BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. (simptoms kurang dari 3 minggu), subakut (simptoms 3 minggu sampai

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. tulang kepala yang terbentuk dari hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala. 7 Sinus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris,

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Laporan Kasus SINUSITIS MAKSILARIS

PENUNTUN KETERAMPILAN KLINIS. PEMERIKSAAN HIDUNG Dan PEMASANGAN TAMPON BLOK 2.6 GANGUAN RESPIRASI

ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. nasi, kolumela dan lubang hidung (nares anterior). 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidung luar dan hidung dalam. Struktur hidung luar ada 3 bagian yang dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. Secara fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur

REFERAT DEVIASI SEPTUM NASI

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik dua atau lebih gejala berupa nasal. nasal drip) disertai facial pain/pressure and reduction or loss of

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

RINOSINUSITIS KRONIS

Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab lokal dan sistemik.

BAB 2 ANATOMI SEPERTIGA TENGAH WAJAH. berhubungan antara tulang yang satu dengan tulang yang lainnya. 7

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN

GAMBARAN KUALITAS HIDUP PENDERITA SINUSITIS DI POLIKLINIK TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN RSUP SANGLAH PERIODE JANUARI-DESEMBER 2014

Kaviti hidung membuka di anterior melalui lubang hidung. Posterior, kaviti ini berhubung dengan farinks melalui pembukaan hidung internal.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

LAPORAN KASUS (CASE REPORT)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang muncul membingungkan (Axelsson et al., 1978). Kebingungan ini tampaknya

BAB III METODE DAN PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi

Author : Edi Susanto, S.Ked. Faculty of Medicine University of Riau. Pekanbaru, Riau. 0 Files of DrsMed FK UNRI (

Rhinosinusitis. Bey Putra Binekas

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Bronkitis pada Anak Pengertian Review Anatomi Fisiologi Sistem Pernapasan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. endoskopis berupa polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus

BAB III METODE DAN PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

TRAUMA MUKA DAN DEPT. THT FK USU / RSHAM

Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan. Sistem Imunitas

2.1. Sinusitis Maksilaris Odontogen

BAB II KONSEP DASAR. Sinusitis adalah peradangan pada sinus paranasal (Smeltzer, 2001). Sedangkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

REFERAT SINUSITIS. Oleh : KELOMPOK VI. Eka Evia R.A Mustika Anggane Putri

BAB II. Landasan Teori. keberhasilan individu untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. yang dapat ditegakkan berdasarkan riwayat gejala yang diderita sudah lebih dari

BAB I PENDAHULUAN. organisme berbahaya dan bahan-bahan berbahaya lainnya yang terkandung di

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

11/29/2013 PENGINDERAAN ADALAH ORGAN- ORGAN AKHIR YANG DIKHUSUSKAN UNTUK MENERIMA JENIS RANGSANGAN TERTENTU

memfasilitasi sampel dari bagian tengah telinga, sebuah otoscope, jarum tulang belakang, dan jarum suntik yang sama-sama membantu. 4.

Gambar. Klasifikasi ukuran tonsil

BAB II. Kepustakaan. 2.1 Anatomi telinga luar

ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN SINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PADA APRIL 2015 SAMPAI APRIL 2016 Sinusitis yang merupakan salah

12/3/2010. Nasal asessory sinuses Rongga dalam tulang kepala berisi udara. Sinus maksila Sinus frontal Sinus etmoid Sinus sfenoid

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Saluran pernafasan merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa

2.3 Patofisiologi. 2.5 Penatalaksanaan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kompleksitas dari anatomi sinus paranasalis dan fungsinya menjadi topik

Prof.dr.Abd. Rachman S, SpTHT-KL(K)

I. PENDAHULUAN. Farmasi dalam kaitannya dengan Pharmaceutical Care harus memastikan bahwa

Laporan Kasus Besar. Observasi Limfadenopati Colli Multipel, Dekstra & Sinistra SHERLINE

Organ yang Berperan dalam Sistem Pernapasan Manusia. Hidung. Faring. Laring. Trakea. Bronkus. Bronkiolus. Alveolus. Paru-paru

I.2. Rumusan Masalah I.3. Tujuan Penelitian I.3.1 Tujuan umum I.3.2 Tujuan khusus

INDERA PENCIUMAN. a. Concha superior b. Concha medialis c. Concha inferior d. Septum nasi (sekat hidung)

Definisi Bell s palsy

Gambar 1. Anatomi Palatum 12

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN. Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, perlu diingat kembali

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA Atopi, atopic march dan imunoglobulin E pada penyakit alergi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Profil Pasien Rinosinusitis Kronik di Poliklinik THT-KL RSUP DR.M.Djamil Padang

