pasal 285 dalam proses persidangan perkara pidana? C. METODE PENELITIAN Metode Penelitian yang digunakan dalam menyusun karya ilmiah dalam bentuk Skripsi ini, yakni metode penelitian hukum normatif. PEMBAHASAN A. Tindak Pidana Pencabulan Pengertian perbuatan cabul (ontuchtige handelingen) adalah segala macam wujud perbuatan, baik yang dilakukan pada diri sendiri maupun dilakukan pada orang lain mengenai dan yang berhubungan dengan alat kelamin 3 Adami Chazawi. Tindak Pidana Mengenai Kesopanan. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hal. 1 4 Ibid, hal. 1 164

atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu seksual. KUHP menjelaskan perbuatan cabul sebagai berikut : segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbautan yang keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya: cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, merabaraba buah dada, dsb. Persetubuhan masuk pula dalam pengertian cabul. 5 Lebih tegas Adami Chazawi mengemukakan perbuatan cabul sebagai segala macam wujud perbuatan baik yang dilakukan pada diri sendiri maupun pada orang lain mengenai dan yang berhubungan dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu seksual. Misalnya : mengelus-elus atau menggosok-gosok penis atau vagina, memegang buah dada, mencium mulut seorang perempuan dan sebagainya. 6 Adapun beberapa jenis istilah tentang pencabulan yaitu sebagai berikut : 7 1. Exhibitionism : yaitu sengaja memamerkan alat kelamin kepada orang lain. 2. Voyeurism : yaitu mencium seseorang dengan bernafsu. 3. Fondling : yaitu mengelus/meraba alat kelamin seseorang. 4. Fellatio : yaitu memaksa seseorang untuk melakukan kontak mulut. KUHP menggolongkan tindak pidana pencabulan ke dalam tindak pidana kesusilaan. KUHP belum Mendefinisikan dengan jelas maksud dari pada pencabulan itu sendiri dan terkesan mencampuradukkan pengertiannya dengan perkosaan ataupun persetubuhan, sedangkan dalam konsep KUHP yang baru ditambahkan kata persetubuhan disamping pencabulan, sehingga pencabulan dan persetubuhan dibedakan sehingga yang dimaksud dengan persetubuhan ialah peraduan antara anggota kemaluan laki-laki 5 Adami Chazawi, Kejahatan terhadap tubuh nyawa. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hal.80 6 Ibid, hal. 80. 7 PA.F. Lamintang. Delik-delik Khusus Kejahatan terhadap nyawa Tubuh dan Kesehatan yang membahayakan bagi nyawa Tubuh, Bina Cipta, Bandung, 1985, hal. 12. dengan perempuan yang biasa dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggota kemaluan lakilaki harus masuk ke dalam anggota kemaluan perempuan, sehingga mengeluarkan air mani, sesuai dengan Arriest Hoge Raad 5 Februari 1912 (W, 9292). Dalam pengertian persetubuhan di atas disimpulkan bahwa suatu tindakan dapat dikatakan suatu persetubuhan jika alat kelamin laki-laki masuk ke dalam alat kelamin perempuan sampai mengeluarkan air mani yang dapat mengakibatkan kehamilan. Persetubuhan adalah persentuhan sebelah dalam dari kemaluan si laki-laki dan perempuan, yang pada umumnya dapat menimbulkan kehamilan. Tidak perlu bahwa telah terjadi pengeluaran mani dalam kemaluan si perempuan. Pengertian bersetubuh pada saat ini diartikan bahwa penis telah penestrasi (masuk) ke dalam vagina. 8 Berdasarkan uraian diatas bahwa pengertian bersetubuh berdasarkan dengan yang diungkapkan oleh R.Soesilo karena disini tidak disyaratkan terjadi pengeluaran air mani dari penis laki-laki yang dapat menyebabkan kehamilan. Dengan demikian terlihat jelas perbedaan antara pencabulan dan persetubuhan yaitu jika seseorang melakukan persetubuhan itu sudah termasuk perbuatan cabul sedangkan ketika seseorang melakukan perbuatan cabul, belum dikategorikan telah melakukan persetubuhan karena suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai suatu persetubuhan jika disyaratkan masuknya penis ke dalam vagina perempuan kemudian laki-laki mengeluarkan air mani yang biasanya menyebabkan terjadinya kehamilan sebagai suatu persetubuhan melainkan perbuatan cabul. Selain itu perbuatan cabul tidak menimbulkan kehamilan. 