BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 4 HASIL & ANALISIS

BAB I PENDAHULUAN. 16 lokasi rawan bencana yang tersebar di 4 kecamatan (BPBD, 2013).

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI

STUDI EKSPERIMENTAL PENGARUH VARIASI POSISI PENYEMPROTAN DAN JARAK NOSEL TERHADAP WAKTU PEMADAMAN SISTEM PEMADAMAN KABUT AIR

BAB 3 METODOLOGI PENGUJIAN

BAB II LANDASAN TEORI. Kompor pembakar jenazah memiliki beberapa bagian seperti:

BAB III METODOLOGI PENGUJIAN

BAB 4 ANALISA DAN PEMBAHASAN

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III PROSES PEMBAKARAN

BAB IV HASIL & ANALISIS

BAB II LANDASAN TEORI. Kompor pembakar jenazah memiliki beberapa bagian seperti:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab II Ruang Bakar. Bab II Ruang Bakar

Bab 2 Tinjauan Pustaka

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI

K3 KEBAKARAN. Pelatihan AK3 Umum

METODOLOGI PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian. Alat dan Bahan Penelitian. Prosedur Penelitian

BAB IV ANALISA DAN PERHITUNGAN

Pasal 9 ayat (3),mengatur kewajiban pengurus menyelenggarakan latihan penanggulangan kebakaran

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

No. Karakteristik Nilai 1 Massa jenis (kg/l) 0, NKA (kj/kg) 42085,263

Gbr. 2.1 Pusat Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang

2. Pengantar Pengetahuan Tentang Api SUBSTANSI MATERI

ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB VI PEMBAHASAN. perawatan kesehatan, termasuk bagian dari bangunan gedung tersebut.

BAB II DASAR TEORI. Laporan Tugas Akhir. Gambar 2.1 Schematic Dispenser Air Minum pada Umumnya

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II DASAR TEORI BAB II DASAR TEORI

BAB II LANDASAN TEORI

BAB III METODE PENGUJIAN DAN PEMBAHASAN PERHITUNGAN SERTA ANALISA

BAB II DASAR TEORI. BAB II Dasar Teori. 2.1 AC Split

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Nama : Nur Arifin NPM : Jurusan : Teknik Mesin Fakultas : Teknologi Industri Pembimbing : DR. C. Prapti Mahandari, ST.

PERBANDINGAN BIDANG API ISOTHERMAL KOMPOR ENGKEL DINDING API TUNGGAL DAN DINDING API GANDA BERBAHAN BAKAR BIOETHANOL

Rencana Pembelajaran Kegiatan Mingguan (RPKPM).

NASKAH PUBLIKASI KARYA ILMIAH

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan utama dalam sektor industri, energi, transportasi, serta dibidang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pengaruh Temperatur Pada Campuran Minyak Kelapa dan Bahan Bakar Solar Terhadap Sudut Injeksi

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TEORI ALIRAN PANAS 7 BAB II TEORI ALIRAN PANAS. benda. Panas akan mengalir dari benda yang bertemperatur tinggi ke benda yang

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

TURBIN GAS. Berikut ini adalah perbandingan antara turbin gas dengan turbin uap. Berat turbin per daya kuda yang dihasilkan lebih besar.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENGARUH JARAK SALURAN KELUAR AIR DAN UDARA TERHADAP KARAKTERISTIK SPRAY PADA TWIN FLUID ATOMIZER

Ciri dari fluida adalah 1. Mengalir dari tempat tinggi ke tempat yang lebih rendah

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1. Potensi dan kapasitas terpasang PLTP di Indonesia [1]

BAB III SISTEM REFRIGERASI DAN POMPA KALOR

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II PRINSIP-PRINSIP DASAR HIDRAULIK

KEBAKARAN DAN ALAT PEMADAM API. Regina Tutik Padmaningrum Jurdik Kimia, FMIPA, Universitas Negeri Yogyakarta

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

STUDI EKSPERIMENTAL PENGARUH VARIASI POSISI PENYEMPROTAN DAN JARAK NOSEL TERHADAP WAKTU PEMADAMAN PADA SISTEM PEMADAMAN KABUT AIR

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI

PENCEGAHAN KEBAKARAN. Pencegahan Kebakaran dilakukan melalui upaya dalam mendesain gedung dan upaya Desain untuk pencegahan Kebakaran.

KONVERSI ENERGI PANAS BUMI HASBULLAH, MT

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

Sistem Pencegahan dan. Kebakaran. Teknik Keselamatan dan Kesehatan Kerja POLITEKNIK PERKAPALAN NEGERI SURABAYA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Bab 2 Tinjauan Pustaka

Pengaruh Temperatur Pada Campuran Minyak Kelapa dan Bahan Bakar Solar Terhadap Sudut Injeksi

Prinsip kerja PLTG dapat dijelaskan melalui gambar dibawah ini : Gambar 1.1. Skema PLTG

PENGARUH VARIASI FLOW DAN TEMPERATUR TERHADAP LAJU PENGUAPAN TETESAN PADA LARUTAN AGAR-AGAR SKRIPSI

BAB II PERANCANGAN PRODUK. : Sebagai bahan baku pembuatan ammonia, plastik,

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Oleh : Dimas Setiawan ( ) Pembimbing : Dr. Bambang Sudarmanta, ST. MT.

