BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa merupakan lafal atau ucapan yang digunakan oleh suatu bangsa untuk mengungkapkan dan menyampaikan apa yang menjadi maksud mereka (al-galāyainī, 2010:7). Hal ini senada dengan pernyataan orang-orang Yunani bahwa bahasa adalah alat manusia untuk mengekpresikan pikiran dan perasaaannya (Soemarsono, 2004:18). Akan tetapi, maksud dan fungsi dari bahasa bukan sekadar itu saja. Menurut Kridalaksana (1983), bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasikan diri. Bahasa sebagai sistem artinya bahwa bahasa dibentuk oleh sejumlah komponen yang berpola secara tetap dan dapat dikaidahkan. Bahasa disebut lambang bunyi berarti bahwa bahasa memiliki lambanglambang berbentuk bunyi yang lazim disebut bunyi ujaran atau bunyi bahasa. Bahasa bersifat arbitrer yang berarti hubungan antara lambang dengan yang dilambangkannya tidak bersifat wajib, bisa berubah, dan tidak dapat dijelaskan mengapa lambang tersebut mengonsepsi makna tertentu (Chaer dan Agustina, 2004:12). Berdasarkan penjelasan di atas, dapatlah diketahui bahwa fungsi paling utama bahasa adalah sebagai alat komunikasi dan interaksi dalam kehidupan manusia (Chaer dan Agustina, 2004:14). Sejalan dengan fungsi bahasa di atas, sebuah kajian 1
2 dalam ilmu linguistik, yaitu sosiolinguistik juga menjadikan bahasa sebagai alat komunikasi dan interaksi antar masyarakat (Chaer dan Agustina, 2004:3). Sosiolinguistik adalah kajian tentang ciri khas variasi bahasa, fungsi-fungsi variasi bahasa, dan pemakai bahasa karena ketiga unsur itu selalu berinteraksi, berubah, dan saling mengubah satu sama lain dalam satu masyarakat tutur (Fishman, 1972:4). Hal ini juga sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Kridalaksana (1978:4) bahwa sosiolinguistik adalah ilmu yang mempelajari ciri-ciri variasi bahasa dan menetapkan hubungan di antara para bahasawan dengan ciri dan fungsi variasi bahasa itu di dalam masyarakat. Oleh karena itu, variasi atau ragam bahasa merupakan bahasan pokok dalam studi sosiolinguistik (Chaer dan Agustina, 2004:61). Karena sosiolinguistik berasal dari dua lingkup ilmu, yaitu sosiologi dan linguistik. Maka variasi bahasa dan masyarakat merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Semakin banyak masyarakat yang berbeda-beda, semakin banyak variasi bahasa yang ditimbulkan. Salah satu sub-disiplin ilmu yang dipelajari dalam sosiolinguistik adalah campur kode dan alih kode. Campur kode merupakan keadaan ketika seorang penutur mengucapkan sebuah kata dari bahasa yang lain, yang tidak termasuk bahasa yang sedang digunakan (Fasold, 1984). Adapun alih kode adalah sebuah keadaan ketika seorang penutur mengucapkan sebuah klausa dari suatu bahasa lain kemudian dialihkan ke bahasa yang sedang ia gunakan (Thelander, 1976:103). Jadi, dapat diketahui bahwa campur kode dan alih kode dalam kajian linguistik memiliki objek
3 penelitian yang berbeda. Campur kode meneliti serpihan beberapa kata dan frase saja, sedangakan alih kode meneliti serpihan beberapa klausa dari bahasa yang berbeda. Campur kode dan alih kode dewasa ini tidak hanya ditemukan dalam konteks tuturan langsung tatap muka antara penutur dan mitra tuturnya. Akan tetapi, di dalam karya sastra juga ditemukan adanya campur kode dan alih kode. Hal ini terlihat dalam salah satu antologi cerpen yang ditulis oleh seorang sastrawan Mesir, yaitu Iḥsān Abdul Quddūs yang berjudul Ulbah min aṣ-ṣafīh. Di dalam antologi cerpen ini banyak ditemukan tuturan yang mengandung campur kode dan alih kode dalam dialog para tokohnya. Dalam karya tersebut penulis banyak mencampurkan dan mengalihkan beberapa kata, frase, dan klausa berbahasa Arab Fuṣḥā ke dalam bahasa Arab Amiyyah terutama ketika dialog antar tokoh yang satu dengan tokoh yang lain sedang berlangsung. Berdasarkan penjelasan tersebut, peneliti tertarik untuk membahas salah satu kajian sosiolinguistik, yaitu campur kode dan alih kode yang terdapat pada antologi cerpen Ulbah min aṣ-ṣafīh karya Iḥsān Abdul Quddūs. 1.2 Permasalahan Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, maka pokok masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimana bentuk campur kode dan alih kode yang terdapat dalam 7 cerpen di dalam antologi cerpen Ulbah min aṣ- Ṣafīh karya Iḥsān Abdul Quddūs.
