KEMANTAPAN AGREGAT ULTISOL PADA BEBERAPA PENGGUNAAN LAHAN DAN KEMIRINGAN LERENG

dokumen-dokumen yang mirip
DISTRIBUSI PORI DAN PERMEABILITAS ULTISOL PADA BEBERAPA UMUR PERTANAMAN

PERUBAHAN SIFAT FISIKA ULTISOL AKIBAT KONVERSI HUTAN MENJADI LAHAN PERTANIAN

PENGARUH OLAH TANAH DAN MULSA JERAMI PADI TERHADAP AGREGAT TANAH DAN PERTUMBUHAN SERTA HASIL JAGUNG

PENDAHULLUAN. Latar Belakang

RESPON KETAHANAN SIFAT FISIK ULTISOL TERHADAP PENGGANTIAN HUTAN SEKUNDER DENGAN TANAMAN AKASIA DAN PINUS

STUDI BEBERAPA SIFAT FISIKA TANAH PADA BEBERAPA UMUR PERSAWAHAN DI KECAMATAN PEMAYUNG

Gambar 1. Lahan pertanian intensif

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

mampu menurunkan kemampuan fungsi lingkungan, baik sebagai media pula terhadap makhluk hidup yang memanfaatkannya. Namun dengan

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

KAJIAN BEBERAPA SIFAT FISIKA ANDISOL PADA BEBERAPA PENGGUNAAN LAHAN DAN BEBERAPA KELERENGAN DI KECAMATAN GUNUNG KERINCI. Endriani dan Zurhalena

TINJAUAN PUSTAKA. Erodibilitas. jumlah tanah yang hilang setiap tahunnya per satuan indeks daya erosi curah

EROSI DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI OLEH: MUH. ANSAR SARTIKA LABAN

Makalah Utama pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian : Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. Padang, 20 September )

Erosi Kualitatif Pada Perkebunan Karet Umur 25 Tahun di Desa Lau Damak Kecamatan Bahorok, Kabupaten Langkat

I. PENDAHULUAN. Tanaman kacang hijau (Vigna radiata L.) sampai saat ini masih merupakan

I. PENDAHULUAN. Nanas merupakan salah satu tanaman hortikultura, yang sangat cocok

INFILTRASI PADA HUTAN DI SUB DAS SUMANI BAGIAN HULU KAYU ARO KABUPATEN SOLOK

KAJIAN LAJU INFILTRASI TANAH PADA BERBAGAI PENGGUNAAN LAHAN DI DESA TANJUNG PUTUS KECAMATAN PADANG TUALANG KABUPATEN LANGKAT

TINJAUAN PUSTAKA Infiltrasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan akan lahan untuk berbagai kepentingan manusia semakin lama

BAB I PENDAHULUAN. tinggi sehingga rentan terhadap terjadinya erosi tanah, terlebih pada areal-areal

TINJAUAN PUSTAKA. Sifat dan Ciri Tanah Ultisol. Ultisol di Indonesia merupakan bagian terluas dari lahan kering yang

PEMANFAATAN KOMPOS KOTORAN SAPI DAN ARA SUNGSANG UNTUK MENURUNKAN KEPADATAN ULTISOL. Heri Junedi, Itang Ahmad Mahbub, Zurhalena

TINJAUAN PUSTAKA. profil tanah. Gerakan air ke bawah di dalam profil tanah disebut perkolasi

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki lahan kering masam cukup luas yaitu sekitar 99,6 juta hektar

I. PENDAHULUAN. Tanah Ultisol atau dikenal dengan nama Podsolik Merah Kuning (PMK)

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman perkebunan yang

PENDAHULUAN. Permasalahan yang dihadapi dalam pengusahaan tanah-tanah miring. berlereng adalah erosi. Untuk itu dalam usaha pemanfaatan lahan-lahan

BEBERAPA SIFAT FISIKA TANAH PADA LAHAN USAHATANI KARET DAN KELAPA SAWIT RAKYAT DI DAS BATANG PELEPAT

EFEK RESIDU PEMBERIAN KOMPOS PELEPAH KELAPA SAWIT DALAM MEMPERBAIKI KEMANTAPAN AGREGAT ULTISOL DAN HASIL KEDELAI (Glycine max (L.

