Bab 7 Bidang Frekuensi

dokumen-dokumen yang mirip
Bab 7 Bidang Frekuensi

WORKSHOP (MOBILITAS PESERTA DIDIK)

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TENGAH (Indikator Makro)

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI SULAWESI BARAT (Indikator Makro)

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU (Indikator Makro)

PANDUAN PENGGUNAAN Aplikasi SIM Persampahan

INDONESIA Percentage below / above median

DAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009

INDEK KOMPETENSI SEKOLAH SMA/MA (Daya Serap UN Murni 2014)

C UN MURNI Tahun

DESKRIPTIF STATISTIK PONDOK PESANTREN DAN MADRASAH DINIYAH

Assalamu alaikum Wr. Wb.

HASIL Ujian Nasional SMP - Sederajat. Tahun Ajaran 2013/2014

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TIMUR (Indikator Makro)

PAGU SATUAN KERJA DITJEN BINA MARGA 2012

PEMETAAN DAN KAJIAN CEPAT

KESEHATAN ANAK. Website:

NAMA, LOKASI, ESELONISASI, KEDUDUKAN, DAN WILAYAH KERJA

VIII. PROSPEK PERMINTAAN PRODUK IKAN

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN III-2015 DAN PERKIRAAN TRIWULAN IV-2015

Memahami Arti Penting Mempelajari Studi Implementasi Kebijakan Publik

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN IV-2016

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara,

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN I-2017

AKSES PELAYANAN KESEHATAN. Website:

DESKRIPTIF STATISTIK RA/BA/TA DAN MADRASAH

MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA

NAMA, LOKASI, ESELONISASI, KEDUDUKAN, DAN WILAYAH KERJA. No Nama UPT Lokasi Eselon Kedudukan Wilayah Kerja. Bandung II.b DITJEN BINA LATTAS

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN I-2016 DAN PERKIRAAN TRIWULAN II-2016

Propinsi Kelas 1 Kelas 2 Jumlah Sumut Sumbar Jambi Bengkulu Lampung

MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA

INDEKS TENDENSI KONSUMEN

INDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I-2015

INDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I-2013

DESKRIPTIF STATISTIK GURU PAIS

Analisis Hasil Ujian Nasional Madrasah Tsanawiyah Tahun 2008

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU SEPTEMBER 2016 MENURUN

BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA LEMBAGA PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN

CEDERA. Website:

LAPORAN QUICK COUNT PEMILU LEGISLATIF

DIREKTORAT JENDERAL KETENAGALISTRIKAN KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

Mekanisme Pelaksanaan Musrenbangnas 2017

Analisis Hasil Ujian Nasional Madrasah Aliyah Negeri Tahun 2008

ProfilAnggotaDPRdan DPDRI Pusat Kajian Politik Departemen Ilmu Politik FISIP UniversitasIndonesia 26 September 2014

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN I-2016

PEMBIAYAAN KESEHATAN. Website:

LAPORAN MINGGUAN DIREKTORAT PERLINDUNGAN TANAMAN PANGAN PERIODE 18 MEI 2018

Evaluasi Kegiatan TA 2016 dan Rancangan Kegiatan TA 2017 Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian *)

Tabel Lampiran 1. Produksi, Luas Panen dan Produktivitas Padi Per Propinsi

Populasi Ternak Menurut Provinsi dan Jenis Ternak (Ribu Ekor),

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA UTARA SEPTEMBER 2016 MENURUN

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN IV-2016 DAN PERKIRAAN TRIWULAN I-2017

BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN I-2017 DAN PERKIRAAN TRIWULAN II-2017

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Penjatahan kanal band VHF dan UHF di Indonesia [1] Kanal Masa transisi Dijital penuh Band III VHF: Ch Ch.

Profil Keaksaraan: Hasil Sensus Penduduk 2010

Info Singkat Kemiskinan dan Penanggulangan Kemiskinan

DATA INSPEKTORAT JENDERAL

Pemanfaatan Hasil Ujian Nasional MTs untuk Perbaikan Akses dan Mutu Pendidikan

Disabilitas. Website:

PEMANCAR&PENERIMA RADIO

Konstitusionalitas dan Problematika Alokasi Kursi DPR RI Pemilu Indonesia

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. dr. Pattiselanno Roberth Johan, MARS NIP

IPM KABUPATEN BANGKA: CAPAIAN DAN TANTANGAN PAN BUDI MARWOTO BAPPEDA BANGKA 2014

RUMAH KHUSUS TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU UTARA SEPTEMBER 2016

POTRET KEMISKINAN DAN PENGANGGURAN DI PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

IPM 2013 Prov. Kep. Riau (Perbandingan Kab-Kota)

Evaluasi dan Pengukuran Kinerja atas Pelaksanaan Kegiatan Dekonsentrasi periode sampai dengan Bulan Agustus 2016

2 c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b perlu menetapkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika tenta

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 1 Perolehan suara PN, PA, dan PC menurut nasional pada pemilu 2004 dan 2009

PENDATAAN RUMAH TANGGA MISKIN DI WILAYAH PESISIR/NELAYAN

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN II-2017 DAN PERKIRAAN TRIWULAN III-2017

PERKEMBANGAN PELAKSANAAN PROGRAM DAN KEGIATAN UPSUS PENINGKATAN PRODUKSI PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI TAHUN 2015

BAB I PENDAHULUAN. Masalah kemiskinan menjadi persoalan serius yang di hadapi oleh banyak

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN II-2016 DAN PERKIRAAN TRIWULAN III-2016

DRAF APK-APM PENDIDIKAN TAHUN 2017

5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA

Pemanfaatan Hasil Ujian Nasional MA untuk Perbaikan Akses dan Mutu Pendidikan

INDEKS KEBAHAGIAAN KALIMANTAN SELATAN TAHUN 2017

SURVEI HARGA PROPERTI RESIDENSIAL

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SULAWESI TENGGARA MARET 2017 MENURUN TERHADAP MARET 2016

EVALUASI KEGIATAN FASILITASI PUPUK DAN PESTISIDA TAHUN 2013

PUSAT DISTRIBUSI DAN CADANGAN PANGAN BADAN KETAHANAN PANGAN RENCANA PENGEMBANGAN SISTEM DISTRIBUSI DAN STABILITAS HARGA PANGAN TAHUN 2015

WORKSHOP KOMPILASI DATA SATUAN PENDIDIKAN DAN PROSES PEMBELAJARAN. Pusat Data dan Statistik Pendidikan - Kebudayaan Setjen, Kemendikbud Jakarta

UPT-BPSPL Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut DAN. UPT-BKKPN Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional

4.01. Jumlah Lembaga Pada PTAIN dan PTAIS Tahun Akademik 2011/2012

VI. ARAH PENGEMBANGAN PERTANIAN BEDASARKAN KESESUAIAN LAHAN

BERITA RESMI STATISTIK

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. dr. Pattiselanno Roberth Johan, MARS NIP

BERITA NEGARA. No.747, 2011 KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA. Televisi Digital Terestrial. Penyelenggaraan.

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN III-2016 DAN PERKIRAAN TRIWULAN IV-2016

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. dr. Pattiselanno Roberth Johan, MARS NIP

KREDIT KEPEMILIKAN RUMAH DENGAN DUKUNGAN FASILITAS LIKUIDITAS PEMBIAYAAN PERUMAHAN (KPR-FLPP) PUSAT PEMBIAYAAN PERUMAHAN

PROFIL PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI OLEH MASYARAKAT

Besarnya Penduduk yang Tidak Bekerja Sama-sekali: Hasil Survey Terkini

MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA

Transkripsi:

Bab 7 Bidang Frekuensi Penggunaan frekuensi semakin meningkat seiring dengan semakin pesatnya perkembangan dunia telekomunikasi dengan berbagai perangkat dan teknologi yang digunakan. Peningkatan penggunaan frekuensi juga diikuti dengan semakin beragamnya penggunaan frekuensi untuk berbagai kebutuhan karena penggunaan sarana telekomunkasi yang semakin variatif dengan penggunaan teknologi telekomunikasi yang semakin tinggi pula. Contoh paling mudah terlihat adalah perkembangan teknologi seluler yang semakin banyak digunakan masyarakat dengan tingkat penggunaan yang tinggi dan juga membutuhkan penggunaan frekuensi yang semakin tinggi pula. Demikian pula dengan teknologi penyiaran dan komunikasi lainnya. Penyajian data statistik bidang frekuensi akan memberikan gambaran peningkatan penggunaan frekuensi yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir dan peta penggunaannya pada saat ini. Penyajian data penggunaan frekuensi ini dilakukan untuk memotret pola penggunaan spektrum frekuensi untuk berbagai keperluan serta penggunaannya berdasarkan service. Penggunaan pita frekuensi berdasarkan service akan dipetakan berdasarkan penggunaanya untuk tiap propinsi. Pemetaan penggunaan menurut propinsi juga akan dilakukan terhadap pengunaan menurut pita frekuensi. 7.1 Ruang Lingkup Data statistik Bidang frekuensi yang disajikan dalam laporan ini meliputi jumlah penggunaan spektrum frekuensi berdasarkan pita frekuensi, jumlah penggunaan spektrum frekuensi berdasarkan jenis penetapan frekuensi, dan jumlah penggunaan frekuensi berdasarkan peruntukannya. Keseluruhan data tersebut juga dipetakan penggunaannya menurut propinsi. Selanjutnya juga dilakukan analisis untuk menghitung jumlah penggunaan frekuensi menurut subservice TV, Radio (AM/FM) dan GSM di tiap - tiap propinsi. Secara khusus, penggunaan frekuensi untuk subservice tertentu seperti TV, radio (AM, FM) dan

