POTENSI DAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN NILAM DI PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Nilam (Pogostemon cablin Benth) yang termasuk dalam keluarga Labiatea

BAB I PENDAHULUAN. penghasil minyak atsiri yang cukup penting, dikenal dengan nama Patchauly Oil,

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 3 KONDISI TANAMAN NILAM

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Nilai Ekspor Sepuluh Komoditas Rempah Unggulan Indonesia

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan mempunyai

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

V. GAMBARAN UMUM. 5.1 Luas Areal Perkebunan Kopi Robusta Indonesia. hektar dengan luas lahan tanaman menghasilkan (TM) seluas 878.

VI. ANALISIS KELAYAKAN ASPEK NON FINANSIAL

I. PENDAHULUAN. Perekonomian merupakan salah satu indikator kestabilan suatu negara. Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Subsektor perkebunan merupakan salah satu sektor pertanian yang

I. PENDAHULUAN. menjadi pemasok hasil pertanian yang beranekaragam yaitu rempah-rempah

I. PENDAHULUAN. Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki areal perkebunan yang luas.

BAB I PENDAHULUAN. dan di mata dunia internasional memiliki prospek bisnis hortikultura yang sangat

VI. MODEL PENENTUAN PRODUK PROSPEKTIF DAN PASAR POTENSIAL

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Untuk tingkat produktivitas rata-rata kopi Indonesia saat ini sebesar 792 kg/ha

BAB I PENDAHULUAN. dalam menunjang peningkatan ekspor nonmigas di Indonesia. Indonesia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. komparatif karena tersedia dalam jumlah yang besar dan beraneka ragam serta dapat

I. PENDAHULUAN. usaha perkebunan mendukung kelestarian sumber daya alam dan lingkungan

PENDAHULUAN. daratan menjadi objek dan terbukti penyerapan tenaga kerja yang sangat besar.

No Komoditi Luas Areal (ha) Produksi (ton) 1 Sawit Perkebunan Rakyat Barsela Menuju Sentral Perkebunan Aceh

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian memegang peran strategis dalam pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan

I. PENDAHULUAN. kualitas produk melalui usaha diversifikasi, intensifikasi, ekstensifikasi dan

STRATEGI PENGEMBANGAN KOMODITAS NILAM DI KABUPATEN PAKPAK BHARAT

BAB I PENDAHULUAN. maupun luar negeri. Sebagian besar produksi kopi di Indonesia merupakan

IV. GAMBARAN UMUM 4.1 Perkebunan Dunia

I. PENDAHULUAN. maupun sebagai sumber mata pencaharian sementara penduduk Indonesia.

I PENDAHULUAN. tersebut antara lain menyediakan pangan bagi seluruh penduduk, menyumbang

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya.

Krisis ekonomi yang melanda lndonesia sejak pertengahan bulan. Sektor pertanian di lndonesia dalam masa krisis ekonomi tumbuh positif,

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

PENDAHULUAN. Peranan studi kelayakan dan analisis proyek dalam kegiatan pembangunan. keterbatasan sumberdaya dalam melihat prospek usaha/proyek yang

Pi sang termasuk komoditas hortikultura yang penting dan sudah sejak. lama menjadi mata dagangan yang memliki reputasi internasional.

BAB I PENDAHULUAN. Sektor perkebunan merupakan sektor yang berperan sebagai penghasil devisa

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN RAMI DAN DUKUNGAN PADA PILOT PROJECT PENGEMBANGAN RAMI DI KABUPATEN GARUT

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian khususnya subsektor perkebunan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. sawit, serta banyak digunakan untuk konsumsi makanan maupun non-makanan.

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PERBANYAKAN BENIH SUMBER PADI DAN KEDELAI DI SUMATERA UTARA MELALUI UPBS

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian dan perkebunan memegang peranan penting dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Analisis Situasi

BAB I PENDAHULUAN. diperbaharui, dalam kata lain cadangan migas Indonesia akan semakin menipis.

