BAB 2 TEORI DASAR. 2.1 Pekerjaan Survei Hidrografi

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 4 ANALISIS PELAKSANAAN PERENCANAAN ALUR PELAYARAN

BAB 3 PENGAMBILAN DATA DAN PENGOLAHAN DATA SURVEI HIDROGRAFI UNTUK PERENCANAAN ALUR PELAYARAN

SPESIFIKASI PEKERJAAN SURVEI HIDROGRAFI Jurusan Survei dan Pemetaan UNIVERSITAS INDO GLOBAL MANDIRI

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Pembuatan Alur Pelayaran dalam Rencana Pelabuhan Marina Pantai Boom, Banyuwangi

PROSES DAN TIPE PASANG SURUT

TERBATAS 1 BAB II KETENTUAN SURVEI HIDROGRAFI. Tabel 1. Daftar Standard Minimum untuk Survei Hidrografi

BAB III PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN Data survey Hidrografi

Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. Nilai PASANG SURUT. Oleh. Nama : NIM :

PEKERJAAN SURVEI HIDROGRAFI DAN PERENCANAAN ALUR PELAYARAN DALAM USAHA TRANSPORTASI HASIL PERTAMBANGAN BATUBARA

BAB II SURVEI LOKASI UNTUK PELETAKAN ANJUNGAN EKSPLORASI MINYAK LEPAS PANTAI

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

PROSES DAN TIPE PASANG SURUT

Bab III METODOLOGI PENELITIAN. Diagram alur perhitungan struktur dermaga dan fasilitas

BAB 2 DATA DAN METODA

BAB III KOREKSI PASUT UNTUK MENUJU SURVEI BATIMETRIK REAL TIME

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1

Pengertian Pasang Surut

STUDI PENENTUAN DRAFT DAN LEBAR IDEAL KAPAL TERHADAP ALUR PELAYARAN (Studi Kasus: Alur Pelayaran Barat Surabaya)

BAB III 3. METODOLOGI

BAB 3 PENENTUAN POSISI DAN APLIKASI ROV

SURVEI HIDROGRAFI PENGUKURAN DETAIL SITUASI DAN GARIS PANTAI. Oleh: Andri Oktriansyah

PERTEMUAN IV SURVEI HIDROGRAFI. Survei dan Pemetaan Universitas IGM Palembang

BAB II LANDASAN TEORI SUNGAI DAN PASANG SURUT

OPTIMALISASI DERMAGA PELABUHAN BAJOE KABUPATEN BONE

KARAKTERISTIK PASANG SURUT DI PERAIRAN KALIANGET KEBUPATEN SUMENEP

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

Bathymetry Mapping and Tide Analysis for Determining Floor Elevation and 136 Dock Length at the Mahakam River Estuary, Sanga-Sanga, East Kalimantan

Puncak gelombang disebut pasang tinggi dan lembah gelombang disebut pasang rendah.

BAB II LiNGKUP PEKERJAAN PeNGERUKAN ALUR PELAYARAN PELABUHAN

BAB 4 ANALISIS. Gambar 4.1 Indikator Layar ROV (Sumber: Rozi, Fakhrul )

BAB III PENGAMBILAN DAN PENGOLAHAN DATA

PEMETAAN KEDALAMAN PERAIRAN SEBAGAI DASAR EVALUASI ALUR PELAYARAN PLTU SUMURADEM KABUPATEN INDRAMAYU

BAB I PENDAHULUAN I. 1 Latar Belakang

3 Kondisi Fisik Lokasi Studi

Bray, R.N. Dredging a Hand Book For Engineer. Edward Arnold Ltd. London

KL 4099 Tugas Akhir. Desain Pengamananan Pantai Manokwari dan Pantai Pulau Mansinam Kabupaten Manokwari. Bab 4 ANALISA HIDRO-OSEANOGRAFI

PENGUKURAN LOW WATER SPRING (LWS) DAN HIGH WATER SPRING (HWS) LAUT DENGAN METODE BATHIMETRIC DAN METODE ADMIRALTY

PENENTUAN DAERAH REKLAMASI DILIHAT DARI GENANGAN ROB AKIBAT PENGARUH PASANG SURUT DI JAKARTA UTARA

Gambar 2.1 Peta batimetri Labuan

BAB II METODE PELAKSANAAN SURVEY BATHIMETRI

Jurnal Geodesi Undip Januari2014

SURVEI HIDROGRAFI. Tahapan Perencanaan Survei Bathymetri. Jurusan Survei dan Pemetaan Universitas Indo Global Mandiri Palembang

KL 4099 Tugas Akhir. Desain Pengamananan Pantai Manokwari dan Pantai Pulau Mansinam Kabupaten Manokwari. Bab 1 PENDAHULUAN

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 2, Nomor 3, Tahun 2013, Halaman Online di :