TINJAUAN PUSTAKA. erosi, tanah atau bagian-bagian tanah pada suatu tempat terkikis dan terangkut

I. PENDAHULUAN. Tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman perkebunan yang penting

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sifat Umum Latosol

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 1. Tabung (ring) tembaga dengan tutup Tahapan-tahapan pengambilan contoh tanah tersebut dapat dilihat pada Gambar 2. =^

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. dalam tanah sebagai akibat gaya kapiler (gerakan air ke arah lateral) dan gravitasi

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kebutuhan manusia akibat dari pertambahan jumlah penduduk maka

TINGKAT ERODIBILITAS TANAH DI KECAMATAN AMBARAWA KABUPATEN SEMARANG PROPINSI JAWA TENGAH

PENGARUH LEGUMINOSA COVER CROP (LCC) TERHADAP SIFAT FISIK ULTISOL BEKAS ALANG-ALANG DAN HASIL JAGUNG

BAB I PENDAHULUAN. dalam mengatur tata air, mengurangi erosi dan banjir. Hutan mempunyai

SIFAT FISIK TANAH PADA BEBERAPA PENGGUNAAN LAHAN DI DESA OLOBOJUKABUPATEN SIGI

ABSTRACT ABSTRAK. Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2016, Palembang Oktober 2016 ISBN...

PENGARUH BAHAN ORGANIK TERHADAP SIFAT BIOLOGI TANAH. Oleh: Arif Nugroho ( )

IV. Hasil dan Pembahasan. pada Gambar 2 dan data hasil pengamatan disajikan pada Tabel 3.

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kabupaten Temanggung terletak di tengah-tengah Propinsi Jawa Tengah

I. PENDAHULUAN. ini. Beras mampu mencukupi 63% total kecukupan energi dan 37% protein.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. di lahan sawah terus berkurang seiring perkembangan dan pembangunan di

I. PENDAHULUAN. Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan salah satu tanaman pangan

PENGARUH MODELING MACAM TANAMAN TERHADAP NILAI EROSI DI LAHAN PERTANIAN. Oleh : Pancadewi Sukaryorini 1) dan Moch. Arifin 1)

PENDAHULUAN. perekonomian Indonesia. Berdasarkan luas lahan dan keragaman agroekosistem,

KAJIAN SIFAT FISIKA TANAH PADA PERKEBUNAN KARET DI PROVINSI BENGKULU STUDY OF SOIL PHYSICAL ON RUBBER PLANTATION IN BENGKULU PROVINCE ABSTRAK

LAJU INFILTRASI PADA BERBAGAI TIPE KELERENGAN DIBAWAH TEGAKAN EKALIPTUS DI AREAL HPHTI PT. TOBA PULP LESTARI SEKTOR AEK NAULI

BAB II KERANGKA PENDEKATAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan sumber daya alam strategis bagi segala pembangunan. Hampir

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI

I. PENDAHULUAN. perkebunan tebu terbesar di Lampung adalah PT. Gunung Madu Plantation

BAB I PENDAHULUAN. pangan saat ini sedang dialami oleh masyarakat di beberapa bagian belahan dunia.

TINJAUAN PUSTAKA. Survei Tanah. Untuk dapat melakukan perencanaan secara menyeluruh dalam hal

I. PENDAHULUAN. induk batuan sedimen masam (Soil Survey Staff, 2006). Di Indonesia jenis tanah

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

KONSERVASI LAHAN: Pemilihan Teknik Konservasi, Fungsi Seresah dan Cacing Tanah, dan mulsa organik

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Karakteristik Wilayah Desa Gunungsari. Desa Gunungsari Kecamatan Bansari terletak di lereng gunung Sindoro pada

bio.unsoed.ac.id terus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah aktivitas manusia, dan

PENDAHULUAN. Latar Belakang

TUGAS TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBER DAYA LAHAN

EROSI DAN SEDIMENTASI

I. PENDAHULUAN. Tebu (Saccharum officinarum L.) adalah salah satu komoditas perkebunan

HASIL DAN PEMBAHASAN

KAJIAN BEBERAPA SIFAT FISIKA TANAH PADA TIGA PENGGUNAAN LAHAN DI BUKIT BATABUH. Erlina Rahmayuni 1 * dan Heni Rosneti 2