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. pertanian. Indonesia memiliki beragam jenis tanah yang mampu. menyuburkan tanaman, sinar matahari yang konsisten sepanjang tahun,

IV. GAMBARAN UMUM Letak Wilayah, Iklim dan Penggunaan Lahan Provinsi Sumatera Barat

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia masih merupakan negara pertanian, artinya pertanian memegang peranan

UPAYA PENINGKATAN KUALITAS DAN KUANTITAS KOMODITI KOPI JAWA TIMUR GUNA MENUNJANG PASAR NASIONAL DAN INTERNASIONAL

ANALISIS PERKEMBANGAN KAKAO RAKYAT PADA TIGA KABUPATEN SENTRA PRODUKSI DI PROVINSI SUMATERA UTARA

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan pembangunan pertanian periode dilaksanakan melalui tiga

1. PENDAHULUAN. perekonomian Indonesia. Hal ini terlihat dari beberapa peranan sektor pertanian

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

1.5. Hipotesis 3. Pemberian pupuk hayati berperan terhadap peningkatan pertumbuhan tanaman nilam. 4. Pemberian zeolit dengan dosis tertentu dapat

BAB I PENDAHULUAN. Agribisnis merupakan serangkaian kegiatan yang terkait dengan upaya

V. EKONOMI GULA. dikonsumsi oleh masyarakat. Bahan pangan pokok yang dimaksud yaitu gula.

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya manusia tidak dapat hidup sendiri, demikian halnya dengan

C. Program. Berdasarkan klaim khasiat, jumlah serapan oleh industri obat tradisional, jumlah petani dan tenaga

BAB I PENDAHULUAN. Kopi Indonesia merupakan salah satu komoditas perkebunan yang telah di ekspor

memberikan multiple effect terhadap usaha agribisnis lainnya terutama peternakan. Kenaikan harga pakan ternak akibat bahan baku jagung yang harus

BAB I PENDAHULUAN. yang putih dan terasa manis. Dalam bahasa Inggris, tebu disebut sugar cane. Tebu

BAB I PENDAHULUAN. Bagi Indonesia, jagung merupakan tanaman pangan kedua setelah padi. Bahkan di

DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. melimpah. Memasuki era perdagangan bebas, Indonesia harus membuat strategi yang

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

ANALISIS TEKNIS DAN BIAYA OPERASIONAL ALAT PENYULING NILAM DENGAN SUMBER BAHAN BAKAR KAYU DI ACEH BARAT DAYA

I. PENDAHULUAN. zaman penjajahan) yang sebenarnya merupakan sistem perkebunan Eropa.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Sebaran Struktur PDB Indonesia Menurut Lapangan Usahanya Tahun

Pengembangan Jagung Nasional Mengantisipasi Krisis Pangan, Pakan dan Energi Dunia: Prospek dan Tantangan

PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Kopi merupakan minuman internasional dan digemari oleh bangsa-bangsa di

PENDAHULUAN. yang penting di Indonesia dan memiliki prospek pengembangan yang cukup

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris, dan pertanian memegang peranan penting

A. Dinamika Lingkungan Strategis, Permasalahan dan Peluang Pembangunan Perkebunan

Pembangunan Bambu di Kabupaten Bangli

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

PEMODELAN SISTEM. Pendekatan Sistem. Analisis Sistem

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

DUKUNGAN SUB SEKTOR PERKEBUNAN TERHADAP PELAKSANAAN KEBIJAKAN

agribisnis untuk mencapai kesejahteraan wilayah pedesaan (prospherity oriented) (Bappeda Kabupaten Lampung Barat, 2002). Lebih lanjut Bappeda

PROSPEK PENGEMBANGAN UBIKAYU DALAM KAITANNYA DENGAN USAHA PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI TRANSMIGRASI DI DAERAH JAMBI

BAB I PENDAHULUAN. Isu strategis yang kini sedang dihadapi dunia adalah perubahan iklim

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting bagi

BAB I PENDAHULUAN. Kopi merupakan salah satu komoditas perkebunan yang mempunyai peranan

BAB I PENDAHULUAN. lagi sayuran dan buah buahan, karena kedua jenis bahan makanan ini banyak

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat secara ekonomi dengan ditunjang oleh faktor-faktor non ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. atsiri yang dikenal dengan nama Patchouli oil. Minyak ini banyak dimanfaatkan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

