KEMBALIKAN SUBSIDI PUPUK KEPADA PETANI

dokumen-dokumen yang mirip
EVALUASI PELAKSANAAN KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK TAHUN 2004 DAN PROSPEK TAHUN 2005

KONSTRUKSI KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK TAHUN 2006

USULAN TINGKAT SUBSIDI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) YANG RELEVAN SERTA PERBAIKAN POLA PENDISTRIBUSIAN PUPUK DI INDONESIA

Pupuk dan Subsidi : Kebijakan yang Tidak Tepat Sasaran

EVALUASI KEBIJAKAN SISTEM DISTRIBUSI PUPUK UREA DI INDONESIA : Kasus Provinsi Jawa Barat

Analisis Kebijakan Pertanian Volume 1 No. 1, Mei 2003 : 90-95

PANDANGAN PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN TERHADAP KINERJA KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK SELAMA INI DAN PERBAIKANNYA KE DEPAN

BIRO ANALISA ANGGARAN DAN PELAKSANAAN APBN SETJEN DPR RI

ANALISIS ATAS HASIL AUDIT BPK SUBSIDI PUPUK DAN BENIH : BUKAN SEKADAR MASALAH ADMINISTRASI TAPI KELEMAHAN DALAM KEBIJAKAN

PERHITUNGAN SUBSIDI PUPUK 2004 BERDASARKAN ALTERNATIF PERHITUNGAN SUBSIDI ATAS BIAYA DISTRIBUSI

VIII. ANALISIS KEBIJAKAN ATAS PERUBAHAN HARGA OUTPUT/ INPUT, PENGELUARAN RISET JAGUNG DAN INFRASTRUKTUR JALAN

GAMBARAN UMUM DISTRIBUSI PUPUK DAN PENGADAAN BERAS

Kebijakan PSO/Subsidi Pupuk dan Sistem Distribusi. I. Pendahuluan

MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 21/M-DAG/PER/6/2008 T E N T A N G

BAB I PENDAHULUAN I-1

RANCANGAN KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK LANGSUNG KEPADA PETANI

Efektifitas Subsidi Pupuk: Implikasinya pada Kebijakan Harga Pupuk dan Gabah

BAB I PENDAHULUAN. Produktivitas (Qu/Ha)

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

I. PENDAHULUAN A. Latar belakang

Membedah Masalah Perpupukan Nasional

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 17/M-DAG/PER/6/2011 TENTANG PENGADAAN DAN PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN

BERITA DAERAH KABUPATEN TANAH DATAR TAHUN 2012 PERATURAN BUPATI TANAH DATAR NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 17/M-DAG/PER/6/2011 TENTANG PENGADAAN DAN PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 ANALISIS BESARAN SUBSIDI PUPUK DAN POLA DISTRIBUSINYA

SUBSIDI PUPUK DALAM RAPBN-P 2014

DAFTAR LAMPIRAN 1. LAMPIRAN I : KETENTUAN UMUM PEMBUATAN SURAT PERJANJIAN JUAL BELI (SPJB) PUPUK BERSUBSIDI ANTARA PRODUSEN DENGAN DISTRIBUTOR

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 505/Kpts/SR.130/12/2005 TENTANG

KAJIAN SISTEM DISTRIBUSI PUPUK DAN USULAN PENYEMPURNAANNYA: Kasus di Tiga Propinsi di Jawa

KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 64/Kpts/SR.130/3/2005 TENTANG

permintaan antara di Kota Bogor pada tahun 2008 yaitu sebesar Rp 4.49 triliun.

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 93/MPP/Kep/3/2001

SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

KAJIAN KELANGKAAN PUPUK DAN USULAN TINGKAT SUBSIDI SERTA PERBAIKAN SISTEM PENDISTRIBUSIAN PUPUK DI INDONESIA

BUPATI TANAH DATAR PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN BUPATI TANAH DATAR NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PERDAGANGAN DALAM NEGERI NO. 40/DJPDN/Kep/XII/2003

BAB I PENDAHULUAN. menjadi perhatian utama pemerintah. Akses memperoleh penanganan

BAB 1 PENDAHULUAN. bersubsidi. Pupuk yang ditetapkan sebagai pupuk bersubsidi adalah pupuk

