Gambar 2.1 Perkembangan Alat Restitusi (Dipokusumo, 2004)

dokumen-dokumen yang mirip
Pencocokan Citra Digital

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III PENGOLAHAN DATA

PENGOLAHAN CITRA DIGITAL

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TI JAUA PUSTAKA

Analisa Hasil Perbandingan Metode Low-Pass Filter Dengan Median Filter Untuk Optimalisasi Kualitas Citra Digital

Pertemuan 2 Representasi Citra

Pembentukan Citra. Bab Model Citra

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI

GRAFIK KOMPUTER DAN PENGOLAHAN CITRA. WAHYU PRATAMA, S.Kom., MMSI.

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Meter Air. Gambar 2.1 Meter Air. Meter air merupakan alat untuk mengukur banyaknya aliran air secara terus

BAB III PENGOLAHAN DATA

BAB 2 LANDASAN TEORI

Model Citra (bag. I)

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI

Pengolahan Citra : Konsep Dasar

Konsep Dasar Pengolahan Citra. Pertemuan ke-2 Boldson H. Situmorang, S.Kom., MMSI

Proses memperbaiki kualitas citra agar mudah diinterpretasi oleh manusia atau komputer

PENGOLAHAN CITRA DIGITAL ( DIGITAL IMAGE PROCESSING )

LANDASAN TEORI. 2.1 Citra Digital Pengertian Citra Digital

TEKNIK PENGOLAHAN CITRA. Kuliah 8 Transformasi Fourier. Indah Susilawati, S.T., M.Eng.

BAB II TEORI DASAR PENGOLAHAN CITRA DIGITAL

BAB 2 LANDASAN TEORI. dari sudut pandang matematis, citra merupakan fungsi kontinyu dari intensitas cahaya

BAB II CITRA DIGITAL

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS

BAB I PENDAHULUAN. PSD Bab I Pendahuluan 1

BAB II LANDASAN TEORI

SAMPLING DAN KUANTISASI

PENERAPAN METODE SOBEL DAN GAUSSIAN DALAM MENDETEKSI TEPI DAN MEMPERBAIKI KUALITAS CITRA

Kata kunci: Fourier, Wavelet, Citra

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI

KOMUNIKASI DATA SUSMINI INDRIANI LESTARININGATI, M.T

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Muhammad Zidny Naf an, M.Kom. Gasal 2015/2016

BAB II LANDASAN TEORI. Pengolahan Citra adalah pemrosesan citra, khususnya dengan menggunakan

IMPLEMENTASI METODE SPEED UP FEATURES DALAM MENDETEKSI WAJAH

Pertemuan 3 Perbaikan Citra pada Domain Spasial (1) Anny Yuniarti, S.Kom, M.Comp.Sc

GLOSARIUM Adaptive thresholding Peng-ambangan adaptif Additive noise Derau tambahan Algoritma Moore Array Binary image Citra biner Brightness

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

MATERI PENGOLAHAN SINYAL :

Bab II Teori Dasar. Gambar 2.1 Diagram blok sistem akuisisi data berbasis komputer [2]

Gambar IV-1. Perbandingan Nilai Korelasi Antar Induk Wavelet Pada Daerah Homogen Untuk Level Dekomposisi Pertama

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS

Konvolusi. Esther Wibowo Erick Kurniawan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 2 LANDASAN TEORI

COMPUTER VISION UNTUK PENGHITUNGAN JARAK OBYEK TERHADAP KAMERA

BAB II LANDASAN TEORI. Citra digital sebenarnya bukanlah sebuah data digital yang normal,

Pendekatan Statistik Pada Domain Spasial dan Frekuensi untuk Mengetahui Tampilan Citra Yustina Retno Wahyu Utami 1)

TEKNIK PENGOLAHAN CITRA. Kuliah 7 Transformasi Fourier. Indah Susilawati, S.T., M.Eng.

Suatu proses untuk mengubah sebuah citra menjadi citra baru sesuai dengan kebutuhan melalui berbagai cara.

Muhammad Zidny Naf an, Lc., S.Kom., M.Kom. Genap 2015/2016

Image Formation & Display

BAB 2 LANDASAN TEORI

7.7 Pelembutan Citra (Image Smoothing)

DEKOMPOSISI NILAI SINGULAR DAN DISCRETE FOURIER TRANSFORM UNTUK NOISE FILTERING PADA CITRA DIGITAL

Simulasi Teknik Image Enhancement Menggunakan Matlab Yustina Retno Wahyu Utami 3)

MKB Teknik Pengolahan Citra Operasi Ketetanggaan Piksel pada Domain Frekuensi. Genap 2016/2017

BAB II TRANSFORMASI FOURIER & PENCOCOKAN CITRA

Pengolahan Sinyal Digital

BAB II LANDASAN TEORI

Jaringan Syaraf Tiruan pada Robot

KONSEP DASAR PENGOLAHAN CITRA

Algoritma Kohonen dalam Mengubah Citra Graylevel Menjadi Citra Biner

BAB II TEORI PENUNJANG

BAB III PENGOLAHAN DATA

Aplikasi Pembesaran Citra Menggunakan Metode Nearest Neighbour Interpolation

PERANCANGAN APLIKASI PENGURANGAN NOISE PADA CITRA DIGITAL MENGGUNAKAN METODE FILTER GAUSSIAN

BAB III PENGOLAHAN DATA

KAJIAN PENCOCOKAN CITRA DIGITAL SETELAH LOW PASS FILTER DAN HIGH PASS FILTER DENGAN TEKNIK KORELASI

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB II LANDASAN TEORI. mesin atau robot untuk melihat (

Model Citra (bag. 2)

BAB III ANALISIS SPEKTRAL PADA RUNTUN WAKTU MODEL ARIMA. Analisis spektral adalah metode yang menggambarkan kecendrungan osilasi

BAB II DASAR TEORI. sebagian besar masalahnya timbul dikarenakan interface sub-part yang berbeda.