Famili : Picornaviridae Genus : Rhinovirus Spesies: Human Rhinovirus A Human Rhinovirus B

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung

DIAGNOSIS CEPAT (RAPID DIAGNOSIS) DENGAN MENGGUNAKAN TES SEDERHANA DARI SEKRET HIDUNG PADA PENDERITA RINOSINUSITIS

BAB I PENDAHULUAN. paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 3 GAMBARAN RADIOGRAFI KALSIFIKASI ARTERI KAROTID. Tindakan membaca foto roentgen haruslah didasari dengan kemampuan

BAB II LANDASAN TEORI

SINUSISTIS MAKSILARIS EC HEMATOSINUS EC FRAKTUR LE FORT I. Lukluk Purbaningrum FKIK Universitas Muhammadiyah Yogyakarta RSUD Salatiga

BENDA ASING HIDUNG. Ramlan Sitompul DEPARTEMEN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016

Diagnosis Dan Penatalaksanaan Rinosinusitis Dengan Polip Nasi

BAB I PENDAHULUAN. tahun. Data rekam medis RSUD Tugurejo semarang didapatkan penderita

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. anterior hingga koana di posterior yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring.

Penatalaksanaan Epistaksis

BAB I PENDAHULUAN. berbagai sumber infeksi, seperti: gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga

BAHAN AJAR V ARTERITIS TEMPORALIS. kedokteran. : menerapkan ilmu kedokteran klinik pada sistem neuropsikiatri

BAB IV HASIL PENELITIAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

ANALISIS PERUBAHAN WAKTU TRANSPORTASI MUKOSILIA HIDUNG PENDERITA SINUSITIS KRONIS PADA PENGOBATAN GURAH LAPORAN AKHIR HASIL PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di Indonesia, termasuk dalam daftar jenis 10 penyakit. Departemen Kesehatan pada tahun 2005, penyakit sistem nafas

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH)

Transkripsi:

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi 2.1.1. Anatomi Hidung Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagian dari atas ke bawah yaitu: pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung (tip), ala nasi, kolumela, dan lubang hidung (nares anterior) (Soetjipto, 2007). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat, dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan dan menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (os nasal), prosesus frontalis os maksila, dan prosesus nasalis os frontal. Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu: sepasang kartilago nasalis lateralis superior, sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut kartilago alar mayor, dan kartilago septum (Soetjipto, 2007). Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring (Soetjipto, 2007). Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi dan tepat di belakang nares anterior disebut vestibulum. Vestibulum dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut yang disebut vibrise (Soetjipto, 2007). Setiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding lateral, medial, inferior, dan superior. Dinding lateral terdapat 4 buah konka. Konka inferior adalah yang terbesar dan letaknya paling bawah, konka media yang lebih kecil, konka superior yang lebih kecil lagi, dan konka suprema adalah yang terkecil (Soetjipto, 2007).

Di antara konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Berdasarkan letaknya, terdapat tiga meatus yaitu meatus superior, meatus medius, dan meatus inferior. Meatus superior terletak di antara konka superior dan konka media. Di daerah ini terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus maksila, dan sinus etmoid anterior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada daerah ini terdapat muara duktus nasolakrimalis (Soetjipto, 2007; Snell, 2006). Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian atas dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid dan bagian posterior dibentuk oleh os vomer. Bagian tulang rawan yaitu kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela. Pada bagian tulang rawan septum dilapisi perikondrium, bagian tulang dilapisi periosteum, sedangkan bagian luar dilapisi mukosa hidung (Snell, 2006; Soetjipto, 2007). Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung yang dibentuk oleh os maksila dan os palatum (permukaan atas palatum durum). Dinding superior atau atap hidung yang sempit dibentuk oleh lamina kribosa, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina kribosa merupakan lempeng tulang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubang-lubang tempat masuknya serabut saraf olfaktorius. Di bagian posterior, atap rongga hidung dibentuk os sfenoid (Snell, 2006; Soetjipto, 2007). Bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari arteri etmoid anterior dan posterior. Bagian bawah hidung diperdarahi oleh cabang arteri maksilaris interna, yaitu ujung arteri palatina mayor, dan arteri sfenopalatina. Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari cabang-cabang arteri fasialis. Bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri labialis anterior, dan arteri palatina mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach (little s area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis. Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya

(Soetjipto, 2007). Vena-vena ini membentuk suatu pleksus kavernosus yang rapat di bawah membrana mukosa. Drainase vena terutama melalui vena oftalmika, fasialis anterior, dan sfenopalatina (Soetjipto, 2007; Snell, 2006). Fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius. Nervus maksilaris dari nervus trigeminus berfungsi untuk impuls aferen sensorik, nervus fasialis untuk gerakan otot pernapasan pada hidung luar. Ganglion sfenopalatina berguna mengontrol diameter vena dan arteri hidung, dan juga produksi mukus, sehingga dapat mengubah pengaturan hantaran, suhu, dan kelembaban aliran udara (Snell, 2006). Kompleks Ostiomeatal (KOM) adalah celah pada dinding lateral hidung yang dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi, dan resesus frontal. KOM adalah unit fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan drainase dari sinus-sinus yang terletak di anterior yaitu sinus maksila, etmoid anterior, dan frontal. Bila terjadi obstruksi pada KOM, maka akan terjadi perubahan patologis yang signifikan pada sinus yang terkait (Soetjipto, 2007). 2.1.2 Anatomi Sinus Paranasal A. Sinus Maksila Pada waktu lahir sinus maksila berupa celah kecil di sebelah medial orbita. Pada awal dasarnya lebih tinggi daripada dasar rongga hidung, kemudian terus mengalami penurunan, sehingga pada usia delapan tahun. Perkembangannya bergerak kearah bawah dan membentuk sempurna setelah erupsi gigi permanen. Ukuran rata-rata pada bayi yang baru lahir 7-8 x 4-6 mm dan pada usia 15 tahun 31-32 x 18-20 x 19-20 mm dan isinya kira-kira 15 ml (Ballanger, 2002). Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah

prosesus alveolaris dan palatum (Soetjipto, 2007). Antrum mempunyai hubungan dengan infundibulum di meatus medius melalui lubang kecil yaitu ostium maksila yang terdapat di bagian anterior atas dinding medial sinus ( Ballanger, 2002). Yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah (1) dasar sinus maksila berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu premolar (P1 dan P2), Molar (M1 dan M2), kadang-kadang gigi taring dan gigi molar M3. Bahkan akarakar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi dapat naik ke atas dan menyebabkan sinusitis. (2) Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita. (3) Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drenase hanya tergantung dari gerak silia, lagipula drenase juga harus melalui infundibulum yang sempit (Soetjipto, 2007). B. Sinus Frontal Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke empat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun (Soetjipto, 2011). Ukuran sinus frontal pada orang dewasa adalah 28 mm tingginya, 24 mm lebar, dan 20 mm secara mendalam. Ukuran bervariasi substansial antara individu seperti halnya asimetri antara sisi kiri dan kanan pada individu yang sama. Meskipun sinus frontalis biasanya dianggap sebuah struktur piramida di bagian vertikal dari tulang frontal, mungkin muncul dalam bentuk lain (Cummings,1999). Biasanya sinus frontalis membuka ke bagian anterior meatus tengah atau ke frontal dalam beberapa kasus yang diteliti dan langsung ke bagian anterior infundibulum pada sebagian individu. Ostium sinus frontal dapat ditemukan pada akhir superior-anterior infundibulum. Ini terletak antara bagian posterior dan anterior konka di dinding lateral hidung. Jika sel-sel resesus frontal di daerah ini dihapus secara hati-hati, ostium dapat ditemukan secara jelas. Ostium biasanya terletak posteromedial di sinus frontalis, sehingga sering sekali juga akan melihat dinding posterior sinus frontalis melalui ostium tersebut (Cummings,1999).

Sinus frontalis dipasok oleh supraorbital dan supratrochlear arteri yang berasal dari arteri ophthalmic, cabang dari arteri karotis internal. Aliran darah yang normal dalam arteri oftalmik keluar dari orbit dan ke dahi melalui pembuluh supraorbital. Drainase vena terutama melalui vena mata superior posterior melalui fisura orbital superior ke dalam sinus kavernosus (Cummings,1999). C. Sinus Etmoidalis Sinus etmoid pada orang dewasa berbentuk seperti piramid dengan dasarnya pada bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior adalah 4-5 cm, tinggi 2,4 cm dan lebarnya 0,5 cm di anterior sedangkan di bagian posterior 1,5 cm (Soetjipto, 2007). Sinus etmoidalis berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak diantara konka media dan dinding medial orbita (Soetjipto, 2007). Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior dengan perlekatan konka media. Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya sinus ostium sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2007). D. Sinus sfenoid Sinus sphenoid dapat diidentifikasi di bagian janin pada bulan keempat, saat lahir sinus tetap kecil dan sedikit lebih dari satu evaginasi dari resesus sphenoethmoid. Setelah tahun kelima, invasi tulang sphenoid lebih cepat, dan pada usia 7 tahun, sinus telah diperpanjang posterior ke tingkat sela tursika. Pada remaja, sebagian sphenoid telah diaerasi ke sellae dorsum, meskipun lanjut

