BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
TINJAUAN PUSTAKA. ekonomi uang, dimana daya beli yang ada dalam uang dengan berjalannya waktu

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. (excess demand) terhadap barang-barang dalam perekonomian secara

Cakupan Teori Ekonomi Makro, Output, Inflasi, Pengangguran, dan Variabel ekonomi Makro lainnya

PERMINTAAN DAN PENAWARAN AGREGAT

II. TINJAUAN PUSTAKA. sedangkan untuk negara yang sedang berkembang digunakan istilah pembangunan

ANALISIS KEBERADAAN TRADEOFF INFLASI DAN PENGANGGURAN (KURVA PHILLIPS) DI INDONESIA

V. TEORI INFLASI Pengertian Inflasi

BAB I PENDAHULUAN. inflasi yang rendah dan stabil. Sesuai dengan UU No. 3 Tahun 2004 Pasal 7,

Makro ekonomi adalah Makro artinya besar, analisis makro ekonomi merupakan analisis keseluruhan kegiatan perekonomian. Bersifat global dan tidak

I. PENDAHULUAN. jasa. Oleh karena itu, sektor riil ini disebut juga dengan istilah pasar barang. Sisi

BAB I PENDAHULUAN. didunia, termasuk Indonesia. Apabila inflasi ditekan dapat mengakibatkan

Permintaan Agregat & Penawaran Agregat

ekonomi K-13 INFLASI K e l a s A. INFLASI DAN GEJALA INFLASI Tujuan Pembelajaran

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Nilai Tukar Riil dan Nilai Tukar Nominal

= Inflasi Pt = Indeks Harga Konsumen tahun-t Pt-1 = Indeks Harga Konsumen tahun sebelumnya (t-1)

BAB II KAJIAN PUSTAKA. materi tersebut disampaikan secara berurutan, sebagai berikut.

PENGANTAR EKONOMI MAKRO. Masalah Utama dalam perekonomian, Alat Pengamat Kegiatan Ekonomi dan Kebijakan Ekonomi Makro

Pengantar Ekonomi Makro. Oleh Ruly Wiliandri, SE., MM

PENGUKURAN INFLASI. Dalam menghitung Inflasi secara umum digunakan rumus: P P

EKONOMI MAKRO RINA FITRIANA,ST,MM

PENGANTAR ILMU EKONOMI MAKRO BAB 1 RUANG LINGKUP ANALISIS MAKROEKONOMI

Jenis-Jenis Inflasi. Berdasarkan Tingkat Keparahan;

Kebijakan Moneter dan Fiskal

BAB II TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

I. PENDAHULUAN. kebijakan moneter Bank Indonesia (BI) untuk mencapai tujuannya yaitu

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Mankiw, 2006: 145). Ini tidak berarti bahwa harga harga berbagai macam

Indikator Inflasi Beberapa indeks yang sering digunakan untuk mengukur inflasi seperti;.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Untuk mengukur kinerja ekonomi suatu negara dapat dilakukan dengan menghitung

BAB I PENDAHULUAN. Inflasi adalah fenomena yang selalu ada di setiap negara dan merupakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pokok penelitian. Teori yang dibahas dalam bab ini meliputi definisi kemiskinan,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Kebutuhan manusia selalu berkembang sejalan dengan tuntutan zaman, tidak

KURVA PHILLIPS (PHILLIPS CURVE) 1

Pengantar Ekonomi Makro. Oleh Ruly Wiliandri, SE., MM

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

III. KERANGKA TEORITIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB VI INFLATION, MONEY GROWTH & BUDGET DEFICIT

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Teori Inflasi Definisi Inflasi. Inflasi merupakan kecenderungan meningkatnya tingkat harga secara

Xpedia Ekonomi. Makroekonomi

BAB II TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. beberapa hasil penelitian terdahulu: Penelitian Nugroho dan Basuki (2012) dengan judul Analisis Faktorfaktor

BAB 1 PENDAHULUAN. negeri, seperti tercermin dari terdapatnya kegiatan ekspor dan impor (Simorangkir dan Suseno, 2004, p.1)

BAB I PENDAHULUAN. atau bahkan tercapainya full employment adalah kondisi ideal perekonomian yang

Ilmu Ekonomi Pengangguran dan Inflasi

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Analisis dampak..., Wawan Setiawan..., FE UI, 2010.

BAB I PENDAHULUAN. diartikan sebagai nilai tambah total yang dihasilkan oleh seluruh kegiatan

Bab I. Pendahuluan Latar Belakang

Permintaan dan Penawaran Agregat. Copyright 2004 South-Western

BAB I PENDAHULUAN. saat ini. Sekalipun pengaruh aktifitas ekonomi Indonesia tidak besar terhadap

BAB I PENDAHULUAN. Perekonomian Indonesia di tengah perekonomian global semakin

MODEL SEDERHANA PERMINTAAN AGREGAT PENAWARAN AGREGAT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. sembilan persen pertahun hingga disebut sebagai salah satu the Asian miracle

I. PENDAHULUAN. Salah satu tujuan negara adalah pemerataan pembangunan ekonomi. Dalam

I. PENDAHULUAN. Dalam beberapa tahun terakhir ini, banyak bank sentral di berbagai negara telah

IV. FLUKTUASI MAKROEKONOMI INDONESIA

ANALISIS PENGARUH JUMLAH UANG BEREDAR DAN TINGKAT SUKU BUNGA TERHADAP PERMINTAAN AGREGAT DI INDONESIA

BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA. negara selain faktor-faktor lainnya seperti PDB per kapita, pertumbuhan ekonomi,

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 2 LANDASAN TEORI

II. TINJAUAN PUSTAKA. atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain.

PERKEMBANGAN TRIWULAN PEREKONOMIAN INDONESIA Keberlanjutan ditengah gejolak. Juni 2010

BAB I PENDAHULUAN. fenomena yang relatif baru bagi perekonomian Indonesia. perekonomian suatu Negara. Pertumbuhan ekonomi juga diartikan sebagai

TINJAUAN PUSTAKA. minyak bumi. Berdasarkan undang-undang no.8 tahun 1971, pertamina

Pengant eng ant Ilmu E o k nomi

Mekanisme transmisi. Angelina Ika Rahutami 2011

Suku Bunga dan Inflasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Analisis fundamental. Daftar isi. [sunting] Analisis fundamental perusahaan. Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu peristiwa moneter yang penting dan hampir dijumpai semua