POTENSI DAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN NILAM DI PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Abdullah Puteh Gubernur Provinsi Nangroe Aceh Darussalam ABSTRAK Tanaman pernah mengalami kejayaan di Provinsi NAD sejak tahun 1921. Nilam Aceh (Pogostemon cablin) terkenal diseluruh dunia karena mutunya diakui di tingkat Internasional. Minyak adalah komoditi ekspor non migas yang potensial bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, karena 75 persen dari ekspor Indonesia berasal dari Aceh. Ini menunjukkan bahwa agribisnis, tidak saja memberi kontribusi terhadap devisa, tetapi lebih jauh memberi kontribusi besar bagi terbukanya lapangan kerja yang luas di perdesaan. Luas areal saat ini mencapai 2.941 ha, dengan produksi minyak 283 ton per tahun. Sampai saat ini Aceh merupakan pensuplai minyak terbesar di Indonesia untuk memenuhi kebutuhan dunia. Kabupaten Aceh Barat, Aceh Selatan, Aceh Barat Daya, dan Aceh Singkil merupakan sentra produksi karena daerah tersebut memiliki potensi lahan dan agroklimat yang sesuai untuk pengembangan. Mengingat pentingnya kontribusi bagi daerah maka Pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam mengambil beberapa langkah dan kebijakan untuk pengembangan agribisnis antara lain menetapkan kawasan pengembangan agribisnis, penyediaan bibit berkualitas dan bebas penyakit, memantapkan kelembagaan petani dan membantu permodalan, memfasilitasi pembangunan sistem usaha pengolahan hasil bersama investor dalam rangka menumbuhkembangkan agroindustri (off farm) serta menjajaki peluang pasar bekerjasama dengan asosiasi pengekpor minyak atsiri Indonesia. PENDAHULUAN Umum Tanaman (Pogostemon cablin) merupakan salah satu tanaman penghasil minyak atsiri yang terpenting di Indonesia. Dalam dunia perdagangan minyak dikenal dengan nama Patchouly Oil, yang banyak digunakan sebagai bahan baku, bahan pencampur dan fiksatif (pengikat wangi-wangian) dalam industri parfum, farmasi, dan kosmetika, dan industri makanan dan minuman. Perdagangan minyak wangi telah sejak lama berlangsung dinegara-negara timur serta Yunani dan Roma kuno. Sejarah minyak atsiri yang diproses dengan cara penyulingan yang dilakukan pertama kalinya terutama dinegara Mesir, Persia dan India (Guenther E, 1987). Di Indonesia terdapat tiga jenis yang dibudidayakan masyarakat yaitu Pogostemon heyneanus ( Jawa), Pogostemon hortensis ( sabun), dan Pogostemon cablin ( Aceh) (Anonimous, 1994). Dari ketiga jenis tersebut yang paling banyak dibudidayakan adalah varietas Pogostemon cablin, karena varietas inilah yang terbaik ditinjau dari segi mutu dan kadar minyaknya, sehingga minyak dari varietas inilah yang lebih diminati di pasar dunia atau dalam 1

dunia perdagangan atsiri (Anonimous, 1994). Oleh sebab itu, sejak dari zaman penjajahan Pemerintahan Hindia Belanda, Aceh terkenal sebagai penghasil terbesar di Indonesia. Perbanyakan tanaman di Aceh dilakukan melalui setek batang. Peluang perbanyakan melalui kultur jaringan dimungkinkan, namun cara ini belum dijajaki oleh kalangan pebisnis. Tanaman dapat berproduksi setelah enam sampai delapan bulan masa tanam, dan panen berikutnya dilakukan tiga sampai lima bulan sekali. Panen yang baik dapat menghasilkan sampai 20 ton daun basah per hektar per tahun, dengan kadar minyak 2,5-4%. Akan tetapi sampai saat ini kadar minyak yang diperoleh dari pengolahan yang dilakukan masyarakat dari jenis Aceh baru mencapai 2 3% (Anonimous, 1991). Pada mulanya yaitu sekitar tahun 1921, tanaman banyak dibudidayakan di Kabupaten Aceh Barat dan Aceh Selatan sampai ke Aceh Singkil. Wilayah tersebut termasuk dalam type iklim A menurut Schmidt dan Ferguson, dimana curah hujan merata sepanjang tahun sehingga sangat cocok untuk pertumbuhan. Petani disepanjang pantai barat selatan pada umumnya adalah petani kecil, dengan luas areal pertanaman berkisar 0,5 1 ha. Pertanaman di wilayah tersebut pada umumnya diusahakan secara tradisional, terutama di daerah bukaan hutan sekunder yang berbukit dan bergunung atau pada lereng barat dari pergunungan bukit barisan, dengan kemiringan lebih dari 30%. Lahan yang baru dibuka langsung ditanam tanpa usaha pembuatan teras untuk pengawetan tanah. Setelah dilakukan pemanenan maksimal sebanyak tiga kali, pertanaman tersebut ditinggalkan oleh petani, dan kemudian pindah ketempat bukaan baru lagi. Sistem budidaya tradisional ini sangat tidak menguntungkan bagi upaya pelestarian alam (Anonimous, 1979). Sentra produksi Di Nanggroe Aceh Darussalam terdapat beberapa Kabupaten yang merupakan sentra produksi karena daerah tersebut memiliki potensi lahan dan agroklimat yang sesuai untuk pengembangan, antara lain Kabupaten Aceh Barat, Aceh Selatan, Aceh Barat Daya, dan Aceh Singkil (Anonimous, 1970). Sentra produksi di Kabupaten Aceh Barat antara lain Kecamatan Woyla, Teunom, Kaway XVI, dan Kuala Tripa sedangkan di Kabupaten Aceh Selatan antara lain Kecamatan Kuala Batee, Klut Utara, Klut Selatan, Bakongan, Trumon, Kabupaten Aceh Singkil, Rundeng dan sebahagian terdapat di Kabupaten Aceh Barat Daya. Saat ini budidaya sudah berkembang luas di Kabupaten lainnya seperti Kabupaten Aceh Timur, Aceh Utara, Aceh Tengah, Gayo Luwes, Aceh Tenggara, dan sebahagian Kabupaten Aceh Besar. Sedangkan sentra produksi di Provinsi Sumatera Utara antara lain 2