BAB 2 LANDASAN TEORI

PERBANDINGAN METODE ROBERTS DAN SOBEL DALAM MENDETEKSI TEPI SUATU CITRA DIGITAL. Lia Amelia (1) Rini Marwati (2) ABSTRAK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

One picture is worth more than ten thousand words

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 2 LANDASAN TEORI. mencakup teori speaker recognition dan program Matlab. dari masalah pattern recognition, yang pada umumnya berguna untuk

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

BAB II Tinjauan Pustaka

BAB 3 ANALISIS DAN PERANCANGAN PROGRAM

SINYAL DISKRIT. DUM 1 September 2014

Transkripsi:

BAB II TEORI DASAR 2.1 Fotogrametri Digital Fotogrametri dapat didefinisikan sebagai suatu ilmu dan teknologi yang berkaitan dengan proses perekaman, pengukuran/pengamatan, dan interpretasi (pengenalan dan identifikasi) suatu kondisi permukaan bumi serta objek fisik di atasnya secara presisi sehingga diperoleh informasi tentang suatu ukuran dan bentuk permukaan bumi serta objek fisik di atasnya yang dapat dipercaya. Produk dari fotogrametri digunakan oleh berbagai disiplin yang di dalam kegiatannya berkaitan dengan lahan/permukaan bumi. Seiring dengan perkembangan teknologi digital, sistem fotogrametri telah mengalami perkembangan dari sistem fotogrametri analog berkembang menjadi sistem fotogrametri analitik dan kemudian yang termutakhir adalah sistem fotogrametri digital (softcopy fotogrametry). Perkembangan sistem fotogrametri berdampak pada berkembangnya alat restitusi yang digunakan dari alat restitusi analog dan analitik seperti analog/analitik stereo plotter dimana proses pekerjaannya dilakukan oleh manusia, berganti menjadi alat restitusi otomatis dimana proses pekerjaannya dikerjakan secara otomatis menggunakan komputer (gambar 2.1). Gambar 2.1 Perkembangan Alat Restitusi (Dipokusumo, 2004) 7

2.2 Citra digital Citra adalah fungsi intensitas 2 dimensi f(x,y), dimana x dan y adalah koordinat spasial dan f pada titik (x,y) merupakan tingkat kecerahan (brightness) suatu citra pada suatu titik. Suatu citra diperoleh dari penangkapan kekuatan sinar yang dipantulkan oleh objek. Citra sebagai output alat perekaman, seperti kamera, dapat bersifat analog ataupun digital. Citra Analog adalah citra yang masih dalam bentuk sinyal analog, seperti hasil pengambilan gambar oleh kamera atau citra tampilan di layar TV ataupun monitor (sinyal video). Sedangkan citra digital adalah gambar dua dimensi yang dihasilkan dari gambar analog dua dimensi yang kontinu menjadi gambar diskrit melalui proses sampling. Perolehan citra digital ini dapat dilakukan secara langsung oleh kamera digital ataupun melakukan proses konversi suatu citra analog ke citra digital. Untuk mengubah citra kontinu menjadi digital diperlukan proses pembuatan kolom dan baris arah horizontal dan vertikal, sehingga diperoleh gambar dalam bentuk array dua dimensi. Proses tersebut dikenal sebagai proses digitalisasi/sampling. Gambar analog dibagi menjadi N baris dan M kolom sehingga menjadi gambar diskrit (gambar 2.2). Persilangan antara kolom dan baris tertentu disebut dengan piksel. Contohnya adalah gambar/titik diskrit pada baris n dan kolom m disebut dengan piksel (m,n). Sampling adalah proses untuk menentukan warna pada piksel tertentu pada citra dari sebuah gambar yang kontinu. Pada proses sampling biasanya dicari warna rata-rata dari gambar analog yang kemudian dibulatkan. Proses sampling sering juga disebut proses digitisasi. X M Y N Gambar 2.2 Contoh sampling untuk mendapatkan gambar diskrit (gambar digital) dari gambar analog yang kontinu Suatu citra digital merupakan representasi 2-D array sampel diskrit suatu citra kontinu f(x,y). Amplitudo setiap sampel di kuantisasi untuk menyatakan bilangan hingga bit. 8