Hubungan antara Inflasi dan Jumlah Uang Beredar

BAB I PENDAHULUAN. fiskal maupun moneter. Pada skala mikro, rumah tangga/masyarakat misalnya,

IV. KINERJA MONETER DAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA Kinerja Moneter dan Perekonomian Indonesia

INFLATION. Izza Mafruhah, SE, MSi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Boediono (2000) Inflasi dapat diartikan sebagai kecenderungan kenaikan

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN AGREGAT DI SUMATERA BARAT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan dalam mengatur kegiatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. harga. Badan Pusat Statistik (2005) mendefinisikan inflasi sebagai angka

Analisis dalam teori mikro ekonomi pada umumnya meliputi bagian-bagian kecil dari keseluruhan kegiatan perekonomian, mis. Kegiatan seorang konsumen,

IV. GAMBARAN UMUM 4.1 Gambaran Umum Inflasi di Pulau Jawa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembangunan ekonomi, pertumbuhan ekonomi, dan teori konvergensi.

BAB I PENDAHULUAN. negara. Inflasi itu sendiri yaitu kecenderungan dari harga-harga untuk menaik

IV. GAMBARAN UMUM HARGA MINYAK DUNIA DAN KONDISI PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA ASEAN+3

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. dalam suatu periode tertentu, baik atas dasar harga berlaku maupun atas

BAB I PENDAHULUAN. lebih terbuka (openness). Perekonomian terbuka dalam arti dimana terdapat

I. PENDAHULUAN. Pergerakan nilai tukar rupiah terhadap mata uang dollar Amerika setelah

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. berdampak pada tingkat pengangguran seperti yang dijelaskan oleh teori trade-off

BAB II TINJAUAN TEORI. landasan teori yang digunakan dalam penelitian yaitu mengenai variabel-variabel

BAB II TINJAUAN TEORI. Tenaga Kerja adalah penduduk yang berada dalam usia kerja. Menurut

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. konsisten, perekonomian dibangun atas dasar prinsip lebih besar pasak dari pada

BAB I PENDAHULUAN. Sehubungan dengan fenomena shock ini adalah sangat menarik berbicara tentang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Permasalahan makro ekonomi yang begitu rumit menjadikan para pengambil

BAB I PENDAHULUAN. A. LATAR BELAKANG Permintaan uang mempunyai peranan yang sangat penting bagi

Pengantar Makro Ekonomi. Pengantar Ilmu Ekonomi

Transkripsi:

10 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Permintaan Agregat (Aggregate Demand) Menurut Krugman dan Obstfeld (2005:166) permintaan agregat (aggregate demand,ad) adalah keseluruhan barang dan jasa dari suatu negara yang diminta oleh segenap rumah tangga dan perusahaan dari seluruh dunia. Dalam perekonomian terbuka, keseluruhan tingkat output barang dan jasa dari suatu negara dalam jangka pendek ditentukan oleh tingkat permintaan agregatnya, sedangkan dalam jangka panjang, yang berarti perekonomian dalam kondisi full employment, tingkat output barang dan jasa suatu negara hanya ditentukan oleh tersedianya supply (penawaran) faktor-faktor produksi domestik, seperti tenaga kerja dan modal. Output dalam suatu perekonomian dapat digolongkan menjadi empat macam pembelanjaan atau pengeluaran yang menjadi sumber pendapatan nasional. Setiap komponen dari permintaan agregat ini dipengaruhi oleh berbagai faktor. Menurut Samuelson dan Nordhaus (2004:155) komponen-komponen tersebut seperti dijelaskan dibawah ini : 1. Konsumsi (C). Pengeluaran untuk konsumsi sangat ditentukan oleh pendapatan yang dapat diatur, yaitu pendapatan pribadi dikurangi pajak. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi konsumsi adalah trend jangka yang lebih panjang pada pendapatan, kekayaan rumah tangga, dan tingkat harga agregat. 10

11 Analisa permintaan agregat berfokus pada penentuan konsumsi nyata, yaitu konsumsi dolar atau nominal dibagi dengan indeks harga konsumsi. 2. Investasi (I). Pengeluaran investasi meliputi pembelian gedung, perangkat lunak, perlengkapan dan akumulasi inventaris. Penentu utama inventaris adalah tingkat output, biaya modal, dan harapan tentang masa depan. Kebijakan moneter merupakan saluran utama yang dapat mempengaruhi investasi. 3. Pembelian pemerintah (G). Komponen ketiga dari permintaan agregat adalah pembelian barang dan jasa oleh pemerintah. Komponen ini ditentukan langsung oleh keputusan pengeluaran pemerintah. 4. Ekspor netto(x). Ekspor netto yaitu nilai ekspor dikurangi nilai impor. Impor ditentukan oleh output dan pendapatan domestik dengan rasio dari harga domestik dan luar negeri, dan oleh nilai tukar dolar. Ekspor (impor dari negara lain) adalah gambar cerminan dari impor ditentukan oleh output dan pendapatan asing oleh harga-harga yang berhubungan, dan oleh nilai tukar asing. Ekspor netto ditentukan oleh pendapatan domestik dan luar negeri, harga-harga yang berhubungan, dan nilai tukar.

12 P Tingkat H arga P C I G X AD Q Q Output riil Sumber: Samuelson dan Nordhaus (2004) Gambar 2.1 Komponen-Komponen Permintaan Agregat Berdasarkan Gambar 2.1 permintaan agregat (AD) terdiri dari empat komponen: konsumsi (C), investasi domestik swasta (I), pengeluaran pemerintah akan barang dan jasa (G), dan Ekspor Netto (X). Permintaan agregat bergeser jika terjadi perubahan pada kebijakan ekonomi makro, seperti perubahan kebijakan moneter, perubahan pada pengeluaran pemerintah, dan perubahan tingkat pajak. Menurut Mankiw (2006:256) kurva permintaan agregat adalah hubungan antara jumlah output yang diminta dan tingkat harga agregat. Dengan kata lain, kurva permintaan agregat menyatakan jumlah barang dan jasa yang ingin dibeli pada setiap tingkat harga. Kurva ini memiliki kemiringan (slope) negatif, yang menunjukkan bahwa dengan asumsi variabel lain adalah tetap, semakin tinggi tingkat harga maka semakin sedikit kuantitas output yang diminta. Kurva permintaan agregat memiliki kemiringan negatif karena efek kekayaan pada pengeluaran, subtitusi barang impor dan efek bunga pada pengeluaran.