BUPATI KAPUAS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI KAPUAS NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR 90 TAHUN 2014 TENTANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. PT Pupuk Sriwidjaja (PT. Pusri) Unit Usaha sebagai produsen pupuk Urea, juga

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 KAJIAN ALTERNATIF MODEL BANTUAN BENIH DAN PUPUK UNTUK PENINGKATAN PRODUKSI PANGAN

WALIKOTA BUKITTINGGI PROVINSI SUMATERA BARAT

EVALUASI KEBIJAKAN HARGA GABAH TAHUN 2004

ANALISIS FINANSIAL USAHA PUPUK ORGANIK KELOMPOK TANI DI KABUPATEN BANTUL I. PENDAHULUAN

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

BERITA DAERAH KOTA BOGOR

EFEKTIVITAS DISTRIBUSI PUPUK BERSUBSIDI (Studi Kasus di Desa Ampeldento, Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang) PENDAHULUAN

KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 106/Kpts/SR.130/2/2004 TENTANG KEBUTUHAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2004

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR

ANALISIS PEMASARAN PUPUK BERSUBSIDI TANAMAN PANGAN DI KECAMATAN SANGGAU LEDO KABUPATEN BENGKAYANG

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendekatan Penelitian Sistem Usaha Pertanian dan Agribisnis

Perkembangan Harga Beras, Terigu Dan Gula Di Indonesia Tahun 2008 Selasa, 31 Maret 2009

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 93 TAHUN 2008 TENTANG

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI BALI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Analisis Penawaran dan Permintaan Pupuk di Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan konsumen bahkan masyarakat dalam bidang tertentu. Misalnya untuk

Kaji Ulang Kebijakan Subsidi dan Distribusi Pupuk

KENAIKAN HARGA GULA DAN PENGELOLAAN STOK PUPUK NASIONAL Kamis, 03 September 2009

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PERDAGANGAN

I. PENDAHULUAN. karena sampai saat ini sektor pertanian merupakan sektor yang paling

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR : 80 TAHUN 2015 TENTANG

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONES!A. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 505/Kpts/SR.130/12/2005 TENTANG

BERITA DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2010 NOMOR 3 SERI E PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG

KAJIAN KEBIJAKAN HPP GABAH DAN HET PUPUK MENDUKUNG PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN DAN PENDAPATAN PETANI

PERATURAN BUPATI SUMEDANG NOMOR 114 TAHUN 2009 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan masyarakat yang dihasilkan dari produk CPO, diolah menjadi Stearin Oil

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PERDAGANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BUPATI BANYUWANGI PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 19 TAHUN 2011 TENTANG

WALIKOTA SOLOK PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN WALIKOTA SOLOK NOMOR 2 TAHUN 2016

RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERDAGANGAN

memberikan multiple effect terhadap usaha agribisnis lainnya terutama peternakan. Kenaikan harga pakan ternak akibat bahan baku jagung yang harus

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PERDAGANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PERDAGANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

V. PERKEMBANGAN PRODUKSI, USAHATANI DAN INFRASTRUKTUR PENDUKUNG PENGEMBANGAN JAGUNG

I. PENDAHULUAN. Gula merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis Indonesia baik

Makalah Seminar Hasil Penelitian TA 2007 KAJI ULANG SISTEM SUBSIDI DAN DISTRIBUSI PUPUK

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 17/Permentan/SR.130/5/2006 TENTANG

Pedoman Pasal 50 huruf d Tentang Pengecualian terhadap Perjanjian dalam Rangka Keagenan

I. PENDAHULUAN. cukup luas sangat menunjang untuk kegiatan pertanian. Sebagai negara agraris yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan pertanian di Indonesia masih menghadapi berbagai

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PERDAGANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

\TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Minyak goreng adalah minyak nabati yang telah dimurnikan dan dapat digunakan

EVALUASI KEBIJAKAN SISTEM DISTRIBUSI DAN HARGA PUPUK DI TINGKAT PETANI

WALIKOTA BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR

CUPLIKAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 66/Permentan/OT.140/12/2006 TENTANG

EVALUASI KEBIJAKAN HARGA GABAH TAHUN 2004

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PERDAGANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