ANALISIS PASANG SURUT PERAIRAN MUARA SUNGAI MESJID DUMAI ABSTRACT. Keywords: Tidal range, harmonic analyze, Formzahl constant

PERANAN SURVEI HIDROGRAFI UNTUK PERENCANAAN LOKASI PEMBANGUNAN PELABUHAN

Perbandingan Akurasi Prediksi Pasang Surut Antara Metode Admiralty dan Metode Least Square

BAB I. PENDAHULUAN. Kota Semarang berada pada koordinat LS s.d LS dan

BAB III PERENCANAAN PERAIRAN PELABUHAN

Pengujian Ketelitian Hasil Pengamatan Pasang Surut dengan Sensor Ultrasonik (Studi Kasus: Desa Ujung Alang, Kampung Laut, Cilacap)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I Elevasi Puncak Dermaga... 31

BAB II PENENTUAN BATAS LAUT DAERAH

STUDI PEMETAAN BATIMETRI DAN ANALISIS KOMPONEN PASANG SURUT UNTUK PENENTUAN ALUR PELAYARAN DI PERAIRAN PULAU GENTING, KARIMUNJAWA

TIPE DERMAGA. Dari bentuk bangunannya, dermaga dibagi menjadi dua, yaitu

Pengamatan Pasang Surut Air Laut Sesaat Menggunakan GPS Metode Kinematik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 4, Nomor 1, Tahun 2015, Halaman Online di :

STUDI BATIMETRI UNTUK MENENTUKAN KEDALAMAN TAMBAH KOLAM DERMAGA PERAIRAN SANTOLO GARUT

Simulasi pemodelan arus pasang surut di kolam Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta menggunakan perangkat lunak SMS 8.1 (Surface-water Modeling System 8.

PENGARUH SIMULASI AWAL DATA PENGAMATAN TERHADAP EFEKTIVITAS PREDIKSI PASANG SURUT METODE ADMIRALTY (STUDI KASUS PELABUHAN DUMAI)

2. TINJAUAN PUSTAKA. utara. Kawasan pesisir sepanjang perairan Pemaron merupakan kawasan pantai

PENGANTAR OCEANOGRAFI. Disusun Oleh : ARINI QURRATA A YUN H

Studi Pemetaan Batimetri dan Analisis Komponen Pasang Surut Untuk Menentukan Elevasi dan Panjang Lantai Dermaga di Perairan Keling, Kabupaten Jepara

III-11. Gambar III.13 Pengukuran arus transek pada kondisi menuju surut

PENDAHULUAN. I.2 Tujuan

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3.

BAB 1 Pendahuluan 1.1.Latar Belakang

Definisi Arus. Pergerakkan horizontal massa air. Penyebab

ANALISA BATIMETRI DI PERAIRAN DERMAGA KIPI MALOY KALIMANTAN TIMUR

KONDISI BATIMETRI DAN SEDIMEN DASAR PERAIRAN DI KOLAM PELABUHAN CARGO PT. PERTAMINA RU VI BALONGAN, JAWA BARAT

PENGUMPULAN DATA DAN ANALISA

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM PASANG SURUT

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016, Halaman Online di :

Oleh : Ida Ayu Rachmayanti, Yuwono, Danar Guruh. Program Studi Teknik Geomatika ITS Sukolilo, Surabaya

Perencanaan Layout dan Penampang Breakwater untuk Dermaga Curah Wonogiri

2. TINJAUAN PUSTAKA. Letak geografis Perairan Teluk Bone berbatasan dengan Provinsi Sulawesi

LAPORAN TUGAS AKHIR (KL-40Z0) Perancangan Dermaga dan Trestle Tipe Deck On Pile di Pelabuhan Garongkong, Propinsi Sulawesi Selatan. Bab 1.

BAB IV HASIL DAN ANALISIS. yang digunakan dalam perencanaan akan dijabarkan di bawah ini :

Jurnal Geodesi Undip Oktober 2013

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. bentuk spasial yang diwujudkan dalam simbol-simbol berupa titik, garis, area, dan

Analisis Penentuan Debit dan Muka Air Rencana Bagi Perencanaan Dermaga dan Alur Pelayaran Batubara di Sungai Eilanden, Papua

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Simulasi Pemodelan Arus Pasang Surut di Luar Kolam Pelabuhan Tanjung Priok Menggunakan Perangkat Lunak SMS 8.1

Laut dalam dengan kedalaman -20 m memanjang hingga 10 km ke arah timur laut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang langsung bertemu dengan laut, sedangkan estuari adalah bagian dari sungai

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Geodesi dan Keterkaitannya dengan Geospasial

II TINJAUAN PUSTAKA Pas Pa ang Surut Teor 1 Te Pembentukan Pasut a. Teor i Kesetimbangan

KERANGKA ACUAN KERJA (KAK) STUDI KELAYAKAN PEMBANGUNAN BREAKWATER DI PELABUHAN BANTAENG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pendangkalan Alur Pelayaran di Pelabuhan Pulau Baai Bengkulu