pembesaran ke basisphenoid yang mungkin terjadi pada orang dewasa (Cummings,1999). Ukuran rata-rata sinus sphenoid pada orang dewasa, adalah 20 mm tingginya, 23 mm dalamnya, dan 17 mm lebarnya. Sering ada asimetri antara kedua belah karena septum intersinus adalah struktur garis tengah yang tidak datar dan sering membungkuk atau memutar. Sebuah aspek yang menarik dari anatomi dewasa berkaitan dengan tingkat pneumatisasi tulang sphenoid, ketika erosi tulang maksimal, struktur berdekatan dengan sinus cenderung terpahat di interior dinding sinus (Cummings,1999). Sinus sphenoid membuka ke resesus sphenoethmoid di atas concha superior. Ostium terletak kira-kira 2 mm x 3 mm dan 10 mm di atas sinus (Cummings,1999). Pasokan darah dari sinus sphenoid tiba melalui cabang arteri karotid internal dan eksternal. Dari daerah orbit, cabang ethmoidal posterior arteri ophthalmic dapat berkontribusi ke sinus sphenoid setelah memasuki sel ethmoid posterior. Dinding sinus menerima darah dari cabang sphenopalatina dari arteri maksilaris(cummings,1999). Gambar 2.1. Anatomi hidung dan sinus ( ARS, 2011)

2.2 FUNGSI SINUS PARANASAL Ada beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi dari sinus paranasal, namun belum ada bukti yang sesuai yang dapat mebuktikan teori-teori tersebut. Beberapa teori yang dikemukakan antara lain: a. Sebagai pengatur kondisi udara Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur kelembaban udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah karena ternyata tidak didapati pertukaran udara yang defenitif antara sinus dan rongga hidung (Soetjipto, 2007). b. Sebagai penahan suhu Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi orbita dan fosa serebri dari rongga hidung yang berubah-ubah. Akan tetapi kenyataan sinus-sinus yang besar tidak terletak di antara hidung dan organ-organ yang dilindungi (Soetjipto, 2007). c. Membantu keseimbangan kepala Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka. Akan tetapi, bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan memberikan pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori ini tidak dianggap bermakna (Soetjipto, 2007). d. Membantu resonansi suara Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk menambah resonansi suara dan mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonansi yang efektif (Soetjipto, 2007). e. Sebagai peredam perubahan tekanan udara Fungsi ini akan berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak, misalnya pada waktu bersin dan beringus (Soetjipto, 2007). f. Membantu produksi mukus Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut masuk dalam udara (Soetjipto, 2007).

2.3 RINOSINUSITIS 2.3.1 DEFENISI Rinosinusitis secara luas didefinisikan sebagai inflamasi hidung dan sinus paranasal yang ditandai dengan adanya dua atau lebih gejala, salah satunya termasuk hidung tersumbat/ obstruksi/ kongesti atau pilek (sekret hidung anterior/ posterior) serta nyeri pada wajah atau rasa tertekan di wajah dan penurunan atau hilangnya penghidu. Dan satu lagi dari temuan nasoendoskopi separti polip dan atau sekret mukopurulen dari meatus medius, dan atau edema/obstruksi mukosa di meatus medius dan atau gambaran tomografi komputer seperti perubahan mukosa di kompleks osteomeatal dan atau sinus ( EP3OS,2012 ). 2.3.2 ETIOLOGI a. Virus Virus yang lebih sering menyebabkan rinosinusitis adalah rhinovirus, virus parainfluenza, respiratory syncitial virus (RSV) dan virus influenza. Setiap virus mempunyai banyak serotype yang mempunyai potensi tersendiri untuk memperparahkan infeksi tersebut. Infeksi akibat rhinovirus merupakan penyebab tersering rinosinusitis pada orang dewasa dan memuncak pada musim gugur. RSV dan influenza pula akan merusak silia pernafasan pada saat musim dingin dan di awal musim semi (Brown, 2008). b. Bakteri Bakteri patogen yang sering menyebabkan rinosinusitis bakteri akut adalah S. pneumoniae dan H. influenza. Patogen ini menjadi penyebab utama terjadinya rinosinusitis sejak kali pertama dilakukan penelitian. Sedangkan patogen yang sering pada rinosinusitis bakteri kronis adalah s. aureus, staphylococcus koagulase negative, bakteri anaerob dan bakteri gram negative (Brown, 2008). c. Jamur Aspergilosis adalah salah satu jamur yang paling sering dijumpai pada infeksi virus paranasal dengan ciri khas sekret mukopurulen yang berwarna hijau kecoklatan. Mukormikosis pula merupakan infeksi oppurtunistik ganas yang dapat