PEMULSAAN ( MULCHING ) Pemulsaan (mulching) merupakan penambahan bahan organik mentah dipermukaan tanah. Dalam usaha konservasi air pemberian mulsa

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Soilrens, Volume 14 No.1, April 2016 ABSTRACT 1. PENDAHULUAN. Apong Sandrawati 1), Ade Setiawan 1), dan Gilang Kesumah 2)

III. METODE PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Pendugaan Erosi Aktual Berdasarkan Metode USLE Melalui Pendekatan Vegetasi, Kemiringan Lereng dan Erodibilitas di Hulu Sub DAS Padang

PENDAHULUAN. proses sintesis senyawa baru. Pembentukan tubuh tanah berlangsung dengan dua

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Tanah terdiri atas bahan padat dan ruang pori di antara bahan padat,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN. Tanah merupakan salah satu sumber daya alam utama yang berada di bumi

Yeza Febriani ABSTRACT. Keywords : Erosion prediction, USLE method, Prone Land Movement.

I. PENDAHULUAN. kerusakan akibat erosi dalam ekosistem DAS (Widianto dkk., 2004). Kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. fungsi utama, yaitu sebagai sumber unsur hara bagi tumbuhan dan sebagai matriks

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kedelai (Glycine max L.) merupakan tanaman pangan yang penting sebagai

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan salah satu komoditas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Lingkungan hidup menyediakan sumberdaya alam bagi kelangsungan

PEMETAAN TINGKAT BAHAYA EROSI BERBASIS LAND USE DAN LAND SLOPE DI SUB DAS KRUENG SIMPO

AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Hujan

Transkripsi:

KEMANTAPAN AGREGAT ULTISOL PADA BEBERAPA PENGGUNAAN LAHAN DAN KEMIRINGAN LERENG Refliaty 1 dan Erawati Junita Marpaung 2 ABSTRACT The aggregate stability of Ultisol at several land uses and slopes. The purpose of this research is to study the aggregate stability of Ultisol at secondary forest, oil palm, plantation, rubber plantation, and mixed farming with slopes of 0-8%, 8-15% and 15-20%. The research was carried out at Tanjung Sari Village and Bukit Subur Village, Sungai Bahar sub district, Muaro Jambi from April 2009 to July 2009 with survey method. Sample was taken using Stratified Random Sampling. Soil samples were taken from land uses and slopes 0-30 cm depth. Soil analysis at soil physics laboratory, Jambi University. The result of this research shows that the secondary forest has the higtest of aggregate stability among the other land uses secondary forest (86.05% to 91.48), rubber plantation (78.70% to 79.39%), mixed farming (59.83% to 64.99%), and oil palm plantation (40.75% to 45.09%). Key Word: Aggregate Stability, Land Use, Ultisol PENDAHULUAN Ultisol merupakan tanah terluas di Indonesia yaitu ± 51 juta ha atau meliputi 29,7 % dari luas daratan Indonesia yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya (Moch Munir, 1996), sedangkan luas Ultisol di Propinsi Jambi ± 2,72 juta ha atau mencapai 53,46 %. Sebagian Ultisol di Jambi telah dimanfaatkan untuk pemukiman, perkebunan dan pertanian tanaman semusim (Dinas Pertanian Tanaman Pangan, 2005). Berdasarkan luasnya, Ultisol berpotensi dalam pengembangan budidaya pertanian, namun kendala yang dimiliki cukup besar. Salah satu kendalanya adalah kandungan bahan organik yang rendah (kecil dari 9%), sehingga menyebabkan kemantapan agregat menjadi rendah atau kurang stabil. Kemantapan agregat yang rendah akan mengakibatkan struktur tanah mudah hancur akibat pukulan butiran hujan. Hal ini menyebabkan pori-pori tanah akan tersumbat oleh partikel-partikel agregat yang hancur sehingga tanah mudah memadat dan tanah akan mudah tererosi (Goeswono Soepardi, 1983). Kecamatan Sungai Bahar merupakan salah satu daerah penyebaran Ultisol di Propinsi Jambi, wilayah perkebunan yang banyak ditanami dengan tanaman karet seluas 155,75 ha, kelapa sawit seluas 2.824 ha dan kebun campuran dengan luas 750 ha (Badan Pusat Statistik, 2007). Ketiga jenis tanaman ini umumnya ditanami pada lahan yang berlereng 0-20 %, sehingga kawasan ini tidak terlepas dari aliran permukaan yang menyebabkan kemantapan agregatnya rusak. Stabilitas agregat tanah dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya dipengaruhi oleh vegetasi yang tumbuh di atasnya. Peranan vegetasi terhadap agregat tanah diantaranya alah melindungi tanah dari pukulan air hujan secara langsung dengan mengurangi energi kinetik melalui tajuk, ranting dan batangnya. Dengan serasah yang dijatuhkannya akan terbentuk humus yang berguna untuk menaikkan kapasitas infiltrasi tanah, dengan demikian erosi akan dikurangi (Saifuddin Sarief, 1985) Wani Hadi Utomo (1985) juga 1 Staf Pengajar Faperta Universitas Jambi 2 Alumni Faperta Universitas Jambi J.Hidrolitan, 1:2:35-42, 2010 ISSN 2086-4825 3535