4 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari sebuah penelitian haruslah sesuai dengan permasalahannya. Berdasarkan hal tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan bentuk campur kode dan alih kode yang terdapat dalam 7 di dalam antologi cerpen Ulbah min aṣ-ṣafīh karya Iḥsān Abdul Quddūs. 1.4 Tinjauan Pustaka Penelitian mengenai topik campur kode ini telah dilakukan oleh peneliti yang lain. Ariyanto (1998) dalam laporan penelitian yang berjudul Alih Kode dan Campur Kode Masyarakat Jawa yang Dwibahasawan menyebutkan bahwa penggunaan lebih dari satu bahasa atau lebih dari satu ragam bahasa (variasi) bahasa dalam masyarakat Jawa yang dwibahasawan cenderung kepada pembagian fungsi masing-masing atau variasi bahasa sesuai dengan konteks pemakainya. Wibowo (2007) dalam skripsinya yang berjudul Ragam Bahasa Arab Percakapan Sehari-hari Siswa Jurusan Ilmu Agama Islam Madrasah Aliyah Negeri Surakarta 1 menyimpulkan bahwa terdapat interfensi bahasa Jawa dan bahasa Arab Āmiyyah dalam percakapan sehari-hari siswa Jurusan Ilmu Agama Islam Madrasah Aliyah Negeri Surakarta 1. Selain itu, ditemukan beberapa penyimpangan kaidah dalam bahasa Arab resmi, seperti penyimpangan dalam meletakkan gender dan kaidah i rab.
5 Febriyanti (2007) dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Campur Kode dalam Chickit Cintapuccino menyimpulkan tentang bentuk, jenis, dan penyebab campur kode. Bentuk-bentuk campur kode di dalamnya terdiri atas bentuk kata, frasa, dan klausa. Campur kode berbentuk kata terdiri dari bentuk dasar dan bentuk tuturan. Campur kode bentuk dasar berwujud kata monomorfemik sedangkan campur kode bentuk tuturan berbentuk polimorfemik. Jenis campur kode yang terdapat dalam penelitian ini terdiri dari campur kode ke dalam bentuk bahasa Indonesia ragam informal dan bahasa Indonesia dialek Jakarta, dan campur kode keluar dengan bentuk bahasa Sunda, Jawa, Inggris, dan Arab. Penyebab terjadinya campur kode karena latar belakang penutur dengan lawan tutur, pengaruh situasi tuturan, faktor keakraban, tingkat pendidikan, asal daerah, dan latar belakang religi penutur. Hanifah (2008) dalam skripsinya yang berjudul Campur Kode dalam Percakapan Bahasa Arab Siswi Pondok Modern Darussalam Ngawi Jawa Timur menyimpulkan bahwa campur kode yang terjadi dalam percakapan tersebut berwujud kata yang berasal dari bahasa Indonesia, Jawa, dialek Jakarta, Inggris, dan bahasa Arab Āmiyyah. Selain itu, juga ditemukan campur kode berbentuk frasa dan akronim. Yosi (2010) dalam skripsinya yang berjudul Campur Kode Percakapan Bahasa Arab Santri Pondok Pesantren Darul Hikmah Sleman Yogyakarta dan Pondok Pesantren Modern Islam As-Salam Surakarta menyimpulkan bahwa campur kode yang terjadi dalam percakapan tersebut berwujud kata yang berasal dari bahasa Jawa,