GSM/DCS akan dilihat penggunaannya antar wilayah dengan membandingkan dengan luas wilayah dan jumlah penduduk di wilayah (propinsi) tersebut. Statistik frekuensi yang ditampilkan dalam laporan ini meliputi : 1) Statistik penggunaan spektrum frekuensi berdasarkan pita frekuensi (misalnya VLF, LF, MF, HF, dst.) dan propinsi tahun 2007 2010 (sampai 8 Juli 2010); 2) Penggunaan frekuensi berdasarkan service dan subservice tahun 2007 2010 (sampai 8 Juli 2010); 3) Penggunaan frekuensi menurut kepulauan, propinsi, service dan subservice tahun 2010 (sampai 8 Juli 2010); 4) Perbandingan jumlah penggunaan frekuensi TV, Radio AM, Radio FM dan GSM dengan jumlah penduduk dan luas wilayah untuk tiap propinsi Tahun 2010 (sampai 8 Juli 2010); 5) Penerbitan Izin Amatir Radio yang meliputi IAR, IKRAP dan SKAR Data statistik frekuensi yang disajikan dan dianalisa dalam bab ini diperoleh langsung dari Direktorat Pengelolaan Spektrum Frekuensi Radio Ditjen Postel pada posisi data terakhir yaitu 8 Juli 2010. Sementara data penduduk dan luas wilayah propinsi diperoleh dari Badan Pusat Statistik. 7.2. Konsep dan Definisi Definisi dari terminologi yang digunakan dalam penyajian data frekuensi dibawah ini disusun agar dapat memberi interpretasi yang sama terhadap terminologi yang digunakan. Beberapa konsep dan definisi yang digunakan dalam pembahasan selanjutnya pada bab frekuensi ini adalah : 1. Telekomunikasi adalah setiap transmisi, emisi atau penerimaan isyarat, sinyal, tulisan, gambar-gambar dan suara atau pernyataan pikiran apapun melalui kawat, radio, optik atau sistem elektromagnetik lainnya; 2. Spektrum Frekuensi Radio adalah susunan pita frekuensi radio yang mempunyai frekuensi lebih kecil dari 3000 GHz sebagai satuan getaran gelombang elektromagnetik yang merambat dan terdapat dalam dirgantara (ruang udara dan antariksa);

3. Alokasi Spektrum Frekuensi Radio adalah pencantuman pita frekuensi radio tertentu dengan maksud untuk penggunaan oleh satu atau lebih dinas komunikasi radio terrestrial atau dinas komunikasi radio ruang angkasa atau dinas astronomi berdasarkan persyaratan tertentu; 4. Radio adalah istilah umum yang dipakai dalam penggunaan gelombang radio; 5. Gelombang Radio atau Gelombang Hertz adalah gelombang elektromagnetik dengan frekuensi yang lebih rendah dari 3.000 GHz, yang merambat dalam ruang angkasa tanpa sarana penghantar buatan; 6. Komunikasi radio adalah telekomunikasi dengan perantaraan gelombang radio; 7. Komunikasi radio terrestrial adalah Setiap komunikasi radio selain komunikasi radio ruang angkasa atau radio astronomi; 8. Komunikasi radio ruang angkasa adalah setiap komunikasi radio yang mencakup penggunaan satu atau lebih stasiun ruang angkasa, atau penggunaan satu atau lebih satelit pemantul ataupun objek lain yang ada di ruang angkasa; 9. Navigasi radio adalah Radio penentu yang digunakan untuk keperluan navigasi, termasuk pemberitahuan sebagai adanya peringatan tentang benda yang menghalangi; 10. Radio Astronomi adalah Astronomi yang berdasarkan penerimaan gelombang radio yang berasal dari kosmos. 7.3. Jumlah Penggunaan Frekuensi (ISR) 7.3.1. Penggunan Berdasarkan Pita Frekuensi Penggunaan pita frekuensi menunjukkan peningkatan yang semakin tinggi dari tahun ke tahun sejalan dengan semakin beragamnya penggunaan pita frekuensi untuk berbagai kebutuhan. Teknologi telekomunikasi dan informatika yang semakin berkembang juga mendukung peningkatan penggunaan pita frekuensi yang semakin tinggi. Penggunaan pita frekuensi pada tahun 2010 meskipun baru sampai pertengahan tahun seperti ditunjukkan pada tabel 7.1 memperlihatkan jumlah penggunaan yang melebihi penggunaan pita frekuensi dalam setahun pada tahun 2009. Penggunaan pita frekuensi untuk spektrum MF dan HF sampai dengan pertengahan tahun memang masih lebih rendah daripada penggunaannya pada tahun 2009. Namun untuk spektrum pita frekuensi tinggi seperti VHF,

UHF dan terutama SHF, penggunaannya sampai dengan awal Juli 2010 telah melebihi penggunaan spektrum pita frekuensi tersebut selama tahun 2009. Tabel 7.1. Jumlah Penggunaan Frekuensi (ISR) berdasarkan pita frekuensi No. Nama Spektrum Pita Frekuensi 2008 2009 2010* 1 VLF (3 khz 30 khz) N.A 0 0 2 LF (30 khz 300 khz) N.A 0 0 3 MF (300 khz 3 MHz) N.A 391 360 4 HF (3 MHz 30 MHz) 329 6.327 6.032 5 VHF (30 MHz 300 MHz) 8.838 22.236 23.031 6 UHF (300 MHz 3 GHz) 89.968 92.627 98.182 7 SHF (3 GHz - 30 GHz) 36.653 163.284 177.604 8 EHF (30 GHz 300 GHz) N.A 2 2 Jumlah 135.788 284.867 305.211 Data VLF (Very Low Frequency) dan LF (Low Frequency) tidak dapat dimunculkan karena penggunaan frekuensi rendah (kurang dari 300 khz) menyangkut penggunaan untuk keperluan khusus seperti untuk keperluan militer dan tidak banyak bandwidth yang pada band ini dalam spektrum radio. *) Sampai 8 Juli 2010 Dari sisi komposisi penggunaannya, sampai dengan pertengahan tahun 2010, penggunaan spektrum pita frekuensi tinggi yaitu SHF dan UHF masih merupakan yang paling banyak digunakan sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Penggunaan spektrum pita frekuensi SHF yang berada pada pita frekuensi 3 GHz-30 GHz bahkan menunjukkan proporsi yang semakin besar dari 27% pada 2008, kemudian menjadi 57,3% dan pada pertengahan tahun 2010 meningkat lagi proporsinya menjadi 58,2% seperti terlihat pada gambar 7.1. Penggunaan spektrum pita frekuensi yang lebih rendah seperti HF dan MF proporsinya cenderung rendah dan tidak banyak mengalami perubahan. Komposisi penggunaan spektrum pita frekuensi UHF dan SHF yang besar menyebabkan peningkatan penggunaan pita frekuensi untuk kedua jenis spektrum pita frekuensi ini juga berdampak signifikan pada total penggunaan spektrum frekuensi. Meskipun penggunaan spektrum MF dan HF sampai pertengahan tahun 2010 masih lebih rendah dari penggunaan frekuensi tersebut selama 2009, namun karena penggunaan spektrum pita UHF sudah meningkat 8,8% dan pita VHF sudah meningkat 6% dibanding penggunaan pita frekuensi