berkembang menjadi patogenik pada orang yang menderita asidosis diabetik dan imunosupresi. Pada penderita ini dijumpai sekret warna pekat,gelap, berdarah dan gambaran konka yang berwarna hitam atau merah bata. Candida bersama histoplasmosis, koksidoimilosis, sporotrikosis, serokosporamikosis dan blastomikosis adalah kasus yang jarang mengenai hidung (Boeis, 1997). d. Alergi Rinitis adalah suatu reaksi alergi yang diperantarai oleh imunoglobulin. Reaksi ini melibatkan suatu antibodi, biasanya IgE, yang mana bagian Fc antibodi melekat pada suatu sel yang mengandung mediator atau prekursornya (sel mast, basofil, eosinofil, makrofag). Bagian Fab dari antibodi ini berinteraksi dengan alergen spesifik dan akibatnya terjadi aktivasi beberapa enzim membran. Hasil pembelahan enzimatik menyebabkan pelepasan mediator seperti histamin, prostaglandin dan leukotrien. Mediator ini menyebabkan suatu reaksi tipe segera yang timbul, misalnya edema. Selain itu, juga akan terjadi reaksi lambat yang selanjutnya cenderung terjadi akibat pelepasan mediator dari sel mast dan demikian pula eosinofil, makrofag dan trombosit (Boeis, 1997). e. Kelainan anatomi dan struktur hidung Kelainan anatomi hidung dan sinus dapat mengganggu fungsi mukosiliar secara lokal. Jika permukaan mukosa yang saling berhadapan mendekat atau bertemu satu sama lain, maka aktivitas silia akan terhenti. Deviasi septum, polip, konka bulosa atau kelainan struktur lain di daerah kompleks osteomeatal dan ostium sinus dapat menghalangi transportasi mukosiliar (Hilger, 1997). f. Hormonal Pada penelitian Sobot et al didapati bahwa 61% wanita yang hamil pada trimester pertama menderita nasal congestion. Namun patogenesisnya masih belum jelas (Brook, 2012). g. Lingkungan Perubahan mukosa dan kerusakan silia dapat terjadi apabila terpapar pada oleh lingkungan yang berpolusi, udara dingin dan kering. Kebiasaan merokok juga memicu hal yang sama (Mangunkusumo E, 2007).

2.3.3 Klassifikasi Tabel 2.3 Klasifikasi Rinosinusitis (Valerie, 2008) Klasifikasi Akut Subakut Akut Rekuren Kronik Eksaserbasi Akut Rinosinusitis Kronik Durasi 7 hari hingga 4 minggu 4 hingga 12 minggu 4 kali episode ARS per tahun 12 minggu Keadaan akut yang memburuk pada CRS 2.3.4 PATOFISIOLOGI Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya clearance mukosiliar didalam sumbatan kompleks osteo meatal (KOM). Mukus juga mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara pernapasan (Mangunkusumo E, 2007). Organ-organ yang membentuk kompleks osteo meatal terletak berdekatan, maka apabila terjadi edema, mukosa yang saling berhadapan akan bertemu sehingga menyebabkan gerakan silia terhambat dan ostium tersumbat. Akibatnya muncul tekanan negative di dalam rongga sinus yang seterusnya menyebabkan terjadinya transudasi. Efek awal yang ditimbulkan adalah keluarnya cairan serous. Kondisi ini bisa dianggap sebagai rinosinusitis non-bacterial dan sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan (Soetjipto,2007). Apabila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus akan menjadi media pembiakan yang baik bagi pertumbuhan bakteri. Efek dari kejadian ini adalah sekret menjadi purulen. Kini keadaan ini dikenali sebagai rinosinusitis akut yang disebabkan oleh bakteri dan memerlukan terapi antibakteri (Mangunkusumo E, 2007). Jikalau terapi tidak berhasil, maka inflamasi akan berlanjut sehingga terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang. Mukosa semakin membengkak dan siklus ini seterusnya berputar sampai akhirnya terjadi perubahan mukosa yang kronik yaitu hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista. Pada keadaan ini mungkin perlu dilakukan tindakan operasi (Mangunkusumo E, 2007).