13 P (a) P (b) 25 25 Tingkat harga 20 15 10 C B Tingkat harga 20 15 10 AD 50 AD 50 AD 0 1.000 2.000 3.000 4.000 Q 0 1.000 2.000 3.000 4.000 Q Output riil Output riil Sumber: Samuelson dan Nordhaus (2004) Gambar 2.2 Pergerakan dan Pergeseran Kurva Permintaan Agregat Pada Gambar 2.2 ditunjukkan bagaimana pergerakan dan pergeseran kurva permintaan agregat. Pada bagian (a) tingkat harga yang lebih tinggi dengan supply uang nominal menyebabkan pengetatan uang, suku bunga yang lebih tinggi, dan penurunan pengeluaran pada investasi sensitif-bunga dan konsumsi. Hal tersebut menggambarkan pergerakan-pergerakan di sepanjang kurva AD dari B ke C ketika hal-hal lain dianggap konstan. Pada bagian (b) hal-hal lain tidak dianggap konstan lagi. Perubahan-perubahan variabel yang terjadi pada AD menyebabkan perubahan-perubahan pada pengeluaran total pada tingkat harga yang diberikan. Hal tersebut menyebabkan pergeseran kurva AD. 2.1.2 Penawaran Agregat (Aggregate Supply) Blanchard (2006:140-142) menjelaskan bahwa penawaran agregat (aggregate supply, AS) adalah hubungan antara jumlah barang dan jasa (output)

14 yang ditawarkan dan tingkat harga. Hubungan ini diturunkan dari perilaku upah dan harga. Persamaan harga dan upah adalah: W = P F(u, z).. (2.1) P = (1 + μ)w... (2.2) dimana: P = tingkat harga yang diharapkan μ = tingkat pengangguran Langkah pertama untuk mengeliminasi upah nominal diantara kedua persamaan tersebut adalah: P = P (1 + μ)f(u, z)... (2.3) Dengan kata lain, tingkat harga bergantung pada tingkat harga yang di harapkan dan tingkat penganggguran, dengan asumsi u dan z adalah konstan. Langkah kedua adalah dengan menyatakan tingkat pengangguran sebagai fungsi output: u = = = 1 = 1. (2.4) Persamaan pertama, menunjukkan definisi dari tingkat pengangguran. Persamaan kedua menunjukkan definisi dari pengangguran (U = L - N). Persamaan ketiga hanya sebagai penyederhana. Persamaan keempat adalah spesifikasi dari fungsi produksi, yang mengatakan bahwa untuk memproduksi satu output dibutuhkan satu pekerja, jadi Y = N. Dengan kata lain, pada suatu tingkat tenaga kerja tertentu, semakin tinggi output, semakin rendah tingkat pengangguran. Langkah ketiga adalah dengan menggantikan tingkat pengangguan dengan persamaan 2.1 untuk mendapatkan hubungan dengan penawaran agregat. P = P (1 + μ)f 1, z.. (2.5)

15 Persamaan tersebut menunjukkan bahwa harga bergantung pada tingkat harga yang diharapkan dan tingkat output, dan juga μ,z dan L yang diasumsikan konstan. Persamaan AS atau penawaran agregat memiliki dua sifat utama. Pertama, kenaikan output menyebabkan kenaikan tingkat harga yang terjadi dalam empat langkah, yaitu: kenaikan output menaikkan jumlah pekerja, menurunkan tingkat pengangguran, meningkatkan upah nominal dan meningkatkan harga output. Kedua, kenaikan dalam tingkat harga yang diharapkan menyebabkan kenaikan tingkat harga aktual. Proses ini terjadi melalui upah yaitu jika para penentu upah berpikir akan terjadi kenaikan harga, maka mereka akan menaikkan upah nominal. Kenaikan upah nominal tersebut menyebabkan kenaikan biaya yang pada gilirannya akan menaikkan harga. Dalam jangka panjang perusahaan biasanya menawarkan barang dan jasa dengan harga yang fleksibel dan dalam jangka pendek tingkat harga umumnya bersifat kaku, sehingga penawaran agregat sangat bergantung pada horizon waktu. Hal ini juga menyebabkan perbedaan antara kurva penawaran agregat jangka panjang (long-run aggregate supply) dan kurva penawaran agregat jangka pendek (short-run aggregate supply). Kurva penawaran agregat dalam jangka panjang berbentuk vertikal karena tingkat harga dalam jangka panjang fleksibel dan pergeseran dalam permintaan agregat akan mempengaruhi harga, tetapi output perekonomian tetap pada tingkat alamiah. Pada jangka pendek, tingkat harga bersifat kaku dan penawaran agregat miring ke kanan atas, dan pergeseran permintaan akan menyebabkan fluktuasi pada output.

16 AS 0 AS 1 Tingkat harga Y 0 * Y 1 * Output Sumber: Begg (2003) Gambar 2.3 Kurva AS Dalam Jangka Panjang Menurut model klasik, permintaan agregat adalah sama dengan output potensial pada setiap tingkat harga. Kenaikan output potensial, dari Y 0 * ke Y 1 * menggeser kurva penawaran agregat dari AS 0 ke AS 1 (Gambar 2.3). Untuk setiap tingkat output potensial, tingkat harga yang rendah tidak akan menurunkan output riil yang diharapkan. AS untuk P Tingkat Harga, P P=P e A P e A AS (untuk tingkat harga yang diharapkan P e ) Y n Output, Y Sumber: Blanchard (2006) Gambar 2.4 Pergeseran Kurva Penawaran Agregat