tersebut pada tahun 2009, maka secara total penggunaan pita frekuensi sampai pertengahan tahun 2010 sudah lebih tinggi 7,1% dibanding penggunaannya selama setahun pada tahun 2009. Penggunaan yang semakin meningkat sampai akhir tahun 2010 diperkirakan akan semakin meningkatkan penggunaan pita frekeunsi VHF dan UHF serta total pita frekuensi yang semakin tinggi pula dengan persentase peningkatan yang cukup besar. Gambar 7.1. Komposisi Penggunaan Frekuensi berdasarkan Pita Frekuensi 12 10 8 6 4 2 2008 2009 2010* EHF (30 GHz 300 GHz) 0, 0, 0, SHF (3 GHz - 30 GHz) 27, 57,3% 58,2% UHF (300 MHz 3 GHz) 66,3% 32,5% 32,2% VHF (30 MHz 300 MHz) 6,5% 7,8% 7,5% HF (3 MHz 30 MHz) 0,2% 2,2% 2, MF (300 khz 3 MHz) 0, 0,1% 0,1% Secara kumulatif, penggunaan pita frekuensi yang sukup besar sampai pertengahan tahun 2010 ini menjadikikan kumulatif penggunan spektrum pita frekuensi meningkat tajam. Secara total penggunaan pita frekuensi sampai pertengahan tahun 2010 telah meningkat 37,1% dibanding tahun sebelumnya. Meskipun peningkatan ini lebih rendah dibanding peningkatan penggunan pita frekuensi pada tahun 2009, namun karena baru berlangsung setengah tahun, diperkirakan peningkatannya pada tahun 2010 akan lebih tinggi lagi. Peningkatan penggunaan pita frekuensi secara kumulatif ini pada tahun 2010 paling tinggi terjadi pada penggunaan spektrum pita frekuensi SHF sebesar 62,1% diikuti oleh pita frekuensi MF sebesar 42,6%. Namun karena penggunaan pita frekuensi MF tidak terlalu besar maka secara absolut jumlah penggunaannya juga tidak besar. Spektrum pita frekuensi VHF juga mengalami peningkatan penggunaan yang besar dan secara kumulatif

penggunaanya meningkat sebesar 35%. Peningkatan yang tidak terlalu besar terjadi pada penggunaan spektrum pita frekuensi EHF yang meningkat hanya 12,5%. Penggunaan jenis pita frekuensi ini yang tidak terlalu banyak juga menjadikan peningkatannya juga tidak signifikan. Tabel 7.2. Kumulatif Penggunaan Frekuensi (ISR) berdasarkan pita frekuensi No. Nama Spektrum Pita Frekuensi 2008 2009 2010* 1 VLF (3 khz 30 khz) N.A 0 0 2 LF (30 khz 300 khz) N.A 0 0 3 MF (300 khz 3 MHz) 454 845 1.205 4 HF (3 MHz 30 MHz) 17.795 24.122 30.154 5 VHF (30 MHz 300 MHz) 42.166 64.402 87.433 6 UHF (300 MHz 3 GHz) 354.726 447.353 545.535 7 SHF (3 GHz - 30 GHz) 122.693 285.977 463.581 8 EHF (30 GHz 300 GHz) 14 16 18 Jumlah 537.848 822.715 1.127.926 *) Sampai 8 Juli 2010 Dari sisi sebaran wilayah penggunaannya menurut pulau, penggunaan spektrum pita frekuensi masih didominasi oleh penggunaan di Pulau Jawa. Proporsi penggunaan pita frekuensi di Pulau Jawa ini mencapai 52,8% dari total penggunaan pita frekuensi pada tahun 2010 sampai dengan pertengahan tahun. Proporsi penggunaan yang tinggi ini disebabkan penggunaan pita frekuensi yang sangat besar di Jawa sebaga pusat kegiatan ekonomi dan bisnis, aktivitas sosial dan pusat pemerintahan yang menyebabkan kegiatan yang banyak menggunakan frekuensi seperti komunikasi dan penyiaran juga banyak berlangsung di Jawa. Apalagi di Jawa merupakan pusat penyebaran penduduk dengan dinamika aktivitas dan tingkat pendidikan serta melek teknologi masyarakat yang juga lebih tinggi daripada daerah lain. Proporsi penggunaan terbesar kedua adalah di wilayah pulau Sumatera dengan proporsi penggunaan yang mencapai 25,6%. Hal ini juga disebabkan Sumatera merupakan pusat aktivitas ekonomi dan sosial yang terbesar kedua setelah Jawa dan jumlah penduduk terbesar kedua setelah Pulau Jawa sehingga kebutuhan penggunaan frekuensi juga tinggi. Hal yang menarik dari proporsi ini adalah bahwa proporsi penggunaan pita frekuensi ini adalah bahwa propisri penggunaan pita grekuensi di Bali dan Nusa Tenggara lebih besar

dibanding di Sulawesi yang jumlah penduduk dan luas wilayahnya lebih besar dibanding Bali dan Nusa Tenggara. Ini menunjukkan bahwa faktor dinamika kegiatan masyarakat khususnya ekonomi dan bisnis lebih mempengaruhi penggunaan pita frekuensi, terutama untuk kegiatan penyiaran atau yang membutuhkan intensitas komunikasi yag tinggi. Gambar 7.2. Penggunaan Pita Frekuensi menurut pulau besar Kalimantan; 8,9% Bali, Nusa Tenggara; 5,7% Sulawesi; 5,5% Maluku+Papua ; 1,5% Sumatera; 25,6% Jawa; 52,8% Penggunaan pita frekuensi pada tahun 2010 menurut propinsi menunjukkan bahwa penggunaan pita frekuensi terbesar terdapat di propinsi Jawa Barat, diikuti oleh Jawa Timur dan DKI Jakarta. Tingginya penggunaan pita frekuensi di Jawa Barat dan Jawa Timur disebabkan kombinasi dari wilayah yang cukup luas, jumlah penduduk yang besar, administratif pemerintahan yang banyak serta dinamika aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat yang tinggi. Keempat faktor tersebut secara bersama-sama mendorong penggunaan pita frekuensi yang tinggi untuk berbagai kebutuhan. Sementara penggunaan pita frekuensi yang tinggi di Jakarta terutama karena posisinya sebagai pusat kegiatan pemerintahan dan pusat kegiatan ekonomi dan bisnis dimana hampir semua kantor pusat perusahaan besar berada di Jakarta termasuk bisnis penyiaran dan telekomunikasi. Dengan posisi ini kebutuhan untk penggunaan frekuensi menjadi sangat besar terutama untuk jenis frekuensi tertentu.

Tabel 7.3. Penggunan Pita Frekuensi per Propinsi tahun 2010 (sampai 8 Juli 2010) No Propinsi Pita Frekuensi MF-1 HF-2 VHF-3 UHF-4 SHF-5 EHF-6 1 Babel 72 714 1.270 2 Bengkulu 3 46 229 523 1.066 3 Jambi 4 108 561 1.210 2.325 4 Kepri 1 54 481 1.536 2.817 5 Lampung 15 94 268 3.005 4.439 6 NAD 15 112 542 2.399 4.046 7 Riau 4 315 1.166 4.500 7.612 8 Sumbar 11 80 399 2045 3891 9 Sumsel 10 161 1142 2761 5613 10 Sumut 34 393 2.021 6.552 11.455 11 Banten 4 34 418 4.482 8.548 12 DIY 1 17 288 2.128 3.712 13 DKI Jakarta 10 359 870 10.211 21.204 14 Jawa Barat 64 167 2.069 14.713 28.090 15 Jawa Tengah 55 128 1.796 9.663 15.684 16 Jawa Timur 35 255 1.966 12.871 21.116 17 Bali 11 75 597 2.832 5.205 18 NTB 5 71 734 1.717 2.638 19 NTT 2 327 904 665 1.506 20 Kalimantan Barat 14 240 443 1.779 3.237 21 Kalimantan Selatan 16 75 908 1.459 2.929 22 Kalimantan Tengah 13 290 588 1.304 2.480 23 Kalimantan Timur 3 479 2.060 2.867 6.007 24 Sulawesi Utara 2 101 282 1.074 1.909 25 Sulawesi Tengah 7 148 369 650 1.201 26 Sulawesi Selatan* 14 124 617 2.836 5.057 27 Sulawesi Tenggara 47 310 567 886 28 Gorontalo 42 34 154 417 29 Maluku 2 304 456 275 418 30 Maluku Utara 115 108 75 88 31 Irjabar 52 30 32 Papua 5 1.199 249 563 708 *) Termasuk Sulawesi Barat yang merupakan Propinsi Pemekaran dari Sulawesi Selatan Komposisi spektrum pita frekuensi di masing-masing propinsi menunjukkan pola yang hampir sama dimana proporsi penggunaan terbesar adalah untuk spektrum pita frekuensi SHF kemudian diikuti oleh spektrum frekuensi UHF, kecuali untuk beberapa propinsi. Proporsi penggunaan spektrum pita frekuensi SHF ini pada daerah-daerah yang dominan penggunaanya berkisar antara 49% sampai 64,5%. Komposisi ini juga tidak berbeda jauh dengan proporsi secara nasional yang mencapai 52,8%. Sementara proporsi penggunaan