9 Untuk mengetahui unsur-unsur dari perbuatan cabul, penulis akan menjabarkan unsur-unsur dari pasal-pasal yang menyangkut dengan perbuatan cabul. Ketentuan mengenai perbuatan cabul diatur dalam Pasal 289 KUHP sebagai berikut : Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau ancaman 8 Leden Marpaung, Tindak Pidana terhadap Kehormatan, Raja Grafindo, Jakarta, 2008, hal. 53 9 Ibid, hal. 70. 165

kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. Apabila rumusan Pasal 289 KUHP tersebut dirinci, akan terlihat unsur-unsurnya sebagai berikut : 10 1. Perbuatannya : Perbuatan cabul dan memaksa caranya dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan. 2. Objeknya : Seseorang untuk melakukan atau membiarkan melakukan. B. PENERAPAN PASAL 285 KUHP KUHP Indonesia, yang dijadikan acuan utama bagi kalangan praktisi hukum untuk menjaring pelaku kejahatan kekerasan seksual mengandung kekurangan secara substansial dalam hal melindungi korban kejahatan. Korban dalam sisi yuridis ini tidak mendapatkan perlindungan yang istimewa. Meskipun begitu, khusus dalam pembahasan ini, penulis uraikan atau deskripsikan posisi korban kejahatan kekerasan seksual dalam perspektif hukum positif itu (KUHP). Benarkah posisinya tidak begitu diuntungkan secara yuridis? Tindak pidana perkosaan dalam KUHP dapat dibedakan menjadi dua yaitu; tindak pidana perkosaan untuk bersetubuh yang diatur dalam Pasal 285 dan tindak pidana perkosaan untuk berbuat cabul yang diatur dalam Pasal 289. Pasal 285 KUHP, Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia diluar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Berdasarkan rumusan tersebut dapat disimpulkan bahwa unsur yang harus ada untuk adanya tindak pidana perkosaan untuk bersetubuh adalah; 11 (1) barangsiapa, (2) dengan kekerasan, atau (3) dengan ancaman kekerasan, (4) memaksa, (5) 10 Lihat Penjelasan Pasal 289 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. 11 R. Soesilo. Undang-undang Hukum Pidana, serta Komentar-komentarnya lengkap dengan pasal demi pasal, Politea, Bogor, 1974, hal. 182. seorang wanita (diluar perkawinan), (6) bersetubuh. Sanksi hukuman berupa pemidanaan yang terumus dalam Pasal 285 KUHP tersebut menyebutkan bahwa paling lama hukuman yang akan ditanggung oleh pelaku adalah duabelas tahun penjara. Hal ini adalah ancaman hukuman secara maksimal, dan bukan sanksi hukumyang sudah dibakukan harus diterapkan begitu. Sanksi minimalnya tidak ada, sehingga terhadap pelaku dapat diterapkan berapapun lamanya hukuman sesuai dengan selera yang menjatuhkan vonis. Jika kemudian dalam perjalanan sejarah penerapan Pasal 285 oleh hakim, hanya ada beberapa kali putusan maksimal itu diterapkan, maka tidak semata-mata bisa menyalahkan hakimnya, meskipun dalam visi kemanusiaan dan keadilan yang layaknya didapatkan korban, hakim telah bertindak di luar komitmen dan nilai-nilai kemanusiaannya. Pasal 285 KUHP tidak ditegaskan apa yang menjadi unsur kesalahan. Apa Sengaja atau Alpa. Tapi dengan dicantumkannya unsur memaksa kiranya jelas bahwa perkosaan harus dilakukan dengan sengaja. Ketentuan yang mengatur mengenai bentuk perbuatan dan pemidanaannya terdapat dalam pasal 285 KUHP. Dirumuskan dalam pasal tersebut : Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. 12 Berdasarkan rumusan dalam pasal 285 KUHP tersebut di atas, maka dapat diuraikan unsurunsur tindak pidana perkosaan sebagai berikut; 13 a. Barangsiapa b. Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan c. Memaksa d. Seorang wanita bersetubuh dengan dia e. Diluar perkawinan Didalam rumusan Undang-undang tidak mensyaratkan keharusan adanya unsur kesengajaan pada diri pelaku dalam melakukan perbuatan yang dilarang didalam Pasal 285 12 MOeljatno. Kitab Undang-undang Hukum Pidana. (Jakarta : Bumi Aksara, 2007),Pasal 285 KUHP. 13 Ibid, hal. 52. 166