PELABUHAN CPO DI LUBUK GAUNG

BAB II DASAR TEORI. Berikut beberapa pengertian dan hal-hal yang berkaitan dengan pasut laut [Djunarsjah, 2005]:

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Prosiding PIT VII ISOI 2010 ISBN : Halaman POLA SPASIAL KEDALAMAN PERAIRAN DI TELUK BUNGUS, KOTA PADANG

URGENSI PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS LAUT DALAM MENGHADAPI OTONOMI DAERAH DAN GLOBALISASI. Oleh: Nanin Trianawati Sugito*)

III METODE PENELITIAN

Transkripsi:

BAB 2 TEORI DASAR Pada bab ini akan dijelaskan uraian mengenai pekerjaan yang dilaksanakan dalam rangka penelitian Tugas Akhir ini, meliputi survei hidrografi yang terdiri dari: survei batimetri atau pemeruman, pengamatan tinggi muka sungai. Bab ini juga akan menjelaskan ketentuan-ketentuan seperti spesifikasi alur pelayaran dan jenis-jenis kegiatan pemeliharaan yang bisa dilakukan. 2.1 Pekerjaan Survei Hidrografi Pada Tugas Akhir ini, peneliti dipersilahkan mengikuti kegiatan survei yang rutin dilakukan oleh PT BERAU COAL dan dibawahi oleh Department Technical Services. Survei batimetri yang dilaksanakan berlokasi di Sungai Kelay dan pengamatan pasang surut yang dilaksanakan selama 29 hari di dermaga kantor utama PT BERAU COAL, Tanjung Redeb. Survei Batimetri adalah kegiatan yang dilakukan untuk menunjang kegiatan eksplorasi yang dilakukan oleh PT BERAU COAL, tujuan dilakukannya survei batimetri ini adalah untuk mengetahui kedalaman dasar sungai terhadap chart datum yang telah didefinisikan sebelumnya. Pada kegiatan survei lapangan, hal utama yang dilakukan adalah kegiatan pengambilan data lapangan, data ini umumnya diolah setelah proses pengambilan data selesai. Oleh karena itu, untuk mendapatkan hasil pengolahan yang baik, diperlukan metode pengambilan data yang baik pula. Dalam menentukan metode pengambilan data sangat terkait dengan tujuan yang ingin dicapai, konsep pengolahan dan teknologi yang digunakan. Pada kegiatan Tugas Akhir ini, data yang diambil adalah data dari kegiatan batimetri lalu dikoreksikan dengan data pengamatan muka sungai yang diamati selama survei berlangsung. Data pengamatan tinggi muka sungai dilakukan selama 29 hari di dermaga kantor utama PT BERAU COAL, Tanjung Redeb, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. 6

2.1.1 Pengamatan Tinggi Muka Sungai Variasi ketinggian muka sungai sejatinya hampir sama dengan pasang surut di laut, namun memiliki beberapa perbedaan dari segi tenaga penggerak dan variasi temporalnya. Sesuai dengan karakteristik alam di daerah kabupaten Berau, Kalimantan Timur yang mempunyai banyak sungai yang sangat lebar dan luas, sehingga pengaruh pasang surut air laut akan besar pengaruhnya terhadap tinggi muka sungai yang akan diamati. Maka pengamatan tinggi muka sungai dilakukan dengan menggunakan metode yang mirip dengan pengamatan pasang surut di laut dengan menambahkan faktor-faktor lain seperti pengaruh pasut laut, curah hujan, iklim, dan lebar sungai, berikut adalah pengertian pasut dan metode yang digunakan dalam pengamatan tinggi muka sungai. 2.1.1.1 Pengertian Pasang Surut Pasang surut laut adalah fenomena naik dan turunnya muka laut yang terlihat dari adanya arus laut yang bolak balik secara periodik / harmonik akibat adanya gaya pembangkit pasut, dalam keadaan perairan laut faktor yang mempengaruhi terjadinya pasang surut adalah gaya gravitasi yang diakibatkan posisi bumi terhadap bulan dan matahari (Djunarsjah, 2005). Posisi bumi terhadap bulan dan matahari akan menyebabkan perbedaan tinggi permukaan air laut. Ketika kedudukan matahari, bumi, dan bulan berada dalam satu garis maka akan terjadi pasang maksimum di titik yang berada dalam garis kedudukan bumi, bulan, dan matahari. Fenomena pasut pada kedudukan ini disebut dengan spring tide atau pasut perbani, fenomena ini terjadi dua kali setiap bulan, yaitu pada saat bulan baru (new moon) dan bulan purnama (full moon) seperti terlihat pada gambar 2.1. 7