Kabupaten Dairi, Tapanuli Tengah, Langkat dan Deli Serdang. Potensi dan perkembangan minyak atsiri di Provinsi NAD Luas areal dan produksi Nilam diusahakan oleh petani sebagai pekerjaan sampingan, oleh karena itu perkembangan luas areal penanaman bervariasi dari tahun ke tahun, dan sangat dipengaruhi oleh perkembangan harga minyak dipasaran. Pada tahun 1998/1999 harga minyak naik drastis mencapai Rp. 1.000.000,- per kg. Pada saat harga membaik, banyak petani bahkan masyarakat non petani berbondongbondong menanam, sehingga ketersediaan bibit menipis yang pada akhirnya memicu kenaikan harga bibit. Perkembangan areal dan produksi tanaman selama 12 tahun terakhir berfluktuasi. Pada tahun 1990 harga cukup baik dipasaran, dengan demikian banyak petani yang mengusahakan. Luas penanaman saat itu mencapai 5.073,50 ha, namun sejak tahun 1993-1996 disebabkan harga dipasaran dunia melemah, sehingga petani tidak bergairah menanam. Akibatnya pada tahun 1993 terjadi penurunan luas areal penanaman sebesar 59,28% dan penurunan produksi sebesar 63,52%. Sejak terjadinya krisis ekonomi di belahan dunia, terutama di Asia termasuk di Indonesia, maka harga sedikit demi sedikit membaik. Antara tahun 1997 dan 1998 terjadi kenaikan luas areal penanaman sebesar 130% dan 118%, akibat kenaikan harga di pasaran dunia, sampai pada puncaknya pada tahun 1998/1999 harga naik meroket hingga Rp. 1 juta per kg, sehingga banyak petani yang bergairah menanam. Menurunnya luas areal dan produksi bisa akibat melemahnya harga komoditi itu sendiri dipasaran dunia. Namun selain faktor harga, menurunnya luas areal dan produksi boleh dipicu oleh dampak naiknya harga komoditi lainnya yang diusahakan petani, seperti komoditi kopi dan kakao. Bencana banjir yang melanda sebahagian besar Provinsi NAD pada tahun 1986 dan tahun 1995 telah memusnahkan sebahagian besar sentra produksi Aceh. Eksport dan nilai ekspor Jumlah ekpor minyak secara nasional cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Dibandingkan tahun 1990 volume ekpor pada tahun 1999 meningkat lebih dari 200%. Ekspor minyak tertinggi mencapai puncaknya pada tahun 1998 dan 1999 dimana ekpor masing-masing mencapai 1.355.948 kg, dan 1.592.434 kg, dengan nilai US$ 53.177.052, dan US$ 62.869.081. Ini menunjukkan bahwa agribisnis, tidak saja memberi kontribusi terhadap devisa negara, tetapi lebih jauh efek sampingan dari agribisnis dan ikutannya akan memberi kontribusi besar bagi terbukanya lapangan kerja yang luas mulai dari budidaya, pasca panen, transportasi, pengolahan, dan kegiatan pemasaran dan ekpor. Negara 3

