BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini menjelaskan tentang pembahasan teori yang sudah disinggung pada bab sebelumnya. Teori yang digunakan antara lain, definisi pernikahan, penyesuaian pernikahan dengan menggunakan alat ukur atau instrumen Dyadic Adjustment Scale (DAS), usia dewasa muda dan perjodohan. Berikut ini penjelasan dan landasan teorinya. 2.1 Pernikahan Dalam perjodohan tidak terlepas dari hal pernikahan, pengertian pernikahan yang ideal adalah yang dianggap dapat memberikan intimacy (kedekatan), pertemanan, pemenuhan kebutuhan seksual, kebersamaan, dan perkembangan emosional (Papalia,Olds, & Feldman, 2005). Bagi kebanyakan orang dewasa yang telah menikah, pasangan diartikan sebagai suatu kepercayaan yang paling penting. Sementara kualitas pernikahan orang dewasa merupakan salah satu pengaruh terkuat dalam keseluruhan kepuasan dalam fase kehidupan (Fleeson, 2004 dalam Olson & DeFrain, 2010). Pernikahan juga didefinisikan sebagai emosional dan komitmen hukum dari dua orang untuk berbagi keintiman emosional dan fisik, berbagai tugas serta sumber daya ekonomi (Olson & DeFrain, 2010). Sebagai pasangan yang telah menikah atau suami-isteri didalam pernikahan terdapat peran faktor psikologis dan hal ini tidak dapat diabaikan. Wailerstein (1995 dalam Sadarjoen, 2012) dalam buku The Good Marriages : How And Why Love Last memberikan sembilan tugas psikologis yang harus dinegosiasikan dalam setiap perkawinan yang sukses: (1) Konsolidasi perpisahan psikologis dan membentuk hubungan baru dengan keluarga, dalam fase awal hubungan pernikahan pasangan suami-isteri berlanjut hingga
mempunyai anak. Tugas perkembangan awalnya dalam keluarga berfungsi sebagai cabang sistem keluarga atau meneruskan garis keluarga. Peran sebagai anak dari orang tua masing-masing pasangan menjadi nomor dua setelah menjadi suami-isteri. Seseorang harus menjadi dirinya sendiri atau individu yang personal dan terpisah dari keluarga sebelum terlibat dalam hubungan pernikahan. (2) Menciptakan kebersamaan sekaligus mempertahankan otonomi, pada hubungan pernikahan yang baru terjalin didasarkan rasa saling menghargai dan niat kedua pasangan untuk menjadi kerabat yang baik antara suami dan isteri. Dalam hal ini, kedekatan dan kebersamaan dalam perkawinan menuntut pengorbanan dan kesediaan untuk meletakkan minat terhadap relasi yang terjalin antar pasangan di atas minat individual (Carter & McGoldrick, 1999 dalam Sadarjoen, 2012). Hubungan pernikahan antara suami-isteri bukanlah mengambil hak, wewenang atau kewajiban dari pasangan tetapi mengacu pada hakikat pernikahannya sehingga hal di atas tetap dapat dipertahankan dan dapat selalu bersama tanpa mengusik salah satu kesenangan atau minat dari pasangan. (3) Menjadi orang tua, suami dan isteri yang telah memiliki keintiman yang dapat menghormati hak, wewenang atau kewajiban pasangannya akan mudah mengatasi masalah yang ada dalam rumah tangga dengan tepat, sehingga pemenuhan tugas perkembangan psikologis pada awal pernikahan telah tercapai. Setelah tugas perkembangan yang telah tercapai suami-isteri siap menjadi seorang ayah dan ibu. Dalam situasi semacam ini ibu menjadi dekat dengan anak dan seluruh perhatian tercurah pada sang anak, sehingga sang ayah menemukan jarak antara hubungannya dengan ibu, lalu ayah mengalihkan perhatiannya untuk pekerjaannya. Konflik akan berkembang dan untuk mengatasi konflik hubungan rumah tangga tersebut sebagai ayah dan ibu seharusnya menempatkan anak sebagai peran kunci dalam memonitor jarak emosional kedua individu dalam keluarga.