2.3.5 Gejala Klinis Pasien sering mengeluh pengerasan kulit hidung, obstruksi, hipersekresi atau postnasal drip, batuk, tekanan pada wajah, dan kelelahan ketika fungsi mukosa hidung tidak normal. Sumbatan hidung yang bergeser dari sisi ke sisi adalah umum pada banyak jenis rhinitis dan dapat dianggap berlebihan pada fisiologi normal ( Lee, 2012 ). Gejala utama dari sinusitis termasuk tekanan pada wajah, kemacetan atau kepenuhan pada wajah, obstruksi hidung, discharge hidung, dan anosmia. Gejala ringan termasuk sakit kepala, halitosis, kelelahan, sakit gigi, batuk, dan tekanan pada telinga. Tanda-tanda utama termasuk purulensi di hidung yang dicatat pada pemeriksaan dengan sinusitis akut, dan demam. Nyeri adalah keluhan yang sering dengan sinusitis akut tetapi jarang terjadi dengan sinusitis kronis. Pasien dengan sinusitis kronis sering perhatikan tekanan wajah kusam yang tampaknya memburuk dengan ketergantungan. Pasien dengan sinusitis akut mungkin memiliki rasa sakit wajah diskrit atau sakit gigi, tetapi juga memiliki discharge purulen pada hidung, sering dengan demam. Hal ini penting untuk dicatat bahwa nyeri wajah bukanlah gejala sinusitis kronis dengan tidak adanya tanda-tanda dan gejala hidung lain. Umumnya, sinusitis diduga terjadi atas dasar setidaknya dua faktor utama, salah satu faktor utama dan dua faktor minor, atau purulensi pada pemeriksaan hidung ( Lee, 2012 ). 2.3.6 Diagnosa Anamnesa Riwayat menyeluruh harus diselidiki, apakah pasien telah mencoba obatobatan seperti antihistamin, dekongestan, mukolitik, analgesik, stabilisator sel mast, bahkan steroid, dan apakah mereka telah memperbaiki kondisinya. Selain itu, obat lain yang memiliki efek samping yang mempengaruhi fisiologi hidung, termasuk pil kontrasepsi, obat antihipertensi yang menyebabkan vasodilatasi sistemik, aspirin, steroid, dan antibiotik. Pertanyaan khusus mengenai alergi yang penting, termasuk perubahan musim atau pencetus lingkungan, ada atau tidaknya hewan peliharaan, alergi terhadap makanan, perubahan terbaru pada lingkungan

dan kondisi hidup, penggunaan karpet lama atau baru, atau dinding interior yang baru dicat. Seorang pasien harus ditanya tentang riwayat pengujian alergi kulit atau pengujian lainnya. Pasien juga harus ditanya mengenai riwayat anggota keluarga atau rekan kerja yang sakit karena menyarankan proses infeksi. Sebuah riwayat medis masa lalu harus memungkinkan seseorang untuk menentukan apakah kondisi yang relevan seperti hidung sebelumnya pernah melakukan pembedahan atau trauma, penyakit granulomatosa, cystic fibrosis, kondisi rematologi, atau defisiensi imun ( Lee, 2012 ). Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan lengkap dari kepala dan leher harus dilakukan untuk melihat tanda-tanda trauma baru atau lama seperti hematom bawah kelopak mata, bengkak dari jaringan lunak wajah, atau penyimpangan dari dorsum nasal. Leher harus teraba untuk adenopati atau massa lainnya. Sebuah pemeriksaan mata dasar harus dilakukan untuk menilai fungsi pupil, gerakan ekstraokular, dan mungkin nistagmus. Pemeriksaan telinga harus dilakukan untuk menilai membran timpani bilateral. Pada pasien dengan kelainan membran timpani atau bersamaan keluhan gangguan pendengaran atau ketidakseimbangan, pneumatoscopi menggunakan bola udara melekat otoscope yang dapat digunakan untuk meniup saluran telinga dan menilai mobilitas membran timpani, penurunan mobilitas menunjukkan efusi telinga tengah. Pengujian Weber dan Rinne dengan menggunakan 512-Hz layar garpu tala untuk gangguan pendengaran konduktif, terutama loss unilateral. Pemeriksaan mulut dan orofaring, termasuk dinding posterior faring, kadangkadang bisa mengidentifikasi aliran postnasal discharge atau nanah. Kemampuan pasien untuk membuka mulut tanpa batasan membantu mengecualikan trismus, yang kadang-kadang dapat disebabkan oleh infeksi leher yang parah ( Lee, 2012 ). Pemeriksaan endoskopi hidung, hampir selalu dilakukan oleh spesialis, ini adalah "gold standard" untuk mengevaluasi rhinitis dan sinusitis. Sebuah serat optik yang fleksibel atau kaku dapat melakukan inspeksi pada septum, meatus tengah, dan sphenoethmoid, serta pemeriksaan langsung dari nasofaring, lubang tuba eustachius, dan fossa dari Rosenmuller, yang hanya berhadapan ke tuba eustachius di nasofaring dan sering pada lokasi asal karsinoma nasofaring. Endoskopi fleksibel dapat digunakan untuk menginspeksi orofaring, laring, dan sebagian besar hipofaring ( Lee, 2012 ).