6 Sunda, Inggris, logat Banyumas, bahasa Arab Āmiyyah, Indonesia, dan dialek Jakarta. Selain itu, dalam percakapan tersebut juga ditemukan campur kode yang berbentuk kata, kata ulang, frasa, bilangan, dan akronim. Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah disebutkan di atas, maka peneliti menarik kesimpulan bahwa penelitian campur kode dan alih kode di dalam 7 cerpen dalam antologi cerpen Ulbah min aṣ-ṣafīḥ karya Iḥsān Abdul Quddūs belum pernah dilakukan oleh mahasiswa Universitas Gadjah Mada. Di samping itu, berdasarkan penelurusan pustaka di internet, tidak ditemukan satu pun penelitian terkait dengan objek penelitian ini di Universitas Indonesia, Universitas Padjajaran, dan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Oleh karena itu, peneliti memiliki peluang besar untuk meneliti hal tersebut. 1.5 Landasan Teori 1.5.1 Bahasa Arab Fuṣḥā dan Bahasa Arab Amiyyah Seluruh bahasa yang ada di dunia mengalami perkembangan karena bahasa memiliki sifat dinamis, yang berarti bahwa bahasa merupakan sebuah alat komunikasi manusia yang dapat berkembang setiap waktu dan tidak bersifat statis. Tak terkecuali bahasa Arab. Bahasa Arab telah mengalami perkembangan berabad-abad lamanya. Perkembangan yang terjadi terus menerus tersebut memunculkan dualisme ragam di dalam bahasa Arab. Yaitu bahasa Arab Fuṣḥā dan bahasa Arab Amiyyah.
7 Bahasa Arab Fuṣḥā adalah ragam bahasa Arab baku yang digunakan dalam kesempatan-kesempatan resmi dan untuk kepentingan kodifikasi karya-karya puisi, prosa, dan penulisan pemikiran intelektual secara umum. Bahasa ini juga memiliki standar kaidah-kaidah baku yang telah ditetapkan secara internasional. Oleh sebab itulah, keotentikan dan keorisinilitas bahasa Arab dapat terjaga. Adapun bahasa Arab Amiyyah adalah ragam bahasa Arab yang tidak baku yang digunakan dalam urusan biasa sehari-hari. Selain itu, ragam bahasa Arab ini tidak memiliki kaidah-kaidah baku yang diakui secara internasional. Ragam bahasa Arab ini berkembang di seluruh kalangan masyarakat. Baik yang berstatus sosial tinggi, menengah, maupun rendah (Ya qub, 1982:144-145). Karena kedua bahasa ini digunakan secara berdampingan maka tak ayal akan banyak ditemukan percampuran maupun peralihan yang terjadi di antara kedua ragam bahasa Arab tersebut. Setiap bahasa memiliki ciri masing-masing. Tak terkecuali bahasa Arab Fuṣḥā dan bahasa Arab Amiyyah. Ciri bahasa Arab Fuṣḥā adalah bahasa Arab ini memiliki struktur yang baku yang telah ditetapkan secara Internasional. Selain itu, bahasa ini juga digunakan di dalam acara-acara yang bersifat resmi. Adapun ciri bahasa Arab Amiyyah adalah bahasa ini tidak memiliki kaidah-kaidah baku dan juga tidak dapat digunakan dalam acara-acara resmi. Selain itu, bahasa Amiyyah bersifat kedaerahan sehingga masing-masing daerah memiliki bahasa Amiyyah tersendiri dan tidak akan sama antara satu daerah dengan daerah yang lain (Hermawan, 2011:72-73).