Refliaty dan EJ. Marpaung: Agregat Ultisol pada beberapa Penggunaan Lahan dan Lereng mengatakan adanya vegetasi pada lahan membantu pembentukan agregat tanah yang mantap bahan organik akan meningkatkan aktivitas mikroorganisme tanah dan menciptakan struktur tanah yang lebih baik sehingga akan menciptakan agregat-agregat yang stabil. Vegetasi terutama bentuk pohon dan ranting serta luas tajuk menentukan besar kecilnya daya pukul air hujan yang jatuh. Kerapatan vegetasi akan mempengaruhi hambatan terhadap air hujan dalam luas yang lebih besar sehingga populasi vegetasi yang jarang akan menimbulkan erosi yang lebih besar. Wani Hadi Utomo ( 1985 ) juga mengatakan adanya vegetasi pada lahan membantu pembentukan agregat tanah yang mantap bahan organik akan meningkatkan aktivitas mikroorganisme tanah dan menciptakan struktur tanah yang lebih baik sehingga akan menciptakan agregat-agregat yang stabil. Kemantapan agregat juga dipengaruhi oleh kemiringan lereng. Kemiringan lereng merupakan unsur topografi yang berpengaruh terhadap aliran permukaan dan erosi. Semakin curam lereng, erosi dan aliran permukaan yang terjadi semakin besar. Begitu juga dengan kandungan bahan organik. Semakin curam lereng, kandungan bahan organiknya juga semakin rendah.. A.G. Kartasapoetra dan Mul Mulyani Sutedja (1985) menyatakan bahwa erosi dan aliran permukaan maupun bawah tanah yang menuruni lereng menyebabkan terjadinya perusakan agregat. Perusakan agregat tanah akibat erosi menyebabkan sebagian besar pori tanah tertutup oleh butir-butir tanah yang halus dan dengan demikian porositasnya menurun dan daya infiltrasi menurun. BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan di Desa Tanjung Sari dan Desa Bukit Subur Kecamatan Sungai Bahar Kabupaten Muaro Jambi pada ordo Ultisol dengan kelerengan 0 8%, 8 15% dan 15 20 %. Analisis sampel tanah dilakukan di laboratorium Fisika Tanah dan Mineralogi Fakultas Pertanian Universitas Jambi. Penelitian dimulai bulan April sampai Juli 2009. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel tanah terganggu, sampel tanah utuh serta bahan-bahan untuk analisis tanah. Alat yang digunakan cangkul, parang, ring, abnel level, GPS, dan alat-alat lain yang dipakai dilapangan. Penelitian ini dilaksanakan dengan metode survei. Pengambilan sampel tanah pada daerah tersebut dilakukan dengan metode Stratified Random Sampling atau pengambilan contoh tanah terstrata (Sifat Fisika Dan Metode Analisisnya, Balai Penelitian Dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian, 2006). Sampel tanah diambil sebanyak 3 ulangan pada setiap penggunaan lahan dan kelerengan yaitu kelerengan 0-8%, 8-15%,15 20%. Sifatsifat tanah yang tidak bisa diamati di lapangan dilakukan analisis di laboratorium. Lahan hutan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah hutan sekunder yang tumbuh melalui suksesi alami dan berasal dari hutan primer yang mengalami tebang pilih. Kebun Karet yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kebun karet yang homogen yang dikelola intensif oleh petani dan berumur sekitar 8-13 tahun dengan jarak tanam 3 m x 4 m. Kebun Sawit yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kebun sawit homogen yang dikelola intensif oleh petani dan berumur sekitar 10-15 tahun dengan jarak tanam 8 m x 9 m. 36