spektrum pita frekuensi UHF pada daerah-daerah tersebut berkisar antara 19,5% sampai 34,7%. Namun untuk beberapa propinsi, menunjukkan komposisi penggunaan spektrum pita frekuensi yang berbeda. Penggunaan spektrum pita frekuensi di Irian Jaya Barat misalnya pada tahun 2010 lebih didominasi oleh penggunaan spektrum pita frekuensi UHF yang proporsinya mencapai 63,4%. Penggunaan spektrum SHF meskipun proporsinya cukup tinggi (36,6%) namun masih lebih rendah dari pita UHF. Sementara penggunaan pita frekuensi VHF di propinsi Maluku dan Maluku Utara menunjukkan proporsi yang tinggi. Proporsi penggunaan pita frekuensi VHF di Maluku mencapai 31,3% dan merupakan yang terbesar dibanding pita frekuensi lainnya. Sementara proporsi penggunaan frekuensi VHF di Maluku Utara mencapai 28% dan menjadi yang terbesar kedua di Maluku Utara setelah frekuensi HF yang proporsinya mencapai 29,8%. Penggunaan jenis spektrum pita HF yang besar juga berlangsung di propinsi Papua. Proporsi penggunaan spektrum pita HF di propinsi Papua mencapai 44% dan menjadi yang terbesar dibanding pita frekuensi lainnya. Proporsi yang tinggi untuk jenis pita frekuensi HF di Papua ini diduga terkait dengan penggunaanya yang untuk kebutuhan khusus terkait dinamika kegiatan sosial-ekonomi di wilayah tersebut. Proporsi yang tinggi untuk jenis pita frekuensi HF di Papua ini diduga terkait dengan penggunaanya yang untuk kebutuhan khusus terkait dengan kegiatan ekonomi maupun kondisi geografis Papua yang merupakan daerah pegunungan

Babel Bengkulu Jambi Kepri Lampung NAD Riau Sumbar Sumsel Sumut Banten DIY DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Kalbar Kalsel Kalteng Kaltim Bali NTB NTT Gorontalo Sulsel Sulteng Sultra Sulut Irjabar Maluku Maluku Utara Papua Gambar 7.3. Komposisi penggunan Frekuensi menurut Pita Frekuensi per Propinsi 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0, 12,3%13,3% 9,8%3,4% 7,6%8,6% 6,2% 11,8% 9,9%3,1% 4,7% 2,7% 4,6% 6,6% 5,4% 7,8% 16,9% 12,6% 6,6% 13,9% 18, 26,6% 34,7% 28, 31,4% 38,4% 33,7%33,1% 31,8% 33,2% 31,3% 23,8% 34,6% 32,6%35,4% 35,5%31,1% 32,5% 32,8% 28,8% 28,5%32, 27,9% 27,1% 25,1% 33,4% 61,8% 57,1%55,3% 57,6%56,8%56,9%56, 60,6% 57,9%56, 63,4% 60,4% 64,9% 62,3% 57,4% 58,3% 56,7% 53, 54,4% 52,6% 59,8% 44,2% 51,3% 3,5%2,5%2,6%1,1%1,2%1,6%2,3%1,2%1,7%1,9%0,3%0,3%1,1%0,4%0,5%0,7% 4,2% 1,4% 6,2% 4,2% 0,9%1,4% 9,6% 6,5%1,4% 6,2% 2,6%3,0, 19,5% 0, 5,3% 7,1% 8,4% 15,5%17,1% 64,5% 27,4% 31,3% 31,9% 58,5% 50,5% 56,7% 49, 63,4% 31,3% 28, 18,9% 19,4% 26, 28,7% 22,8% 9,1% 20,7% 44, 36,6% 29,8% 20,9% VHF UHF SHF MF HF EHF

7.3.2. Penggunaan Berdasarkan Service Penggunaan pita frekuensi menurut service juga menunjukkan adanya peningkatan dalam penggunaan meskipun tahun 2010 baru memasuki pertengahan tahun. Peningkatan signifikan terutama terjadi untuk penggunaan frekuensi untu jenis fixed service dan land mobile (public). Penggunaan untuk fixed service pada sudah meningkat sebesar 8,6% dibanding penggunaan tahun sebelumnya sampai dengan pertengahan tahun 2010, sementara peningkatan penggunaan untuk land mobile (public) sudah mencapai 7,6%. Beberapa jenis service lain penggunaannya sampai pertengahan tahun 2010 ini masih lebih rendah dibanding penggunaan tahun 2009 seperti untuk Aeronautucal, Land Mobile (private) dan Maritim. Bahkan penggunaan untuk Aeonautical lebih rendah 43,4% dibanding tahun sebelumnya. Namun diperkirakan penggunaan untuk beberapa jenis service tersebut masih akan meningkat sehingga akan lebih tinggi dibanding penggunaan tahun sebelumnya. Tabel 7.4. Jumlah penggunaan kanal frekuensi menurut service 2009-2010 No. Service 2008** 2009 2010* 1 Aeronautical/Penerbangan 0 1.018 576 2 Broadcast (TV & Radio) 1.737 1.805 1.836 3 Fixed Service 122.949 171.483 186.174 4 Land Mobile (Private) 40.092 33.321 32.855 5 Land Mobile (Public) 52.705 77.809 83.725 6 Maritim 6.268 3.423 7 Satellite 627 682 786 Total 218.110 292.386 309.375 *)Sampai 8 Juli 2010 **) Merupakan data perhitungan ISR, bukan data jumlah frekuensi yang ditetapkan Perkembangan komposisi penggunaan frekuensi menurut service seperti ditunjukkan gambar 7.4 menunjukkan bahwa penggunaan frekuensi menurut service masih didominasi oleh penggunaan untuk jenis fixed service. Proporsi penggunaan jenis service fixed telepon sampai semester I tahun 2010 ini mencapai 60,2% dari total penggunaan. Proporsi ini lebih tinggi dibanding penggunaan tahun sebelumnya yang berkisar antara 56% sampai 58%. Peningkatan proporsi penggunaan fixed service ini sejalan dengan peningkatan penggunaannya yang cukup besar pada tahun 2010 ini dibanding jenis service yang lain. Proporsi penggunaan yang relatif besar juga terjadi untuk penggunaan jenis service land mobile (public) dan land mobile (private) yaitu masing-masing sebesar 27,1% dan 10,6%.

Sementara untuk jenis service lain proporsi penggunaannya masih rendah karena penggunaanya juga relatif kecil dibanding ketiga jenis service frekuensi tersebut. Gambar 7.4 Komposisi penggunaan frekuensi menurut service tahun 2008 semester I 2010 12 10 8 6 4 2 2008 2009 2010* Satellite 0,3% 0,2% 0,3% Maritim 0, 2,1% 1,1% Land Mobile (Public) 24,2% 26,6% 27,1% Land Mobile (Private) 18,4% 11,4% 10,6% Fixed Service 56,4% 58,6% 60,2% Broadcast (TV & Radio) 0,8% 0,6% 0,6% Aeronautical/Penerbangan 0, 0,3% 0,2% Jika dilihat lebih rinci penggunaan frekuensi sampai dengan penggunaan untuk masingmasing subservice menunjukkan bahwa penggunaan untuk fixed service memang jauh lebih besar dibanding penggunaan untuk subservice lainnya. Diantara penggunaan untuk service fixed service, penggunaan terbesar untuk subservice-nya adalah untuk subservice PP. Proporsi penggunaan subservice PP ini mencapai 57,5% dari total penggunaan seluruh subservice frekuensi. Sementara proporsi penggunaan untuk subservice lain pada Fixed service ini jauh lebih kecil dibanding proporsi penggunaan untuk subservice PP. Proporsi penggunaan subservice PMP misalnya hanya 3.11% dari total penggunaan subservice. Penggunaan menurut subservice ini yang cukup tinggi juga justru terjadi pada kelompok service Land Mobile (public) yaitu untuk jenis subservice GSM/DCS dan pada kelompok service land mobile (private) yaitu untuk subservice standard. Proporsi penggunaan untuk subservice GSM/DCS mencapai 26,4% dari total penggunaan frekuensi menurut subservice. Sementara proporsi penggunaan untuk jenis subservice Standard mencapai 10,5%. Penggunaan subservice GSM/DCS yang tinggi ini sejalan dengan semakin berkembangnya