8 1.5.2 Sosiolinguistik Campur kode dan alih kode merupakan salah satu kajian sosiolinguistik. Oleh sebab itu, penelitian yang akan dilakukan ini akan menggunakan teori-teori yang berada di dalam kajian sosiolinguistik. Para ahli telah mengemukakan definisidefinisi mengenai sosiolinguistik. Berikut ini beberapa definisi yang dikemukakan oleh mereka. Nababan (1984:2) mengartikan sosiolinguistik sebagai suatu pengkajian bahasa dengan dimensi kemasyarakatan. Sebagaimana bahasa yang terdapat di dalam masyarakat sangat beragam dan bervariasi, maka sosiolinguistik bisa digunakan dalam kajian tersebut. Adapun Chaer (2004:3) mengartikan sosiolinguistik sebagai sebuah kajian mengenai bahasa dan pemakaiannya dalam konteks sosial dan kebudayaan. Berdasarkan definisi-definisi yang telah dikemukakan beberapa ahli di atas, dapatlah disimpulkan bahwa sosiolinguistik adalah sebuah cabang ilmu linguistik yang membahas mengenai ciri, fungsi, dan varian bahasa dalam sebuah masyarakat tutur. Sosiolinguistik memandang bahasa sebagai tingkah laku (social behaviour) yang dipakai dalam berkomunikasi karena masyarakat terdiri dari individu-individu, masyarakat secara keseluruhan, dan individu saling mempengaruhi dan saling bergantung. Bahasa sebagai milik masyarakat juga tersimpan dalam diri masingmasing individu. Setiap individu dapat bertingkah laku dalam wujud bahasa dan
9 tingkah laku bahasa individual ini dapat berpengaruh luas pada anggota masyarakat bahasa lain (Sumarsono, 2004:19). Ariyanto (1998:22) mengatakan bahwa setiap manusia sesungguhnya memiliki ketergantungan terhadap bahasa karena bahasa merupakan alat komunikasi utama bagi manusia sebagai makhuk sosial dalam berhubungan, berkomunikasi, dan bekerja sama terutama dalam masyarakat multilingual seperti masyarakat pada umumnya. Ketergantungan terhadap bahasa tersebut membuat seorang penutur yang multilingual cenderung menggunakan dua bahasa atau lebih atau menggunakan dua variasi bahasa atau lebih. Salah satu kajian sosiolinguistik adalah campur kode dan alih kode. Penjelasan kedua hal tersebut adalah sebagai berikut. 1.5.3 Campur Kode dan Alih Kode 1.5.3.1 Campur Kode Fasold (1984) mendefinisikan campur kode adalah suatu peristiwa tutur yang mana penutur menggunakan sebuah kata atau frase yang berasal dari bahasa lain selain dari bahasa yang digunakan. Adapun Thelander (1976:103) mendefinisikan campur kode adalah suatu peritiwa tutur yang mana penutur menggunakan klausaklausa maupun frase-frase yang digunakan terdiri dari klausa dan frase campuran, dan masing-masing klausa atau frase itu tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri. Jadi, bisa disimpulkan bahwa campur kode merupakan sebuah peristiwa tutur yang
10 mengambil beberapa kata atau frase dari bahasa lain kemudian digunakan dalam bahasa yang sedang digunakan. Seperti pada contoh (1) berikut ini: (1) Intaẓir syuwayyah! Tunggu sebentar! (Wibowo, 2007:35) Kata syuwayyah pada contoh di atas, merupakan kode berbentuk kata dari bahasa Arab Āmiyyah yang menyisip ke dalam kode berbentuk klausa berbahasa Arab Fuṣḥā sebagai kode dasar sehingga ia dikategorikan sebagai campur kode, karena keberadaaan kata syuwayyah pada klausa tersebut menyebabkan tercampurnya bahasa lain yang bukan berasal dari bahasa yang sedang digunakan, ke dalam bahasa yang sedang digunakan. Kata syuwayyah memiliki padanan dalam bahasa Arab Fuṣḥā yaitu qalīl sedikit atau laḥẓatan sebentar (Atho illah, 2004:97). Dilihat dari konteks tuturan di atas, maksud dari siswa mengucapkan tuturan tersebut adalah menghendaki makna sebentar. Adapun campur kode berbentuk frase adalah seperti pada contoh (2) berikut. (2) A : Kaifa? B : an-namrah tidak terdaftar (Hanifah, 2008:53) Pada contoh (2) ditemukan campur kode berbentuk frasa, yakni tidak terdaftar. Frasa ini menjadi kode berbahasa Indonesia berbentuk frasa yang menyisipi kode berbahasa Arab yang merupakan kode dasar. Tuturan yang dikatakan oleh siswi yang seharusnya wajib menggunakan bahasa Arab, tercampur dengan frasa yang