Gambar 2.1 Spring Tide (sumber : www.bayoffundy.com) Ketika posisi matahari tegak lurus dengan sumbu bumi-bulan, maka akan terjadi pasut minimum pada titik di permukaan bumi yang tegak lurus sumbu bumi-bulan. Fenomena ini terjadi di perempat bulan awal dan perempat bulan akhir, fenomena pasut seperti ini disebut dengan neap tide atau pasut mati seperti terlihat pada gambar 2.2. Periode ini akan berlangsung dua kali setiap bulan, oleh karena itu sebaiknya dilaksanakan pengukuran selama 29 hari dengan interval waktu pengukuran maksimal satu jam, untuk dapat melihat 2 kali fenomena pasut perbani dan pasut mati agar dapat dianalisis karakteristik pasang surut di suatu daerah dengan lebih teliti. Gambar 2.2 Neap Tide (sumber : www.bayoffundy.com) 2.1.1.2 Metode yang Digunakan Pengamatan tinggi muka sungai bertujuan untuk mencatat atau merekam gerakan vertikal permukaan air sungai yang terjadi secara periodik dengan menggunakan 8

beberapa metode. Hasil data tinggi muka air yang diamati pada rentang waktu tertentu akan menghasilkan muka sungai rata-rata. Permukaan ini dapat dipakai sebagai tinggi nol yang dijadikan sebagai referensi (datum) vertikal dalam penentuan kedalaman suatu titik. Data tinggi muka sungai dengan kurun waktu yang berbeda dapat menghasilkan informasi dan tujuan yang berbeda pula. Secara umum, informasi yang ingin didapat dari data tinggi muka sungai adalah tipe tinggi muka sungai, dan datum vertikal sungai tersebut. Pada kasus ini, tujuan yang ingin dicapai pada pengamatan tinggi muka sungai adalah untuk menentukan bidang referensi datum vertikal. Pada umumnya bidang referensi vertikal untuk pengukuran di darat adalah MSL (Mean Sea Level) atau MWL (Mean Water Level), sedangkan bidang referensi vertikal untuk pengukuran di laut adalah MSL/MWL dan Chart Datum, namun mengingat maksud dan tujuan dari survei hidrografi ini adalah untuk perencanaan alur pelayaran aman pada perairan sungai, maka bidang referensi lain yang dapat digunakan beserta hubungannya dengan muka surutan (chart datum) sebagai pedoman dalam perencanaan pelabuhan seperti digambarkan pada gambar 2.3 dibawah ini. ΔH Gambar 2.3 Hubungan Antara bidang referensi, dan Chart Datum 9

Keterangan : 1. HHWL (Highest High Water Level / Muka Air Tinggi Tertinggi) adalah air tertinggi pada saat pasang surut purnama atau bulan mati. 2. MHWL (Mean High Water Level / Muka Air Tinggi Rerata) adalah rerata dari muka air tinggi selama periode 18.6 tahun. 3. Muka Air Saat (t) adalah ketinggian muka air saat dilaksanakannya pembacaan ukuran saat (t) 4. MWL (Mean Water Level / Muka Air Rerata) adalah muka air rerata antara muka air tinggi rerata dan muka air rendah rerata. Elevasi ini digunakan sebagai referensi untuk elevasi di daratan. 5. MLWL (Mean Low Water Level / Muka Air Rendah Rerata ) adalah rerata dari muka air rendah selama periode 18.6 tahun. 6. LLWL (Lowest Low Water Level / Muka Air Rendah Terendah) adalah air terendah pada saat pasang surut purnama atau bulan mati. 7. CD (Chart Datum), adalah muka surutan air dimana ketinggian air didefinisikan dalam kondisi terendah. 8. BM : Bench mark 9. H BM : tinggi Bench mark terhadap MWL 10. H(t) : tinggi muka air saat (t) 11. ΔH : selisih tinggi antara BM dan Rambu ukur dengan menggunakan waterpass 12. So : Tinggi muka sungai rata-rata 13. Zo : Kedalaman muka surutan (chart datum) Metode yang digunakan untuk perhitungan bidang referensi di atas adalah menggunakan metode Admiralty untuk mendapatkan konstanta harmonik melalui persamaan variansi tinggi muka sungai dengan menggunakan persamaan di bawah ini: 10

dimana : A (t) = Amplitudo S 0 = Tinggi muka sungai rata-rata A n = Amplitudo komponen harmonis tinggi muka sungai. G n = Fase komponen tinggi muka sungai n = Konstanta yang diperoleh dari hasil perhitungan astronomis t = waktu Penentuan referensi tinggi dari data pasang surut ditentukan dengan rumus-rumus sebagai berikut (Surimiharja, 1997) : MWL = S 0 HHWL = S 0 +(M2+S2)+(O1+K1) LLWL = S 0 -(M2+S2)-(O1+K1) dimana : O 1 : unsur tinggi muka air tunggal utama yang disebabkan oleh pasut dengan gaya tarik bulan K 1 : unsur tinggi muka air tunggal yang disebabkan oleh pasut dengan gaya tarik matahari M 2 : unsur tinggi muka air ganda utama yang disebabkan oleh pasut dengan gaya tarik bulan S 2 : unsur tinggi muka air ganda utama yang disebabkan oleh pasut dengan gaya tarik matahari Lalu setelah didapatkan ketinggian bidang referensi yang diinginkan, selanjutnya sudah dapat dilaksanakan survei batimetri dengan melakukan pengamatan tinggi muka sungai kembali saat survei batimetri dilangsungkan. 11