17 Berdasarkan Gambar 2.4 dapat dijelaskan bahwa kurva penawaran agregat jangka pendek memiliki tiga karakteristik, yaitu: berbentuk miring ke kanan atas, yang menunjukkan bahwa kenaikan output, Y, menyebabkan naiknya tingkat harga, P, melalui titik A, dimana Y = Y n dan P = P e, serta kenaikan tingkat harga yang diharapkan P e menggeser kurva penawaran agregat keatas. Untuk menjelaskan implikasi dari penawaran agregat dalam jangka pendek terdapat tiga model pendekatan, yaitu model upah-kaku (sticky-wage model), model informasi tak-sempurna (imperfect-information model), dan model harga kaku (sticky-price model). Dalam jangka pendek, pergeseran dalam kurva permintaan agregat menyebabkan tingkat output menyimpang dari tingkat alamiah, hal ini menunjukkan kondisi booming dan penurunan dari siklus bisnis (Mankiw, 2003:340). Inflation π 0 π 2 B A A 2 SAS SAS 1 SAS 2 Y Output Y p Sumber: Begg (2003) Gambar 2.5 Kurva AS Dalam Jangka Pendek Gambar 2.5 menunjukkan bahwa perekonomian dimulai pada keseimbangan output potensial di titik A. Dalam jangka pendek, perusahaan

18 memegang kuasa atas pertumbuhan upah nominal, perusahaan akan menaikkan harga ketika terjadi kenaikan biaya upah. Masing-masing kurva penawaran agregat jangka pendek menunjukkan tingkat perubahan upah nominal yang berbeda. Jika tingkat inflasi berada diatas π 0 upah nominal akan lebih rendah dari yang diharapkan. Perusahaan akan mengambil keuntungan dengan menambah pekerja atau menambah output produksinya. Sebaliknya, jika inflasi berada dibawah π 0 maka upah riil akan lebih tinggi dari yang diharapkan. Karena terjadi peningkatan biaya upah buruh, maka perusahaan akan mengurangi produksinya. Titik keseimbangan bergerak dari A ke B dan perusahaan bergerak disepanjang garis SAS dalam jangka pendek. Jika permintaan dan output rendah, maka tingkat pertumbuhan ekonomi juga akan menurun. Dengan pertumbuhan upah yang rendah, perusahaan tidak perlu menaikkan harga output begitu cepat. Penawara agregat dalam jangka pendek bergeser kebawah dari SAS ke SAS 1 (Gambar 2.5). Inflasi yang rendah menyebabkan meningkatkan permintaan barang. Jika full employment dan output potensial belum seimbang, maka akan menyebabkan kurva penawaran agregat jangka pendek bergerak ke SAS 2. 2.1.3 Output Potensial dan Output Gap Menurut Lipsey (2008:586) output potensial adalah jumlah keseluruhan barang dan jasa (output) yang dapat diproduksi ketika sumberdaya produktif digunakan secara penuh pada intensitas penggunaan yang normal. Ketika output aktual suatu negara menyimpang dari output potensialnya, perbedaan tersebut

19 dikenal dengan kesenjangan output (output gap). Kesenjangan output (output gap) adalah selisih antara output aktual dan output potensial (Lipsey, 2008:469), yang dapat ditulis dengan Output Gap = Y Y*... (2.6) dimana, Y : GDP (output) aktual riil Y* : GDP (output) potensial Ketika output aktual kurang dari output potensial (Y < Y*), kesenjangan mengukur nilai pasar barang dan jasa yang tidak diproduksi karena sumber daya ekonominya tidak fully employed. Ketika Y < Y*, kesenjangan output dikenal dengan recessionary gap. Ketika output aktual lebih dari output potensial (Y > Y*), kesenjangan mengukur nilai pasar dari produksi lebih yang dihasilkan dari perekonomian. Keadaan ini dikenal dengan inflationary gap. Tingkat Harga AS Tingkat Harga AS P 0 Output gap E 0 AD P 1 E 1 Output gap AD 0 Y 0 Y* 0 Y* Y 1 GDP Riil GDP Riil (i) Recessionary gap (ii) Inflationary gap Sumber: Lipsey (2008) Gambar 2.6 Output Gap Dalam Jangka Pendek

20 Gambar 2.6 menunjukkan bahwa output gap adalah selisih dari GDP aktual dan GDP. Dalam jangka pendek, GDP riil terjadi pada perpotongan antara kurva AD dan AS. Output potensial diasumsikan konstan dan ditunjukkan dengan garis vertikal pada Y*. Recessionary gap, ditunjukkan pada bagian (i), terjadi ketika output potensial lebih besar dari GDP riil. Inflationary gap, ditunjukkan pada bagian (ii), terjadi ketika GDP riil lebih besar dari output potensial. 2.1.4 Inflasi Menurut Mishkin (2000:13) inflasi adalah kenaikan tingkat harga yang terjadi secara terus-menerus, mempengaruhi individu, pengusaha dan pemerintah. Inflasi secara umum dianggap sebagai masalah penting yang harus diselesaikan dan sering menjadi agenda utama politik dan pengambil kebijakan. Berkaitan dengan pengertian inflasi ini, perlu juga diketahui perbedaan antara laju inflasi (inflation rate) dan tingkat harga (price index). Laju inflasi adalah tingkat persentase kenaikan dalam beberapa indeks harga dari satu periode ke periode lainnya, sedangkan tingkat harga adalah angka indeks yang dihitung dari harga-harga sekelompok besar barang dan jasa, yang biasanya dinyatakan dengan lambang P. Adapun indeks harga yang sering digunakan untuk mengukur inflasi menurut Bank Indonesia antara lain : (1) Indeks Harga Konsumen (Cosumer Price Index atau CPI). Mankiw (2006:31) menjelaskan bahwa Consumer Price Index (CPI) merupakan indikator yang umum digunakan untuk mengukur pergerakan harga. CPI disebut juga Indeks Harga Konsumen, yang mengukur harga rata-

21 rata barang dan jasa yang dibeli oleh rata-rata konsumen yang dikelompokkan ke dalam tujuh kelompok pengeluaran, yaitu : 1. Kelompok Bahan Makanan, 2. Kelompok Makanan Jadi, Minuman, dan Tembakau, 3. Kelompok Perumahan, 4. Kelompok Sandang, 5. Kelompok Kesehatan, 6. Kelompok Pendidikan dan Olahraga, dan 7. Kelompok Transportasi dan Komunikasi. IHK dapat digunakan untuk mengukur inflasi bulanan, triwulanan, semesteran dan tahunan. Laju inflasi dapat dihitung dengan cara menghitung persentase kenaikan/penurunan tingkat harga ini dari tahun ke tahun (atau dari bulan ke bulan). dimana, Inflasi = X 100% (2.7) Inflasi : laju inflasi periode t, IHK t : Indeks Harga Konsumen periode t, IHK t-1 : Indeks Harga Konsumen periode t-1. (2) Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) Indeks Harga Perdagangan Besar dari suatu komoditas menunjukkan tingkat harga yang diterima oleh produsen pada berbagai tingkat produksi. Indeks ini sering juga disebut indeks harga produsen karena melihat inflasi