PENGENDALI DEBU (PARTIKULAT)

BAB II DASAR TEORI. BAB II Dasar Teori

MENENTUKAN JUMLAH KALOR YANG DIPERLUKAN PADA PROSES PENGERINGAN KACANG TANAH. Oleh S. Wahyu Nugroho Universitas Soerjo Ngawi ABSTRAK

Bab 4 Perancangan dan Pembuatan Pembakar (Burner) Gasifikasi

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 6 Steady explosive eruptions

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Dalam bab ini diuraikan mengenai hasil dari penelitian yang telah dilakukan,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. campuran beberapa gas yang dilepaskan ke atmospir yang berasal dari

BAB II DASAR TEORI. Pengujian alat pendingin..., Khalif Imami, FT UI, 2008

besarnya energi panas yang dapat dimanfaatkan atau dihasilkan oleh sistem tungku tersebut. Disamping itu rancangan tungku juga akan dapat menentukan

WATER TO WATER HEAT EXCHANGER BENCH BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Tujuan Pengujian

Dengan cara pemakaian yang benar, Anda akan mendapatkan manfaat yang maksimal selama bertahun-tahun.

KESETIMBANGAN FASA. Komponen sistem

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan tentang aplikasi sistem pengabutan air di iklim kering

PEMISAHAN MEKANIS (mechanical separations)

BAB II LANDASAN TEORI

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. listrik dimana generator atau pembangkit digerakkan oleh turbin dengan

BAB V TURBIN GAS. Berikut ini adalah perbandingan antara turbin gas dengan turbin uap. No. Turbin Gas Turbin Uap

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Api dan Proses Pembakaran Api yang timbul akibat proses pembakaran dimana terjadi oksidasi dan reaksi kimia kompleks antara oksigen, bahan bakar, dan panas akan disertai dengan munculnya asap dan gas sisa hasil pembakaran seperti karbon dioksida dan air (Gottuk dkk., 2002). Sedangkan bahan bakar adalah semua zat yang dapat melepaskan energi ketika dioksidasi. Bahan bakar dapat berbentuk fase padat, cair dan gas. Oksigen, bahan bakar, sumber sumber ignition, dan reaksi reaksi kimia yang terjadi merupakan elemen primer dari api. Kesetimbangan api akan terganggu apabila salah satu dari elemen penting tersebut mulai tidak seimbang. Gambar 2.1 Elemen segitiga api Dari gambar 2.1 dapat dilihat bahwa nyala api sangat memerlukan oksigen dan bahan bakar. Oleh sebab itu, api akan terus menyala sesuai dengan reaksi oksidasi yang terjadi sampai bahan bakar habis. Komponen sebelum reaksi dalam 7

8 suatu reaksi pembakaran adalah reaktan (bahan bakar + oksidator) dan komponen setelah reaksi pembakaran adalah produk pembakaran dan panas. Pembakaran dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu pembakaran jenis flaming dan smouldering. Jenis pembakaran smouldering merupakan bentuk kebakaran yang terjadi tanpa adanya nyala api, pergerakannya lambat, dan temperatur yang rendah disertai dengan perambatan panas ketika oksigen mengenai permukaan bahan bakar pada fase kondensasi. Sedangkan jenis pembakaran flaming merupakan pembakaran yang disertai dengan nyala api, pergerakannya cepat, dan temperatur yang tinggi. Pembakaran jenis flaming menghasilkan api yang merupakan sebuah fenomena yang terjadi dalam fase gas. Bahan bakar dalam fase padat atau cair harus terlebih dahulu mengalami perubahan fase menjadi fase gas untuk dapat terbakar. Dalam gambar 2.2 terdapat beberapa mekanisme dari proses perubahan wujud benda yang memiliki fase padat lalu berubah ke fase cair kemudian menjadi fase gas. Gambar 2.2 Proses perubahan bahan bakar padat menjadi uap

9 2.2 Pool Fire Pool fire merupakan suatu pembakaran yang terjadi diatas kolam horizontal yang bahan bakarnya berasal dari penguapan bahan bakar cair, dimana momentum awalnya sangat rendah atau sama dengan nol. Nyala api dari pool fire sangat tergantung pada besarnya luas permukaan bahan bakar (diameter pool fire). Selain itu, nyala api juga bergantung pada banyaknya bahan bakar yang telah mencapai titik mampu bakar yang tersedia dalam suatu pool fire. Dalam suatu pool fire, aliran pada pembakaran bahan bakar dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu (Drysdale, 2003) : 1. Untuk ukuran diameter pool fire kurang dari 0,03 m (D 0,03 m) maka api akan laminar 2. Untuk ukuran diameter pool fire yang lebih dari 1 m (D > 1 m) maka api akan turbulent 3. Apabila ukuran diameter pool fire berada pada nilai antara 0,03 m sampai 1 m (0,03 m D 1 m) maka aliran api akan berada pada transisi antara aliran laminar dan aliran turbulent Penyebaran panas secara radiasi akan mendominasi pada permukaan bahan bakar dengan ukuran diameter pool fire yang besar. Sedangkan diameter pool fire yang berukuran kecil akan didominasi oleh penyebaran panas pada permukaan bahan bakar secara konveksi (Gottuk dkk., 2002) Pool fire adalah api yang terbakar secara difusi dari penguapan cairan bahan bakar dengan momentum bahan bakarnya yang sangat rendah. Api yang terbakar dari bahan jenis ini sangat sulit dipadamkan dan dapat menimbulkan