11 terambil dari bahasa Indonesia sehingga terjadilah proses campur kode. Frasa (2) bisa digantikan dengan kata berbahasa Arab yang memiliki padanan yang sama, yakni kata gairu dan musajjalatun sehingga kita bisa membacanya dengan an-namrah gairu musajjalatun. 1.5.3.2 Alih kode Menurut Suwito (1983) alih kode merupakan peristiwa peralihan kode dari yang satu kode ke kode yang lain. Seperti jika seorang penutur mula-mula menggunakan kode A kemudian beralih ke kode B. Lebih lanjut Suwito mengatakan bahwa karena dalam suatu kode terdapat banyak varian, seperti varian regional, varian kelas sosial, ragam, gaya, register, maka alih kode dapat pula berwujud peralihan dari satu varian ke varian lainnya. Hymes (1974:62) mengatakan bahwa alih kode merupakan pergantian atau pengalihan dua bahasa atau lebih, beberapa variasi dari satu bahasa atau bahkan beberapa gaya dari suatu ragam bahasa. Disebabkan objek penelitian yang berbeda antara campur kode dan alih kode, maka para peneliti memberikan perbedaan antara keduanya. Berikut ini akan dijelaskan perbedaan dan kesamaan antara alih kode dan campur kode menurut mereka, No Nama Campur Kode Alih Kode 1. Thelander (1976:103) Kode yang digunakan dalam tuturan adalah klausa dan frasa Peralihan kode yang digunakan adalah dari satu klausa suatu
12 campuran. Dan masing-masing bahasa ke klausa bahasa lain. klausa atau frasa tidak mendukung fungsi sendiri. 2. Fasold (1984) Digunakannya satu kata atau frasa dari suatu bahasa lain dalam suatu tuturan Digunakannya satu klausa yang jelas memiliki struktur gramatika suatu bahasa dan klausa berikutnya disuun menurut struktur gramatika bahasa lain. Pembahasan campur kode dan alih kode, tidak bisa dilepaskan dari objek penelitiannya, yaitu kode. Kode adalah istilah netral yang dapat mengacu kepada bahasa, dialek, sosiolek atau ragam bahasa (Sumarsono dan Paina, 2004:201). Poedjosoedarmo (1978:30) mengatakan bahwa kode adalah suatu sistem tutur yang penerapan unsur bahasanya mempunyai ciri khas sesuai dengan latar belakang penutur, relasi penutur dengan lawan bicara dan situasi tutur yang ada. Kode biasanya berbentuk varian bahasa yang secara nyata dipakai berkomunikasi anggota suatu masyarakat bahasa. (Suwito 1983:67) juga mengemukakan bahwa kode adalah salah satu varian di dalam hirarki kebahasan yang dipakai dalam komunikasi. Dengan demikian dalam sebuah bahasa dapat terkandung beberapa buah kode yang merupakan varian dari bahasa itu. Wardhaugh (1986:86) mengatakan bahwa kode itu memiliki sifat netral. Dikatakan netral karena kode itu tidak memiliki kecenderungan
13 intrepretasi yang menimbulkan emosi. Lebih lanjut ia juga mengatakan bahwa kode adalah semacam sistem yang dipakai oleh dua orang atau lebih untuk berkomunikasi. 1.6. Metode Penelitian Ada beberapa tahap yang akan ditempuh dalam penelitian ini, yaitu tahap penyediaan data, tahap analisis data yang telah tersedia, dan tahap penyajian hasil analisis data (Sudaryanto, 1993:5) Pada tahap penyediaan data, digunakan metode simak. Disebut simak atau penyimakan karena memang penelitian ini dilakukan dengan cara menyimak penggunaan bahasa yang akan diteliti (Sudaryanto, 1009:133). Data yang akan diteliti berupa serpihan-serpihan kata, frase, dan klausa di dalam 7 cerpen dalam antologi cerpen Ulbah min aṣ-ṣafīh. Teknik dasar yang digunakan adalah teknik sadap dengan teknik lanjutan menggunakan teknik catat. Teknik sadap adalah teknik yang menyadap segala penggunaan bahasa seseorang bukan tuturan verbal namun tulisan. Peneliti menyadap bentuk-bentuk campur kode dan alih kode yang terdapat dalam antologi cerpen Ulbah min aṣ-ṣafīh. Kartu data berupa kertas digunakan untuk mencatat data-data yang ditemukan. Stabilo atau spidol berwarna digunakan sebagai alat penanda. Data penelitian yang dikumpulkan adalah kata, frase, dan klausa yang terdapat campur kode dan alih kode di dalam 7 cerpen dalam antologi cerpen Ulbah min aṣ-ṣafīh. Data yang telah ditemukan kemudian akan dicatat dalam kartu data yang selanjutnya akan dikelompokkan sesuai dengan kategori masing-masing.