(4) Mengatasi Krisis, tugas perkembangan ini dalam perkawinan adalah mengatasi krisis yang terkait dengan perkembangan jiwa masing-masing pasangan secara terusmenerus. Pada pernikahan, hal-hal yang tidak terduga dapat terjadi dan dapat menimbulkan tekanan pada suami-isteri seperti kehilangan pekerjaan, penyakit, kelahiran bayi cacat, dan kematian sering menjadi tempat krisis dalam keluarga. Dalam kasus-kasus semacam itu pasangan perkawinan akan merasa cemas atau marah karena merasa bahwa pasangannya tidak lagi mencintainya yang disebabkan oleh berbagai hal. (5) Membuat tempat yang aman untuk konflik, pasangan suami-isteri harus belajar untuk mengungkapkan pendapat yang negatif pada pasangannya dengan cara yang baik. Dalam perkawinan yang sehat, kedua pasangan suami-isteri dapat melihat fakta tentang kepedulian masing-masing pasangan, sedangkan pada hubungan suami-isteri yang penuh tekanan, konflik diungkapkan dalam bentuk yang negatif, dan serangan personal yang sering mengarah pada perceraian. Pasangan perkawinan yang sehat dapat bertanggung jawab terhadap masalah dan memelihara kenyamanan hubungan antar pasangan. Pada hubungan pernikahan juga pasangan suami-isteri harus menghormati dan tidak memberikan interpretasi negatif terhadap perilaku pasangannya, sehingga pasangan tersebut secara bebas dapat mengungkapkan perasaan tanpa khawatir akan kemungkinan terjadinya perceraian. (6) Menggali kehidupan seksual dan keintiman, hubungan seksual yang baik merupakan ekpresi perasaan. Relasi seksual yang baik merupakan ekspresi dari perasaan. Wallerstain & Judith (1995, dalam Sadarjoen, 2012) menyatakan bahwa kehidupan seksual yang harmonis akan menambah kekuatan besar bagi landasan dalam relasi perkawinan serta berpengaruh pada domain lain dari perkawinan. Pasangan akan menemukan kegembiraan seksual dengan persepsi mereka, dan fantasi antar pasanganpun meluas, serta mengubah image tentang diri masing-masing pasangan.
Dalam hubungan seksual dalam pernikahan membuat suami-isteri percaya diri mengenai kebanggaan laki-laki mengenai kelaki-lakiannya dan kebanggaan perempuan mengenai keperempuanannya. Sanggup untuk menerima dan memberi kesenangan seksual merupakan dimensi yang matang dari kedewasaan. Mendapati kebersamaan dalam kehidupan seksual bukan hanya merupakan sumber kebanggaan masing-masing pasangan, namun juga memperkuat kesatuan, antar komitmen pasangan tersebut. (7) Berbagi tawa dan mempertahankan minat hidup, kegembiraan antara pasangan merupakan hal penting dalam pernikahan yang sehat. Banyak pasangan yang mennyatakan bahwa mereka sudah tidak bisa menjadi teman dan tidak lagi menikmati aktifitas bersama. Sebenarnya rasa gembira dan humor akan membantu memperkuat ikatan perkawinan karena pasangan akan saling menyenangi aktifitas bersama yang mereka lakukan, serta mampu berbagi perasaan positif dan mampu mengelola konflik menjadi lebih baik, juga mempertahankan misi yang telah disepakati. Tipe ikatan ini menjadikan perasaan negatif atau stress berkurang saat ada masalah dalam pernikahan, sehingga waktu untuk bersama tidak menjadi hal yang buruk. (8) Memberikan pelayanan emosional, dalam hal pernikahan pasangan suami-isteri harus saling mendukung satu sama lain dan memberi perhatian. Tugas tersebut menuntut kesediaan tiap pasangan agar memberikan dukungan emosional dengan makna nyaman untuk