Setiap elemen array 2-D sampel disebut suatu piksel atau pel (dari istilah picture element). Tingkat ketajaman atau resolusi warna pada citra digital tergantung pada jumlah bit yang digunakan oleh komputer untuk merepresentasikan setiap piksel tersebut. Tipe yang sering digunakan untuk merepresentasikan citra adalah 8-bit citra (256 colors, 0 untuk hitam - 255 untuk putih), tetapi dengan kemajuan teknologi perangkat keras grafik, kemampuan tampilan citra di komputer hingga 32 bit. Domain nilai intensitas dalam suatu citra juga ditentukan oleh alat digitasi yang digunakan untuk menangkap dan konversi citra analog ke citra digital (A/D). 2.3 Sinyal dan Spektrum Sinyal adalah deskripsi bagaimana satu parameter merubah parameter lainnya (Smith, 1999). Parameter tersebut merupakan sekumpulan informasi yang ditimbulkan oleh suatu fenomena dan bisa diperlakukan sebagai data. Pada umumnya sinyal dipresentasikan dalam bentuk grafik gelombang. Gelombang sendiri menggambarkan suatu siklus pergerakan. Di dalam siklus tersebut terdapat komponen-kompenen yang membentuk gelombang yaitu amplitudo, sudut phase, periode, waktu dan frekuensi. Gambar 2.3 Grafik Gelombang Amplitudo merupakan besar perpindahan maksimum dari titik kesetimbangan (yaitu nilai maksimum dari garis t pada gambar 2.3) dan harganya selalu positif. Sedangkan frekuensi adalah banyaknya siklus pada satu satuan waktu (Wibowo, 2008). 9

90 o 180 o 270 o Gambar 2.4 Phase dan amplitudo yang membentuk gelombang sinus. Gambar 2.4 di atas memberi gambaran tentang phase dan amplitudo dari perputaran sebuah lingkaran (siklus) yang membentuk gelombang sinus dengan persamaan y = A sin (x), dimana x adalah ωt + φ. Pada gambar di atas garis A adalah amplitudo sedangkan simbol φ adalah sudut phase (Wibowo, 2008). Sedangkan ω adalah kecepatan sudut. Gambar 2.5 Tiga sudut fase yang berbeda (0,π/4, π/2) tetapi memiliki frekuensi dan amplitudo yang sama. T adalah perioda yaitu komponen gelombang yang merepresentasikan waktu dalam satuan detik pada suatu siklus. Perioda merupakan kebalikan dari frekuensi yang seperti telah disebutkan di atas merupakan jumlah siklus pada suatu waktu. Dari gambar 2.5. terlihat bahwa satu siklus perputaran lingkaran dari 0 sampai 2π dimulai dari waktu pada saat t=0 sampai t=t. Dengan demikian siklus pada gambar 2.5 memiliki satu frekuensi (Wibowo, 2008). Komponen frekuensi yang terkandung pada suatu sinyal dapat dibagi menjadi dua, yaitu komponen frekuensi tinggi dan komponen frekuensi rendah. Frekuensi 10

tinggi memiliki periode yang lebih pendek dibandingkan dengan frekuensi rendah (gambar 2.6). Dimana : Fr = 1/Tr ; Ft = 1/Tt ; Tr > Tt ; sehingga Ft > Fr Gambar 2.6 komponen frekuensi sinyal. Fr = Komponen frekuensi rendah Ft = Komponen frekuensi tinggi Representasi sinyal pada gambar 2.6 merupakan representasi sinyal waktu analog (kontinyu) dimana t merupakan variabel kontinyu. Pada beberapa data seperti citra digital, sinyal direpresentasikan dalam bentuk sinyal waktu diskrit. Sinyal waktu diskrit diperoleh dari proses sampling sinyal kontinyu (gambar 2.7). x(t) 0 sampler t -3T 0T 3T 5T 7T 9T t Gambar 2.7 Proses sampling sinyal waktu kontinyu untuk mendapatkan sinyal waktu diskrit Perbedaan antara sinyal waktu kontinyu (analog) dengan sinyal diskrit adalah pada variabel pembentuk sinyalnya. Sebagai contoh suatu sinyal waktu x(t) merupakan 11

sinyal waktu kontinyu, jika t merupakan variabel kontinyu dan x(t) disebut dengan sinyal waktu diskrit jika t merupakan variabel diskrit (gambar 2.8). x(t) x[n] 3 2 1 0 (a) t -2 0 2 4 6 Gambar 2.8 (a) x(t) sebagai sinyal waktu kontinyu; (b) x(t) sebagai sinyal waktu diskrit 2.4 Transformasi Fourier Transformasi Fourier merupakan metode tradisional untuk menentukan kandungan frekuensi dari sebuah sinyal. Transformasi Fourier pada dasarnya membawa sinyal dari dalam kawasan waktu (time-domain) ke dalam kawasan frekuensi (frekuensi-domain). Pada sisi lain transformasi Fourier dapat dipandang sebagai alat yang mengubah sinyal menjadi jumlahan sinusoidal dengan beragam frekuensi. Transformasi Fourier menggunakan basis sinus dan kosinus yang memiliki frekuensi berbeda. Hasil Transformasi Fourier adalah distribusi densitas spektral yang mencirikan amplitudo dan fase dari beragam frekuensi yang menyusun sinyal. Hal ini merupakan salah satu kegunaan Transformasi Fourier, yaitu untuk mengetahui kandungan frekuensi sinyal. Untuk menemukan informasi apa saja yang terkandung dalam sinyal dapat diketahui dengan menggambarkan spektrum sinyal itu sendiri. Spektrum adalah plot 2D untuk menggambarkan distribusi frekuensi dari magnituda yang terkandung di dalam sinyal berdasarkan serangkaian data tertentu (Smith, 1999). Sebagai contoh, sinyal sinus dengan frekuensi 5 Hz dan amplitudo 1 Volt. Sinyal dalam domain waktu akan terlihat seperti pada Gambar 2.9. Sementara spektrum frekuensi sinyal akan terlihat seperti pada gambar 2.10. Spektrum sinyal pada gambar 2.10 merupakan hasil dari transformasi Fourier sinyal sinus. (b) n 12