22 dari sisi produsen. Prinsip perhitungan inflasi berdasarkan data IHPB adalah sama dengan cara menghitung indeks harga konsumen (IHK). (3) Deflator Produk Domestik Bruto Menggambarkan pengukuran level harga barang akhir (final goods) dan jasa yang diproduksi di dalam suatu ekonomi (negeri). Deflator PDB diperoleh dengan membagi PDB nominal (atas dasar harga berlaku) dengan PDB riil (atas dasar harga konstan). PDB deflator = x 100.. (2.8) 2.1.4.1 Jenis-Jenis Inflasi Samuelson dan Nordhaus (2004:385) mengklasifikasikan inflasi ke dalam tiga kategori. Pertama adalah inflasi rendah, yang dicirikan oleh harga yang naik secara perlahan-lahan dan dapat diramalkan, yang dapat didefinisikan sebagai inflasi tahunan dengan digit tunggal. Kedua adalah inflasi yang melambung, yaitu inflasi dalam cakupan digit ganda atau triple per tahun. Pada kondisi ini uang kehilangan nilainya dengan cepat, sehingga uang yang dipegang masyarakat hanya untuk motif transaksi, dan banyak modal yang keluar dari pasar finansial. Kategori ketiga adalah hiperinflasi, yaitu keadaan dimana tingkat harga meningkat tajam cepat hingga jutaan bahkan milyaran persen per tahun. Hubbard (2007:664-667) mengatakan bahwa inflasi terdiri atas 2 jenis yaitu: cost-push inflation, gejala moneter yang berasal dari tekanan pekerja untuk mendapatkan upah yang lebih tinggi dan demand-pull inflation, berasal dari kebijakan pemerintah yang menggeser permintaan agregat.

23 (1) Cost-Push inflation. Inflasi jenis ini diawali dengan adanya permintaan kenaikan upah oleh pekerja. Seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 2.7, perekonomian dimulai dari keadaan full employment di titik E 0, peningkatan upah meningkatkan biaya produksi dan tingkat harga yang diharapkan, menggeser kurva penawaran jangka pendek, SRAS dari SRAS 0 ke SRAS 1. Dengan tanpa adanya perubahan dalam kebijakan moneter, keseimbangan jangka pendek terjadi antara AD 0 dan SRAS 1 di titik E 1, dengan penurunan output dari Y* ke Y (yang juga berarti peningkatan pengangguran) dan peningkatan tingkat harga dari P 0 ke P 1. Tanpa adanya campur tangan pemerintah, upah dan tingkat harga menurun sebagai respon dari slack ekonomi, dan keseimbangan akan terjadi di titik E 0. LRAS 2 Harga, P SRAS 2 P 2 E 2 SRAS 1 P 2 E 1 AD 2 P 1 P 1 P 0 E 1 E 0 AD 1 SRAS 0 AD 0 Y Y* Output, Y Sumber: Hubbard (2007) Gambar 2.7 Cost-push inflation

24 Jika para pembuat kebijakan berkomitmen untuk mempertahankan tingkat full employment terhadap output bahkan di jangka pendek, kebijakan yang diperluas (ekspansioner) akan mengikuti peningkatan upah. Efek ini akan mendorong kurva permintaan agregat ke kanan dari AD 0 ke AD 1, dengan keseimbangan jangka pendek di titik E 1 dan harga lebih tinggi pada P 1 daripada P 1. Jika hal ini terus berlangsung, akan menyebabkan terjadinya inflasi. Oleh karena itu, jika upah yang kedua mendorong pergeseran kurva SRAS ke kiri dari SRAS 1 ke SRAS 2 dan pembuat kebijakan menggeser kurva AD dari AD 1 ke AD 2, maka harga akan naik dari P 1 ke P 2 (lebih tinggi dari P 2 pada E 2 ) meskipun output berada pada titik Y*. Pada setiap titik, kenaikan upah akan menurunkan pekerjaan dan output, pembuat kebijakan kemudian akan memacu permintaan agregat untuk meningkatkan kembali output dan pekerjaan tetapi dengan biaya dari inflasi yang tinggi. Cost-push inflation tidak akan terjadi dalam jangka panjang. (2) Demand-Pull Inflation Jenis lain dari inflasi sebagai hasil dari kebijakan pemerintah yang berusaha untuk menjaga operasi perekonomian pada tingkat yang kebih tinggi dari keadaan tingkat kesampatan kerja penuh pada jangka panjang. Tingkat kesempatan kerja penuh tidak berarti bahwa pengangguran berada pada tingkat 0%, bahkan pada tingkat kesempatan kerja penuh dari output, beberapa orang yang ingin pekerjaan mungkin tidak memilikinya. Pengangguran mungkin terjadi karena ketidaksesuaian antara ketrampilan atau lokasi dari pekerja dan persyaratan kerja (pengangguran struktural) atau

25 karena pekerja yang memiliki pekerjaan, telah di PHK atau terdapat angkatan kerja baru yang mencari pekerjaan yang sesuai (pengangguran friksional). Tingkat pengangguran alamiah adalah tingkat pengangguran yang terjadi ketika perekonomian menghasilkan tingkat kesempatan kerja penuh pada level output. LRAS Harga, P SRAS 2 E 2 P 2 SRAS 1 P 1 E 1 E 2 SRAS 0 E 0 E 1 AD 2 P 0 AD 0 AD 1 Y* Y Output, Y Sumber: Hubbard (2007) Gambar 2.8 Demand-pull Inflation Gambar 2.8 menunjukkan bahwa perekonomian dimulai pada keseimbangan tingkat kesempatan kerja penuh di titik E 0. Untuk meningkatkan output diatas kesempatan kerja penuh pada tingkat Y, para pembuat kebijakan secara tak terduga menambah jumlah uang yang beredar untuk menggeser kurva permintaan agregat ke Kanan dari AD 0 ke AD 1. Sebagai hasilnya, baik prediksi dari para ekonom New Klasik dan New Keynesian, output meningkat dalam jangka pendek, dan keseimbangan