10 dampak kerugian yang sangat besar. Pool fire termasuk ke dalam kelas kebakaran B, dan untuk memadamkannya saat ini banyak digunakan bubuk kimia kering (dry powder) yang biasanya banyak terkandung dalam APAR (fire exthinguiser). Pemadaman jenis ini tidak dapat menggunakan media air, karena sifat air yang tidak bisa larut dalam minyak, sehingga menyebabkan api bukannya menjadi padam tapi malah menyebar. Karakteristik pool fire dapat dilihat pada laju pembakaran bahan bakar, laju produksi kalor, tinggi nyala api dan temperatur nyala. 2.2.1 Laju Pelepasan Massa Pembakaran dan Produksi Kalor Pool fire Pada suatu pool fire, api yang dihasilkan dari proses pencampuran bahan bakar dan oksigen dengan sumber panas yang cukup akan mempertahankan nyala api apabila kesetimbangan elemen api tidak terganggu. Hal ini diakibatkan oleh adanya penguapan dan terjadinya suatu reaksi kimia bahan bakar cair akibat panas yang ditimbulkan oleh nyala api. Seperti yang terlihat pada Gambar 2.3, dimana nyala api mempertahankan fase penguapan yang terjadi dan terjadi reaksi kimia yang dapat menghasilkan material combustible dengan fase gas yang siap untuk dibakar. Material combustible yang dihasilkan oleh reaksi kimia pada fase penguapan bahan bakar akan mempertahankan nyala api

11 Gambar 2.3 Presentasi skematik dari pemukaan yang terbakar Dalam suatu penyebaran nyala api seperti gambar diatas, laju pembakaran akan sama dengan laju suplai gas combustible bahan bakar, dimana laju pembakarannya ( ṁ ) dapat ditulis secara umum dengan persamaan (Babrauska, 2002) : QF " QL " m... (2.1) Lv Keterangan : Q F : heat flux supplai dari api (kw/m2) Q L : panas yang hilang atau heat flux dari permukaan bahan bakar LV : panas yang dibutuhkan untuk menghasilkan material combustible dalam fase gas (kj/kg) atau untuk bahan bakar cair yang merupakan panas latent dari penguapan bahan bakar.

12 Babrauskas (2002) merumuskan suatu persamaan untuk mengetahui besarnya heat release rate pada risiko api yang berasal dari pembakaran pool fire dengan diameter lebih kecil dari 0.2 meter (D < 0.2 m) yaitu: q = h c ṁ (1 e -KβD ) x A... (2.2) Keterangan : q : laju pelepasan panas(heat release rate) pool fire (kw) Δhc : effective heat of combustion (kj/kg) ṁ : asymptotic mass burning rate for large fire diameter (kg/m 2 s) Kβ : empirical constant (konstanta ditunjukkan pada Tabel 2.2 untuk beberapa jenis bahan bakar) A : luas permukaan bahan bakar (m 2 ) Untuk besarnya mass burning rate pada suatu pool fire maka dapat digunakan persamaan : ṁ = ṁ (1 e (-KβD) )... (2.3) Keterangan : ṁ : mass burning rate pool fire (kgm -2 s -1 )

13 Tabel 2.1. Pool burning themochemical dan Empirical Constant untuk berbagai jenis bahan bakar organik Material Cryogenics Liquid H 2 LNG (mostly CH 4 ) LPG (mostly C 3 H 8 ) Alcohols Methanol (CH 3 OH) Ethanol (C 2 H 5 OH) Simple Organic Fuels Butane (C 4 H 10 ) Benzene (C 6 H 6 ) Hexane (C 6 H 14 ) Heptane (C 7 H 16 ) Xylene (C 8 H 10 ) Acetone (C 3 H 8 O) Dioxane (C 4 H 8 O 2 ) Diethyl Ether (C 4 H 10 O) Petroleum Products Benzine Gasoline Kerosene JP-4 JP-5 Transformer Oil,hydrocarbon Fuel Oil, heavy Crude Oil Solids Polimethylmethacrylate (C 6 H 8 O 2 ) 2 Polypropylene (C 3 H 6 ) 2 Polystyrene (C 8 H 8 ) 2 Mass Loss Rate ṁ (kg/m 2 -sec) 0.017 0.078 0.099 0.017 0.015 0.078 0.085 0.074 0.101 0.090 0.041 0.018 0.085 0.048 0.055 0.039 0.051 0.054 0.039 0.035 0.022-0.0.045 0.020 0.018 0.034 Heat of Combustion Hc eff (kj/kg) 12,000 50,000 46,000 20,000 26,800 45,700 40,100 44,700 44,600 40,800 25,600 26,200 34,200 44,700 43,700 43,200 43,500 43,000 46,400 39,700 42,500-42,700 24,900 43,200 39,700 Density ρ (kg/m 3 ) 70 415 585 796 794 573 674 650 675 870 791 1,035 714 740 740 820 760 810 760 940-1,000 830-880 1,184 905 1,050 Empirical Constant kβ (m -1 ) 6.1 1.1 1.4 100 ** 100 ** 2.7 2.7 1.9 1.1 1.4 1.9 5.4 0.7 3.6 2.1 3.5 3.6 1.6 0.7 1.7 2.5 3.3 100 ** 100 ** Miscellaneous 561 6 Silicon Transformer Fluid 0.005 28,100 960 100 **