J. Hidrolitan, 1:2:35-42, 2010 Kemudian kebun campuran yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kebun campuran yang dikelola intensif oleh petani. Data dianalisis secara deskriptif dengan membandingkan dan menganalisis data yang mempengaruhi kemantapan agregat tanah berdasarkan perbedaan penggunaan lahan dan perbedaan kelerengan. HASIL DAN PEMBAHASAN Bahan Organik Berdasarkan hasil penelitian bahwa kandungan bahan organik pada penggunaan lahan hutan sekunder lebih tinggi dibandingkan kebun karet, kebun sawit dan kebun campuran, hal ini dikarenakan hutan sekunder mempunyai vegetasi yang rapat dengan berbagai jenis tanaman mulai dari yang tinggi, sedang dan rendah. Vegetasi yang rapat dengan populasi yang banyak akan menghasilkan serasah-serasah yang banyak sehingga dapat mengembalikan bahan organik yang banyak pada permukaan tanah melalui guguranguguran daun, batang, ranting dan sebagainya. Serasah yang dihasilkan didekomposisikan melalui kegiatan mikroorganisme tanah kemudian bercampur dengan tanah sehingga kandungan bahan organik tanah meningkat. Sesuai pendapat Sitanala Arsyad (2000) bahwa vegetasi yang tumbuh berperan sebagai penambah bahan organik tanah melalui batang, ranting dan daun yang jatuh kepermukaan tanah. Kebun campuran memiliki sistem tumpang sari yang di dalamnya terdapat vegetasi tanaman tahunan serta tanaman semusim. Jenis tanaman semusim banyak menyumbang bahan organik dalam tanah karena sirkulasi panen tanaman semusim cepat sehingga sisa serasah tanaman dapat dikembalikan cepat ke dalam tanah. Kebun karet memiliki nilai bahan organik lebih tinggi dari kebun campuran dan kebun sawit (Tabel 1), hal ini karena tanaman karet setiap 6 bulan sekali menggugurkan daunnya yang dapat menjadi sumbangan bahan organik pada tanah. Kandungan bahan organik pada kebun sawit paling rendah jika dibandingkan dengan penggunaan lahan lainnya, hal ini disebabkan karena kebun sawit bersifat homogen dan sedikit menyumbang bahan organik. Selain itu juga sistem perakaran kebun sawit menjadikan tanah semakin miskin unsur hara sehingga membuat daerah rhizofer tidak banyak aktivitas mikroorganisme yang mampu mendekomposisi bahan organik. Lahan hutan memiliki nilai bahan organik pada lereng 0-8 %, 8 15 %, dan 15 20 % berturut-turut hutan sekunder (8.36, 6.81, 5.51), kebun karet (6.14, 4.70, 4.26), kebun campuran (4.57, 3.06, 2.55) dan kebun sawit (3.32, 1.51, 1.05). Kandungan bahan organik pada kemiringan lereng 0-8 % lebih tinggi dibandingkan kelerengan 8-15 % dan 15-20 %, hal ini dikarenakan lahan dengan kelerengan 0-8% lebih landai dari lereng lainnya. Semakin curam lereng maka kandungan bahan organik semakin rendah, hal ini disebabkan besarnya pengaruh erosi karena intensifnya erosi terjadi di lereng yang curam. Semakin sering terjadi erosi maka lapisan atas (top soil) tanah akan berkurang karena ikut terhanyut oleh erosi dan aliran permukaan. Sesuai dengan hasil penelitian Riyanti et al (1994) dimana bahan organik pada kemiringan lereng 0-3% adalah 3.11%, pada lereng 10% adalah 3.06% dan pada lereng 20% adalah 3.01%. 37