JUSTIFIKASI DAN RESIKO PENINGKATAN HARGA DASAR GABAH PEMBELIAN PEMERINTAH

I. PENDAHULUAN. manusia, sehingga kecukupan pangan bagi tiap orang setiap keputusan tentang

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 115 TAHUN 2009 TENTANG PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DAN PERIKANAN GUBERNUR JAWA BARAT;

BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2006 NOMOR 10 SERI E

KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KUDUS TAHUN ANGGARAN 2014 BUPATI KUDUS,

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

WALIKOTA PROBOLINGGO

BUPATI MALANG BUPATI MALANG,

6. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan

BAB I PENDAHULUAN. proses pertukaran barang dan jasa serta untuk pembayaran utang. Pada umumnya setiap

Transkripsi:

KEMBALIKAN SUBSIDI PUPUK KEPADA PETANI Oleh : Pantjar Simatupang Fenomena langka pasok dan lonjakan harga pupuk merupakan kasus menyimpang yang tidak semestinya terjadi karena produksi pupuk urea dalam negeri jauh melebihi kebutuhan. Bahkan, Indonesia merupakan eksportir utama urea, sementara distribusinya dikendalikan pemerintah dengan kebijakan tata niaga yang cukup lengkap untuk dapat menjamin pasokan dengan harga eceran tertinggi di kios pengecer di pedesaan seluruh Indonesia. Program kebijakan pupuk sudah amat komprehensif. Pertama, melalui program jangka panjang, industri pupuk dibangun dengan kapasitas produksi jauh melebihi kebutuhan pupuk domestik. tersebar di berbagai wilayah, dan sepenuhnya dikuasai oleh hanya lima pabrik pupuk badan usaha milik negara (BUMN) sehingga mampu dan dapat diarahkan untuk mengemban misi sebesar-besarnya mendukung pembangunan pertanian nasional. Dari segi bahan bzku, industri pupuk didukung uleh sektor minyak dan gas bumi yang cukup besar sehingga mestinya memiliki keunggulan komparatif dalam menghadapi pesaing dari negara lain. Kedua, Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Menperindag) meminta pabrikan pupuk untuk senantiasa mendahulukan pemenuhan kebutuhan dometik. Ekspor pupuk diawasi dan dikendalikan melalui sistern perizinan. Ketiga, melalui surat keputusan Menperindag, distribusi pupuk domestik diatur dengan sistem rayonisasi pasar. Setiap pabrik pupuk wajib menjamin kecukupan pasokan pupuk sesuai harga eceran tertinggi (HET) di kios pengecer resmi di rayon pasar yang menjadi tanggung jawabnya. Keempat, HET dan rencana kebutuhan pupuk bersubsidi menurut wilayah pemasaran dan waktu ditetapkan oleh Menteri Pertanian. HET ditetapkan cukup rendah, lebih rendah dari harga pasar bebas atau mengandung subsidi yang bervariasi menurut jenis pupuk. Pupuk bersubsidi hanya dijual kepada petani keluarga skala kecil. Usaha pertanian skala besar (umumnya perkebunan) membeli pupuk sesuai dengan harga pasar bebas. Pasar pupuk domestik bersifat dualistik, pasar bersubsidi dan nonsubsidi. Kelima, sebagai imbalan dalam meiaksanakan distribusi pupuk hingga kios pengecer sesuai HET, pabrik pupuk memperoleh subsidi gas, bahan baku utama produksi pupuk. Subsidi gas ditetapkan oleh Menteri Keuangan dengan pertimbangan bahwa pabrikan pupuk bersubsidi dijamin memperoleh laba normal.