ketergantungan, kegagalan, kekecewaaan, kesedihan, penyakit, dan masa tua. (Wallerstain & Judith, 1995 dalam Sadarjoen, 2012). Memberikan perhatian dan dukungan satu sama lain akan meningkatkan harga diri pasangan. Jika pasangan merasa terisolasi dan tidak mendapat dukungan emosional dari pasangannya, maka pasangan tersebut akan mengalami masalah emosional seperti anxiety, depresi, dan penurunan harga kepercayaan diri. Namun melalui perhatian dan dukungan yang diberikan, pasangan akan mudah menjalin hubungan satu sama lain (Natarius & Markman, 1993 dalam Sadarjoen, 2012)
(9) Memelihara visi ganda, kekompakan pada pasangan akan terbentuk apabila pasangan tersebut mengingat kembali keadaan saat mereka bertemu dan saling mengikat diri (pacaran). Apabila pasangan suami-isteri kembali mengingat bayangan-bayangan masa lau akan membantu pasangan dari rasa yang menjemukan. Ada sebagian pasangan yang tidak mampu mencari bahan pembicaraan karena pembicaraan mereka terlalu fokus pada masalah anak-anak. Dalam hal itu pasangan yang berada dalam situasi tersebut memerlukan ingatan positif dimasa lalu agar membantu mengingat kembali situasi dimana hubungan kedua pasangan pernah terjalin. Hubungan pernikahan dengan tugas psikologis yang telah dipaparkan diatas menjadikan pernikahan sesuatu hal yang penting dalam kehidupan, karena dalam pernikahan pada suamiisteri memiliki tahap-tahap peran dalam sosial yang berubah setelah menikah, memiliki anak dan mengatasi konflik dalam rumah tangga. Pernikahan suami isteri biasanya paling banyak di usia dewasa muda. Berdasarkan hasil penelitian di Amerika Serikat pada tahun 2007, AS diperkirakan rata-rata usia dengan pertama pernikahan berkisar 27,5 tahun untuk pria dan 25,6 tahun untuk perempuan, sekitar 2 tahun perbedaan usia pria dan perempuan (Biro Sensus AS, 2008, dalam Olson dan DeFrain, 2010). 2.2 Dewasa Muda Mengacu pada hasil penelitian di atas dengan usia pria dan wanita menikah 27 pada pria dan 26 pada wanita, sehingga peneliti mengambil sampel di usia dewasa muda. Pengertian dewasa muda didefinisikan Erikson (dalam Papalia, Olds & Fieldman, 2005) sebagai tahap ke enam dari psychological development, yaitu intimacy and isolation jika dewasa muda tidak bisa membuat komitmen pribadi yang mendalam kepada orang lain, maka mereka berisiko menjadi terlalu terisolasi dan mementingkan diri sendiri. Mereka juga perlu beberapa isolasi untuk merefleksikan kehidupan saat mereka bekerja untuk menyelesaikan
tuntutan yang bertentangan dari keintiman, daya saing, dan jarak. Usia dewasa muda juga mengembangkan rasa etis, yang dianggap Erikson sebagai tanda kedewasaan. Hubungan yang intim (intimate relationship) meminta pengorbanan dan kompromi. Dewasa muda yang telah mengembangkan rasa diri yang kuat selama masa remaja akan siap memadukan identitas mereka dengan orang lain. Usia dewasa muda sibuk membentuk hubungan romantis dan persahabatan, kecenderungan menuju keintiman yang lebih besar dengan lawan jenis dimulai pada masa remaja, pada fase usia dewasa muda, dijelaskan pula bahwa masa pernikahan merupakan tahap yang paling penting dalam pernikahan (Reis et al, 1993 dalam Sigelman & Rider, 2009). Setelah membahas tentang pernikahan yang terkait erat dengan perjodohan, serta tentang pengelompokkan usia pasangan yang menikah berada pada tahap dewasa muda, maka selanjutnya peneliti akan menjabarkan tentang penyesuaian pernikahan dengan alat ukur DAS dan faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian pernikahan. 