Gambar 2.9 Sinyal sinus dalam domain waktu Gambar 2.10 Sinyal sinus dalam domain frekuensi Distribusi frekuensi menggambarkan penyebaran magnituda yang terkandung pada sinyal (Wibowo, 2008). Dengan mengetahui frekuensi dan magnituda spektrum suatu sinyal, akan memudahkan dalam proses mengolah dan menganalisis sinyal. Selain itu spektrum sinyal dapat memberikan informasi yang tidak terlihat pada suatu sinyal secara visual. 2.5 Operasi Pengolahan Citra Pengolahan citra adalah kegiatan memperbaiki kualitas citra agar mudah diinterpretasi oleh manusia maupun mesin (komputer) sehingga citra hasil pengolahan memiliki kualitas yang lebih baik daripada citra masukan. Sebagai contoh citra yang warnanya kurang tajam, kabur (blurring), mengandung noise (misal bintik-bintik putih), dll sehingga perlu ada pemrosesan untuk memperbaiki citra karena citra tersebut menjadi sulit diinterpretasikan sebab informasi yang disampaikan menjadi berkurang. 13

Operasi yang dilakukan untuk mentransformasikan suatu citra menjadi citra lain dapat dikategorikan berdasarkan tujuan transformasi maupun cakupan operasi yang dilakukan terhadap citra. Berdasarkan tujuan transformasi operasi pengolahan citra dikategorikan sebagai berikut : 1. Peningkatan Kualitas Citra (Image Enhancement) Operasi peningkatan kualitas citra bertujuan untuk meningkatkan fitur tertentu pada citra. 2. Pemulihan Citra (Image Restoration) Operasi pemulihan citra bertujuan untuk mengembalikan kondisi citra pada kondisi yang diketahui sebelumnya akibat adanya pengganggu yang menyebabkan penurunan kualitas citra. 2.5.1 Transformasi Fourier dalam Pengolahan Citra Digital Transformasi Fourier merupakan transformasi penting di dalam bidang pengolahan sinyal (signal processing), khususnya pada bidang pengolahan citra digital. Pada beberapa aplikasi pengolahan sinyal, terdapat beberapa kesukaran melakukan operasi karena fungsi dalam domain spasial. Transformasi Fourier adalah suatu alat untuk mengubah fungsi dari domain spasial menjadi domain frekuensi. Jika suatu fungsi ditransformasikan kedalam domain frekuensi menggunakan transformasi Fourier, maka dapat diketahui kandungan frekuensi dan magnituda fungsi tersebut. Sedangkan untuk mengembalikan fungsi ke domain spasial dapat menggunakan invers transformasi Fourier. f(m,n) Transformasi Fourier F(ω 1, ω 2 ) F(ω 1, ω 2 ) Invers Transformasi Fourier f(m,n) Jika f(m,n) adalah fungsi dari 2 variabel diskrit spasial m dan n, maka transformasi dua dimensi dari f(ω 1, ω 2 ) adalah (Wijaya & Prijono, 2007) : (1) 14

Variabel ω 1 dan ω 2 adalah variabel frekuensi dalam satuan radian per sampel. F(ω 1, ω 2 ) sering disebut representasi domain frekuensi dari f(m,n) (gambar 2.11). Sedangkan invers dua dimensi transformasi Fourier adalah sebagai berikut : (2) Secara umum, persamaan di atas berarti bahwa f(m,n) dapat direpresentasikan dengan penjumlahan tak hingga dari eksponensial kompleks (sinus) dengan berbagai frekuensi. Nilai magnituda dan fasa dari frekuensi (ω 1,ω 2 ) diberikan oleh F(ω 1,ω 2 ). Transformasi Fourier Fungsi f(m,n) Magnituda dan frekuensi dari fungsi f(m,n) Gambar 2.11 Transformasi Fourier untuk fungsi f(m,n) sehingga diperoleh spektrum sinyalnya Puncak titik pusat citra adalah F(0,0) yang merupakan penjumlahan semua nilai pada f(m,n). Cara lain untuk memvisualisasikan kandungan frekuensi citra adalah dengan menggunakan logaritma (gambar 2.12). Dengan menggunakan logaritma akan membantu menampilkan detail frekuensi dari hasil transformasi Fourier. Titik pusat frekuensi f(0,0) ω 2 Scale bar ω 1 Gambar 2.12 Logaritma fungsi f(ω 1,ω 2 ) 15