AM 0,116% DVB-T 0,003% FM 0,323% TV 0,16 PMP 3,111% PMP Private 0,004% PP 57,531% PP Private 0,308% Paging 0,003% Standard 10,543% Taxi 0,098% Trungking 0,151% GSM/DCS 26,374% IS95 0,962% Trungking 0,056% Earth Fixed 0,079% Earth Mobile 0,019% Satellite 0,001% VSAT 0,159% industri telekomunikasi seluler dengan semakin banyaknya operator dan jangkauan oleh masing-masing operator sehingga semakin banyak menara pemancar (BTS) yang didirikan. Namun proporsi penggunaan subservice GSM DCS sampai semester I tahun 2010 ini masih lebih rendah dari proporsi penggunaannya selama tahun 2009. Proporsi penggunaan frekuensi untuk subservice lainnya tergolong kecil-kecil bahkan jauh dibawah tiga subservice tersebut. Penggunaan subservice lainnya kurang dari 1% kecuali untuk penggunaan subservice frekuensi PMP. Proporsi penggunaan untuk jenis subservice ini mencapai 3,1% dari total penggunaan. Penggunaan paling rendah adalah untuk satellite yang proporsinya hanya 0,002% dari total penggunaan frekuensi menurut subservice. Gambar 7.5. Komposisi Penggunaan Frekuensi menurut Service dan Subservice Tahun 2010 (8 Juli) Kanal Frekuensi Broadcast 0,6 Fixed Service 60,95% Land Mobile (Private) 10,8 Land Mobile (Public) 27,39% Satellite 0,26%

7.3.3. Penggunaan Menurut Propinsi Tabel 7.4 menunjukkan penggunaan frekuensi menurut service dan subservice untuk masing-masing pulau besar propinsi. Dari tabel tersebut terlihat bahwa penggunaan frekuensi untuk subservice paling besar adalah di pulau Jawa dan diikuti oleh Sumatera. Sementara untuk propinsi, pengguna terbesar frekuensi menurut subservice adalah di Jawa Barat, diikuti Jawa Timur dan DKI Jakarta. Proporsi penggunaan frekuensi menurut subservice di Jawa Barat mencapai 14,8% dari total penggunaan di seluruh propinsi, sementara proporsi penggunaan di Jawa Timur mencapai 11,9%. Secara total proporsi penggunaan frekuensi menurut subservice di tiga propinsi di Pulau Jawa ini mencapai 37,4% dari total penggunaan frekuensi di seluruh Indonesia.Sementara proporsi penggunaan frekuensi di propinsi-propinsi di Kawasan Timur Indonesia tergolong sangat rendah dimana proporsinya tidak ada yang mencapi 0,5% dari total penggunaan frekuensi. Dari jenis subservice yang digunakan untuk masing-masing propinsi, terdapat kecenderungan proporsi penggunaan yang sama dimana pada hampir semua propinsi, subservice PP (fixed service) dan GSM/DCS (land mobile (public) menjadi yang paling banyak digunakan. Proporsi penggunaan subservice PP rata-rata sekitar 52.4% dari total penggunaan frekuensi dengan terbesar di Gorontalo dan Jakarta yang proporsinya mencapai 63,9% dan 63,5% dibandingkan dengan total penggunaan frekuensi semua subservice di propinsi tersebut. Namun penggunaan subservice PP di beberapa propinsi di kawasan timur Indonesia seperti Maluku, Maluku Utara dan Papua relatih rendah dengan proporsi yang kurang dari 3. Demikian juga dengan proporsi penggunaan frekuensi untuk subservice GSM yang proporsinya kurang dari 2 di ketiga propinsi tersebut. Jenis subservice yang digunakan pada ketiga propinsi tersebut justru adalah frekuensi untuk subservice Standard (land mobile private). Proporsi penggunaan subservice di ketiga propinsi tersebut mencapai lebih dari 5. Penggunaan jenis subservice standard yang proporsinya relatif besar di ketiga propinsi tersebut diduga terkait dengan penggunaan untuk kebutuhan khusus. Sementara untuk semua propinsi menunjukkan bahwa penggunaan subservice yang paling rendah adalah untuk DVB-T (broadcast), PMPM private (Fixed Service), Paging (Land Mobile private) dan Trunking (land mobile public). Bahkan penggunaan subservice DVB-T, penggunaanya hanya terdapat di propinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat. Sementara

penggunaan subservice PMP Private hanya digunakan di propinsi Riau, DKI Jakarta dan Jawa Barat. Penggunaan subservice paging (land mobile private) hanya digunakan di propinsi Sumatera Barat, DKI Jakarta dan Kalimantan Barat. Sedangkan subservice Trunking (land mobile (public) tidak digunakan di wilayah Sulawesi serta di Indonesia Timur hanya digunakan di Papua. Dari pola penggunaan ini terlihat bahwa meskipun DKI Jakarta bukan propinsi yang menggunakan frekuensi paling banyak, namun semua jenis subservice frekuensi digunakan di propinsi ini. Dengan beragam kegiatan yang berlangsung di wilayahnya dan dinamika kota yang tinggi sebagai pusat pemerintahan dan pusat kegiatan ekonomi dan bisnis menjadikan semua jenis subservice frekuensi digunakan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Meskipun Jakarta bukan merupakan propinsi yang menggunakan frekuensi paling banyak, namun semua jenis subservice frekuensi digunakan di Jakarta. Hal ini terkait dengan penggunaanya untuk beragam kegiatan yang menunjang posisi Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan pusat kegiatan ekonomi/bisnis dengan dinamika sosial penduduk yang tinggi

Sampai 8 Juli 2010 Tabel 7.5. Penggunaan Frekuensi menurut Propinsi, Service dan Subservice sampai Desember 2010 (satuan : pemancar stasiun radio)

7.3.4. Pola Penggunaan menurut Wilayah Kepulauan Penggunaan frekuensi menurut service menunjukkan pola penggunaan dan intensitas penggunaan yang berbeda untuk tiap jenis subservice antar wilayah kepulauan. Gambar 7.6 yang menunjukkan penggunaan frekuensi menurut service untuk wilayah kepulauan Sumatera menunjukkan intensitas penggunaan yang masih relatif rendah meskipun sebagian propinsi masuk pada level intensitas penggunaan menengah. Pada wilayah ini, penggunaan frekuensi menurut service yang terbesar adalah dua propinsi Sumatera Utara, diikuti dengan propinsi Riau. Penggunaan frekuensi yang relatif cukup terlihat tinggi juga terjadi di propinsi Sumatera Selatan dan Lampung. Penggunaan frekuensi menurut service yang rendah terjadi di propinsi Bengkulu dan Bangka Belitung. Dari sisi jumlah penggunaanya, jenis service untuk broadcast dan satelitte relatif sangat rendah penggunaannya di wilayah Sumatera ini. Jika dilihat dari propinsi dengan penggunaan frekuensi yang besar, secara implisit menunjukkan bahwa daerah-daerah dengan penggunaan frekuensi yang besar juga menunjukkan tingkat perkembangan yang lebih maju dan dinamika sosial ekonomi masyarakat yang lebih tinggi. Pada daerah-daerah yang pembangunanya lebih maju dan tingkat perekonomian lebih tinggi seperti Sumatera Utara, Riau dan Lampung menunjukkan penggunaan frekuensi yang relatif lebih tinggi dibanding propinsi lain di Pulau Sumatera. Dari sisi jenis service yang digunakan, penggunaan frekuensi untuk Fixed service juga masih yang paling tinggi di semua propinsi di wilayah ini. Penggunaan jenis Fixed service yang paling tinggi di wilayah ini juga diikuti dengan penggunaan total frekuensi yang paling tinggi. Hal ini dapat dipahami mengingat penggunaan untuk fixed service ini sangat dominan dibanding service lainnya.

Gambar 7.6. Penggunaan Frekuensi menurut Service di wilayah Sumatera 30000 25000 20000 15000 10000 5000 0 Broadcast Fixed Service Land Mobile (private) Land Mobile (public) Satelite Penggunaan frekuensi menurut service di Pulau Jawa yang diperlihatkan pada gambar 7.7 menunjukkan bahwa penggunaan frekuensi di Pulau Jawa jauh lebih tinggi dibanding propinsi-propinsi lainnya. Penggunaan frekuensi untuk jenis fixed service di satu propinsi di Jawa bahkan bisa lebih besar daripada penggunaan semua jenis frekuensi di satu propinsi di Sumatera. Penggunaan frekuensi di Pulau Jawa paling banyak terdapat di Jawa Barat, diikuti oleh Jawa Timur dan DKI Jakarta. Penggunaan frekuensi yang relatif rendah di Pulau Jawa terdapat di propinsi Yogyakarta. Dari sisi jenis service yang digunakan, sebagaimana di Pulau Sumatera, penggunaan jenis service Frekuensi di Pulau Jawa paling banyak adalah untuk jenis fixed service, diikuti dengan penggunaan untuk jenis land mobiel (public). Penggunaan land mobile (public bahkan tergolong cukup tinggi di Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah. Penggunan jenis service land mobile public yang tinggi ini terkait dengan penggunaan untuk subservice GSM yang semakin banyak di wilayah-wilayah tersebut dengan semakin banyaknya operator seluler dan menjadikan wilayah Jawa sebagai pasar utamanya. Penggunaan frekuensi menurut service yang jauh lebih besar di pulau Jawa ini juga sejalan dengan jumlah penduduk yang lebih tinggi, tingkat kemajuan daerah serta dinamika kegiatan sosialekonomi masyarakat yang lebih tinggi di Pulau Jawa dibandingkan dengan propinsi lain.