14 2.2.2. Waktu Nyala Api Laju pembakaran suatu bahan bakar bergantung pada bentuk dan senyawa kimia pembentuk bahan bakar tersebut. Bentuk dari suatu bahan bakar akan berpengaruh terhadap laju pembakaran. Faktor utama yang sangat penting adalah luas permukaan bahan bakar terhadap rasio massa dari bahan bakar yaitu luasnya permukaan bahan bakar yang dapat terbakar dibandingkan dengan massa total dari bahan bakar. Pengukuran terhadap waktu pembakaran merupakan suatu cara untuk menentukan bahaya yang ditimbulkan oleh kebakaran dalam ruangan. Lamanya waktu pembakaran dari suatu bahan bakar dalam ruangan dapat diperkirakan dengan melihat banyaknya material yang mungkin terbakar dan udara dalam ruangan yang terbakar. Ketika bahan bakar cair terbakar maka api akan berkembang sesuai dengan laju pelepasan massa dan panas dari produk pembakaran. Diameter pool fire yang merupakan luas permukaan bahan bakar akan mempengaruhi laju pelepasan massa dari bahan bakar. Dalam suatu analisis dimana dua buah bakar cair dengan volume dan jenis yang sama terbakar, bahan bakar cair dengan permukaan diameter yang lebih kecil akan terbakar dalam waktu yang lebih lama dibandingkan dengan bahan bakar cair diameter yang lebih besar. Massa dari material yang terbakar persatuan waktu dapat diperkirakan dengan menggunakan waktu pembakaran bahan bakar, dimana : V tb 4 2 D. v... (2.4)

15 Keterangan : V : volume bahan bakar cair (m 3 ) D : diameter pool fire (m) v : laju pembakaran / regression rate (ms -1 ) Bahan bakar cair yang terbakar dan bahan bakar yang dipakai dalam proses pembakaran akan berkurang seiring dengan laju pembakaran (regression rate) yang didefinisikan sebagai loss volumetric dari bahan bakar cair per satuan luas area dalam satuan waktu seperti pada persamaan : m v... (2.5) fuel Keterangan : ṁ : mass burning rate pool (kgm -2 s -1 ) ρ fuel : massa jenis bahan bakar (kgm -3 ) 2.2.3 Tinggi Nyala Api Untuk mengetahui tinggi nyala api dari pool fire dapat menggunakan rumus : H f = (0.235 Q 2/5 ) 1.02 D (Method Of Hesketad)... (2.6) Keterangan : Q : laju produksi kalor (KW) D : diameter dari pool fire 2.3 Sistem Kabut Air (Water Mist Systems) 2.3.1 Pengertian Sistem Kabut Air Isu paling penting dalam kebakaran adalah sumber air yang kadang sulit diperoleh. Maka upaya untuk mengurangi jumlah air yang dibutuhkan adalah

16 dengan cara membuat air menjadi kabut. Sistem kabut air mempunyai prinsip kerja seperti itu yaitu memanfaatkan air dengan cara membuat air tersebut menjadi sangat halus. Semakin halus permukaan butiran air yang dihasilkan, akan meningkatkan luas permukaan air. Jika luas permukaan air meningkat, maka air akan sulit melakukan penetrasi ke dalam permukaan yang terbakar. Dengan kata lain, kabut air akan mengambil kalor pembakaran tanpa membasahi material yang terbakar. Ini membuat api dapat padam dan resiko letupan dapat dikurangi. Inilah salah satu keunggulan sistem kabut air dibandingkan menggunakan sistem air biasa. Sistem kabut air tidak membutuhkan bahan kimia tambahan, namun membutuhkan tekanan yang besar untuk menghasilkan kabut air. Sebuah sistem kabut air adalah air berbasis sistem pemadam kebakaran otomatis. Kabut air adalah penyemprotan halus dengan 99 persen dari volume air yang terkandung dalam tetesan air kurang dari satu milimeter (1.000 mikron) dalam diameter (NFPA 750 standard). Air dibagi menjadi tetesan sangat halus menciptakan luas permukaan lebih besar dari tetesan standar yang dipancarkan dari sistem sprinkler. Air kabut tetesan sistem dapat 20 kali lebih kecil dan memiliki luas permukaan 400 kali lebih besar dari tetesan air sistem sprinkler. Sejumlah air akan berubah menjadi uap, atau biasa disebut sebagai panas laten penguapan. Hal ini secara drastis dapat mengurangi tingkat pembakaran. Uap juga akan menempati volume yang jauh lebih besar daripada jika tetesan itu dalam bentuk cair. Uap juga akan menggusur oksigen dari zona api, sehingga satu elemen penting dalam segitiga api akan bisa dihilangkan. Kabut air akan membuang panas dari sumber bahan bakar bahkan setelah api telah dipadamkan.