Logaritma pada gambar 2.12 merupakan spektrum frekuensi suatu sinyal dengan titik pusat frekuensi f(0,0) berada ditengah spektrum. Besarnya frekuensi dapat diketahui dari jaraknya terhadap titik pusat. Semakin jauh dari titik pusat maka semakin besar pula frekuensinya. Demikian juga sebaliknya semakin dekat terhadap titik pusat maka semakin rendah frekuensinya. Besarnya nilai magnituda yang terkandung pada suatu frekuensi ditunjukkan dengan menggunakan scale bar yang terdapat di samping spektrum frekuensi. Dalam pengolahan citra digital, transformasi Fourier digunakan untuk menganalisis frekuensi pada operasi seperti perekaman citra, perbaikan kualitas citra, restorasi citra, pengkodean, dan lain-lain. Dari analisis frekuensi, kita dapat melakukan perubahan frekuensi pada citra. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa transformasi Fourier dapat memberikan informasi kandungan suatu sinyal yang tidak terlihat secara visual pada sinyal. Demikian juga pada citra digital, dengan transformasi Fourier maka dapat diketahui informasi frekuensi dan magnituda suatu citra yang tidak terlihat pada domain spasial. Sebagai contoh citra yang mengandung noise suatu titik kecil yang tidak terlihat secara visual pada citra dapat diketahui dalam domain frekuensi, yaitu pada umumnya noise pada citra ditunjukkan dengan karakteristik magnituda tinggi pada frekuensi tinggi yang terkandung pada citra. Jadi, dengan merubah citra kedalam domain frekuensi akan lebih memudahkan dalam mengolah dan menganalisis suatu citra. 2.5.2 Transformasi Fourier diskrit (DFT/ Discrete Fourier Transform) Untuk dapat melakukan transformasi Fourier pada citra digital menggunakan komputer, maka harus menggunakan transformasi Fourier diskrit (DFT/ Discrete Fourier Transform). DFT dapat dieksekusi oleh komputer karena input dan outputnya diskrit. Fast Fourier Transform (FFT) merupakan algoritma yang cepat dari transformasi Fourier diskrit. DFT dibuat untuk fungsi diskrit f(m,n) yang bernilai tidak nol pada daerah 0 m M-1 dan 0 n N-1. Fungsi dari transformasi Fourier diskrit adalah sebagai berikut (Wijaya & Prijono, 2007): (3) 16

Sedangkan invers transformasi Fourier diskrit adalah sebagai berikut : (4) Nilai F(p,q) disebut koefisien DFT dari f(m,n) dan merepresentasikan frekuensi dari f(m,n). Secara visual hasil DFT dapat dilihat pada gambar 2.13. Transformasi Fourier diskrit Sampel citra f(m,n) spektrum F(p,q) hasil transformasi fourier diskrit Gambar 2.13 Sampel citra f(m,n) dan hasil transformasi Fourier diskritnya 2.5.3 Fast Fourier Transform (FFT) Fast Fourier Transform merupakan penyederhanaan dari Discrete Fourier Transform (DFT). Dalam notasi kompleks, masing-masing domain waktu dan frekuensi berisi satu sinyal yang membuat N kompleks titik. Tiap kompleks titik ini dibuat oleh dua angka, bagian real dan bagian imajiner. FFT beroperasi dengan mendekomposisikan suatu N titik sinyal domain waktu ke dalam N sinyal domain waktu yang masing-masing dikomposisi oleh suatu titik tunggal. Gambar 2.14. Contoh dekomposisi domain waktu yang digunakan dalam FFT (Smith,1999). 17

Pada gambar 2.14, 16 titik sinyal didekomposisi menjadi empat tahap terpisah. Tahap pertama memecah 16 titik sinyal ke dalam dua sinyal yang masing-masing berisi 8 titik. Tahap kedua mendekomposisi data menjadi empat sinyal masing-masing 4 titik. Pola ini berlanjut hingga N sinyal terkomposisi oleh sebuah titik tunggal. Jalinan dekomposisi digunakan saat setiap sinyal terpecah menjadi dua, oleh karena itu sinyal terpisah kedalam masing-masing angka sampel ganjil dan genap. Dalam dekomposisi dibutuhkan tahapan log 2 N. Sebagai contoh 16 titik sinyal (2 4 ) membutuhkan 4 tahap, 512 titik sinyal (2 7 ) membutuhkan 7 tahap, 4096 titik sinyal (2 12 ) membutuhkan 12 tahap, dan seterusnya. Perhitungan FFT ini lebih cepat jika dibandingkan transformasi Fourier diskrit (DFT). Fungsi DFT (Discrete Fourier Transform) menghitung transformasi fourier bilangan diskrit menggunakan bilangan 2 untuk loop n kali, sehingga operasi aritmatikanya adalah (n 2 ) kali. Algoritma yang lebih cepat adalah Fast Fourier Transform (FFT) yang menggunakan hanya operasi (n*log 2 n). Operasi ini membuat perbedaan besar untuk n yang sangat besar pula misal jika n = 1024, fungsi DFT akan me-loop-ing 1048576 kali, sedangkan FFT hanya 10240 kali (Wibowo, 2008). 2.6 Metode filtering dalam domain frekuensi Secara umum, metode yang digunakan dalam pemrosesan filter citra digital dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu metode domain spasial dan metode domain frekuensi. Pada metode domain spasial, pemrosesan dilakukan dengan cara memanipulasi nilai piksel dari citra tersebut secara langsung. Sedangkan pada pengolahan citra digital dengan metode domain frekuensi, informasi citra digital ditransformasikan lebih dulu dengan transformasi Fourier, kemudian dilakukan filtering pada hasil transformasi Fourier-nya. Setelah filtering dalam domain frekuensi selesai, dilakukan inverse transformasi Fourier untuk mendapatkan informasi citra kembali. Metode domain frekuensi ini dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah tertentu yang sulit jika dilakukan dengan menggunakan metode domain spasial. 2.6.1 Low pass filter Low pass filter adalah proses penghalusan citra (image smoothing), yaitu melewatkan komponen frekuensi rendah dan menghilangkan komponen frekuensi tinggi dari hasil transformasi Fourier. Pelembutan citra bertujuan untuk menekan 18