26 perekonomian bergeser dari E 0 ke E 1. Sebagai harga penyesuaian, bagaimanapun kurva SRAS bergeser ke atas dari SRAS 0 ke SRAS 1, dan output kembali pada tingkat kesempatan kerja penuh di level Y*, dengan kenaikan harga dari P 0 ke P 1. Keseimbangan baru terjadi di perpotongan antara kurva AD 1 dan kurva SRAS 1, pada titik E 1. Perluasan output di atas tingkat kesempatan kerja penuh yang lebih lama menurut ekonom New Keynesian daripada ekonom New Klasik adalah karena penyesuaian harga yang terjadi secara bertahap. Jika proses ini terus berlanjut, kurva AD akan bergeser ke kanan dari AD 1 ke AD 2, meningkatkan output dari Y pada jangka pendek (titik E 2 ). Dari waktu ke waktu kurva SRAS bergeser ke atas dari SRAS 1 ke SRAS 2, dan keseimbangan tingkat kesempatan kerja penuh pada E 2, dengan tingkat harga yang juga naik di titik P 2. Karena bentuk dari kurva penawaran agregat dalam jangka panjang adalah vertikal, para pembuat kebijakan tidak dapat secara permanen mempertahankan tingkat pengangguran dibawah atau sama dengan tingkat alamiahnya. 2.1.4.2 Pengaruh Inflasi Menurut Samuelson dan Nordhaus (2004:387) inflasi yang terjadi dalam perekonomian memiliki beberapa pengaruh, yaitu: 1. Pengaruh terhadap distribusi pendapatan dan kekayaan. Hal ini terjadi karena perbedaan asset dan kewajiban yang dimiliki masyarakat. Pengaruh utama redistribusi akibat inflasi berasal dari pengaruhnya terhadap nilai kekayaan nyata seseorang. Secara umum,

27 redistribusi kekayaan dari kreditur ke debitur pada inflasi yang tidak terantisipasi, menguntungkan peminjam dan merugikan pemberi pinjaman. Penurunan pada inflasi yang tidak terantisipasi memiliki efek berlawanan. Tetapi sebagian besar inflasi mencampur pendapatan dan asset, redistribusi kekayaan secara acak terhadap populasi dengan pengaruh yang kecil pada kelompok individu. 2. Pengaruh terhadap efisiensi ekonomi. Inflasi mempengaruhi perekonomian nyata dalam dua hal: inflasi dapat mengurangi efisiensi ekonomi, dan inflasi dapat mempengaruhi output total. Inflasi dapat mengurangi efisiensi ekonomi karena mendistorsi harga dan sinyal harga. Pada perekonomian dengan inflasi yang rendah, jika harga pasar suatu barang naik, para pembeli dan penjual mengetahui bahwa telah terjadi perubahan pada kondisi penawaran dan/ atau permintaan barang tersebut, dan mereka dapat bertindak secara tepat. Inflasi juga mendistorsi kegunaan uang. Mata uang merupakan uang yang mengandung tingkat bunga nominal nol. Jika tingkat inflasi naik dari 0 ke 10 persen tiap tahun, maka tingkat harga nyata dalam mata uang turun dari 0 ke 10 persen per tahun. Tidak ada cara apapun untuk mengatasi penyimpangan ini. 2.1.4.3 Dari Kurva Phillips Ke Kurva Penawaran Agregat Indikator kebijakan makro ekonomi adalah tingkat inflasi yang rendah dan pengangguran yang rendah, namun seringkali kedua tujuan ini bertentangan atau terjadinya trade-off antara tingkat inflasi dan pengangguran. Menurut Hubbard, (2007:682) kurva Phillips pada Gambar 2.9 menunjukkan hubungan diantara

28 tingkat pengangguran dan tingkat inflasi untuk tingkat pengangguran alami. Ketika tingkat pengangguran sama dengan tingkat pengangguran alami, U*, maka tingkat inflasi, π, sama dengan 0. Tingkat Inflasi, π 0 Kurva Phillips U* Tingkat Pengangguran, u Sumber: Hubbard (2007) Gambar 2.9 Kurva Phillips Kurva Phillip harus dibedakan dengan jelas dari kurva SRAS. Kurva SRAS memiliki tingkat harga pada sumbu vertikalnya, sedangkan kurva Phillip memiliki tingkat perubahan upah pada sumbu vertikal. Kurva Phillip mengindikasikan bagaimana kurva penawaran agregat bergeser sebagai akibat dari adanya output gap. Dengan demikian kurva Phillip menunjukkan seberapa cepat kurva SRAS akan bergeser ketika pendapatan aktual tidak sama dengan pendapatan potensial. Kurva Phillips menghubungkan model-model pendapatan nasional dengan pasar tenaga kerja. Hubungan ini memungkinkan para ahli makroekonomi untuk membuang asumsi yang tidak sesuai, yaitu bahwa upah nominal adalah tetap meskipun pendapatan nasional berfluktuasi. Hubungan antara upah nominal dan

29 pendapatan nasional yang disiratkan oleh kurva Phillips menentukan kecepatan pergeseran kurva SRAS sebagai akibat dari kenaikan produktivitas. (+) (+) (+) AS Tingkat Perubahan Upah W (-) B A (dan C) U 1 U* Tingkat Pengangguran Tingkat Perubahan Upah W 1 (-) A (dan C) Y* GDP Riil Y 1 B Tingkat Harga P 2 P 1 P 0 0 AD shock Kenaikan Upah C B A Y* Y 1 GDP Riil AS AD AD (i)perubahan Upah dan Pengangguran (ii) Perubahan Upah dan Output (iii) AD dan AS Sumber: Lipsey (2008) Gambar 2.10 Kurva Phillips dan Proses Penyesuaian Gambar 2.10 menunjukkan bahwa terdapat hubungan diantara kurva Phillip dan kurva penawaran agregat dalam jangka pendek, dengan asumsi perekonomian dimulai pada titik A untuk semua bagian, output gap dan upah adalah konstan. Misalkan terdapat guncangan postitif terhadap permintaan agregat yang menyebabkan GDP riil naik ke titik Y 1 (dan pengangguran turun ke titik U 1 ), hal tersebut menyebabkan terjadinya kesenjangan inflasi (inflationary gap). Kelebihan permintaan tenaga kerja memberikan tekanan pada upah untuk naik hingga ke titik B. Kenaikan upah akan meningkatkan biaya perunit dan menyebabkan kurva AS bergeser ke atas. Dengan demikian, setiap titik pada kurva Phillip menentukan tingkat dimana kurva AS bergeser. Ketika kurva AS bergeser ke atas, tingkat GDP riil akan turun kembali ke titik Y* dan kesenjangan inflasi (inflationary gap) mulai berkurang, perekonomian bergerak kembali sepanjang kurva Phillip menuju titik A. Ketika