Refliaty dan EJ. Marpaung: Agregat Ultisol pada beberapa Penggunaan Lahan dan Lereng Tabel 1. Rata-rata analisis BO, BV, TRP, KA, % Agregat Terbentuk dan Kemantapan Agregat pada beberapa penggunaan lahan dan kemiringan lereng Penggunaan Lahan Lereng BO BV TRP KA Kemantapan Agregat terbentuk (%) (%) (gr/cm 3 (%) (% Vol) Agregat (%) Hutan 0 8 8.36 1.08 57.19 43.53 91.48 78.20 8 15 6.81 1.09 57.10 43.05 88.80 77.18 15 20 5.51 1.18 53.38 38.22 86.05 76.35 Kebun Karet 0 8 6.14 1.17 53.54 39.47 79.39 76,70 8 15 4.70 1.19 52.82 34.04 71.40 76.55 15 20 4.26 1.21 52.36 28.42 78.70 76.13 Kebun Sawit 0 8 3.32 1.27 50.01 38.27 45.09 71.86 8 15 1.51 1.33 47.24 28.27 43.29 7163 15 20 1.05 1.38 45.17 26.74 40.75 71.24 Kebun Campuran 0 8 4.57 1.22 51.62 38.25 59.83 73.18 8 15 3.06 1.24 51.01 33.69 60.71 72.53 15 20 2.55 1.29 49.54 29.15 64.99 72.30 38

J. Hidrolitan, 1:2:35-42, 2010 Bahan organik pada kebun karet, kebun sawit dan kebun campuran pada lereng 0-8%, 8-15% dan 15-20% semakin menurun, hal ini disebabkan oleh faktor penyebab erosi diantaranya vegetasi, lereng dan panjang lereng. Pada penggunaan lahan hutan sekunder dengan vegetasi yang rapat dan beragam tingkat erosinya lebih rendah dibandingkan penggunaan lahan lainya, sehingga bahan organiknya juga lebih tinggi. Bobot Volume Bobot volume hutan sekunder lebih kecil dibandingkan kebun karet, kebun campuran dan kebun sawit, hal ini diduga karena hutan tanahnya lebih gembur dan lebih sarang serta bahan organik lebih tinggi, sehingga bobot volume lebih rendah. Begitu pula dengan kebun campuran memiliki bahan organik lebih tinggi dibandingkan kebun sawit sehingga memiliki bobot volume tanah yang kecil. Sedangkan kebun sawit sedikit memberikan tambahan bahan organik karena sifat pohon sawit yang tidak menggugurkan daun dan tidak menggunakan penutup tanah. Hal tersebut menyebabkan tanahnya lebih padat sehingga BV relatif lebih tinggi. Sesuai pernyataan Goeswono Soepardi (1983) bila kandungan bahan organik tinggi maka proses pembutiran tanah berlangsung dengan baik, pembutiran menyebabkan keadaan tanah menjadi longgar dan berpori-pori. Bobot volume pada penggunaan lahan hutan, kebun karet, kebun sawit dan kebun campuran pada lereng 0-8%, 8-15%, 15-20% dapat dilihat semakin meningkat (Tabel 1). Hal ini disebabkan semakin curam lereng maka semakin besar erosi yang terjadi dan semakin banyak hilangnya bahan organik pada lapisan atas menyebabkan tanah semakin padat sehingga BV semakin tinggi. Sesuai pendapat Saifuddin Sarief (1985) bahwa nilai BV dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya pengolahan tanah, bahan organik, pemadatan oleh alat-alat pertanian, tekstur, struktur dan kandungan air tanah. Total Ruang Pori Total ruang pori (TRP) pada lahan hutan sekunder, kebun karet dan kebun campuran lebih tinggi dibandingkan kebun sawit. Hal ini diduga karena lahan hutan sekunder, kebun karet dan kebun campuran memiliki kandungan bahan organik yang tinggi dan bobot volume (BV) kecil sedangkan kebun sawit memiliki kandungan bahan organik yang rendah dan bobot volume yang tinggi. Bahan organik di dalam tanah mempunyai efek pengikat yang baik terhadap partikel pembentuk agregat-agregat tanah dengan demikian membantu dalam pembentukan pori-pori makro dan mikro di dalam tanah. Hal ini didukung oleh Sukmana (1984), bahwa dekomposisi bahan organik mempengaruhi ruang pori yang ada diantara partikel tanah. Sesuai pernyataan Saifuddin Sarief (1985) bahwa tanah yang banyak mengandung bahan organik mempunyai lapisan struktur yang remah. Tanah ini mempunyai sifat fisik yang baik, mempunyai kemampuan menghisap air sampai beberapa kali berat keringnya dan juga memiliki porositas yang tinggi. Total ruang pori dipengaruhi oleh bahan organik dan bobot volume, sebelumnya sudah diketahui bahwa BV dipengaruhi oleh salah satunya bahan organik, sedangkan kemantapan agregat juga dipengaruhi oleh BO. Jika total ruang pori semakin tinggi maka kemantapan agregatnya juga semakin baik. Kebun sawit memiliki total ruang pori yang rendah karena kebun sawit memiliki bahan organik yang rendah dan 39