Pemeriksaan Penunjang Pengolesan hidung dapat menunjukkan eosinofil, yang konsisten dengan rhinitis alergi. Demikian juga, pengujian kulit atau pengujian radioallergosorbent dapat membantu menentukan pemicu alergi. Pada pasien dengan sinusitis akut, jumlah sel darah putih dengan diferensial mungkin berguna. Pada pasien dengan sinusitis kronis, tingkat immunoglobulin serum dapat membantu (Lee,2012). Tingkat imunoglobulin E (IgE) yang sangat tinggi dapat meningkatkan kecurigaan untuk alergi sinusitis yang disebabkan oleh jamur, manakala IgG yang tingkat rendah dan subclass lainnya menyarankan immunodeficiency. Jika pasien memiliki pengerasan kulit hidung yang kronis sebagai keluhan primer, tes skrining serologi untuk sarkoid, Wegener granulomatosis, limfoma sel-t, sifilis, TBC, sindrom Sjogren, dan penyakit inflamasi kronis lainnya dapat dipertimbangkan (Lee,2012). Infeksi yang jarang terjadi seperti rhinoscleroma juga ditemukan, sehingga biopsi dan kultur dapat diindikasikan untuk membantu menegakkan diagnosis. Penggunaan zat terlarang harus dipertimbangkan karena kokain dan obat-obatan terlarang lainnya dapat menyebabkan pengerasan kulit hidung. Cystic fibrosis juga harus dipertimbangkan pada pasien dengan riwayat sinusitis sejak kecil ( Lee, 2012). Computed tomography (CT) scanning saat ini metode pilihan untuk pencitraan sinus. Karena virus infeksi saluran pernapasan atas dapat menyebabkan kelainan pada CT scan yang bisa dibedakan dari rinosinusitis, pencitraan pada rinosinusitis bakteri akut telah membatasi kegunaan kecuali bila terdapat komplikasi yang dicurigai. Di sisi lain, gejala rinosinusitis kronis tidak berkorelasi dengan temuan (Anil,2008). Oleh karena itu, CT scan dan endoskopi hidung diperlukan untuk menegakkan diagnosis. Selain menyediakan visualisasi yang sangat baik, penebalan mukosa, kadar cairan udara, dan struktur tulang, scan koronal memberikan visualisasi yang optimal dari kompleks osteomeatal dan ini memudahkan ahli bedah dalam hal perencanaan bedah ( Anil, 2008 ).

Magnetic Resonance Imaging (MRI) lebih jarang dilakukan dibandingkan CT scan terutama karena modalitas ini tidak melakukan pencitraan tulang dengan baik. Namun, MRI biasanya dapat membedakan pertahanan lendir dari massa jaringan lunak berdasarkan karakteristik intensitas sinyal, yang memiliki penampilan yang sama pada CT scan. Oleh karena itu, MRI dapat membantu dalam membedakan sebuah sinus yang dipenuhi dengan tumor dari sebagian yang diisi dengan sekresi. MRI juga membantu modalitas yang diduga ekstensi orbital atau intracranial ( Anil, 2008 ). 2.3.7 TERAPI Rinosinusitis Akut Diberikan terapi medikamentosa berupa antibiotik empirik (2x24 jam). Antibiotik yang diberikan lini I yakni golongan penisilin atau cotrimoxazol dan terapi tambahan yakni obat dekongestan oral dan topikal, mukolitik untuk memperlancar drainase dan analgetik untuk menghilangkan rasa nyeri. Pada pasien atopi, diberikan antihistamin atau kortikosteroid topikal (EP30S, 2007). Jika ada perbaikan maka pemberian antibiotik diteruskan sampai mencukupi 10-14 hari. Jika tidak ada perbaikan maka diberikan terapi antibiotik lini II selama 7 hari yakni amoksisilin klavulanat atau ampisilin sulbaktam, cephalosporin generasi II, makrolid dan terapi tambahan. Jika ada perbaikan antibiotic diteruskan sampai mencukupi 10-14 hari. Jika tidak ada perbaikan maka dilakukan rontgen-polos atau CT scan dan atau endoskopi nasal (EP30S, 2007). Bila dari pemeriksaan tersebut ditemukan kelainan maka dilakukan terapi sinusitis kronik. Apabila tidak ada kelainan maka dilakukan evaluasi diagnosis yakni evaluasi komprehensif alergi dan kultur dari fungsi sinus (EP30S, 2007). Rinosinusitis Subakut Terapinya mula-mula diberikan medikamentosa, bila perlu dibantu dengan tindakan, yaitu diatermi atau pencucian sinus. Obat-obat yang diberikan berupa antibiotika berspektrum luas atau yang sesuai dengan resistensi kuman selama 10 14 hari. Juga diberikan obat-obat simptomatis berupa dekongestan. Selain itu dapat pula diberikan analgetika, anti histamin dan mukolitik (EP30S, 2007).