KUHP, tetapi dengan dicantumkannya unsur memaksa di dalam rumusan ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 285 KUHP tersebut, kiranya sudah jelas bahwa tindak pidana perkosaan seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 285 KUHP itu harus dilakukan dengan sengaja. Karena seperti yang telah kita ketahui, bahwa tindak pidana perkosaan dalam Pasal 285 KUHP harus dilakukan dengan sengaja, dengan sendirinya unsur kesengajaan tersebut harus dibuktikan baik oleh penuntut umum maupun oleh hakim disidang pengadilan yang memeriksa dan mengadili perkara pelaku yang oleh penuntut umum telah didakwa melanggar larangan yang diatur dalam Pasal 285 KUHP. 14 Sanksi hukuman berupa pemidanaan yang terumus dalam Pasal 285 KUHP tersebut menyebutkan bahwa paling lama hukuman yang akan ditanggung oleh pelaku adalah dua belas tahun penjara, apabila mengakibatkan matinya perempuan diancam pidana penjara lima belas tahun. Hal ini adalah ancaman hukuman maksimal, dan bukan sanksi hukum yang sudah dibakukan harus ditetapkan begitu. Sanksi minimalnya tidak ada, sehingga terhadap pelaku dapat diterapkan berapapun lamanya hukuman penjara sesuai dengan selera yang menjatuhkan vonis. 15 R. Soesilo mengatakan bahwa yang diancam hukuman dalam Pasal 285 KUHP tentang perkosaan adalah dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengannya. Dari pasal 285 ini juga dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : a. Korban perkosaan harus seorang wanita tanpa batas umur; b. Korban harus mengalami kekerasan atas ancaman kekerasan. Hal ini berarti tidak ada persetujuan dari pihak korban mengenai niat dan tindakan pelaku. 16 Berdasarkan penjelasan di atas jelaslah bahwa perkosaan itu dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan sehingga korban pingsan atau tidak berdaya lagi untuk 14 P.A.F. Lamintang & Theo Lamintang, Op.cit, hal. 97 15 Ibid 16 Mahmud Mulyani, 2008. Criminal Policy : Pendekatan Integral Penal Policy dan Non Penal Policy dalam penanggulangan kejahatan kekerasan, Medan, Penerbit Pustaka Bangsa Press, hal. 43. mengadakan perlawanan terhadap pelaku sebelum maupun sesudah dia diperkosa. Apabila perbuatan itu dilakukan tanpa kekerasan atau ancaman kekerasan, maka perbuatan itu tidak dapat digolongkan kedalam pengertian perkosaan tetapi termasuk dalam pengertian persetubuhan suka sama suka. Rumusan Pasal 285 KUHP tentang larangan perkosaan tersebut dalam kenyataannya tidak relevan dengan makna perbuatan perkosaan itu sendiri. Dalam rumusan tersebut hanya perbuatan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memaksa seorang wanita bersetubuh diluar perkawinan lah yang dikategorikan sebagai perkosaan. Perbuatan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memaksa seorang wanita yang terikat perkawinan untuk melakukan persetubuhan, tidak dapat dikategorikan sebagai perkosaan, padahal pemaksaan atau kekerasan untuk melakukan persetubuhan seharusnya dikategorikan sebagai perbuatan yang dilarang, karena menafsirkan adanya penghargaan atas kemanusiaan seseorang yang paling esensial berupa adanya persetujuan untuk melakukan perbuatan yang teramat intim, baik itu diluar atau didalam perkawinan. Dengan merumuskan hal itu, pasal 285 KUHP telah menyatakan bahwa perempuan yang telah terikat perkawinan tidak lagi memiliki hakekat kemanusiaan untuk melakukan persetujuan persetubuhan, atau tidak perlu lagi dimintai persetujuannya. Tindak pidana penganiayaan istilah yang digunakan KUHP untuk tidak pidana terhadap tubuh. Namun KUHP sendiri tidak memuat arti penganiayaan tersebut. Maksud dari pada penganiayaan ialah kesengajaan menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan luka pada tubuh orang lain. 17 Ketentuan Pasal 351 KUHP secara tegas merumuskan bahwa : 1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah. 2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama lima tahun. 