Refliaty dan EJ. Marpaung: Agregat Ultisol pada beberapa Penggunaan Lahan dan Lereng bobot volume yang tinggi. Sesuai pendapat Saifuddin Sarief (1985) bahwa total ruang pori berbanding terbalik dengan BV. Makin tinggi BV maka TRP akan semakin berkurang. Kadar Air Lapang Kadar air lapang pada lahan hutan sekunder lebih tinggi dibandingkan kebun karet dan kebun campuran, kadar air lapang kebun campuran lebih tinggi dibandingkan kebun sawit. Tingginya kadar air pada hutan sekunder, kebun karet dan kebun campuran disebabkan kandungan bahan organik yang tinggi, sedangkan kebun sawit memiliki bahan organik yang rendah. Disamping itu lahan hutan sekunder memiliki struktur lebih sarang yang ditunjukkan oleh jumlah agregat terbentuk yang paling banyak. Kadar air dipengaruhi oleh bahan organik. Bahan organik yang lebih banyak akan dapat menghisap air lebih banyak pula. Seta (1987) menyatakan bahwa bahan organik tanah mempunyai kemampuan menghisap dan memegang air yang tinggi, meningkatkan kemantapan agregat dan kemantapan pori tanah sehingga meningkatkan kapasitas infiltrasi tanah. Disamping itu juga, karena tanahnya lebih sarang sehingga lebih banyak mengandung air didukung oleh pendapat Sitanala Arsyad (2000) bahwa tanah yang berstruktur remah akan lebih terbuka dan sarang, sehingga penyerapan air lebih besar. Kadar air lapang pada lahan dengan kemiringan 0-8% nilainya lebih tinggi dari lahan dengan kemiringan lereng 8-15% dan 15-20% (Tabel 1). Hal ini disebabkan karena lereng 3-8% lebih landai dari lereng lainnya. Landainya lereng dapat menampung banyaknya curah hujan yang jatuh kepermukaan tanah sehingga laju erosi yang terjadi lebih kecil. Semakin curam lereng maka erosi yang terjadi semakin besar, hal ini disebabkan oleh air hujan yang jatuh tidak dapat diserap sepenuhnya karena sebagian besar menjadi aliran permukaan (run off) dan hanya sebagian kecil yang dapat diserap oleh tanah sehingga laju infiltrasi rendah. Dengan demikian ketersediaan air di dalam tanah rendah. Persen Agregat Terbentuk dan Kemantapan Agregat Persen agregat terbentuk hutan sekunder lebih besar dibandingkan kebun karet, kebun campuran dan kebun sawit (Tabel 1). Hal ini dipengaruhi oleh kandungan bahan organik. Bahan organik menjadikan tanah semakin gembur, mendorong aktivitas mikroorganisme dalam tanah sehingga mempercepat terbentuknya agregat tanah yang lebih baik. Bahan organik sangat berperan dalam proses pembentukan agregat tanah. Bahan organik yang mengalami proses dekomposisi akan menghasilkan senyawa-senyawa organik seperti asam-asam organik dan humus yang dapat merekatkan butir-butir fraksi penyusun tanah menjadi kesatuan agregat yang utuh. Sesuai dengan pendapat Saifuddin Sarief (1985) bahwa peranan bahan organik terhadap sifat fisik tanah adalah menaikan kemantapan agregat tanah, memperbaiki struktur tanah serta dapat meningkatkan laju infiltrasi tanah. Agregat terbentuk pada kebun sawit lebih rendah dibandingkan dengan kebun karet dan kebun campuran. Karena pada kebun sawit kandungan bahan organiknya rendah sehingga berat volume tanahnya lebih tinggi dan tanah relatif lebih padat. Demikian pula ratarata agregat terbentuk pada kebun campuran lebih rendah dibandingkan kebun karet, Hal ini juga disebabkan oleh perbedaan kandungan bahan 40