Gambar 7.7. Penggunaan Frekuensi menurut Service di wilayah Jawa 30000 25000 20000 15000 10000 5000 0 Banten DIY DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Broadcast Fixed Service Land Mobile (private) Land Mobile (public) Satelite Penggunaan frekuensi menurut service di wilayah Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara menunjukkan kuantitas penggunaan yang juga rendah sebagaimana propinsi di luar Jawa. Penggunaan yang relatif tinggi hanya terjadi di propinsi Bali dan Sulawesi Selatan namun dengan tingkat penggunaan yang juga tidak terlalu tinggi. Sementara penggunaan frekuensi untuk propinsi Gorontalo sangat rendah. Hal ini diduga terkait dengan propinsi yang masih baru dan belum banyak berkembang sehinga dinamika kegiatan masyarakat yang membutuhkan penggunaan frekuensi juga relatif rendah. Pola penggunaan frekuensi di wilayah Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara ini secara implisit juga menunjukkan adanya korelasi yang kuat antara tingkat kemajuan dan perkembangan daerah serta dinamika kegiatan sosial ekonomi masyarakat dengan penggunaan frekuensi menurut service. Pada propinsi Bali meskipun wilayahnya tidak terlalu luas, namun penggunaan frekuensi khususnya untuk jenis fixed service cukup tinggi. Hal ini karena banyaknya kegiatan bisnis yang berkembang di Bali sebagai daerah tujuan pariwisata sehingga intensitas penggunaan frekuensi cukup tinggi. Di masa datang, dengan penggunaan perangkat teknologi informasi yang lebih tinggi (termasuk dengan mendorong usaha kecil dan menengah menggunakan perangkat TI) untuk mendukung kegiatan usahanya, penggunaan frekuensi di Bali diduga akan semakin tinggi.

Kondisi yang sama namun berbeda dari sisi geografis terjadi di Suawesi Selatan. Meskipun wilayahnya cukup luas, namun penggunaan frekuensi yang tinggi di propinsi ini diduga lebih disebabkan oleh masyarakat yang lebih maju dan dinamis serta lebih tingginya intensitas kegiatan bisnis, sosial dan pemerintahan di wilayah ini. Di wilayah Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara yang wilayahnya juga cukup luas justru tidak menunjukkan penggunaan frekuensi yang tinggi. Hal yang menarik justru ditunjukkan oleh propinsi Nusa Tenggara Timur. Meskipun tingkat kemajuan masyarakat dan dinamika kegiatan sosial ekonomi diwilayah ini tidak lebih tinggi di banding daerah-daerah di Sulawesi (kecuali Sulawesi Selatan), namun menunjukkan penggunaan frekuensi yang relatif lebih tinggi. Hal ini diduga terkait dengan kebutuhan untuk penggunaan untuk kebutuhan khusus dengan keberadaan perusahaan pertambangan atau kebutuhan khusus lainnya. Gambar 7.8. Penggunaan Frekuensi menurut Service di wilayah Bali, Nusa Tenggara dan Sulawesi 30.000 25.000 20.000 15.000 10.000 5.000 0 Bali NTB NTT Gorontalo Sulsel Sulteng Sultra Sulut Broadcast Fixed Service Land Mobile (private) Land Mobile (public) Satelite Penggunaan frekuensi untuk wilayah Kalimantan dan Kawasan Timur Indonesia (KTI) menunjukkan tingkat penggunaan yang rendah khususnya di Kawasan Timur Indonesia. Bahkan jika dilihat pada gambar 7.9 terlihat adanya kesenjangan yang cukup besar antara penggunaan frekuensi di wilayah Kalimantan dengan Kawasan Timur Indonesia. Hal ini secara tidak langsung juga menunjukkan kesenjangan penggunaan teknologi informasi diantara kedua kawasan tersebut dan ketertinggalan yang cukup parah dalam penggunaan teknologi informasi di Kawasan Timur Indonesia. Pada wilayah ini, penggunaan frekuensi

paling banyak terjadi di Kalimantan Timur yang memang memiliki kegiatan bisnis dan ekonomi paling tinggi, disusul Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan. Penggunaan frekuensi paling banyak juga masih untuk jenis fixed service terutama di Kalimantan Timur. Namun terdapat perbedaan yang cukup menarik dalam penggunaan jenis frekuensi berikutnya. Jika di propinsi lain di Kalimantan penggunaan terbanyak kedua adalah untuk jenis land mobile (public) yang diduga terkait dengan penggunaan untuk subservice GSM/DCS, namun penggunaan terbanyak kedua di Kalimantan Timur adalah untuk service land mobile (private). Jenis service land mobile (private) juga menjadi jenis frekuensi yang terbanyak digunakan di Maluku dan Papua, dua propinsi yang relatif signifikan penggunaan frekuensinya dibanding dua propinsi lain di kawasan Timur Indonesia. Penggunaan jenis service land mobile (private) yang tinggi di tiga propinsi ini diduga terkait penggunaan untuk kegiatan perusahaan/bisnis yang banyak berkembang di tiga daerah tersebut yaitu pertambangan di Kalimantan Timur dan Papua serta perikanan di Maluku. Gambar 7.9. Penggunaan Frekuensi menurut Service di wilayah Kalimantan, Maluku dan Papua 30.000 25.000 20.000 15.000 10.000 5.000 0 Kalbar Kalsel Kalteng Kaltim Irjabar Maluku Maluku Papua Broadcast Fixed Service Land Mobile (private) Land Mobile (public) Utara Satelite Penggunaan jenis service land mobile (private) yang lebih tinggi di Kalmantan Timur, Maluku dan Papua dibandingkan dengan Land Mobile (public) diduga terkait dengan penggunaan untuk kebutuhan perusahaan bisnis yang berkembang di ketiga propinsi tersebut yaitu pertambangan di Kalimantan Timur dan Papua dan perikanan di Maluku.

7.4. Perbandingan Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dengan Jumlah Penduduk dan Luas Wilayah Perbandingan penggunaan spektrum frekuensi radio antar propinsi dengan membandingkannya dengan jumlah penduduk dan luas wilayah perlu dilakukan agar dapat diketahui penyebaran penggunaan dan peruntukan frekuensi di suatu daerah secara tepat. Beberapa jenis spektrum frekuensi penggunaanya mungkin dipengaruhi oleh kepadatan penduduk di wilayah tersebut. Artinya untuk daerah dengan tingkat kepadatan penduduk tinggi, penggunaan spektrum frekuensinya akan semakin besar untuk melayani penduduk tersebut meskipun wilayahnya tidak luas. Sementara untuk jenis spektrum frekuensi lain, penggunannya mungkin tergantung dengan luasan wilayah. Artinya untuk wilayah yang luas, penggunaan spektrum services frekuensinya akan semakin besar. Pada bagian ini, perbandingan pengukuran penggunaan frekuensi dilakukan terhadap beberapa subservice utama yaitu frekuensi TV, Radio AM, Radio FM dan GDM/DCS. 7.4.1. Frekuensi TV Perbandingan penggunaan frekuensi TV dengan jumlah penduduk dan luas wilayah menurut propinsi di Sumatera dan Jawa menunjukkan bahwa pola penggunaann frekuensi TV lebih memiliki korelasi dengan jumlah penduduk atau wilayah administratifnya. Penggunaan frekuensi TV cenderung relatif lebih tinggi pada daerah-daerah dengan jumlah penduduk tinggi dan tersebar di propinsi tersebut seperti di Jawa Timur, Jawa Barat dan Jawa Tengah meskipun luas wilayahnya tidak terlalu besar. Sementara untuk propinsi-propinsi yang memiliki wilayah yang lebih luas seperti Riau, Sumatera Selatan dan Sumatera Utara tidak menunjukkan penggunaan frekuensi TV yang cukup tinggi. Beberapa propinsi dengan wilayah yang tidak terlalu luas dan penduduk yang tidak besar menunjukkan penggunaan frekuensi yang semakin rendah.