17 Lamintang. Kejahatan terhadap Nyawa dan Tubuh, Jakarta, Sinar Grafika, 2010, hal. 132. 167

3) Jika mengakibatkan mati, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun. 4) Dengan penganiayaan disamakan merusak kesehatan. 5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana. 18 Rumusan dalam ketentuan Pasal 351 KUHP diatas terlihat bahwa rumusan tersebut tidak memberikan kejelasan tentang perbuatan apa yang dimaksudnya. Ketentuan pasal 351 KUHP tersebut hanya merumuskan kualifikasinya saja dan pidana yang diancamkan. Tindak pidana dalam pasal 351 KUHP dikualifikasi sebagai penganiayaan. Adapun unsur-unsur dari penganiayaan sebagaimana yang diatur dalam pasal 351 KUHP adalah sama dengan unsur-unsur penganiayaan pada umumnya: a. Unsur kesengajaan; b. Unsur perbuatan; c. Unsur akibat perbuatan berupa rasa sakit, tidak enak pada tubuh, dan luka tubuh, namun dalam pasal 351 KUHP ini tidak mensyaratkan adanya perubahan rupa atau tubuh pada akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana penganiayaan tersebut. d. Akibat mana menjadi satu-satunya tujuan pelaku. Dengan selesainya pembahasan mengenai pasal 351 ayat (1), maka dibawah ini akan dibahas penganiayaan dalam Pasal 351 ayat (2) yaitu mengakibatkan luka berat: Merujuk pada pengertian penganiayaan dalam Pasal 351 ayat (2) diatas maka terlihat unsur-unsur dalam Pasal 351 ayat (2) hampir sama dengan Pasal 351 ayat (1) KUHP. Perbedaan diantara kedua penganiayaan tersebut terletak pada akibatnya. Penganiayaan biasa dalam Pasal 351 ayat (2), akibat dari perbuatan tersebut harus berupa luka berat. Perbedaan antara luka berat dalam konteks Pasal 351 ayat (2), akibat dari perbuatan tersebut harus berupa luka berat. Perbedaan antara luka berat dalam konteks Pasal 351 ayat (2) dengan luka dalam konteks Pasal 351 ayat (1) adalah secara yuridis formal sebenarnya tidak ada pasal atau ayat yang menunjukkan adanya perbedaan antara kedua istilah tersebut 18 Lihat penjelasan pasal 351 kitab Undang-undang hukum pidana. sebab dalam konteks KUHP, tidak ada batasan tentang apa yang dimaksud dengan luka. KUHP hanya memberikan gambaran tentang apa yang dimaksud dengan luka berat sebagaimana yang diatur dalam Pasal 90 KUHP. Sementara tentang luka sama sekali tidak disinggung. Secara doktrin, istilah luka dalam konteks Pasal 351 ayat (1) KUHP diartikan sebagai luka ringan. Penggunaan istilah luka ringan tersebut atas pertimbangan, bahwa dalam konteks Pasal 351 ayat (2) dikenal istilah luka berat. Dengan demikian, menurut istilah luka dalam konteks pasal 351 ayat (1) KUHP harus diartikan sebagai luka ringan sebagai lawan dari istilah luka berat dalam konteks pasal 351 ayat (2). Dalam tindak pidana perkosaan yang disertai dengan penganiayaan, ada tiga kemungkinan dapat terjadinya tindakan tersebut: 19 a. Penganiayaan sebelum pemerkosaan Dikatakan sebagai penganiayaan sebelum pemerkosaan adalah, apabila seseorang melakukan perbuatan yang dengan sengaja melakukan penganiayaan untuk bersetubuh dengan perempuan yang bukan istrinya diluar perkawinan. Artinya bahwa pelaku sudah ada niat terlebih dahulu ingin melakukan tindakan penganiayaan dan oleh karena itu karena ada kesempatan timbul niat baru dari si pelaku untuk melakukan tindakan