30 semua penyesuaian lengkap, keseimbangan baru akan berada pada titik C bagian (iii) dari gambar, dengan output = Y* dan tingkat harga dan upah lebih tinggi dari awalnya. Pada kurva Phillip, perekonomian akan kembali di titik A, dimana GDP riil = Y* dan upah konstan. 2.1.5 Keterkaitan Harga Minyak Dunia dan Inflasi Kestabilan inflasi merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan yang pada akhirnya akan bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Krisis energi dunia yang ditandai dengan naiknya harga minyak dunia menjadi sebuah krisis energi di Indonesia. Peningkatan harga minyak dunia akan menyebabkan peningkatan harga bahan bakar minyak (BBM) domestik. Sebagai salah satu input dalam proses produksi, kenaikan harga BBM domestik akan meningkatkan biaya produksi dan menyebabkan produsen menaikkan harga jual produknya dipasaran. Kenaikan harga produk di masyarakat akan cenderung mendorong terjadinya inflasi. 2.1.6 Keterkaitan Output Gap dan Inflasi Menurut Mankiw (2006:19) Gross Domestic Product (GDP) adalah nilai pasar semua barang dan jasa akhir yang diproduksi dalam perekonomian selama kurun waktu tertentu. Output potensial adalah GDP riil yang dapat diproduksi jika sumberdaya produktif digunakan secara penuh pada intensitas penggunaan yang normal. Dalam jangka pendek perkiraan gap antara output riil dan potensial dapat digunakan sebagai patokan untuk menganalisa tekanan terhadap inflasi.

31 Output gap merupakan variabel yang menghubungkan sisi riil dari perekonomian dengan rate inflasi (Harmanta dkk., 2010:288). Output gap dan tingkat inflasi berhubungan positif, ketika perekonomian dalam kondisi booming, permintaan faktor produksi akan meningkat dan pada akhirnya akan mendorong peningkatan inflasi. Sebaliknya, ketika perekonomian sedang dalam kondisi resesi, permintaan faktor produksi relatif kecil dan kemudian akan menurunkan tingka inflasi. 2.2 Penelitian Sebelumnya 2.2.1 Penelitian Oleh Shiu-Sheng Chen Penelitian yang dilakukan Chen (2008) menganalisis mengenai hubungan harga minyak dunia terhadap inflasi di 19 negara industri selama periode 1970:Q1-2006:Q4. Dengan menggunakan metode ECM (Error Correction Model) untuk menganalisis data-data, diperolah kesimpulan bahwa tingkat pass-through harga minyak bervariasi di seluruh negara dan berkorelasi positif dengan impor energi. Pass-through yang lebih rendah terhadap tingkat inflasi pada tahun 2000- an dibandingkan tahun 1970-an yang disebabkan karena peningkatan nilai tukar mata uang domestik, dan kebijakan moneter yang lebih baik dalam menghadapi inflasi. 2.2.2 Penelitian oleh Kuo-Wei Chou dan Yi-Heng Tseng Penelitian yang dilakukan oleh Chou dan Tseng (2011) menganalisis menganai fluktuasi harga minyak dunia terhadap inflasi dalam jangka panjang dan pendek di Taiwan periode 1982:1-2010:6 dengan menggunakan data IHK (indeks harga konsumen), indeks inti yang meliputi kelompok bahan makanan, sandang,

32 akomodasi, transportasi, kesehatan, pendidikan dan lain-lain, serta berbagai subindikator dasar lainnya. Dengan menggunakan metode ECM diperoleh hasil bahwa dalam jangka panjang fluktuasi harga minyak dunia berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi di Taiwan dan pengaruh fluktuasi harga minyak dunia dalam jangka pendek adalah tidak signifikan. 2.2.3 Penelitian oleh Katsuya Ito Penelitian yang dilakukan oleh Ito (2010) menganalisis mengenai pengaruh fluktuasi harga minyak dunia (Oil Price Volatility) terhadap tingkat inflasi, nilai tukatr riil dan produk domestik bruto riil di Rusia pada periode 1994:Q1 2009:Q3. Dengan menggunakan metode VAR (Vector Autoregressions) untuk menganalisis data-data, diperoleh kesimpulan bahwa pengaruh 1 persen kenaikan (penurunan) berkontribusi melemahkan (menguatkan) nilai tukar riil sebesar 0,17 persen dan 0,46 persen pertumbuhan (penurunan) GDP dalam jangka panjang sekitar 63 kuartal. Selain itu dalam jangka pendek sekitar 8 kuartal, kenaikan harga minyak dunia tidak hanya menurunkan GDP riil dan melemahkan nilai tukar riil tetapi meningkatkan tingkat inflasi di Rusia. 2.2.4 Penelitian oleh Philip A. Olomola dan Akintoye V. Adejumo Penelitian yang dilakukan oleh Olomola dan Adejumo (2006) menganalisis mengenai pengaruh guncangan harga minyak dunia (oil price shock) terhadap output, tingkat inflasi, nilai tukar riil (real exchange rate), dan jumlah uang beredar (money supply) di negara Nigeria pada periode 1970 sampai 2003. Dengan menggunakan metode VAR (Vector Autoregressions) untuk menganalisis data-data, diperoleh kesimpulan bahwa guncangan harga minyak dunia tidak