Gambar 7.10A. Perbandingan Jumlah Frekuensi TV dengan Jumlah Penduduk dan Luas Wilayah. 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0 TV Penduduk (x 100.000) Luas Wilayah (x1000) Sementara untuk wilayah Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara dan Kawasan Timur Indonesia, penggunaan frekuensi TV meskipun juga memiliki korelasi kuat dengan jumlah penduduk, namun memperhatikan juga luasan wilayah. Penggunaan frekuensi untuk wilayah yang memiliki penduduk relatif besar seperti Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Tengah menunjukkan penggunaan frekuensi yang lebih besar dibanding daerah dengan penduduk lebih sedikit seperti Kalimantan Tengah, Maluku Utara dan Irian Jaya Barat. Namun penggunaan frekuensi TV ini relatif rendah di Nusa Tenggara meskipun memiliki jumlah penduduk yang cukup besar. Sementara untuk beberapa propinsi lain, luasan wilayah cukup mempengaruhi penggunaan jenis service frekuensi TV. Di propinsi Papua misalnya yang wilayahnya leih luas menunjukkan peggunaan frekuensi TV yang lebih besar dibanding Nusa Tenggara dan Sulawesi Tenggara yang memiliki jumlah penduduk lebih banyak. Pada daerah dengan tipologi daratan yang memanjang juga menunjukkan penggunaan frekuensi yang juga tinggi dibanding daerah yang tidak memanjang. Penggunaan frekuensi TV di Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan yang memiliki karakteristik wilayah yang memanjang menunjukkan jumlah penggunaan yang lebih besar daripada penggunaan frekuensi di Kalimantan Timur atau Kalimantan Tengah yang wilayahnya lebih

luas atau dinamika ekonominya lebih tinggi. Hal ini diduga terkait dengan kebutuhan persebaran pemancar yang lebih besar untuk daerah dengan geografis memanjang. Gambar 7.10B. Perbandingan Jumlah Frekuensi TV dengan Jumlah Penduduk dan Luas Wilayah 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0 TV Penduduk (x 100.000) Luas Wilayah (x1000) Penggunaan frekuensi TV menunjukkan pola penggunaan yang lebih tinggi pada daerah-daerah dengan jumlah penduduk lebih tinggi dan tersebar pada propinsi tersebut dibanding pada daerah dengan jumlah penduduk lebih sedikit. Namun untuk kawasan Timur Indonesia, wilayah yang luas dan bentuk geografis yang memanjang juga menunjukkan korelasi positif dengan jumlah penggunaan frekuensi 7.4.2. Frekuensi Radio AM Pola perbandingan antara penggunaan frekuensi radio AM dengan jumlah penduduk dan wilayah menunjukkan hal yang hampir serupa dengan penggunaan frekuensi TV dimana penggunaan frekuensi radio cenderung tinggi pada daerah dengan penduduk yang tinggi dan tersebar. Lebih spesifik lagi, penggunaan frekuensi radio AM menunjukkan jumlah yang tinggi pada propinsi dengan darah perkotaan yang banyak dan tersebar seperti di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sementara untuk wilayah DKI Jakarta dan di Jogjakarta

meskipun merupakan daerah perkotaan dengan jumah penduduk cukup besar, namun daerah perkotaanya relatif terpusat. Disamping itu, dengan kondisi perkotaan yang sudah maju, penggunaan frekuensi radio diduga lebih banyak untuk frekuensi radio FM dibanding AM. Dari pola penggunaan diwilayah Sumatera, Jawa dan Bali ini juga terlihat bahwa penggunaan frekuensi radio AM relatif tinggi pada propinsi yang memiliki banyak daerah perkotaan menengah dan jumlah penduduk relatif besar seperti ditunjukkan Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Gambar 7.11A. Perbandingan Penggunaan Frekuensi AM dengan Jumlah Penduduk dan Luas Wilayah 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0 AM Penduduk (x 100.000) Luas Wilayah (x1000) Sementara penggunaan frekuensi radio AM di wilayah tengah dan Timur Indonesia menunjukkan tingkat penggunaan yang relatif lebih rendah dibanding propinsi-propinsi di bagian Barat Indonesia. Penggunaan frekuensi radio AM dengan luas wilayah dan jumlah penduduk menunjukkan bahwa penggunaan frekuensi radio AM ini lebih menunjukkan korelasi dengan jumlah penduduk daripada luas wilayah. Propinsi-propinsi dengan kepadatan penduduk tinggi seperti Kalimantan Selatan dan Suawesi Selatan menunjukkan penggunaan frekuensi radio AM yang lebih tinggi dibanding propinsi lain. Hal ini terkait dengan sasaran dari penggunaan frekuensi radio AM yang banyak untuk kebutuhan komersial sehingga memperhatikan potensi pasar (penduduk) dari pengguna frekuensi radio AM tersebut. Namun untuk Kalimantan Timur yang memiliki daerah perkotaan relatif lebih

maju, penggunaan frekuensi radio AM yang rendah diduga karena sebagian sudah beralih menggunakan frekuensi radio FM dengan kualitas yang lebih baik. Gambar 7.11B. Perbandingan Penggunaan Frekuensi AM dengan Jumlah Penduduk dan Luas Wilayah 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0 AM Penduduk (x 100.000) Luas Wilayah (x1000) 7.4.3. Frekuensi Radio FM Seperti telah diduga, terdapat korelasi negatif antara penggunaan frekuensi FM dengan frekuensi AM pada daerah-daerah tertentu khususnya di perkotaan dengan luas wilayah yang tidak besar namun padat penduduk. Disamping itu, perbandingan antara penggunaan frekuensi dengan luas wilayah dan jumlah penduduk untuk frekuensi FM menunjukkan pola yang berbeda dengan penggunaan frekuensi AM. Penggunaan frekuensi FM di Sumatera dan Jawa menunjukkan jumlah yang tinggi pada propinsi-propinsi yang banyak memiliki daerah perkotaan seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sumatera Utara. Bahkan untuk daerah perkotaan padat, penggunaan frekuensi FM ini relatif tinggi dibandingkan dengan jumlah penduduknya seperti untuk wilayah DKI Jakarta, DI Yogyakarta dan Bali. Penggunan frekuensi FM pada daerah-daerah ini lebih menunjukkan korelasi dengan dinamika perkembangan wilayah daripada dengan jumlah penduduk dan luas wilayah. Hal ini semakin terlihat dengan rendahnya penggunaan frekuensi FM pada daerah-daerah yang

relatif belum berkembang maju seperti Bengkulu, Bangka Belitung dan Kepulauan Riau seperti terlihat pada gambar 7.12A. Gambar 7.12A. Perbandingan Penggunaan Frekuensi FM dengan Jumlah Penduduk dan Luas Wilayah 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0 FM Penduduk (x 100.000) Luas Wilayah (x1000) Penggunaan frekuensi FM pada wilayah Tengah dan Timur Indonesia juga menunjukkan tidak terlalu ada korelasi yang kuat antara penggunaan frekuensi FM dengan jumlah penduduk dan luas maupun topografi wilayah. Penggunaan frekuensi FM di Kalimantan misalnya justru menunjukkan penggunaan yang relatif tinggi pada daerah yang jumlah penduduknya lebih rendah seperti di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Namun jika dilakukan perbandingan antara penggunaan frekuensi FM di Kalimantan dan Sulawesi terdapat kecenderungan penggunaan frekuensi FM relatif lebih besar pada propinsi yang memiliki wilayah lebih luas. Pada kawasan Tengah dan Timur Indonesia ini, penggunaan frekuensi FM di Nusa Tenggara menunjukkan jumlah yang relatif cukup besar jika dikaitkan dengan jumlah penduduknya dibanding propinsi-propinsi lain.