tujuan ekpor minyak selama sepuluh tahun terakhir adalah USA, Perancis, Jerman, Inggris, Belgia, Singapura, Switzerland, dan India (Ditjen Bina Produksi Perkebunan, 2002). Pospek aribisnis Minyak atsiri merupakan salah satu komoditi ekspor Indonesia yang bahan bakunya berasal dari berbagai jenis tanaman perkebunan. Minyak atsiri dari kelompok tanaman tahunan perkebunan antara lain berasal dari cengkeh, pala, lada, kayu manis, sementara yang berasal dari kelompok tanaman semusim perkebunan berasal dari tanaman, sereh wangi, akar wangi dan jahe. Hingga kini minyak atsiri yang berasal dari tanaman memiliki pangsa pasar ekspor paling besar andilnya dalam perdagangan negara Indonesia yaitu mencapai 60%. Minyak merupakan produk yang terbesar untuk minyak atsiri Indonesia dan pemakaiannya di dunia menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat. Dapat dikatakan bahwa hingga saat ini belum ada produk apapun baik alami maupun sintetis yang dapat menggantikan minyak dalam posisinya sebagai fixative. Data ekspor BPS menunjukkan bahwa kontribusi minyak (Patchouli oil) terhadap pendapatan ekspor minyak atsiri sekitar 60%, minyak akar wangi (vetiner oil) sekitar 12,47%, minyak serai wangi (Citronella oil) sekitar 6,89%, dan minyak jahe (Ginger oil) sekitar 2,74%. Rata-rata nilai devisa negara yang diperoleh dari ekspor minyak atsiri selama sepuluh tahun terakhir cenderung meningkat dari US$ 10 juta pada tahun 1991 menjadi sekitar US$ 50-70 dalam tahun 2001, 2002 dan 2003, dengan nilai rata-rata/kg sebesar US$ 13,13. Walaupun secara makro nilai ekspor ini kelihatannya kecil namun secara mikro mampu meningkatkan kesejahteraan petani di perdesaan yang pada gilirannya diharapkan dapat mengurangi gejolak sosial. Kendala dan permasalahan pengembangan Dalam menekuni agribisnis banyak kendala dan masalah yang dihadapi, baik kendala administratif, teknis operasional, maupun kendala pemasaran. Diakui bahwa selama terjadinya konflik di Aceh terjadi penurunan luas penanaman yang sangat signifikan di Provinsi NAD. Permasalahan dan akar permasalahan yang dihadapi dalam agribisnis dapat dilihat pada Tabel 1. Beberapa permasalahan yang dianggap penting dalam agribisnis antara lain : Kawasan pengembangan Sampai saat ini Pemerintah Daerah belum mempunyai kebijakan tentang kawasan agribisnis. Suatu kawasan yang sesuai dengan agroklimat dan animo masyarakat setempat yang memiliki naluri dalam budidaya akan penting artinya bagi keberlanjutan usaha agribisnis. Adanya suatu kawasan yang jelas, memudahkan bagi instansi teknis dalam hal ini Dinas Perkebunan untuk 4