17 Hal ini dapat mencegah api menyala kembali. Sistem ini juga menyerap panas dan menyebarkan radiasi, mengurangi jumlah energi yang diproyeksikan ke bahan bakar. Sistem kabut air juga dapat menyaring uap korosif dan beracun seperti karbon monoksida yang dihasilkan oleh bahan-bahan seperti kayu, plastik, dan cairan yang mudah terbakar. Mawhinney dan Salomon (1997) mengklasifikasikan sistem water mist berdasarkan distribusi yang disajikan dalam bentuk pembagian persen volume comulatif yang membedakan antara droplet yang kasar dan halus. Dari gambar 2.4 menunjukkan bahwa, untuk semprotan kelas 1, dimana volume yang terkandung dalam tetesan kurang dari 200 µm. Kelas 2 dan 3 didefenisikan dengan cara yang sama. Dalam aplikasinya, kelas 1 dan kelas 2 cocok untuk pemadaman kebakaran pada pool fire atau pemadaman api dimana percikan bahan bakar harus dihindari. Gambar 2.4 Klasifikasi dari semprotan air berdasarkan ukuran distribusi dropplet

18 2.3.2 Mekanisme Pemadaman dari Sistem Kabut Air Mekanisme utama dalam pemadaman nyala api dengan sistem kabut air : 1. Pendinginan fase gas Air memiliki panas laten yang sangat besar (2270 kj/kg). Penguapan air memiliki spesifik panas yang paling tinggi diantara gas yang ada di atmosfer. Penguapan air akan mengurangi temperatur udara lingkungan. Apabila penguapan air terjadi dekat dengan nyala api maka akan dapat mengganggu dinamika api. Pada bahan bakar padat dan cair, hal ini merupakan suatu reaksi panas dari api yang disebabkan oleh volatilasi bahan bakar. Pengurangan temperatur juga akan menyebabkan pengurangan jelaga yang dihasilkan pada proses pembakaran. 2. Pengurangan oksigen dan pengurangan penguapan material Pengurangan oksigen dapat terjadi secara lokal dan menyeluruh pada suatu sistem. Pengurangan oksigen pada daerah lokal terjadi ketika droplet air masuk ke dalam reaksi pembakaran. Uap yang dihasilkan oleh droplet air akan mengganggu masuknya oksigen ke dalam suatu reaksi pembakaran sehingga mengganggu kesetimbangan api. 3. Pendinginan permukaan bahan bakar Droplet air yang masuk ke permukaan suatu bahan bakar padat yang terbakar akan mendinginkan permukaan bahan bakar tersebut. Hal ini mengurangi laju volatilasi bahan bakar dan menghalangi penyebaran api.

19 2.4 Nosel dan Sistem Injeksi Nosel (atau atomisers) digunakan untuk memecah aliran kontinu cair menjadi spray atau tetesan. Nosel banyak digunakan dalam berbagai aplikasi seperti : injeksi bahan bakar pada mesin diesel, turbin gas dan roket, penyemprotan tanaman, dan pendinginan permukaan cairan bahan bakar. Fungsi dasar dari nosel adalah: 1. Pengendalian aliran dari liquid 2. Atomisasi liquid menjadi butiran 3. Penyebaran tetesan dalam pola tertentu 4. Meningkatkan luas permukaan dari liquid 5. Membangkitkan momentum hidrolik Berbagai aplikasi dan fungsi yang luas telah memunculkan berbagai desain untuk nosel sehingga tersedia secara komersial. Nosel harus mampu menghasilkan semprotan dengan kualitas yang baik, disesuaikan dengan kebutuhan dan bisa bekerja pada berbagai macam laju aliran flow rate. Nosel yang biasanya digunakan salah satunya adalah jenis single fluid. Berbagai aplikasi dan fungsi yang luas telah memunculkan berbagai desain untuk nosel sehingga tersedia secara komersial. Dalam aplikasi seperti cat semprot, keseragaman dari spray yang dihasilkan adalah hal yang terpenting, beda halnya dengan kebutuhan spray untuk tanaman pertanian, ukuran tetesan kecil harus dihindari karena dapat hanyut oleh angin. Sehingga perlu untuk mengetahui agar nosel mampu menghasilkan semprotan dengan kualitas yang baik, disesuaikan dengan