2.1.2 Survei Batimetri Survei batimetri adalah proses penggambaran garis-garis kontur kedalaman dasar perairan yang meliputi pengukuran, pengolahan, hingga visualisasinya. Pada survei batimetri akan didapatkan garis-garis kontur kedalaman, dimana garis-garis tersebut didapat dengan menginterpolasikan titik-titik pengukuran kedalaman yang tersebar pada lokasi yang dikaji (Djunarsjah, 2005). Selain informasi kedalaman, dibutuhkan juga informasi posisi dari titik kedalaman tersebut. Kegiatan penentuan posisi dan penentuan kedalaman dari suatu titik harus dilakukan dalam waktu yang bersamaan, dengan adanya posisi dan kedalaman dari posisi tersebut, kita dapat membangun topografi dari dasar perairan. Pekerjaan penentuan posisi beserta kedalamannya umumnya disebut dengan kegiatan pemeruman. Untuk menentukan sebuah kedalaman, diperlukan suatu bidang referensi kedalaman, pemilihan bidang referensi bergantung pada maksud dan tujuan dari masing-masing aplikasi seperti perencanaan, dan perancangan pelabuhan, keselamatan pelayaran, dan lain-lain. Bidang referensi yang digunakan dalam kegiatan pemeruman kali ini adalah muka sungai rata-rata dan Lowest Low Water Level (LLWL) dikarenakan hasil survei ini akan dipakai untuk kegiatan keselamatan dan perawatan alur pelayaran. Untuk memperoleh kedalaman yang bereferensikan terhadap datum vertikal, selama kegiatan survei batimetri harus dilakukan pengamatan tinggi muka sungai. Kedudukan muka air yang selalu bevariasi akan menghasilkan kedalaman sesaat pada waktu tertentu, dengan melakukan pengamatan tinggi muka sungai pada waktu yang sama dengan kegiatan penentuan kedalaman, maka kita dapat mereduksi data ukuran kedalaman agar dapat mengacu terhadap datum vertikal yang telah disepakati sebelumnya. 2.1.2.1 Tujuan Kegiatan Survei Batimetri Kegiatan batimetri yang dilakukan di PT BERAU COAL bertempat di sungai dan kolam atau danau buatan, hasil dari survei batimetri digunakan untuk mengetahui topografi dasar perairan, salah satu aplikasi dari survei ini adalah dalam keperluan 12

pengerukan (dredging), baik itu untuk keamanan pelayaran, perencanaan pelabuhan, penentuan tempat parkir kendaraan sungai, untuk pemantauan pergerakan sedimentasi di dasar sungai dan lain-lain 2.1.2.2 Metode yang Digunakan Pengukuran kedalaman dan penentuan posisi merupakan bagian terpenting dalam kegiatan pemeruman, metode yang digunakan dalam kegiatan pemeruman pada Tugas Akhir ini adalah metode akustik dengan menggunakan Single-Beam Echosounder. Pengukuran kedalaman menggunakan metode akustik merupakan metode yang paling populer dalam dunia hidrografi pada saat ini. Gelombang akustik dapat merambat dengan lebih baik pada medium air dibandingkan pada medium udara, sehingga gelombang ini efektif digunakan dalam penentuan kedalaman air. Metode ini hanya menerapkan konsep fisika sederhana dalam menentukan jarak menggunakan gelombang, jarak dasar perairan relatif terhadap sumber gelombang dengan rumus (Djunarsjah, 2005): d u 1 v t 2 Dimana : du = kedalaman hasil ukuran v = kecepatan suara dalam air t = selisih waktu pengiriman dan penerimaan sinyal Pada proses peremuman, single-beam echosounder mengirimkan sebuah gelombang suara yang merambat melalui medium dan memantulkan kembali gelombang tersebut setelah menyentuh dasar perairan. Perbedaan intensitas dan waktu tempuh gelombang saat gelombang dipancarkan dan diterima kembali menjadi hal utama yang diukur dalam proses pengukuran batimetri menggunakan metode akustik, gambar pengukuran kedalaman menggunakan metode akustik dengan alat singlebeam echosounder dapat dilihat pada gambar 2.4. 13