14 Pada tahap kedua adalah tahap analisis data. Pada tahap ini peneliti akan menggunakan metode kontekstual. Rahardi (2000:14) mengatakan bahwa metode kontekstual adalah cara analisis yang diterapkan pada data dengan mendasar, mempertimbangkan, dan mengkaitkan konteks. Konteks yang diperhitungkan dalam analisis data ini adalah komponen tutur, sepeti: penutur, mitra tutur, dan situasi tutur. Sehubungan dengan konteks, tidak akan lepas dari konsep yang dikemukakan oleh Hymes (1974:62) mengenai delapan faktor yang dapat memengaruhi peristiwa tutur. Delapan faktor tersebut dikenal dengan SPEAKING (Hymes 1974:62). Berikut ini kedelapan faktor tersebut: pertama, S (setting and scene) setting berkenaan dengan waktu dan tempat proses tuturan itu berlangsung, sedangkan scene berkenaan dengan situasi tempat dan waktu, atau situasi psikologis pembicaraan. Kedua, P (participants) ialah pihak-pihak yang terlibat dalam proses tuturan, bisa pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dan penerima (pesan). Ketiga, E (ends: purpose and goal) merujuk pada maksud dan tujuan pembicaraan. Keempat, A (act sequences) mengacu pada bentuk dan isi ujaran. Bentuk ujaran ini berkenaan dengan kata-kata yang digunakan, bagaimana penggunaannya, dan hubungan antara apa yang dikatakan dengan topik pembicaraan. Kelima, K (key: tone or spirit of act) mengacu pada nada, cara, dan semangat di mana suatu pesan disampaikan. Keenam, I (instrumentalities) mengacu pada jalur bahasa dan kode ujaran yang digunakan, seperti jalur lisan, tertulis, melalui telegram atau telepon. Ketujuh, N (norm of interaction and interpretation) mengacu pada norma atau aturan dalam berinteraksi.
15 Kedelapan, G (genres) mengacu pada jenis bentuk penyampaian tuturan, seperti narasi, puisi, pepatah, dan do a. Tahap akhir adalah tahap penyajian hasil analisis data. Hasil analisis data tersebut akan dipaparkan dengan menggunakan metode penyajian informal, yaitu metode penyajian hasil analisis data yang berwujud perumusan dengan kata-kata biasa. Dalam penyajian ini, rumus-rumus atau kaidah-kaidah disampaikan dengan menggunakan kata-kata biasa. Kata-kata yang apabila dibaca dengan serta merta dapat secara langsung dipahami (Kesuma, 2007:11) 1.7 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan penelitian ini terdiri dari tiga bab. Bab I pendahuluan terdiri dari latar belakang masalah, permasalahan, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, sistematika penulisan, dan pedoman transliterasi. Bab II berisi analisis bentuk campur kode dan alih kode yang terdapat di dalam 7 cerpen dalam antologi cerpen Ulbah min aṣ-ṣafīh karya Iḥsān Abdul Quddūs. Bab III berisi kesimpulan. 1.8 Pedoman Transliterasi Pedoman transliterasi Arab ke Indonesia dalam penelitian ini berdasarkan pada SKB Menteri Agama RI dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI no. 158 tahun 1987 dan no. 0543 b/u/1987.