perkosaan. b. Penganiayaan pada saat melakukan pemerkosaan Dikatakan sebagai penganiayaan pada saat melakukan perkosaan adalah barang siapa dengan sengaja memaksa melakukan kekerasan dan atau melukai seorang wanita yang bukan istrinya, dalam keadaan tidak berdaya dengan maksud untuk mempermudah melakukan persetubuhan. c. Penganiayaan setelah pemerkosaan Dikatakan sebagai penganiayaan setelah pemerkosaan adalah ketika telah terjadi suatu pemerkosaan yang disertai adanya niat baru dari si pelaku terhadap korban, yang dimana dengan maksud agar memberikan perlakuan baru terhadap 19 Sulistyowati Irianto. Perempuan dan Hukum menuju Hukum yang bersepektif kesetaraan dan keadilan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2006, hal.52. 168

korban atas dasar sikap perlawanan yang ditimbulkan kepada pelaku dari korban misalnya pengancaman dari korban pada pelaku sehingga menimbulkan niat baru dari si pelaku untuk melakukan tindakan penganiayaan. Dari ketiga kemungkinan terjadinya tindak pidana perkosaan yang disertai dengan penganiayaan, terdapat beberapa perbedaan yang dapat disebutkan oleh penyusun yaitu sebagai berikut : 20 a. Dilihat dari adanya niat dari pelaku terhadap korban sebelum dilakukannya tindakan perkosaan dan penganiayaan. b. Dilihat dari adanya perbuatan yang sudah disertai niat dari si pelaku terhadap korban untuk melakukan perkosaan. c. Dilihat dari adanya perbuatan yang sudah disertai niat dari si pelaku terhadap korban melakukan perkosaan ditambah dengan adanya niat baru yang ditimbulkan oleh pelaku terhadap korban untuk melakukan tindakan penganiayaan. Dari hasil uraian di atas, Penulis berpendapat bahwa sistem pemidanaan (the sentencing system) adalah aturan perundangundangan yang berkaitan dengan sanksi dan pemidanaan. Maka pengertian sistem pemidanaan dapat dilihat dari 2(dua) sudut yaitu; 21 1. Dalam arti luas, sistem pemidanaan dilihat dari sudut fungsional, yaitu dari sudut bekerja atau prosesnya. 2. Dalam arti sempit, sistem pemidanaan dilihat dari sudut normative atau substantif, yaitu hanya dilihat dari norma-norma hukum pidana substantif. Sistem pemberian pidana yang digunakan dalam tindak pidana perkosaan yang disertai dengan penganiayaan adalah sistem kumulasi terbatas, yaitu hanya dikenakan satu aturan pidana terberat, dan bilamana berbeda-beda maka dikenakan ketentuan yang memuat pidana pokok yang terberat. Dalam KUHP pasal 65 ayat (1) dan ayat (2) tentang perbarengan perbuatan menyatakan: 1) Dalam hal 20 Ibid, hal. 53. 21 R. Sugandi, KUHP dengan penjelasannya, usaha Nasional. Surabaya, 1980, hal. 12. perbarengan perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri, sehingga merupakan beberapa kejahatan yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis, maka hanya dijatuhkan satu pidana. 2) Maksimum pidana yang dijatuhkan adalah jumlah maksimum pidana yang diancamkan terhadap perbuatan itu, tetapi tidak boleh lebih dari maksimum pidana yang terberat ditambah sepertiga. Penulis berpendapat bahwa bentuk perbuatan dalam tindak pidana perkosaan yang disertai dengan penganiayaan adalah dinyatakan sebagai bentuk perbarengan perbuatan tindak pidana perkosaan yang disertai dengan penganiayaan menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana. PENUTUP A. Kesimpulan 1. Kejahatan kesopanan di bidang kesusilaan adalah kejahatan kesopanan mengenai hal yang berhubungan dengan masalah seksual (disebut kejahatan kesusilaan). 2. Didalam rumusan Undang-undang tidak mensyaratkan keharusan adanya unsur kesengajaan pada diri pelaku dalam melakukan perbuatan yang dilarang didalam Pasal 285 KUHP, tetapi dengan dicantumkannya unsur memaksa di dalam rumusan ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 285 KUHP tersebut, kiranya sudah jelas bahwa tindak pidana perkosaan seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 285 KUHP itu harus dilakukan dengan sengaja. Karena seperti yang telah kita ketahui, bahwa tindak pidana perkosaan dalam Pasal 285 KUHP harus dilakukan dengan sengaja, dengan sendirinya unsur kesengajaan tersebut harus dibuktikan baik oleh penuntut umum maupun oleh hakim disidang pengadilan yang memeriksa dan mengadili perkara pelaku yang oleh penuntut umum telah didakwa melanggar larangan yang diatur dalam Pasal 285 KUHP. B. SARAN 169