Gambar 2.4 Pengukuran Kedalaman Secara Akustik (Single-Beam Echosounder ) (sumber : www.bayoffundy.com) Dalam penentuan posisi secara horisontal, digunakan system Global Positining System (GPS) sebagai teknologi penentuan posisi dari kedalaman, adapun metode penentuan posisi horisontal yang digunakan ialah Real Time Kinematik GPS atau RTK-GPS. 2.1.3 Penentuan Posisi Horisontal Menggunakan RTK- GPS Sistem RTK (Real-Time Kinematic) adalah sistem penentuan posisi real-time secara differensial yang menggunakan data fase (Abidin, ZH. 2006) Sistem ini merupakan sistem penentuan posisi real-time secara diferensial yang menggunakan lebih dari satu antena GPS sekaligus. Dimana satu antena digunakan sebagai stasiun referensi dan antena lainnya dipasang pada wahana bergerak atau rover. Sistem ini dapat disebut real-time karena stasiun monitor GPS mengirimkan data koreksi ke wahana bergerak atau rover secara real-time menggunakan sistem komunikasi data tertentu. Melalui gelombang radio koreksi ini dikirimkan setiap saat dari stasiun monitor ke stasiun rover melalui antena differensial untuk kemudian di aplikasikan pada tiap sinyal satelit yang diterima oleh rover, seperti terlihat pada gambar 2.5. Untuk metode Real Time Kinematik memiliki ketelitian yang sangat tinggi yang dapat mencapai 10 cm. Dengan cara ini maka secara real time nilai koordinat rover akan dapat ditentukan untuk penentuan posisi pada pekerjaan survei hidrografi. 14

Satelit GPS Stasiun Referensi Sinyal Frekuensi Radio Rover Gambar 2.5 Metode Real Time Kinematic GPS (RTK-GPS) 2.2 Spesifikasi Alur Pelayaran Keselamatan pelayaran adalah hal yang paling diutamakan dalam kegiatan transportasi hasil batubara. Alur pelayaran di pelabuhan sungai ini tidak dapat terlepas dari pekerjaan survei hidrografi. Oleh karena itu, kedalaman, panjang, dan lebar alur pelayaran menjadi salah satu persyaratan navigasi yang penting, hal ini tentu saja dipengaruhi oleh kondisi fisik alam (kondisi sungai, iklim, cuaca, dan karakteristik sungai). Agar alur pelayaran sungai dapat berfungsi dengan baik dan aman, maka diperlukan sebuah kegiatan pemeliharaan secara berkala yang diperlukan karena kedalaman sungai cenderung berubah-ubah (Kramadibrata, 2002). Berdasarkan hasil konferensi International Association of Ports and Harbours (IAPH) Juni 1983 di Vancouver, Kanada, merekomendasikan bahwa pada umumnya seluruh pelabuhan harus melakukan kegiatan pemeliharaan alur pelayaran secara kontinu (terus-menerus) di sepanjang alur pelayaran untuk mengakomodasikan kapal-kapal yang masuk dan menjaga keamanan serta keselamatan pelayaran agar sesuai dengan persyaratan navigasi yang baik dan benar. Jenis pelayaran sungai yang relatif dilewati oleh kapal-kapal kecil menyebabkan spesifikasi alur ini menjadi tidak terlalu diperhatikan. Namun mengingat akan diadakannya sebuah kegiatan transportasi batubara yang memerlukan kapal-kapal yang berdimensi besar, spesifikasi ini menjadi penting dan harus diperhatikan dalam rangka menciptakan alur pelayaran yang aman. 15

Pertama-tama dijelaskan terlebih dahulu gambaran mengenai jenis-jenis kapal yang akan melewati daerah Sungai Kelay, Berau, Kalimantan Timur. 2.2.1 Jenis-Jenis Kapal Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya untuk menentukan spesifikasi alur pelayaran sungai, perlu diketahui dimensi dari kapal yang akan melewati wilayah perairan tersebut. Dimensi ini meliputi panjang, lebar, dan batas kedalaman (draft) dari kapal tersebut, jenis kapal yang biasa digunakan oleh PT BERAU COAL dalam kegiatan transportasi hasil pertambangan batubara diantaranya adalah (Shipping Dept. PT BERAU COAL): 1. Kapal Tongkang (Barge) Kapal tongkang adalah kapal yang tidak memiliki mesin dan awak, kapal ini difokuskan untuk mengangkut muatan dalam jumlah besar, terdapat dua jenis dimensi dari kapal tongkang yang digunakan oleh PT BERAU COAL yaitu (Shipping Dept. PT BERAU COAL): a) Kapal tongkang besar (300 ft): Nama : RMN 365 Panjang : 91.44 m Lebar : 24.38 m Draft maksimum : 5.49 m Kapasitas kargo : 7500 MT b) Kapal tongkang sedang (270 ft) Nama : RMN 2703 Panjang : 79.01 m Lebar : 21.4 m Draft maksimum : 4.9 m Kapasitas Kargo : 5550 MT Penggunaan tongkang ini selalu disertai dengan penggunaan kapal tunda (tugboat) yang berfungsi untuk menarik dan mengarahkan kapal tongkang menuju tempat yang diinginkan. 16