Gambar 7.12B. Perbandingan Penggunaan Frekuensi FM dengan Jumlah Penduduk dan Luas Wilayah 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0 FM Penduduk (x 100.000) Luas Wilayah (x1000) 7.4.4. Frekuensi GSM Diantara jenis subservice frekuensi yang penggunaanya diperbandingkan dengan luas wilayah dan jumlah penduduk, frekuensi GSM adalah jenis service yang penggunaannya paling besar dibandingkan jenis service frekuensi lain. Hal ini tidak terlepas dari perkembangan telekomunikasi seluler yang sangat pesat di Indonesia dengan memanfaatkan pasar yang sangat besar dari jumlah penduduk Indonesia. Persebarannya juga sangat dipengaruhi oleh geografi Indonesia yang sangat tersebar (memanjang) dan terdiri atas pulau-pulau besar dan kecil. Penggunaan frekuensi GSM di wilayah Sumatera, Jawa dan Bali menunjukkan tingkat penggunaan yang cukup tinggi sejalan dengan jumlah penduduk yang juga besar. Perbandingan antara penggunaan frekuensi GSM dengan jumlah penduduk dan luas wilayah di Sumatera dan Jawa juga menujukkan adanya korelasi antara jumlah penduduk dengan penggunaan frekuensi GSM dimana penggunaan frekuensi GSM cenderung tinggi pada daerah-daerah dengan jumlah dan kepadatan penduduk tinggi. Disamping itu pola persebarannya juga menujukkan adanya pengaruh tingkat perkembangan wilayah terhadap penggunaan frekuensi GSM. Khusus untuk DKI Jakarta, DI Jogjakarta dan Bali yang secara

keseluruhan wilayahnya memiliki tingkat kemajuan yang lebih tinggi dan penduduknya padat, penggunaan frekuensi GSM bahkan cenderung tinggi meskipun wilayahnya kecil. Untuk ketiga propinsi ini, dibandingkan luas wilayahnya, penggunan frekuensi GSM yang mencerminkan keberadaan BTS untuk GSM sudah dalam tingkatan sangat padat dimana penggunaan satu frekuensi GSM sebanding dengan luasan kurang dari 2,5 km2 untuk DI Yogyakarta dan Bali dan bahkan kurang dari 0,1 km untuk DKI Jakarta. Gambar 7.13A. Perbandingan Penggunaan Frekuensi GSM dengan Jumlah Penduduk dan Luas Wilayah 45.000 40.000 35.000 30.000 25.000 20.000 15.000 10.000 5.000 0 GSM/DCS Penduduk (x 1000) Luas Wilayah (x10) Perbandingan penggunaan frekuensi GSM dengan luas wilayah di kawasan Tengah dan Timur Indonesia menunjukkan tingkat penggunaan yang belum terlalu padat. Penggunaaan frekuensi GSM bahkan cenderung memiliki korelasi yang lebih kuat dengan jumlah penduduk dimana penggunaannya relatif lebih tinggi pada daerah-daerah dengan jumlah penduduk yang lebih tinggi seperti di NTB, Kalimantan Timur dan Sulawesi Selatan. Sementara pada propinsi yang wilayahnya luas seperti Papua, Irian Jaya Barat dan Kalimantan Tengah, penggunaanya justru relatif rendah.

Secara umum juga tidak terdapat perbedaan yang signifikan alam penggunaan frekuensi GSM antara propinsi-propinsi yang memiliki wilayah luas seperti di Kalimantan dan Papua dengan propinsi-propinsi yang memiliki wilayah yang lebih kecil seperti di Nusa Tenggara, Sulawesi dan Maluku. Bahkan untuk wilayah Maluku yang memiliki kondisi geografis berbentuk kepulauan yang tersebar memanjang, penggunaan frekuensi GSM tidak menunjukkan penggunaan yang tinggi. Secara implisit ini menujukkan penggunaan frekuensi untuk jenis service GSM ini tidak tersebar mengikuti kondisi geografis. Gambar 7.13B. Perbandingan Penggunaan Frekuensi GSM dengan Jumlah Penduduk dan Luas Wilayah 45.000 40.000 35.000 30.000 25.000 20.000 15.000 10.000 5.000 0 GSM/DCS Penduduk (x 1000) Luas Wilayah (x10) Tingginya penggunaan frekuensi GSM pada propinsi yang wilayahnya tidak besar seperti DKI Jakarta, DI Yogyakarta dan Bali secara implisit menunjukkan kepadatan menara pemancar frekuensi GSM yang sudah sangat padat. Sebaliknya penggunaan yang masih rendah di propinsi yang geografisnya tersebar dalam kepulauan seperti di Maluku menunjukkan belum terjadinya persebaran penggunaan frekuensi GSM mengikuti sebaran kepulauan.

7.5. Penerbitan Izin Amatir Radio Salah sat tugas pokok dan fungsi yang dimiliki oleh unit kerja di Direktorat Frekuensi adalah penerbitan izin amatir radio untuk stasiun radio yang digunakan oleh berbagai pihak. Penerbitan izin amatir radio ini merupakan bagian dari instrumen monitoring untuk penggunaan frekuensi radio yang digunakan oleh publik. Terdapat tiga jenis izin amatir radio yang dikeluarkan oleh Direktorat Frekuensi yaitu IAR, IKRAP dan SKAR. Dari total izin amatir radio yang dikeluarkan, sebaran penerbitan izin amatir radio menunjukkan paling banyak diterbitkan di Jawa Barat untuk semua jenis izin, diikuti di DKI Jakarta dan Jawa Timur. Sebaran penerbitan izin amatir radio ini memang masih terkonsentrasi di pulau Jawa dengan proporsi mencapai 74,3% dari total izin yang diterbitkan. Bahkan untuk jenis IAR proporsinya mencapai 88,6% dari izin yang diterbitkan. Hanya untuk jenis IKRAP saja yang proporsinya relatif rendah yaitu sekitar 39%. Proporsi penerbitan izin di daerah-daerah di Jawa masing-masing adalah Jawa Barat (24,2%), DKI Jakarta (19,2%) dan Jawa Timur (14%) Daerah diluar Jawa yang cukup signifikan jumlah penerbitan izin amatir radio-nya adalah Bangka Belitung, Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan. Tingginya penerbitan izin amatir radio di Bangka Belitung khusunya untuk jenis AIR dan IKRAP merupakan fenomena yang menarik mengingat Bangka Belitung merupakan propinsi baru hasil pemekaran dan tingkat kemajuan sosial-ekonomi maupun kepadatan penduduk yang belum tinggi. Faktor wilayah geografis yang berbentuk kepulauan diduga menjadi faktor yang menyebabkan penerbitan izin di Bangka Belitung cukup tinggi.

Gambar 7.14.Sebaran penerbitan izin amatir radio menurut jenis izin dan propinsi. 800 700 600 500 400 300 200 100 0 DKI NAD Sum Sum Jam ut bar bi Riau Kepr Ben Sum gkul i se u Lam Jalb Kals Kalt Jaba Jate pun ar el eng r ng g Jati m Kalti DIY Bali NTB NTT m Total 563 6 137 54 21 63 0 38 0 20 13 48 3 709 145 410 322 39 0 0 12 24 5 105 0 1 35 1 0 128 0 29 IAR 328 0 6 0 0 33 0 0 0 20 13 48 0 659 95 410 261 17 0 0 12 0 5 0 0 1 0 0 0 71 0 0 IKRAP 17 6 0 54 21 30 0 0 0 0 0 0 3 50 50 0 2 22 0 0 0 24 0 0 0 0 35 1 0 57 0 29 SKAR 218 0 131 0 0 0 0 38 0 0 0 0 0 0 0 0 59 0 0 0 0 0 0 105 0 0 0 0 0 0 0 0 Sulu t Sult eng Suls el Sultr a Pap ua Irjab ar Mal uku Mal ut Bab el Gor onta lo Bant en

Jika dilihat komposisi untuk masing-masing jenis ijin, paling banyak diterbitkan adalah untuk jenia IAR, diikuti oleh SKAR dan IKRAP. Secara total penerbitan ijin untuk IAR mencapai 68%, sementara untuk IKRAR dan SKAR komposisinya hanya 19% dan 14%. Komposisi menurut daerah juga menunjukkan pada sebagian besar daerah, proporsi izin IAR adalah yang paling besar seperti ditunjukkan pada gambar 7.15. Namun pada beberapa daerah lain, proporsi penerbitan untuk SKAR lebih besar seperti di Sulawesi Selatan, Sumatera Selatan dan Sumatera Utara. Sementara daerah dengan proporsi penerbitan IKRAR lebih tinggi terdapat di Banten, Maluku, Irian Jaya Barat, Sulawesi Utara, Kalimantan Tengah, Jambi dan Sumatera Barat. Namun pada daerah-daerah tersebut, penerbitan izin secara total tidak terlalu besar. Gambar 7.15. Komposisi izin amatir radio menurut jenis izin di tiap propinsi Total Banten Babel Maluku Irjabar Papua Sulsel Sulteng Sulut Kaltim Bali DIY Jatim Jateng Jabar Kalteng Kalsel Jalbar Lampung Sumse Riau Jambi Sumbar Sumut NAD DKI 4% 44% 55% 52% 58% 68% 66% 81% 10 10 10 10 10 10 10 10 93% 10 10 10 10 10 10 10 3% 14% 19% 56% 45% 48% 1% 34% 7% 2 4 6 8 10 IAR IKRAR SKAR