20 kebutuhan dan bisa bekerja pada berbagai macam laju aliran flow rate (Santangelo dkk., 2008) Nosel yang biasanya digunakan salah satunya adalah jenis single fluid, di mana energi kinetik dari fluida dimanfaatkan untuk breakup atau ada yang menggunakan secondary fluid (udara biasanya dikompresi) untuk mempercepat proses breakup. Umumnya proses breakup terjadi setelah liquid meninggalkan nosel sebagai hasilnya terjadi aerodinamis drag atau ketidakstabilan hidrodinamik. Peran nosel hanya untuk menghasilkan sebuah jet liquid dengan turbulensi dan profil kecepatan untuk mencapai breakup sesuai dengan yang diperlukan. Karakteristik spray yang dihasilkan oleh nosel tertentu bervariasi tergantung tekanan operasi yang diberikan. 2.4.1 Jenis Nosel Berdasarkan Mekanisme Kerjanya 2.4.1.1 Nosel Single-Fluid Single fluid dikenal juga sebagai simpleks atau jenis Hidrolik. Spray yang dihasilkan dipengaruhi oleh tekanan air yang diberikan. Pada tekanan tinggi, hubungan antara ukuran droplet dan tekanan akan menjadi lebih kompleks. Biasanya terjadi penurunan diameter secara signifikan dengan meningkatnya tekanan (De Stefano dkk., 2008)

21 Gambar 2.5. Jenis Nosel Single fluid Beberapa jenis nosel untuk single fluid : a) Hollow cone single fluid: Tejadi gerakan berputar yang diinduksi kedalam dalam liquid di dalam nosel yang memproduksi spray, di mana sebagian besar tetesan terkonsentrasi di tepi luar. b) Full cone single fluid: Spray terdistribusi lebih homogen dimana tetesan didistribusikan secara melingkar. c) Flat spray single fluid : Menghasilkan seperti lembar spray dengan distribusi yang relatif seragam, yang sangat cocok digunakan untuk melindungi peralatan dalam rongga sempit. 2.4.1.2 Nosel Twin Fluid Twin-fluid mist nosel memproduksi kabut dengan dibantu oleh udara, juga dikenal sebagai udara atomising, duplex atau nosel pneumatik. Biasanya nitrogen dicampur dengan air pada bagian chamber sehingga menghasilkan kabut yang

22 lebih halus, yang kemudian dikeluarkan melalui outlet tunggal atau ganda. Yang efektif pada twin-fluid adalah atomisasi bisa terjadi pada tekanan operasi yang rendah (5-6 bar) jika dibandingkan dengan nosel jenis single fluid. Maka umumnya ukuran dari droplet yang dihasilkan oleh twin-fluid lebih kecil atau lebih halus, gambar 2.6 menunjukan contoh dari nosel twin fluid. Gambar 2.6 Jenis Nosel Twin fluid Dibawah ini digambarkan beberapa contoh nosel dan mekanisme kerjanya :

23 Gambar 2.7 Skema ilustrasi nosel untuk pemadam kebakaran Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap peforma spray nosel (Mawhinney dkk., 1997) : a) Tekanan operasi : Tekanan yang digunakan pada saat melakukan eksperimental, biasanya tekanan terukur yang ada pada pressure gauge.

24 b) Viskositas Fluida : Viskositas dinamik liquid yang menolak perubahan bentuk atau susunan unsur-unsur pada saat aliran. Viskositas dari fluida merupakan faktor utama yang mempengaruhi pembentukan pola spray dan, sudut spray dan kapasitas. c) Temperatur fluida: Meskipun temperatur fluida tidak menyebabkan perubahan lansung terhadap kinerja spray nosel, namun sering mempengaruhi viskositas, permukaan ketegangan, dan gravitasi spesifik sehingga parameter tersebut mempengaruhi kinerja terhadap spray nosel. d) Tegangan Permukaan (Surface tension) : Permukaan liquid cenderung dianggap memiliki pengaruh yang paling kecil, dalam hal ini, seperti membran yang diberi tarikan. Setiap bagian dari permukaan liquid memberikan ketegangan pada bagian yang berdekatan atau pada benda lainnya yang berada dalam kontak liquid tersebut. Tegangan permukaan yang lebih tinggi dapat mengurangi sudut spray, terutama pada hollow cone dan flat fan spray. 2.5 Dasar-dasar dari Spray Konsep injeksi liquid yang melewati lubang kecil pada phenomena pembentukan spray terbukti merupakan proses yang sangat kompleks. Meskipun analisis pembentukan spray memiliki disiplin ilmu sendiri, memahami beberapa aspek fisiknya merupakan suatu pembelajaran yang berharga. Dalam pembahasan ini akan dijelaskan tentang dasar-dasar spray secara umum, seperti kondisi pembentukan spray, pembentukan tetesan dan kondisi pemisahan droplet. Namun