Salah satu jenis kapal tongkang dapat dilihat pada gambar 2.6. Gambar 2.6 Kapal Tongkang RMN 365 (Sumber : PT BERAU COAL) 2. Kapal Tunda (Tugboat) Kapal tunda ini digunakan sebagai kapal penggerak dari sebuah kapal tongkang, biasanya satu kapal tongkang dapat digerakkan oleh 2 kapal tunda sekaligus. Jenis dan dimensi dari kapal tunda yang digunakan adalah (Shipping Dept. PT BERAU COAL): a) Nama : KSA 12 b) Panjang : 25.44 m c) Lebar : 7.75 m d) Draft maksimum : 3.55 m Salah satu jenis kapal tunda yang digunakan dapat dilihat pada gambar 2.7. Gambar 2.7 Kapal Tunda KSA 12 (Sumber : PT BERAU COAL) 17

Setelah diketahui spesifikasi dan dimensi dari kapal yang akan digunakan, untuk mendapatkan sebuah spesifikasi alur pelayaran yang aman, dibutuhkan informasi mengenai kedalaman, dan lebar alur pelayaran yang sudah ada pada sungai tersebut. Berikut adalah beberapa metode dan faktor-faktor yang digunakan untuk mendesain alur pelayaran. 2.2.2 Kedalaman Alur Pelayaran Setiap pelabuhan memiliki standar alur pelayaran yang berbeda-beda, lebar dan kedalaman alur pelayaran merupakan faktor yang sangat penting dalam standardisasi pelabuhan. Nilai kedalaman tersebut tidak boleh kurang dari ukuran draft kapal yang melewati alur pelayaran tersebut, sehingga setiap pelabuhan memiliki klasifikasi tersendiri bagi kapal-kapal yang akan melewati alur pelayaran pelabuhan. Untuk mendapatkan kondisi operasi yang ideal, kedalaman air di alur pelayaran harus cukup besar untuk memungkinkan pelayaran pada muka air rendah terendah (LLWL) dengan kapal bermuatan maksimum, atau kedalaman alur harus lebih besar dibandingkan dengan batas muatan kapal terbesar yang melewatinya. Selain faktorfaktor tersebut, ada beberapa hal lain yang harus diperhatikan untuk menentukan draft kedalaman pelabuhan. Kedalaman alur pelayaran secara umum dapat ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Kramadibrata, 2002): H = d + G + R + P Dimana: H = Kedalaman alur d = Draft kapal G = Gerak vertikal kapal karena gelombang dan squat R = Ruang bebas bersih untuk alur sebesar 10%-15% dari draft kapal P = Ketelitian pengukuran Secara grafis perhitungan kedalaman alur pelayaran digambarkan pada gambar 2.8. 18

Permukaan Air Rendah Terendah d H G R P Gambar 2.8 Skema penentuan kedalaman alur pelayaran (Sumber : Soedjono Kramadibrata) 2.2.3 Lebar Alur Pelayaran Pada dasarnya, faktor-faktor yang mempengaruhi lebar alur pelayaran agar dapat dilalui kapal laut dengan aman diantaranya adalah jenis lalu-lintas (alur pelayaran satu arah dan dua arah), ukuran kapal, dan sudut pembelokan air. Alur pelayaran satu arah (gambar 2.9) dan alur pelayaran dua arah (gambar 2.10) memiliki geometri lebar alur seperti terlihat pada gambar 2.9 dan gambar 2.10 (Kramadibrata,2002) A C A D 1 Gambar 2.9 Lebar alur pelayaran satu arah (Sumber : Soedjono Kramadibrata) 19

A C E C A D 2 Gambar 2.10 Lebar alur pelayaran dua arah (Sumber : Soedjono Kramadibrata) Keterangan: A : Faktor pengaman antara sisi alur sebesar 1.5 sampai 2 kali lebar kapal (B) B : Lebar kapal yang direncanakan melewati alur pelayaran C : Lebar untuk pergerakan horisontal kapal yang disebabkan alur pelayaran yang tidak searah dengan arus air, sebesar 1.6 sampai 2 kali lebar kapal (B) D1 : Lebar total alur pelayaran satu arah sebesar 4.6 sampai 6 kali lebar kapal D2 : Lebar total alur pelayaran dua arah sebesar 6.2 sampai 9 kali lebar kapal Selain dari kurangnya lebar, atau kedalaman sungai, terdapat beberapa faktor lainnya yang dapat mengganggu aktifitas pelayaran untuk transportasi batubara. Jenis dari bahaya ini dapat disebut dengan hambatan pelayaran sungai. 2.3 Hambatan Pelayaran Sungai Hambatan pelayaran sungai adalah hal-hal yang dapat mengganggu aktifitas pelayaran di sungai, hal ini dapat terjadi karena berbagai macam hal, diantaranya adalah (Pelayaran Sungai dan Danau : www.wikibuku.co.id ) : 1. Tonggak-tonggak yang tertanam di sungai. 2. Dahan atau ranting-ranting kayu yang menjorok ketengah sungai serta sampah rumah tangga. 3. Sisa-sisa penebangan kayu atau hutan yang terbawa oleh hutan yang terbawa arus sungai. 20