membina para kelompok tani. Lebih jauh lagi penanganan permasalahan teknis yang ada sejak dari pemilihan bibit/setek, cara pemupukan, perawatan dan pengendalian hama dan penyakit serta perlakuan pasca panen akan lebih mudah diatasi. Selanjutnya jika pada kawasan pengembangan tersebut dinilai sudah layak untuk dibangun industri pengolahan maka Pemerintah Daerah akan lebih mudah menilai kelayakan pembangunan industri pengolahan beserta pemasarannya. Ketersediaan bibit Perbanyakan tanaman di Aceh dilakukan melalui setek batang. Biasanya setek tersebut ditanam langsung kelapangan sebanyak 2-3 batang setek/lubang. Namun tingkat keberhasilannya dilapangan relatif kecil, dibandingkan dengan setek yang terlebih dahulu di semai. Perbanyakan bibit yang dilakukan petani melalui setek tidak menjamin kualitas dan kesehatan bibit. Oleh sebab itu tidak heran bila yang ditanam oleh petani dilapangan sering terserang oleh penyakit budok akibat penggunaan bibit yang tidak sehat. Sampai saat ini belum tersedia BBI dan penangkar bibit di Nanggroe Aceh Darussalam, sehingga menjadi kendala apabila dilaksanakan pengembangan yang membutuhkan bibit dalam skala besar. Kontinuitas produksi Selama ini produksi rakyat sangat tergantung pada harga minyak dipasaran dunia. Biasanya pada saat harga minyak rendah, produksi menurun sebaliknya jika harga minyak membaik maka produksi cenderung meningkat. Terjadinya korelasi antara produksi dan harga minyak memang kelihatannya wajar terjadi, artinya petani tidak ingin memilih resiko rugi dalam usaha taninya. Oleh sebab itu, ketika harga minyak rendah di pasaran dunia, maka petani beralih mengusahakan tanaman semusim lainnya yang harganya lebih menjanjikan dan menguntungkan, dari pada mengusahakan. Sebaliknya ketika harga meningkat di pasaran dunia maka bukan saja petani, bahkan pengusaha dan pegawai negeri berbondong-bondong menanam. Fenomena ini sebenarnya dapat diatasi, melalui kebijakan pengendalian harga minyak lokal sampai pada batas wajar dan menguntungkan petani. Apabila kebijakan ini dapat diambil Pemerintah, maka kuntinuitas produksi akan dapat dipertahankan. Kelembagaan dan permodalan Kelembagaan petani yang ada saat ini adalah kelompok tani yang beranggotakan sekitar 20-30 orang petani per kelompok. Dari beberapa kelompok tani tersebut dibentuk wilayah kerjasama untuk membangun kebersamaan yang disebut dengan kelompok usaha bersama (KUB) yang merupakan cikal bakal lahirnya koperasi berbadan hukum. Jumlah Kelembagaan petani saat ini 13 kelompok tani dengan jumlah anggota 671 orang. Namun demikian kinerja 5

kelompok tani dan kelompok usaha bersama ini belum menggembirakan. Untuk pengembangan agribisnis membutuhkan modal yang relatif besar, sedangkan kemampuan petani untuk mengembangkan skala 1 hektar sangat terbatas. Sebaliknya permodalan yang dikucurkan oleh pemerintah melalui Bank harus memenuhi persyaratan yang hampir tidak mungkin dipenuhi oleh petani kecil. Selain itu, selama ini modal yang dikucurkan pemerintah terbatas hanya pada sub-sektor tanaman pangan, perkebunan besar (sawit) dan industri serta jasa. Sedangkan untuk agribisnis belum pernah dinikmati oleh petani. Lemahnya sistem pemasaran Perdagangan bebas produkproduk perkebunan dapat menjadi ancaman, apabila Daerah tidak siap menghadapi persaingan bebas. Oleh karena itu, peningkatan daya saing merupakan kata kunci yang harus dipertimbangkan dan ditindaklanjuti dengan upaya nyata oleh seluruh stakeholder yang terlibat dalam agribisnis. Tuntutan pasar terhadap produk perkebunan yang mempunyai jaminan mutu semakin besar. Untuk menghasilkan produk yang dapat memenuhi permintaan pasar, pelaku agribisnis perlu menerapkan jaminan mutu seperti ISO 9000 sehingga produk yang dihasilkan sesuai dengan standar mutu yang dipersyaratkan. Sistem pemasaran minyak yang diterapkan di Provinsi NAD masih tradisional. Dari produsen dibeli oleh pedagang pengumpul Kecamatan atau Kabupaten kemudian dijual kepada produsen atau pengusaha pengolah dan kemudian dijual kepada eksportir dalam negeri dan akhirnya kepada importir luar negeri. Rantai pemasarannya terlalu panjang sehingga kurang menguntungkan petani produsen. Industri pengolahan Penyulingan tradisional terdapat hampir diseluruh sentra produksi di Provinsi NAD. Namun sistem penyulingan ini masih sangat sederhana, dan kualitas minyak yang dihasilkan bervariasi dari suatu tempat ke tempat lainnya, tergantung dari teknik penyulingan yang dipakai. Penyulingan minyak yang telah dilakukan oleh petani adalah penyulingan menggunakan air atau uap air, dengan menggunakan ketel sederhana, dan masih menggunakan energi pemanas yang berasal dari pembakaran kayu. Industri pengolahan skala menengah yang menghasilkan minyak bermutu atau menghasilkan bahan setengah jadi belum terdapat di Provinsi NAD. Untuk itu, Pemerintah Daerah harus mempertimbangkan keberadaan industri tersebut guna meningkatkan nilai tambah petani dan pemasukan devisa bagi daerah. 6