25 dalam penelitian ini akan dibahas lebih khusus pada spray untuk water mist yang menggunakan air sebagai fluidanya. 2.5.1 Pembuatan Spray Droplet dan Distribusi Ukuran Droplet Air Ada tiga cara untuk membuat spray droplet dalam suatu sistem kabut air, yaitu : 1. Impingiment nosel 2. Twin fluid nosel 3. Pressure jet nosel Dalam penelitian ini, cara yang akan digunakan untuk membentuk spray droplet adalah dengan nosel pressure jet. Pembentukan spray droplet langsung dari aliran turbulen jet melalui penyemprotan air (break up). Terdapat dua cara utama dalam penyemprotan air (break-up) yaitu : bag break up dan stripping break-up (Xiao dkk., 2011). Dalam bag break-up, satu droplet akan terpisah menjadi dua atau lebih droplet baru dengan ukuran masing-masing droplet yang hampir sama. Sedangkan dalam stripping break-up, droplet dengan ukuran kecil akan terpisah dari permukaan droplet dengan ukuran yang lebih besar. Terdapat empat cara untuk membuat spray droplet dari jet air, yaitu (Hart, 2005) : 1) Dengan cara Rayleigh rezim breakup : droplet air akan terbentuk jauh dari ujung nosel dengan diameter droplet yang dihasilkan lebih besar daripada diameter orifice nosel

26 Dengan cara First wind-induced break-up : suatu cara pembentukan droplet air dimana droplet yang dibentuk memiliki ukuran yang hampir sama dengan ukuran diameter orifice nosel Dengan cara Second wind-induced break up : suatu cara pembentukan droplet dimana droplet air terjadi dekat di bawah aliran sekitar nosel dan diameter droplet yang dihasilkan lebih kecil daripada diameter orifice nosel. Dengan cara Atomization: pembentukan droplet air yang dimulai dari orifice nosel tempat keluar droplet yang disebabkan oleh ukuran dan tekanan yang diberikan pada air. Diameter droplet air yang dihasilkan lebih kecil dibandingkan dengan diameter orifice nosel Dibawah ini merupakan beberapa rezim atau kondisi pada proses breakup Gambar 2.8 Pembentukan droplet air (a) Rayleigh break-up, (b) First wind-induce break up, (c) Second wind-induce break-up, (d) Atomisasi

27 Dalam suatu pembentukkan spray droplet, terdapat tiga kategori tekanan yang digunakan, yaitu : 1. Low pressure water mist system, dimana tekanan sistem yang digunakan kurang atau sama dengan 12.5 bar (P 12.5 bar) 2. Medium pressure water mist system, dimana tekanan sistem yang digunakan antara 12.5 sampai dengan 35 bar (12.5 P 35 bar) 3. High pressure water mist system, dimana tekanan sistem yang digunakan lebih besar atau sama dengan 35 bar (P > 35 bar) 2.6 Pemadaman api pada pool fire 2.6.1 Interaksi kabut air dengan pool fire dan karakteristik api Karakteristik nyala api pool fire berbeda untuk jenis bahan bakar yang berbeda. Oleh karena itu, model pool fire dipelajari untuk analisis karakteristik api. Penelitian sebelumnya (Jones dkk., 1995; Liu dkk, 2000; Richard dkk, 2002) menunjukkan bahwa, zona uap yang kaya bahan bakar berada pada dasar pool fire. Xiao (2011) menggambarkan pool fire yang disederhanakan seperti model seperti ditampilkan di Gambar 2.9. Uap bahan bakar akan terkonveksi ketika air aliran jet kabut air mulai jatuh pada permukaan api. Uap bahan bakar akan tetap terbakar dan terkonveksi ketika disemprot oleh jet kabut air, dan bisa menyebabkan api membesar. 2.6.2 Interaksi antara kabut air dengan api Aliran jet kabut air mulai berpengaruh pada api setelah dilakukan penyemprotan, diawali dengan terjadinya penurunan ketinggian nyala api terlebih dahulu. Kemudian kabut air akan mencapai inti uap bahan bakar dan membuat

28 bahan bakar uap terkonveksi. Seperti dalam penelitian W. W. Bannister dkk (2001), pemadaman dengan kabut air untuk bahan bakar akan mempengaruhi titik flash point. Oleh karena itu, uap bahan bakar akan terbakar seperti dalam proses difusi dan membentuk api membesar seperti bola. Difusi uap bahan bakar yang disebabkan oleh aliran jet kabut air merupakan faktor kunci untuk kabut air yang menghasilkan bahan bakar uap difusi. Airan dari jet kabut air dengan momentum yang cukup, akan mendorong uap bahan bakar keluar dari polanya, dan menyebabkan api akan terekspansi. Gambar 2.9. Model pool fire sederhana 2.6.3. Interaksi antara kabut air dengan bahan bakar panas Interaksi antara kabut air dan bahan bakar panas merupakan masalah yang penting dan kompleks. Bannister dkk (2001) menyatakan bahwa efek azeotropik dapat meningkatkan intensitas api dan berfungsi untuk mengekspansi api. Aplikasi kabut air pada bahan bakar yang tidak larut dalam air akan menghasilkan tingkat peningkatan penguapan bahan bakar, dan meningkatkan intensitas api. Oleh karena itu, setelah kabut air mencapai permukaan bahan bakar, campuran