J. Hidrolitan, 1:2:35-42, 2010 organik tanah sehingga berbeda kemampuannya dalam membuat granulasi butir-butir tanah. Dengan terbentuknya agregat mengindikasikan kegemburan tanah, di mana semakin banyak agregat terbentuk menunjukan tanah semakin gembur dan berarti makin sarang dan makin mudah melewatkan air. Persen agregat terbentuk dan kemantapan agregat pada kelerengan 0-8% lebih tinggi dibandingkan lereng 8-15% dan 15-20% ( Tabel 1), pada lereng yang curam bila terjadi hujan air yang jatuh dipermukaan tanah sedikit yang masuk ke dalam tanah tetapi langsung mengalir. Karena masuknya air kedalam tanah membutuhkan waktu yang lama, hal inilah yang menyebabkan erosi dan aliran permukaan terjadi semakin besar yang menyebabkan penghanyutan partikel-partikel tanah sehingga terjadi pengrusakan agregat. Menurut Ananta Kusuma Seta (1987) ada 3 proses yang bekerja secara beruntun dalam mekanisme erosi yaitu penghancuran agregat dan pelepasan partikel-partikel tanah dari massa tanah, pengangkutan, pengendapan. Pendapat ini didukung oleh Wani Hadi Utomo (1985) bahwa proses erosi bermula dengan terjadinya penghancuran agregat-agregat tanah sebagai akibat pukulan air hujan yang mempunyai energi lebih besar dari pada daya tahan tanah. KESIMPULAN 1. Kemantapan Agregat Ultisol pada penggunaan lahan hutan sekunder memiliki nilai dan kemantapan agregat 86.05 sampai 91.48, lahan kebun karet memiliki nilai kemantapan agregat 78.70 sampai 79.39, lahan kebun campuran memiliki nilai kemantapan agregat 59.83 sampai 64.99 dan lahan kebun sawit memiliki nilai kemantapan agregat 40.75 sampai 45.09. 2. Dari semua penggunaan lahan, lahan hutan sekunder memiliki kemantapan agregat lebih tinggi dibandingkan penggunaan lahan lainnya. Sedangkan kemantapan agregat terendah adalah kebun sawit. DAFTAR PUSTAKA AG. Kartasapoetra dan Mul Mulyani Sutedja. 1985. Teknologi Konservasi Tanah dan Air. PT Bina Aksara, Jakarta. Ananta Kusuma Seta. 1987. Konservasi Sumber Daya Tanah Dan Air. Kalam Mulia. Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2007. Kabupaten Muaro Jambi Dalam Angka. Kompleks Perkantoran Bukit Cinto Kenang. Sengeti. Jambi. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Jambi. 2005. Data Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Tahun 2004. Jambi. Goeswono Soepardi. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Departemen Ilmu-Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian. IPB Bogor. Moch. Munir, 1996. Tanah-tanah Utama di Indonesia. Produktifitas Tanah, Klasifikasi dan Pemanfaatannya. Pustaka Jaya. Jakarta. Saifuddin Sarief. 1985. Ilmu Tanah Pertanian. Pustaka Buana Cetakan I. Bandung. 41

Refliaty dan EJ. Marpaung: Agregat Ultisol pada beberapa Penggunaan Lahan dan Lereng Sitanala Arsyad. 2000. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor. Sukmana. 1984. Pengaruh Berat Isi Terhadap Distribusi Ukuran Pori Dan Pertumbuhan Tanaman Padi Dan Kacang Tanah. Prosiding No 4 Pusat Penelitian Tanah Bogor. Wani Hadi Utomo. 1985. Dasar-dasar Fisika Tanah. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang. Riyanti, M.D. Ritonga, Z. Nasution. 1994. Erodibilitas Dan Prakiraan Tingkat Erosi Tanah Ultisol Kebun Percobaan Tambuan A. Prosiding Kongres Nasional VI HITI. Penatagunaan Tanah Sebagai Perangkat Ruang Dalam Rangka Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat. Jakarta. 12-15 Desember 1995. 42