gangguan (noise) pada citra. Gangguan pada citra umunya berupa variasi intensitas suatu piksel yang tidak berkorelasi dengan piksel-piksel tetangganya. Piksel yang mengalami gangguan umumnya memiliki frekuensi tinggi (berdasarkan analisis frekuensi dengan transformasi Fourier) (Munir, 2004). Komponen citra yang berfrekuensi rendah umunya mempunyai nilai piksel konstan atau berubah sangat lambat. Pada domain spasial, operasi pelembutan dilakukan dengan mengganti intensitas suatu piksel dengan rata-rata dari nilai piksel tersebut dan nilai piksel-piksel tetangganya. Pada domain frekuensi, operasi pelembutan dilakukan dengan menekan komponen frekuensi tinggi, yaitu komponen frekuensi tinggi dihilangkan dengan cara dikalikan nol. Untuk lebih jelasnya akan diberikan contoh visualisasi proses low pass filter yang ditunjukkan pada gambar 2.15 dan gambar 2.16. Gambar 2.15 a) citra asli sebelum low pass filter, b) spektrum frekuensi Fourier citra asli, c) spektrum frekuensi Fourier yang telah dihilangkan sebagian komponen frekuensi tingginya, d) citra hasil setelah low pass filter. 19

Gambar 2.16 a) citra asli sebelum low pass filter, b) spektrum frekuensi Fourier citra asli, c) spektrum frekuensi Fourier yang telah dihilangkan sebagian komponen frekuensi tingginya, d) citra hasil setelah low pass filter. 2.6.2 High pass filter High pass filter adalah proses penajaman citra yang bertujuan memperjelas tepi pada objek di dalam citra. Penajaman citra (High Pass filter) merupakan kebalikan dari operasi pelembutan citra (low pass filter) karena operasi ini menghilangkan komponen frekuensi rendah dan meloloskan komponen frekuensi tinggi dari hasil transformasi Fourier. High pass filter akan meloloskan (atau memperkuat) komponen frekuensi tinggi (misalnya tepi atau pinggiran objek) dan akan menurunkan komponen berfrekuensi rendah sehingga pinggiran objek terlihat lebih tajam dibandingkan sekitarnya. Karena penajaman citra lebih berpengaruh pada tepi (edge) objek, maka penajaman citra sering juga disebut dengan penajaman tepi (edge sharpening) atau peningkatan kualitas tepi (edge enhancement). Gambar 2.17 dan gambar 2.18 adalah visualisasi proses high pass filter pada citra sampel. 20

Gambar 2.17 a) citra asli sebelum high pass filter, b) spektrum frekuensi Fourier citra asli, c) spektrum frekuensi Fourier yang telah dihilangkan sebagian komponen frekuensi rendahnya, d) citra hasil setelah high pass filter. Gambar 2.18 a) citra asli sebelum high pass filter, b) spektrum frekuensi Fourier citra asli, c) spektrum frekuensi Fourier yang telah dihilangkan sebagian komponen frekuensi rendahnya, d) citra hasil setelah high pass filter. 2.7 Pencocokan Citra Dalam bidang ilmu fotogrametri dan penginderaan jauh, terminologi matching biasanya didefinisikan sebagai usaha untuk mendapatkan kesekawanan bagian-bagian 21

kecil dari serangkaian data yang bervariasi dalam satu model. Serangkaian data ini dapat berupa citra, peta, model objek, dan juga data SIG. Di dalam komputer, tugas matching ini diselesaikan oleh suatu algoritma yang disusun sebagai bagian dari pemrosesan sinyal citra digital. Dengan demikian, proses matching yang merupakan usaha untuk menentukan dan mengukur derajat kesamaan/kecocokan pasangan titik sekawan atau objek citra pada dua atau lebih foto udara yang bertampalan dapat dilakukan secara otomatis. Pada perangkat fotogrametri analog maupun analitik, untuk mendapatkan pasangan sekawan dari model citra, prinsipnya ialah dengan menempatkan kedua titik apung pada dua titik objek yang sama dari sebuah model citra yang bertampalan (lihat gambar 2.19). Alat yang digunakan pada proses tersebut dinamakan stereoplotter dan untuk melakukan tugas ini bukanlah hal yang mudah, disamping memakan waktu yang cukup lama karena memerlukan kemampuan mata untuk mengenali bagian kecil citra yang hampir cocok dengan membandingkan karakteristik yang dimiliki seperti tekstur, bentuk, kecerahan, bayangan dll, operasi ini juga terbilang mahal mengingat sumberdaya manusia yang harus dibayar untuk pekerjaan ini. Setelah titik apung tersebut berada pada titik yang sekawan maka munculah bentuk 3 dimensi dengan nilai ketinggian yang tertentu. Gambar 2.19 Pasangan titik sekawan pada pada kedua citra Ada sejumlah metode image matching yang dapat dipakai untuk keperluan proses restitusi foto yang selama ini diketahui orang. Metode yang dimaksud adalah area-based, dan feature-based. Metode area-based menggunakan komposisi nilai derajat keabuan (grey level) citra sebagai sampel yang akan diuji dalam penelitian. Sedangkan metode feature-based menggunakan unsur objeknya secara utuh sebagai 22