1. Dalam pembentukan Kitab Undangundang Hukum Pidana Nasional, delikdelik susila terutama delik susila yang berhubungan dengan seksual masih sangat perlu dipertahankan dan harus disesuaikan dengan perkembangan masyarakat sekarang ini dan haruslah ditentukan ancaman hukuman maksimal seumur hidup dan ancaman hukum minimal dua puluh lima tahun. 2. Kemudian saran menurut pendapat penyusun adalah Pemerintah khususnya aparat penegak hukum yakni Polisi, Pengacara, Jaksa, Hakim maupun lembaga Pemasyarakatan, harus dengan tegas dalam menerapkan aturan atau hukum yang ada untuk memenuhi rasa keadilan yang diinginkan. DAFTAR PUSTAKA Adji Demarseno. Delik-delik Susila dalam Hukum (Acara) Pidana dalam Propeksi. Erlangga. Jakarta, 1985. Amir Ilyas, Hukum Pidana di Indonesia, Ghalia Indonesia, Bandung, 1982. Bawengan Gerson W. Hukum Pidana dalam Teori dan Praktek, Pradnya Paramita, Jakarta, 1985. Chazawi Adami, Tindak Pidana mengenai Kesopanan, Raga, Grafindo Persada, Jakarta, 2005., Kejahatan terhadap Tubuh Nyawa. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005. Hamzah Andi. Azas-azas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1988. Hamel Van. Inleiding tot de studies vanhet nederlaudse strafrecht, de erven F. Bohn, Haarlem, gebs, Belinfante, Sgravenhage, 1927. Hattum Van. Hand-en leerboek van het nederlandse strafrecht 1.5. gouda quint. D. Brouwer en 2004, Ahnhem Martinus Nijhoff Sgravenhage. 1953. Irianto Sulistyowati. Perempuan dan Hukum menuju Hukum yang bersepektif kesetaraan dan keadilan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2006. Satochid Kartanegara. Hukum Pidana, Balai Lektur Mahasiswa, Jakarta, Tanpa Tahun. P.A.F. Lamintang. Dasar-dasar hukum Pidana Indonesia. Citra Aditya, Bandung, 1997.. Delik-delik Khusus Kejahatan terhadap nyawa Tubuh dan Kesehatan yang membahayakan bagi nyawa Tubuh, Bina Cipta, Bandung, 1985. Marpaung Leden. Tindak Pidana terhadap Kehormatan, Raja Grafindo, Jakarta, 2008. Mulyani Mahmud. Criminal Policy, Pendekatan internal Penal Policy dan Non Penal Policy dalam penanggulangan kejahatan kekerasan, Pustaka bangsa Press, Jakarta, 1998. Moeljatno. Azas-asas Hukum Pidana. Bina Aksara, Jakarta, 1983. Marzuki Suparman (et.al). Pelecehan Seksual, (Makalah) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 1998. Prodjodikoro Wirjono. Azas-azas Hukum Pidana, Eresco, Bandung, 1980. Poernomo Bambang. Azas-azas Hukum Pidana, Ghara Indonesia, Yogyakarta, 1978. Pompe WPJ. Handboela van het Nederlandse strafrecht N.V. Uitgeven psmaat sehappij WEJ. Tjeenk-Willink Zwolle, 1959. Soekanto Soerjono & Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif, suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada Jakarta, 2004. Suringa Hazewinkel. Inleiding tot de Studie vanhet nederlandse strafreeht, HD. Tjeenk Willink & 200 n haarlem, 1953. Simon, D. Leerboek Van Het Nederlandse Strafredet, Noordhoff N.V. Groningen- Batavia, 1973. Soesilo R. KUHP, serta Komentar-komentar lengkap dengan pasal dari pasal, Politea, Bogor. 1974. R. Sugandi, KUHP dengan penjelasannya, usaha Nasional. Surabaya, 1980 Wahid Abdul & Muhammad Irfan. Perlindungan terhadap Korban Kekerasan Seksual Advokasi atas Hak Azasi Perempuan. Refika aditanma, Bandung, 2001. 170