16 1.8.1 Konsonan Konsonan bahasa Arab dilambangkan dengan ḥarf hijā`iyyah atau disebut huruf Arab. Fonem konsonan bahasa Arab yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf, dalam transliterasi ini sebagian dilambangkan dengan tanda, dan sebagian yang lain dengan huruf dan tanda sekaligus. Berikut huruf konsonan bahasa Arab pada tabel. No Huruf Arab Nama Huruf Latin Keterangan 1 ا alif tidak dilambangkan Tidak dilambangkan 2 ب ba b be 3 ت ta t te 4 ث ṡa ṡ es dengan titik di atasnya 5 ج jim j je 6 ح ḥa ḥ ha dengan titik di bawahnya 7 خ kha kh huruf ka dan ha 8 د dal d de 9 ذ żal ż zet dengan titik di atasnya 10 ر ra r er 11 ز za z zet 12 س sin s es 13 ش syin sy es dan ye 14 ص ṣad ṣ es dengan titik di bawahnya 15 ض ḍad ḍ de dengan titik di bawahnya 16 ط ṭa ṭ te dengan titik di bawahnya
17 17 ظ ẓa ẓ zet dengan titik di bawahnya 18 ع ain atas) koma terbalik (di 19 غ gain g ge 20 ف fa f ef 21 ق qaf q qi 22 ك kaf k ka 23 ل lam l el 24 م mim m em 25 ن nun n en 26 و wawu w we 27 ه ha h ha 28 ء hamzah ` apostrof condong ke kiri 29 ي ya y ye 1.8.2 Vokal Vokal bahasa Arab, terdiri atas vokal tunggal atau monoftong, vokal rangkap atau diftong, dan vokal panjang atau maddah. 1.8.2.1 Vokal Tunggal Vokal tunggal bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau ḥarakat, transliterasinya sebagai berikut. Huruf Vokal Nama Huruf Latin Nama Fatḥah a a
18 Kasrah i i I Ḍammah u u contoh: /Kataba/ كتب /Żukira/ ذكر 1.8.2.2 Vokal Rangkap Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan antara ḥarakat dan ḥarf, transliterasinya berupa gabungan huruf, yaitu: Tanda Nama Huruf Latin Nama contoh: اي Fatḥah dan ya ai a-i او Fatḥah dan wau au a-u /Kaifa/ كيف /ḥaula/ حول 1.8.3 Vokal Panjang (maddah) Vokal panjang yang lambangnya berupa ḥarakat dan ḥarf, transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu: Tanda Nama Huruf Latin Nama ا Fatḥah dan alif ā a dengan garis di atas ى Fatḥah dan ya ā a dengan garis di atas
19 contoh: ي Kasrah dan ya ī i dengan garis di atas و Ḍammah dan wau ū u dengan garis di atas قال قيل /Qāla/ /Qīla/ /Yaqūlu/ يقول 1.8.4 Tā Marbūṭah Ada dua macam transliterasi tā marbūṭah, yakni tā marbūṭah hidup dan tā marbūṭah mati. Tā Marbūṭah hidup atau mendapat ḥarakat fatḥah, kasrah, atau ḍammah transliterasinya adalah /t/. Tā Marbūṭah mati atau mendapat sukūn, transliterasinya adalah /h/. Kalau pada kata yang terakhir dengan tā Marbūṭah diikuti oleh kata yang menggunakan kata sandang al serta kedua kata itu terpisah, maka tā Marbūṭah itu ditransliterasikan dengan /h/.contoh: املدينة املنو رة /al-madīnah al-munawwarah/ atau /al-madīnatul Munawwarah/.
20 1.8.5 Syaddah (Tasydīd) Tanda Syaddah dilambangkan dengan huruf yang sama, baik ketika berada di awal atau di akhir kata. Contoh : /Nazzala/ نز ل /al-birru/ الب ر ال 1.8.6 Huruf Sandang Kata sandang ال ditransliterasikan dengan al diikuti dengan tanda penghubung -, ketika bertemu huruf syamsiyyah dan qamariyyah. Contoh : /asy-syamsu/ الش مس /al-qamar/ القمر 1.8.7 Hamzah Hamzah ditransliterasikan dengan apostrof jika terletak ditengah dan akhir kata. Bila terletak di awal kata, ia tidak dilambangkan karena dalam tulisan Arab berupa alif. Contoh : /ya`khużu/ أيخذ /qara`a/ قرأ
21 1.8.8 Penulisan Kata Pada dasarnya setiap kata ditulis terpisah, tetapi untuk kata-kata tertentu yang penulisannya dalam huruf Arab sudah lazim dirangkaikan dengan kata lain karena ada huruf atau ḥarakat yang dihilangkan, maka transliterasinya dirangkaikan dengan kata lain yang mengikutinya. Contoh : وإن هللا هلو خري الر ازقني /Wa innallāha lahuwa khair ar-rāziqīn/ atau /wa innallāha lahuwa khairur-rāziqīn/ 1.8.9 Huruf Kapital Meskipun dalam sistem tulisan Arab tidak dikenal huruf kapital, tetapi dalam transliterasinya huruf kapital digunakan dengan ketentuan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Contoh: حممد رسول هللا /Muḥammadun rasūlullāhi/