sampel yang akan diuji dalam penelitian. Pada tugas akhir kali ini akan digunakan teknik image matching metode area-based. 2.7.1 Pencocokan Citra Berbasis Area Pada proses pencocokan citra berbasis area pencarian titik sekawan antara dua citra foto yang bertampalan dilakukan dengan menggunakan Sub Citra Acuan (SCA) yang merupakan area objek yang dipilih pada foto kiri sebagai acuan, Citra Pencarian (CP) yang merupakan area objek yang memiliki area objek paling mirip dengan CA dengan cakupan area lebih luas dari SCA dan Sub Citra Pencarian (SCP) yang merupakan jendela berukuran sama dengan SCA sebagai alat bantu array pencari lokasi area objek yang paling berkorelasi. Lokasi tersebut dinyatakan pada pusat SCP dalam koordinat lokal foto dalam bentuk baris-kolom (gambar 2.20). Gambar 2.20 Pencocokan citra berbasis area Metode area based matching yang digunakan dalam penelitian ini pada dasarnya membandingkan nilai derajat keabu-abuan (grey value) suatu bentuk kecil sub-array (matriks) citra dimana pusat matriksnya merupakan lokasi grey value dari titik yang akan dicocokkan. Pada citra digital, akan sangat memungkinkan, dan relatif mudah dilakukan proses penentuan letak titik dengan pemecahan matematis. Sekumpulan nilai piksel (greyvalue=gv) pada sebuah citra dapat dibandingkan kemiripannya dengan sekumpulan GV dari citra di sebelahnya (citra-2) yang bertampalan. Tingkat kemiripan kumpulan data tersebut ditentukan oleh variasi GV 23

yang merepresentasikan bentuk objek permukaan bumi (gambar 2.21). Tingkat kemiripannya dapat dihitung dengan mencari korelasi berdasarkan kuadrat terkecil. Dengan berpedoman pada hasil hitungan nilai korelasi, sebagai topik bahasan dalam tugas akhir ini, selanjutnya dapat ditentukan tingkat kesamaan dua kumpulan data yang berasosiasi dengan citra tersebut. M m N n nilai GV Gambar 2.21 (a) Sepasang citra dalam bentuk visual, dan (b) Sepasang citra dalam bentuk matriks Dalam domain digital, citra tersebut direpresentasikan sebagai variasi nilai GV yang membentuk dimensi matriks m x n (Gambar 2.21b). Kemudian ditentukan submatriks berdimensi MxN di sekeliling titik objek foto kiri yang biasa disebut sebagai Sub Citra Acuan (SCA). SCA akan berisi sekumpulan nilai GV dari piksel disekeliling titik acuan. Pada matriks kanan, ditentukan juga sub-matriks berdimensi sama dengan SCA dan dinamakan sebagai Sub Citra Pencarian (SCP). Sampai tahap ini, akan diperoleh dua buah matriks (SCA dan SCP) dengan dimensi yang identik. 24

Gambar 2.22 Window pada citra Selanjutnya dilakukan hitungan nilai korelasi (ρ) antar kedua matriks tersebut dengan menggunakan persamaan 5. Dari nilai korelasi tersebut dapat ditentukan mirip tidaknya kedua matriks tersebut. Makin besar nilai ρ (mendekati +1) makin mirip bentuk kedua objek tersebut atau dapat dikatakan kedua objek tersebut merupakan titik yang sama. Penempatan SCP diawali dari posisi ujung kiri atas. Kemudian SCP digeser menelusuri citra kolom demi kolom ke arah kanan sampai mencapai ujung kanan. Setelah itu SCP digeser kebawah sebanyak satu baris dan kembali menelusuri sepanjang baris tersebut ke arah kiri. Demikian seterusnya proses penelusuran (pencarian) dilakukan sampai ke seluruh citra. Untuk setiap tahap penelusuran nilai ρ dihitung dan dicatat oleh sistem komputer. Metode ini dipilih karena merupakan metode yang paling mudah dilakukan, dan dapat memberikan hasil solusi matching yang relatif cepat. Metode ini juga memiliki akurasi yang cukup tinggi untuk area yang memiliki tekstur baik dan unik, dan pada beberapa kasus tingkat akurasi dari matching dapat dinyatakan kuantitasnya dalam unit metric (Ilham, 2007). 2.7.2 Teknik Korelasi Sampel citra berupa komposisi grey value (GV) array citra yang akan diuji derajat kesamaan/kecocokannya dihitung melalui suatu persamaan matematis untuk kemudian disimpan sebagai nilai korelasi. Nilai korelasi antara dua kelompok data GV dihitung berdasarkan rumus matematis pada persamaan 5 berikut (Schenk, 1999) : 25