Keenam, subsidi dibayarkan kepada pabrikan pupuk sesuai ( dengan besaran subsidi gas dan volume pupuk bersubsidi yang disalurkan. Dana subsidi berasal dari anggaran belanja pemerintah pusat berdasarkan kesepakatan dengan DPR sebesar Rp 1,3 triliun untuk tahun 2003 dan akan ditingkatkan menjadi Rp 1,5 triliun pada tahun 2004. Ketujuh, pelaksanaan distribusi pupuk bersubsidi tersebut dimonitor, dievaluasi, dan diawasi terus-menerus oleh suatu tim pemerintah antar departemen bersama DPR. Dengan surplus produksi yang amat besar dan pengaturan sistem distribusi, fenomena langka pasok pupuk di pasaran domestik hanya dapat terjadi karena pabrikan pupuk, secara resmi atau tidak, melakukan eksportasi besar-besaran. Distributor dan pengecer sepenuhnya di bawah kendali pabrikan pupuk sebingga tidak tepat dijadikan sebagai kambing hitam penyebab kemelut pasar pupuk domestik. Perubahan pola pertanaman atau kebutuhan pupuk juga tidak dapat dijadikan alasan karena kalaupun terjadi pasti tidak akan amat ekstrem dan mestinya dapat diantisipasi secara dini karena terus diamati oleh pemerintah dan mestinya juga oleh pabrlk pupuk. Ekspor pupuk didorong oleh disparitas harga dunia dan HET yang cukup besar yang tercipta karena harga pupuk di pasar dunia meningkat tajam sejak tahun 2003. Pemicunya ialah peningkatan harga minyak dan gas bumi serta depresiasi rupiah yang merupakan penentu utama ongkos produksi dan distribusi pupuk. Harga pupuk urea di pasar dunia meningkat dari 136 dollar AS per ton atau Rp 1.125 per kg pada bulan Mei 2003 menjadi 162 dollar AS per ton atau Rp 1.400 per kg pada bulan April 2004, sementara HET tetap Rp 1.050 per kg (gambar). Disparitas harga sebesar Rp 350 per kg atau 33 persen jelas cukup merangsang bagi pabrikan pupuk untuk lebih mendahulukan ekspor daripada pupuk bersubsidi. Harian Kompas (l/5/04) melaporkan. pada bulan April ekspor pupuk mencapai 120.000 ton walaupun pasar domestik tengah mengalami langka pasok dan kabarnya Menperindag telah melarang ekspor hingga beberapa bulan mendatang. Meningkatnya harga pupuk di pasar dunia juga telah menyebabkan dualisme pasar pupuk domestik makin kontras. Harga pupuk bersubsidi, utamanya untuk perkebunan, melonjak mengikuti harga dunia sehingga menciptakan disparitas harga yang cukup besar dengan HET pupuk bersubsidi. Media massa melaporkan harga pupuk di kawasan perkebunan mencapai Rp. 2000 per kg atau dua kali HET pupuk bersubsidi. Disparitas HET pupuk bersubsidi dan nonsubsidi memang dapat mendorong merembesnya pupuk bersubsidi ke pasar pupuk nonsubsidi, termasuk oleh distributor dan pengecer pupuk resmi. Di samping beresiko, penyimpangan oleh pedagang tidak

mungkin berskala besar karena sumber pasokan dikuasai oleh pabrik pupuk. Manipulator demikian mudah dicegah dengan labelisasi kantong pupuk atau diberantas dengan operasi pasar. Melihat bahwa harga pupuk domestik di semua segmen pasar lebih tinggi dari harga dunia, dapat dipastikan pabrikan pupuk mengurangi pasokan di pasar domestik atau cenderung melakukan eksportasi. Sistem distribusi pupuk bersubsidi terputus dan pasar pupuk domestik terintegrasi langsung dengan pasar dunia. Semua subsidi dan price gain diraup oleh pabrik pupuk. Kredibilitas Kesepakatan antara pemerintah dan DPR ialah bahwa subsidi pupuk adalah untuk membantu petani, bukan pabrik pupuk. Bahwa dana subsidi disalurkan, kepada pabrik pupuk dalam bentuk subsidi gas, semata-mata karena alasan kemudahan operasional. Subsidi gas bagi pabrik pupuk bukanlah hak tanpa syarat, melainkan merupakan imbalan atas kewajibannya untuk menjamin bahwa pasokan pupuk di kios pengecer resrni di pedesaan senantiasa tersedia dalam volume yang cukup pada harga tidak melebihi HET. Bagi pabrikan pupuk, mejamin pasokan pupuk sesuai HET di kios pengecer bukanlah misi pelayanan murni, melainkan kesepakatan bisnis komersial yang cukup menguntungkan. Sementara bagi petani, berdasarkan kebijakan negara, terjaminnya pasokan pupuk dalam volume yang cukup dan dengan harga sesuai HET merupakan hak tanpa syarat yang wajib dipenuhi pabrikan pupuk bersubsidi. Fenomena langka pasok dan lonjak harga pupuk merupakan kasus wanprestasi pabrikan pupuk dalam melaksanakan kewajibannya untuk menjamin kecukupan sediaan pupuk di kios pengecer di pedesaan sesuai HET sebagai imbalan atas subsidi gas yang diperolehnya atas nama subsidi pupuk bagi petani. Oleh karena itu, demi keadilan dan tegaknya peraturan, pemerintah harus mengenakan sanksi kepada pabrikan pupuk yang terbukti gagal melaksanakan kewajibannya untuk menjamin kecukupan sediaan pupuk di kios pengecer sesuai HET dengan mencabut haknya untuk mcmperoleh subsidi gas. Sebagai usaha komersial, BUMN pabrikan pupuk memang berhak mengejar laba sebesar-besamya, termasuk dengan melakukan ekspor dan pennjualan di segmen pasar pupuk nonsubsidi. di mana harga jual jauh lebih tinggi daripada HET pupuk bersubsidi. Namun, BUMN pabrikan pupuk perlu mempertimbangkan hal berikut:

Pertama, menjadi produsen dan pemasok pupuk bersubsidi merupakan peluang bisnis yang amat besar, cukup menguntungkan, dan tingkat risikonya rendah, sementara ekspor hanya merupakan segmen pasar kedua yang penuh ketidakpastian. Melonjaknya harga pupuk dunia kemungkinan besar bersifat sementara. Mempertahankan keberlanjutan kebijakan subsidi pupuk dengan menjaga efektivitasnya mestinya merupakan kebijakan bisnis strategis BUMN pabrik pupuk. Kedua, eksportasi atau penjualan di atas HET pupuk yang dihasilkan dengan gas bersubsidi merupakan tindakan penyalahgunaan uang negara sehingga dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum. Ketiga, sebagai BUMN misi pabrik pupuk tidaklah meraih laba sebesar-besamya semata. tetapi juga misi pembangunan. antara lain turut mendukung kebijakan perpupukan pemerintah. Kunci penyelesaian kemelut distribusi pupuk ada pada BUMN pabrik pupuk. Langka pasok dan lonjak harga pupuk tidak akan terjadi jika BUMN pabrik pupuk bersedia melaksanakan komitmen sebagaimana ditetapkan dalam paket keputusan tiga menteri tentang pupuk bersubsidi. Oleh karena itu, tim pencari fakta yang telah dibentuk pemerintah tidak perlu repot bersafari ke berbagai daerah. Penulisan label pupuk bersubsidi pada karung pupuk juga tidak banyak gunanya. Pertama-tama yang harus diperiksa ialah pabrik pupuk. Pertama. mengidentifikasi dan mengumumkan secara terbuka pabrik pupuk mana saja yang gagal melaksanakan komitmennya dalam penyaluran pupuk bersubsidi, namun melakukan eksportasi atau penjualan ke segmen pasar nonsubsidi. Pabrik pupuk yang gagal melaksanakan. komitmen dicabut haknya untuk memperoleh subsidi gas. Kedua, ekspor pupuk dihentikan untuk sementara. Ekspor pupuk selanjutnya dikaitkan dengan komitmen dalam penyaluran pupuk bersubsidi, izin ekspor hanya diberikan kepada pabrik yang terbukti berhasil melaksanakan penyaluran pupuk bersubsidi sesuai ketentuan.

\ BUMN pabrik pupuk turut menikmati sebagian dari dana subsidi pupuk yang sesungguhnya diperutukkan bagi petani kecil, mestinya mereka jangan terlalu tega merebut semuanya. Menjaga efektivitas pelaksanaan kebijakan pupuk bersubsidi adalah untuk keuntungan pabrik pupuk, juga "menghidupi untuk kehidupan bersama". Kepada masyarakat dan media massa disarankan agar melaporkan secara terbuka pabrik pupuk dan pedagang mana saja yang gaga! melaksanakan kewajiban. Hanya dengan tindakan tegas macam ini kemelut distribusi pupuk dapat segera diatasi, demi untuk kepentingan petani, peyelamatan uang negara, dan tegaknya peraturan. P a n t j a r S i m a t u p a n g Penulis Bekerja pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor Dimuat pada Surat Kabar Harian Kompas, 19 Mei 2004