33 mempengaruhi output dan inflasi di Nigeria, tetapi tingkat inflasi justru dipengaruhi oleh shock yang terjadi pada output dan nilai tukar riil (real exchange rate) dimana fluktuasi harga minyak dunia memberikan pengaruh yang signifikan terhadap nilai tukar riil (real exchange rate) di Nigeria. Dalam penelitian tersebut dikatakan pula bahwa terjadinya kenaikan pada harga minyak dunia memberi peningkatan pada kesejahteraan masyarakat. Hal ini dapat terjadi karena nilai tukar riil di Nigeria mengalami apresiasi yang dapat menekan sektor perdagangan sehingga kesejahteraan masyarakat dapat meningkat. Hasil dari penelitian ini memang diakui oleh peneliti berbeda dari bukti empiris yang ditemukan pada negara-negara berkembang lainnya, hal ini dikarenakan Nigeria merupakan salah satu negara pengekspor minyak. Setelah membaca penelitian yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya, maka dapat diamati persamaan dan perbedan penelitian ini dengan penelitian yang sebelumnya. Variabel dependen yang digunakan untuk analisis regresi pada penelitian ini merujuk pada variabel-variabel yang telah digunakan oleh Chen (2008) dan Chou dan Tseng (2011). Adapun perbedaannya terletak pada lokasi penelitian dan periode penelitian. Lokasi penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah Indonesia, dan periode penelitian adalah 1960-2011. 2.3 Hipotesis dan Model Analisis 2.3.1 Hipotesis Berdasarkan pada landasam teori dan penelitian terdahulu, maka hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah terdapat pengaruh yang positif diantara fluktuasi harga minyak dunia dan output gap terhadap inflasi di Indonesia

34 dimana tidak ada perbedaan pengaruh antara fluktuasi harga minyak dunia dan output gap terhadap inflasi di Indonesia sebelum dan setelah menjadi negara pengimpor minyak. 2.3.2 Model Analisis Berdasarkan pada landasan teori dan penelitian terdahulu, maka model analisis dari penelitian ini juga mengadopsi model Augmented Phillips Curve yang juga digunakan oleh penelitian-penelitian terdahulu dengan memasukkan tambahan variabel dummy. Variabel dummy yang digunakan dalam penelitian ini adalah dummy slope. Perbedaan model yang digunakan pada penelitian disebabkan adanya perubahan posisi Indonesia dalam komoditas minyak dunia dari negara pengekspor menjadi negara pengimpor. Oleh karena itu, dibutuhkan variabel dummy untuk mengestimasi perbedaan antara sebelum dengan setelah Indonesia menjadi negara pengimpor. Model analisis yang dipakai untuk mengestimasi tingkat pass-through inflasi dari harga minyak dunia adalah metode ECM (Error Correction Model). Spesifikasi model yang digunakan adalah: π = α + β y + γ(y y ) + θ o + D + ε. (2.9) Persamaan (2.9) merupakan persamaan Augmented Phillips Curve untuk menentukan besarnya inflasi, dimana persamaan itu menghubungkan inflasi dimasa lalu, output gap, rata-rata harga minyak dunia dan error term. Menurut Harmanta, dkk dalam inflation targeting under imperfect credibility based on

35 arimbi (2010:288) output gap merupakan variabel yang menghubungkan sisi riil perekonomian dengan tingkat inflasi. Model tersebut dapat ditulis sebagai berikut: 1. Persamaan jangka panjang (Chen, 2008) : p = α + β y + β WOP + D + ε....... (2.10) 2. Persamaan jangka pendek (Chen,2008) : π = α + β π + γ(y y ) + θ WOP + D + φect + ε. (2.11) Dimana ECT = p β y β WOP.... (2.12) Keterangan p y WOP D : log dari consumer price index (CPI) periode t : log dari output aktual periode t : log dari rata-rata harga minyak dunia periode t : Variabel dummy, bernilai 0 untuk periode sebelum 2003, dan bernilai 1 untuk tahun 2003 dan sesudahnya π : tingkat inflasi yang didapat dari p p γ(y y ) : output gap y α β : output potensial : operator first difference : parameter : parameter output aktual β : parameter rata-rata harga minyak dunia

36 ε t t-i : error term : periode observasi : periode ke -i sebelum observasi 2.4 Kerangka Berfikir Penelitian ini akan menganalisis pengaruh fluktuasi harga minyak dunia dan output gap terhadap inflasi Indonesia periode 1960-2011. Guncangan penawaran yang negatif berupa ketidakstabilan politik dan keamanan di beberapa negara pengekspor minyak telah menyebabkan terjadinya kelangkaan komoditi minyak. Guncangan harga minyak dunia memberikan pengaruh bagi kondisi makroekonomi setiap negara, khususnya negara-negara pengimpor minyak, karena peningkatan harga minyak dunia akan diikuti oleh peningkatan harga bahan bakar minyak (BBM) domestik. Peningkatan harga bahan bakar minyak domestik ini menyebabkan penurunan daya beli masyarakat yang pada akhirnya menurunkan kesejahteraan masyarakat dan dalam jangka panjang dapat mengganggu kestabilan sosial. Sejak tahun 2001, pemerintah Indonesia menghapuskan subsidi bahan bakar minyak untuk industri, sehingga harga bahan bakar minyak untuk industri mengikuti fluktuasi harga minyak di pasar internasional. Kenaikan harga minyak dunia akan menyebabkan peningkatan pada harga bahan bakar domestik karena sebagian besar perusahaan di dalam negeri masih menggunakan minyak sebagai bahan baku produksi mereka. Peningkatan biaya produksi ini menyebabkan produsen menaikkan harga jual produknya ke konsumen sehingga akan terjadi

37 kenaikan harga di masyarakat. Peningkatan harga output ini akan menyebabkan inflasi dari sisi penawaran. Tekanan inflasi dari sisi permintaan dapat terjadi kesenjangan output (output gap). Apabila output aktual lebih besar dari output potensial, maka akan memberikan tekanan pada biaya produksi, khususnya biaya pekerja (upah), yang akan mengakibatkan kenaikan harga barang dan jasa. Dengan kata lain, jika permintaan agregat terus-menerus melebihi penawaran agregat atau dalam perekonomian terjadi kelebihan permintaan (excess demand), maka permintaan agregat dari barang dan jasa akan meningkat. Keadaan ini seringkali dianggap sebagai tekanan inflasi dan membutuhkan respon kebijakan yang tepat melalui penurunan permintaan agregat, seperti penurunan belanja pemerintah. Kerangka pemikiran diatas dapat disajikan dalam Gambar 2.11. Teori Cost Push Inflation Teori AD dan AS Harga Minyak Dunia Output Gap HMD HMDomestik Harga BBM untuk industri Harga barang lain inflasi Output gap biaya produksi kenaikan upah Harga barang inflasi Inflasi Gambar 2.11 Skema Kerangka Pemikiran