(5) x i = Nilai GV citra 1 _ x = Rata-rata nilai GV citra 1 y i = Nilai GV citra 2 _ y = Rata-rata nilai GV citra 2 Dari pengkorelasian tersebut dicari nilai koefisien korelasi yang paling maksimum. Dalam teori probabilitas dan statistika, kekuatan hubungan korelasi atau disebut juga koefisien korelasi adalah nilai yang menunjukkan kekuatan dan arah hubungan linier antara dua peubah acak (random variable). Suatu objek dapat dikatakan cocok dengan objek lainnya jika nilai korelasinya > 0.7 (Wolf & Dewitt, 2000). Teknik mengevaluasi pencocokan citra berbasis area adalah dengan menggunakan teknik korelasi. Nilai korelasi yang dihasilkan bertujuan untuk mengukur derajat kesamaan antara dua atau lebih citra foto yang bertampalan. Citra pertama adalah citra acuan (CA) dan sub citra acuan (SCA) pada citra kiri sedangkan sub citra kedua merupakan Sub Citra Pencarian (SCP) yang dibatasi oleh area Citra Pencarian (CP) di dalam citra foto kedua. Sub Citra Pencarian akan bergerak dalam Citra Area Pencarian, kemudian dihitung nilai korelasi SCA dan semua SCP pada CAP dan nilai korelasi antar kedua citra mempunyai rentang nilai -1 sampai +1 (-1 ρ 1). Secara umum nilai pembatas dari nilai koefisien korelasi adalah lebih besar sama dengan 0.7 atau 70 % yang dinyatakan cocok atau derajat kesamaannya tinggi. Sampel citra berupa 26

komposisi grey value array citra yang akan diuji derajat kesamaan/kecocokannya dihitung melalui suatu persamaan matematis untuk kemudian disimpan sebagai nilai korelasi seperti persamaan 6. Metode korelasi dari pencocokan citra berkerja dengan memilih SCA dari citra kiri berdasarkan karakteristik tertentu dan jarak objek/area dari titik utama citra untuk dicocokan, dan pencarian posisi yang sekawan akan dilakukan oleh windows yang bergerak (SCP) pada CP dari citra kanan. g1 g1. g 2 g ij ij 2 σ g1g2 ρ = = σ. _ 2 _ 2 g σ 1 g2 g1 g1. g 2 g ij ij 2 (6) dengan: ρ = koefisien korelasi σ g1g2 σ g1 σ g2 = kovariansi nilai keabuan SCA dan SCP = standar deviasi untuk SCA = standar deviasi untuk SCP g 1ij,g 2ij = nilai keabuan pada kolom ke-i dan baris ke-j pada SCA dan SCP _ g, g = nilai rata-rata pada SCA dan SCP 1 _ 2 2.7.3 Korelasi Nilai Rata-Rata Kanal Terpisah Metode korelasi nilai rata-rata kanal yang diberi bobot adalah metode hitungan korelasi yang menggunakan tiga kanal warna dengan menggunakan komponen bobot dalam menghitung nilai korelasi. Metoda ini merupakan pengembangan dari metoda korelasi nilai rata-rata kanal terpisah dengan melibatkan unsur bobot masing-masing kanal merah, hijau dan biru dalam menentukan nilai korelasi citra sebagai upaya memperhitungkan dominasi warna pada citra dan sensitivitas sensor masing-masing kanal. Pembobotan ini diperlukan karena sensitivitas masing-masing kanal terhadap cahaya yang diterima oleh sensor dianggap sama. Cahaya yang diterima oleh sensor foto memiliki sensitivitas yang berbeda tergantung dominasi unsur warna pada ketiga kanal tersebut. Sehingga dalam teknik korelasi nilai rata-rata kanal yang diberi bobot dilibatkan pembobotan dengan memperhitungkan dominasi warna pada citra tersebut. Proses pencocokan citra metode korelasi nilai rata-rata kanal terpisah terdapat keterbatasan, yaitu bobot masing-masing kanal akan dibuat sama dan bernilai satu (1). Di sisi lain, warna merupakan informasi penting dalam identifikasi objek terutama 27

dalam domain metode pencocokan citra berbasis area dan setiap objek memiliki keunikan warna-warna tersendiri. Oleh karena itu, bobot pada masing-masing kanal tidak bisa disama-ratakan. 2 m n _ ch ch g ij g i j w = ch (7) ( m. n) 1 Untuk memperoleh nilai korelasi yang baik, hitungan korelasi tidak cukup hanya dengan merata-ratakan korelasi dari ketiga kanal tersebut. Komponen bobot (w ch ) pada persamaan 7 dari CA masing-masing kanal perlu dihitung kemudian dikombinasikan dengan korelasi masing-masing kanal (ρ ch ). Hasil yang diperoleh dari hitungan tersebut adalah nilai korelasi yang diberi bobot (ρ total ) dan memenuhi persamaan 8 (Schenk, 1999). k wch.ρch ch= 1 ρ total = k (8) w ch= 1 ch dimana: ρ = koefisien korelasi kanal w ρ ch ch total i, j, k = m, n = bobot kanal pada SCA = koefisien korelasi kolom, baris, yang diberi bobot jumlah kanal = jumlah kolom, jumlah baris 28