Tindakan dapat berupa diatermi dengan sinar gelombang pendek (Ultra Short Wave Diathermy) sebanyak 5 6 kali pada daerah yang sakit untuk memperbaiki vaskularisasi sinus. Kalau belum membaik, maka dilakukan pencucian sinus. Pada sinusitis maksilaris dapat dilakukan pungsi irigasi. Pada sinusitis ethmoid, frontal atau sphenoid yang letak muaranya dibawah, dapat dilakukan tindakan pencucian sinus cara Proetz (EP30S, 2007). Rinosinusitis Kronis Jika ditemukan faktor predisposisinya, maka dilakukan tata laksana yang sesuai dan diberi terapi tambahan. Jika ada perbaikan maka pemberian antibiotik mencukupi 10-14 hari. Jika faktor predisposisi tidak ditemukan maka terapi sesuai pada episode akut lini II + terapi tambahan. Sambil menunggu ada atau tidaknya perbaikan, diberikan antibiotik alternative 7 hari atau buat kultur (EP30S, 2007). Jika ada perbaikan teruskan antibiotik mencukupi 10-14 hari, jika tidak ada perbaikan evaluasi kembali dengan pemeriksaan naso-endoskopi, sinuskopi (jika irigasi 5 x tidak membaik). Jika ada obstruksi kompleks osteomeatal maka dilakukan tindakan bedah yaitu BSEF atau bedah konvensional. Jika tidak ada obstruksi maka evaluasi diagnosis. Pada sinusitis maksila dilakukan pungsi dan irigasi sinus, sedang sinusitis ethmoid, frontal atau sfenoid dilakukan tindakan pencucian Proetz (Mangunkusumo, 2007 ; EP30S, 2007). 2.3.8 Komplikasi 1.Orbital cellulitis and abscess Kondisi ini menyulitkan kedua infeksi sinus ethmoid atau frontal. Sakit di sekitar orbit diikuti oleh pembengkakan kelopak mata dan kemudian konjungtiva. Gerakan bola mata yang semakin terbatas sampai mata tidak dapat bergerak. Ketegangan pada saraf optik mengakibatkan kebutaan (Bernard, 1987). Selain itu, ia juga akan menyebabkan pembentukan abses, dan memerlukan drainase eksternal secara mendesak. Hal ini dapat diatasi dengan melakukan insisi pada kuadran superomedial orbit di mana saluran ( tube ) akan dimasukkan untuk mengeluarkan nanah yang terkumpul pada saat melakukan pemisahan antara periosteum dan tulang (Bernard, 1987).

2. Meningitis Hal ini mungkin karena penjangkitan secara langsung tetapi dapat juga terjadi dari penyebaran tromboflebitis. Prinsip-prinsip diagnosis dan pengobatan sama seperti yang dijelaskan pada meningitis otitic. Infeksi tersebut sering terjadi pada bagian frontal dan ethmoid di mana ia memerlukan terapi secara mendesak (Bernard, 1987). 3. Brain abscess Abses biasanya terjadi karena infeksi sinus frontal kronis. Mungkin terjadi pada bagian ekstradural atau dalam lobus frontal dan diikuti dengan erosi dinding posterior sinus. Diagnosanya sulit diketahui, tetapi dapat diperiksa dengan CTscan. Scan tersebut dapat membantu dalam pemantauan abses. Kemungkinan terjadinya abses sangat luas jika sakit kepala masih berlanjut setelah pengobatan yang adekuat, atau karena terjadinya kelemahan dalam perkembangan memori, perilaku dan kepribadian. Pengobatan terdiri dari aspirasi secara berulang melalui eksplorasi burr-hole (Bernard, 1987). 4. Osteomielitis dan abses subperiostal Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada anakanak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral atau fistula pada pipi (Soetjipto, 2007). 5. Cavernous Sinus Thrombosis Dalam kasus ini, emboli septik mengalir posterior melalui sistem vena mata ke sinus cavernous di mana ia mengakibatkan terjadinya infeksi, peradangan dan akhirnya trombosis sinus. Gejala okularnya termasuk kemosis, respons pupil yang lambat, oftalmoplegia dan juga kebutaan. Temuan ini sering bilateral. Pemberian antibiotik secara intravena harus dilakukan cepat dan jika ada indikasi harus melakukan drenase pada sinus yang terlibat. Antikoagulan berperan untuk mencegah pembentukan trombus dan terapi steroid yang sistemik masih kontroversial ( Anil, 2008 ).