4. Balok-balok kayu yang terlepas dari ikatannya. 5. Batu-batuan dan segala macam endapan atau pendangkalan sungai 6. Jenis tumbuh-tumbuhan atau gulma yang berada di alur pelayaran, khususnya di perairan tropis seperti di Pulau Kalimantan dengan jenis tanaman seperti eceng gondok yang sering berada pada perairan yang kecepatan arusnya rendah. 7. Pendangkalan sungai atau alur karena daerah aliran sungai kurang dikendalikan dengan baik, terutama tambang yang membuang sisa hasil tambang (tailing) ke sungai mengakibatkan pendangkalan yang relatif cepat. Untuk dapat menanggulangi berbagai jenis hambatan dan memenuhi spesifikasi alur pelayaran yang diinginkan, salah satu jenis pekerjaan yang dapat adalah dengan melaksanakan pekerjaan pengerukan. 2.4 Pekerjaan Pengerukan Pengerukan merupakan proses pemindahan tanah dengan menggunakan suatu peralatan atau suatu alat berat, dengan cara mekanis dan/atau hidraulis dari suatu tempat ke tempat lain (misalnya dari suatu dasar sungai ke tempat lain), peralatan yang lazim digunakan biasanya berupa kapal (Hermawan, 2010). Pekerjaan pengerukan tentunya membutuhkan biaya yang besar, sehingga untuk dapat melakukannya dibutuhkan sebuah perencanaan dan spesifikasi pekerjaan yang rumit. Oleh karena itu biasanya kegiatan ini dilakukan setelah menilai konsekuensi ekonomi yang dapat ditimbulkan untuk perusahaan yang melaksanakan kegiatan tersebut. Tujuan pekerjaan pengerukan adalah untuk berbagai macam keperluan, diantaranya (Nugraha, 2008): a) Memperdalam dasar sungai / laut b) Memperbesar penampang sungai c) Mengambil material pasir laut untuk keperluan urugan yang nantinya dialokasikan untuk keperluan pembangunan atau reklamasi tanah d) Mengambil material / tanah / lumpur di dasar sungai untuk keperluan penambangan 21

e) Keperluan navigasi f) Pengendalian banjir / pengambilan material di muara sungai (delta) g) Rekayasa konstruksi dan reklamasi h) Pemeliharaan pesisir / pantai Berdasarkan keperluannya, pekerjaan pengerukan dapat dikelompokkan menjadi 4 jenis pekerjaan, yaitu (Dredging for Navigation a handbook for port and waterways authorities): 2.4.1 Pengerukan Awal (Capital Dredging) Jenis pengerukan ini sangat diperlukan dalam pembuatan kolam / alur pelayaran baru, guna mempermudah manuver bagi kapal-kapal yang berada di wilayah perairan, membuat pelabuhan baru (termasuk alur pelayarannya). Pekerjaan pengerukan ini merupakan suatu kegiatan konstruksi yang besar, dan dalam beberapa kasus, pekerjaan ini memerlukan waktu yang cukup lama namun memiliki hasil yang signifikan dan berkelanjutan. Seperti menciptakan sebuah daratan, perbaikan lingkungan wilayah perairan serta membuat alur sungai. 2.4.2 Pengerukan Perawatan (Maintenance Dredging) Jenis pengerukan ini merupakan pengerukan yang dilakukan secara berkala, dan dilaksanakan dalam rangka untuk menjaga kedalaman alur pelayaran yang sudah ada dari pendangkalan. peristiwa ini menyebabkan alur pelayaran menjadi tidak dapat dilewati oleh kapal-kapal yang sesuai dengan kriteria pelabuhan tersebut. Dalam kasus perairan sungai, penyebab dari pendangkalan yang paling utama adalah sedimentasi. Fenomena ini dapat terjadi akibat adanya timbunan massa benda yang diakibatkan oleh faktor alamiah seperti arus sungai, longsor, dan lain-lain. 2.4.3 Pengerukan Batu (Rock Dredging) Jenis pengerukan ini merupakan pekerjaan yang paling sulit dan mahal, karena material yang dikeruk berupa batu keras atau padatan lainnya yang memerlukan bantuan peralatan khusus yang juga beresiko tinggi untuk merusak lingkungan dan alam seperti bahan peledak dan linggis tajam (rock-breaker). 22