Tabel 1. Permasalahan dan akar permasalahan dalam agribisnis nlam No Permasalahan Akar permasalahan 1. Belum terbentuknya kawasan pengembangan 2. Tidak kontinyunya produksi 3. Lemahnya kelembagaan petani dan permodalan petani 4. Lemahnya kerjasama industri, eksportir dan petani produsen serta belum terbentuknya networking yang kuat 5. Mutu minyak belum merata Sentra belum terdatanya Petani sering berpindah lokasi Mata pencaharian petani selalu berubah-ubah tidak tergantung pada Animo petani menanam besar jika harga tinggi Harga minyak di tingkat petani rendah Tidak optimalnya fungsi kelembagaan petani Fungsi PPL di lapangan belum optimal Modal usaha petani sangat terbatas Belum terbentuknya pola pengembangan KIMBUN Lemahnya jaringan kerja petani produsen dengan para asosiasi eksportir atsiri Belum adanya industri skala menengah Serangan penyakit budok Pengolahan hasil masih sangat sederhana Pencampuran minyak dengan bahan asing Kebijakan yang diambil Pembangunan kawasan agribisnis Peningkatan produksi dan keberlanjutan Penguatan Pemberdayaan kelembagaan petani dan Alternatif pengembangan agribisnis Penguatan kerjasama working Pola Net - Pengembangan penelitian penyakit budok serta pengendalian - Pengaturan sistem monitoring dan pengawasan produk Usulan rencana program/kegiatan - Pemetaan kawasan pengembangan agri-bisnis - Penetapan luas penanaman - Pengaturan waktu dan pola tanam. - Pengaturan panen dan pasca panen. - Pemantapan kelembagaan tani dan koperasi - Meningkatkan sistem perencanaan - Training para PPL - Bantuan modal usahatani - Meningkatnya hubungan kerjasama (networking) yang saling menguntungkan antar subsistem agribisnis - Kajian vektor Penularan penyakit budok di lapangan - Perbanyakan bibit melalui kultur jaringan - Kajian Pengendalian penyakit budok - Sosialisasi standar mutu 7

Tabel 1. Lanjutan No Permasalahan Akar permasalahan 6. Lemahnya sistem pemasaran 7. Belum ada sentuhan teknologi dalam budidaya dan pengolahan 8. Kualitas SDM petani relatif masih rendah Belum adanya eksportir yang mempunyai jaringan pemasaran ke eropah, Jepang dan Amerika Belum digunakannya informasi pasar melalui jaringan internet Program intensifikasi dan ekstensifikasi belum terlaksana dalam budidaya Pengolahan masih memakai ketel sederhana Kurangnya pembinaan bagi petani. Terbatasnya kegiatan pelatihan bagi petani Terbatasnya kunjungan lapangan oleh PPL Kebijakan yang diambil Regularisasi peraturan tentang ekspor produk perkebunan dan ikutannya Pelaksanaan program intensifikasi dan ekstensifikasi agribisnis Peningkatan SDM petani dan petugas pembina Usulan rencana program/kegiatan - Kerjasama pemasaran antara produsen dan asosiasi pengekpor minyak atsiri - Penyediaan informasi pasar - Intensifikasi dan ekstensifikasi agribisnis - Pembangunan pabrik pengolahan modern - Training petugas PPL - Training kelompok tani peserta - Monitoring dan pengawasan Kebijakan pengembangan agribisnis Kebijakan yang diambil dalam pengembangan agribisnis adalah mencakup seluruh aspek yang berkenaan dengan budidaya sampai dengan proses pemasaran. Peran stakeholder dalam agribisnis sangat menentukan keberhasilan dari pengembangan agribisnis di Nanggroe Aceh Darussalam. Adapun kebijakan antara lain : A. Kebijakan umum 1. Penyediaan lapangan kerja dan pemberdayaan ekonomi rakyat yang bertujuan mempercepat penyelesaian konflik di Aceh. 2. Berupaya menarik investor untuk mau menanamkan investasinya pada bidang agribisnis. 3. Menetapkan kawasan pengembangan agribisnis di beberapa Kabupaten yang potensial dan sesuai agroklimatnya, seluas 1.000 ha. 8