29 dua cairan akan terbentuk. Sementara, campuran air dan bahan bakar akan berkontribusi pada tekanan uap keseluruhan campuran. Artinya, tekanan uap total Pm P 0 A P 0 B. Dimana P 0 A mengacu pada tekanan uap jenuh air murni, dan P 0 B mengacu pada tekanan uap jenuh bahan bakar. Cairan mendidih ketika tekanan uap menjadi sama dengan tekanan eksternal (101,325 KPa). Oleh karena itu, campuran dari cairan bercampur dan mendidih pada suhu lebih rendah dari titik didih dari salah satu cairan murni. Tekanan uap gabungan akan mencapai tekanan eksternal sebelum tekanan uap dari salah satu komponen individu dapat mencapainya. Ini berarti bahwa campuran akan mendidih pada suhu yang kura ng dari titik didih dari masing masing cairan murni. Dalam pool fire, campuran yang memiliki titik didih yang lebih rendah terbentuk setelah kabut air mencapai permukaan bahan bakar, dan temperatur dari permukaan cairan akan lebih tinggi dari titik didih campuran tersebut, kemudian bahan bakar akan mendidih dan menjadi uap. 2.6.4 Momentum kabut air Eksperimental mengungkapkan bahwa momentum dari kabut air sangat berpengaruh terhadap efektifitas pamadaman api pool fire. Aliran jet kabut air mencapai mencapai inti bahan bakar kaya uap dan mendorong uap bahan bakar keluar dari polanya. Sangat penting untuk menyadari bahwa momentum kabut air yang dibahas di sini adalah momentum kabut air di daerah inti bahan bakar yang kaya uap. Di sisi lain, jika kecepatan awal kabut air sama, sementara jarak dari nosel ke permukaan bahan bakar pendek, maka momentum kabut air akan meningkat.

30 2.6.5 Mekanisme transport Sebuah aspek penting dari perilaku kabut air yang tidak terkait dengan mekanisme pemadaman adalah kemampuan transport dan tersebar melalui udara. Untuk tetesan diameter kecil, besar drag aerodinamis relatif besar untuk gravitasi dan inersia. Sebagai contoh, kecepatan terminal tetesan air kira-kira sebanding dengan kuadrat diameter (lihat Gambar 2.10) dan karenanya jauh lebih rendah untuk tetesan kabut (d=100 μm) daripada tetesan water mist dengan (d=1000 μm). Hal ini memungkinkan kabut untuk tetap di udara untuk jangka waktu yang lama. Selanjutnya pengaruh aliran udara jauh lebih berpengaruh pada tetesan yang kecil. Hal ini memungkinkan arus konveksi membawa tetesan ke arah api dan membuat turbulensi di udara menyebar pada seluruh volume. Gambar 2.10. Kecepatan terminal untuk partikel sferis terisolasi di udara stasioner

31 2.7 Penelitian penelitian sebelumnya Beberapa penelitian - penelitian tentang sistem pemadaman kabut air yang telah dilakukan sebelumnya, antara lain : 1. M. Windanarko Siamullah, dkk. melakukan penelitian pemadaman api tipe premixed flame dengan kabut air yang memiliki ukuran droplet 40,21 µm, 53,33 µm, dan 69,93 µm. Hasil penelitian yang didapatkan adalah semakin kecil ukuran droplet air maka semakin efektif untuk memadamkan api. 2. J.Qin, dkk. (2004) melakukan penelitian pemadaman api pada kebakaran tumpahan minyak dengan sistem kabut air yang beroperasi pada tekanan kerja 0,2 s/d 0,6 Mpa dalam sebuah cone calorimeter. Hasil yang didapat adalah sistem ini efektif untuk memadamkan api 3. Z. Liu, dkk. (2005) melakukan penelitian pengunaan sistem kabut air dengan discharge pressure 689 KPa dan 414 KPa untuk memadamkan kebakaran pada kebakaran tumpahan minyak berjenis pool fire. Hasil yang didapat adalah sistem kabut air sangat efektif untuk memadamkan kebakaran jenis ini. 4. A. Jones, dkk. (1995), melakukan review beberapa penelitian pemadaman api berbasis kabut air pada kebakaran listrik. Tekanan kerja yang digunakan 2 s/d 100 bar. Hasil yang diperoleh adalah sistem ini cukup efektif dan aman dalam pemadaman kebakaran peralatan listrik. 5. Zhigang Liu,dkk. (2007), melakukan penelitian untuk menguji keefektifan sistem kabut air pada kebakaran pool fire. Discharge pressure yang digunakan adalah 414 s/d 863 kpa dengan diameter droplet di bawah 250

32 µm. Hasil yang didapat adalah dengan diameter droplet yang lebih kecil sistem menjadi makin efektif 6. Mawhinney, dkk. (1997), menguji keefektifan sistem kabut air dengan menggunakan nosel tipe twin fluid untuk pemadaman api pool fire dengan diameter droplet dibawah 100 µm dengan hasil yang cukup memuaskan. 7. Li Zheng, dkk (2011), menguji pemadaman kebakaran dengan menggunakan eksplosive kabut air pada kebakaran hutan. Sistem ini juga ternyata bermanfaat dalam memadamkan kebakaran hutan