4. Mengembangkan koperasi agribisnis dan memfasilitasi kerjasama dalam bentuk kemitraan dengan pihak investor. 5. Memfasilitasi pembangunan sistem usaha pengolahan hasil bersama investor dan stakeholder lainnya dalam rangka menumbuhkembangkan agroindustri (off farm). 6. Melakukan promosi terhadap program yang diluncurkan melalui workshop sehari dengan mengundang seluruh stakeholder, investor dan mitra kerja, seperti pengusaha pengekspor atau pengimpor minyak dalam dan luar negeri. 7. Meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait dalam pengembangan agribisnis, terutama Dinas Perkebunan, Industri dan Perdagangan, Koperasi, BKPMD, dan Bappeda. 8. Meningkatkan jaringan kerja antara petani produsen dengan para asosiasi eksportir minyak nasional dan menyediakan informasi pasar terhadap perkembangan harga minyak dunia. 9. Pembangunan sarana dan prasarana pendukung guna memperlancar akses transportasi dan pemasaran. B. Kebijakan khusus 1. Mengembalikan sejarah kejayaan di Aceh dengan menjadikan sebagai salah satu komoditas unggulan daerah. 2. Mempertahankan serta meningkatkan kualitas minyak Aceh melalui teknologi penyulingan minyak yang lebih modern yang lebih efisien, sehingga rendemen minyak dapat ditingkatkan. 3. Perbaikan pola pengembangan melalui intensifikasi dan ekstensifikasi, dengan memperhatikan kaidah-kaidah konservasi dan kelestarian lingkungan. 4. Mengadobsi teknologi yang mendukung budidaya seperti perbaikan kualitas bibit melalui perbanyakan secara kultur jaringan yang menjamin bebas penyakit budok bekerjasama dengan Perguruan Tinggi dan atau Lembaga Penelitian setempat. 5. Penguatan dan pemberdayaan kelembagaan petani serta peningkatan SDM melalui pelatihan dan magang. KESIMPULAN 1. Pengembangan agribisnis mempunyai peluang yang sangat besar dan sangat menguntungkan mengingat kebutuhan akan minyak di pasaran dunia meningkat. 2. Lahan pengembangan masih tersedia, baik di daerah pesisir barat selatan maupun pesisir utara timur serta bahagian tengah. 3. Untuk meningkatkan produksi dan kuntinuitas produksi maka sistem budidaya tradisional harus dirubah menjadi sistem budidaya intensif, sejak dari pemilihan bibit sampai ke penangan pasca panen, pengolahan hasil dan pemasaran hasil. 9

4. Untuk mencegah menurunnya kuantitas dan kualitas hasil akibat serangan penyakit budok maka upaya pengendalian hama dan penyakit secara terpadu, dengan tetap mempertimbangkan faktor kelestarian lingkungan. 5. Untuk memperkuat dan memantapkan eksistensi petani maka kelembagaan tani dan kelembagaan usaha bersama harus dibangun, sejalan dengan pembangunan hubungan kemitraan bersama pengusaha yang tergabung dalam asosiasi pengekpor minyak atsiri Indonesia. 6. Pembangunan sarana dan prasarana pada kawasan pengembangan mutlak diperlukan untuk memperlancar transportasi dan perekonomian wilayah pengembangan. DAFTAR PUSTAKA Anonimous, 1970. Survey Pengusahaan Nilam Rakyat di Daerah Aceh Bagian Barat Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Dinas Perkebunan Rakyat Bekerjasama Dengan Balai Penelitian Perkebunan Medan. Anonimous, 1979. Minyak Atsiri di Aceh, Fakta, Masalah, Prospek dan Langkah-Langkah Operasional Yang Diperlukan. Proyek Peningkatan dan Pengembangan Ekspor. Anonimous, 1991. Pemberdayaan Petani Nilam Melalui Institusi UPP. Dinas Perkebunan Provinsi NAD. Anonimous, 1994. Paket Teknologi Minyak Nilam. Penyunting Ambar Yoganingrum dan Amsanih. Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah LIPI. Ditjen Bina Produksi Perkebunan, 2002. Laporan Ekspor minyak atsiri. Jakarta Dinas Perkebunan Provinsi NAD, 2002. Laporan tahunan Dinas Perkebunan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Dinas Perkebunan Provinsi NAD, 2003. Laporan tahunan Dinas Perkebunan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Guenter E, 1967. Individual Essential Oil of Plant Families Rutaceae and Labiatae. Van Nostrand Company Inc. 10