2.3 Penyesuaian Pernikahan Disinggung pada latar belakang sebelumnya yang mengatakan bahwa usia pernikahan 0-5 tahun adalah tentang penyesuaian dan adaptasi pasangan yang menikah. Menurut Duvall dan Miller (1985) bahwa penyesuaian perkawinan adalah proses membiasakan diri pada kondisi baru dan berbeda sebagai hubungan suami dan isteri dengan harapan bahwa mereka akan menerima tanggung jawab dan memainkan peran sebagai suami dan isteri. Penyesuaian perkawinan ini juga dianggap sebagai persoalan utama dalam hubungan sebagai suami dan isteri, penyesuaian pernikahan merupakan adaptasi yang dilakukan pasangan menikah. Spanier (1976) mengatakan penyesuaian hubungan suami-isteri itu merupakan suatu proses yang harus melalui berbagai tahap seperti komunikasi yang efektif, proses menangani konflikkonflik yang terjadi dan kepuasan dalam berbagai hubungan sesama pasangan. Pada
penelitian terdahulu Spanier (1976) menggunakan pengukuran DAS terhadap 281 responden dan 32 item yang dikelompokkan menjadi empat instrumen hubungan antara suami-isteri, hasil pengujian oleh Spanier (1976), dibentuk komponen-komponen yang tercantum dalam DAS, yaitu dyadic consensus, dyadic cohession, dyadic satisfaction, dan affectional expression yang akan dijelaskan sebagai berikut: A. Dyadic consensus atau kesepakatan hubungan adalah kesepahaman diantara pasangan dalam berbagai masalah dalam perkawinan, seperti masalah keuangan, rekreasi, dan keagamaan. Dalam hubungan perkawinan, pasangan akan menemukan beragam permasalahan yang harus diselesaikan. Seperti mengatur anggaran belanja, serta cara membagi peran dalam rumah tangga. Perbedaan pandangan pada pasangan dipicu karena pasangan memiliki ciri-ciri pribadi yang berbeda, yang akan berbeda pula dalam menghadapi konflik-konflik di kehidupan perkawinan (Duvall & Miller, 1985). B. Dyadic cohession atau kedekatan hubungan adalah kebersamaan yang menunjukkan seberapa banyak pasangan melakukan berbagai kegiatan bersama dan menikmati kebersamaaan yang ada. Banyaknya waktu yang dihabiskan bersama akan mempengaruhi kepuasan individu terhadap perkawinan (Duvall dan Miller, 1985). C. Dyadic satisfaction atau kepuasan hubungan adalah sederajat kepuasan dalam hubungan. Peran yang dijalankan masing-masing individu dalam kehidupan perkawinan akan berpengaruh dalam kepuasan hubungan perkawinan. Menunjukkan seberapa sering suami-isteri berdiskusi tentang hubungan pernikahan tersebut dengan bahasan mengenai perceraian (Houran & Lange, 2004) D. Affectional expression atau ekspresi afeksi adalah kesepahaman dalam menyatakan perasaan dan hubungan seks maupun masalah yang ada. Dalam dimensi ini menjelaskan
bahwa bagaimana cara pasangan suami-isteri menujukkan perasaan kasih sayangnya antara satu dengan lainnya (Duvall & Miller, 1985). Dari keempat dimensi diatas dalam alat ukur DAS oleh Spanier (1976) menekankan kepada pendekatan psikologi dan latar belakang kehidupan sosial pasangan itu sendiri. Dimensidimensi di atas dapat mengukur penyesuaian pernikahan pada pasangan suami-isteri yang dijodohkan dan yang tidak dijodohkan. Terlepas dari empat dimensi Spanier (1976) terdapat juga faktor-faktor dalam penyesuaian pernikahan menurut Hurlock (1991) yang dibagi menjadi empat, antara lain : a. Penyesuaian terhadap pasangan, masalah penyesuaian yang paling pokok dihadapi oleh pasangan baru menikah adalah terhadap penyesuaian terhadap masing-masing. Hubungan interpersonal di antara dua orang yang menikah adalah hubungan interpersonal yang sangat berbeda dengan jenis hubungan interpersonal lainnya. Hubungan interpersonal antara pasangan yang menikah bersifat mendalam. Untuk mendukung hubungan suami-isteri harus belajar menyesuaikan diri terhadap seluruh hal yang dimiliki oleh pasangannya. Ada dua hal yang dapat mendukung suksesnya proses penyesuaian dalam pernikahan, yaitu: 1. Kemampuan dan kemauan pasangan untuk berhubungan dengan mesra. 2. Kemampuan dan kemauan untuk berkomunikasi, dalam poin ini bertujuan untuk pasangan dapat saling mengerti kemauan masing-masing pasangannya agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam pernikahan. b. Penyesuaian seksual, dalam penyesuaian hal ini adalah yang paling sulit dalam pernikahan. Dikatakan sulit karena akan membawa masalah, permasalahan akan timbul ketika masing-masing pasangan tidak memliki pengalaman seksual.
c. Penyesuaian keuangan, dalam pernikahan biasanya pasangan menggabungkan pendapatannya untuk membiayai kehidupan rumah tangga mereka. Timbul permasalahan jika suami sebagai perannya mencari nafkah sementara isteri mengurus urusan rumah tangga. d. Penyesuaian dengan pihak keluarga pasangan, dengan pernikahan berarti individu mendapat keluarga tambahan atas dasar bonus dalam pernikahan itu, yaitu keluarga pasangannya tersebut. Di dalam keluarga tersebut memilki usia yang berbeda, mulai dari bayi sampai manula, dan dengan keinginan serta nilai yang berbeda, latar belakang pendidikan, latar belakang sosial dengan individu. Masing-masing individu harus belajar menyesuaikan diri dengan keluarga pasangannya karena ketidaksesuaian dengan keluarga pasangan akan menimbulkan masalah. Dalam penjabaran dimensi penyesuaian pernikahan dalam DAS dan faktor-faktor tentang penyesuaian pernikahan terdapat kesimpulan yaitu, penyesuaian pernikahan akan didapati ketika suami-isteri saling mengerti dalam hal apapun, terbuka mengekspresikan sesuatu hal, dan mau menghabiskan waktu bersama. Dalam latar belakang peneliti menyinggung tentang perjodohan, perjodohan memiliki beberapa metode atau cara perjodohan. 2.4 Definisi Perjodohan (Arranged Marriages) Untuk melihat jelas pengertian perjodohan yang sudah disinggung dalam latar belakang, berikut penjelasan perjodohan yang dimaksud oleh peneliti. Definisi perjodohan (arranged marriages) adalah suatu pernikahan yang diatur oleh orang tua, atau kerabat dekat untuk sang pasangan, dan biasanya dilakukan pada wanita (Zaidi & Shuraydi, 2002). Qureshi (1991 dalam Zaidi & Shuraydi, 2002) mengartikulasikan tiga metode yang berbeda dari pernikahan yang diatur yaitu:
1. Tipe direncanakan (planned type). Di sini orang tua merencanakan seluruh proses yang didasarkan pada banyak keluarga dan variabel masyarakat. Kurangnya interkasi (interaction is lack), individu hanya dapat melihat foto atau mungkin tidak pernah bertemu pasangannya atau calonnya sampai hari pernikahan. 2. Tipe delegasi (delegation type) atau interaksi yang didampingi (chaperoned interaction). Dalam tipe ini anak laki-laki berhak mengatakan kepada orang tuanya tentang wanita idamannya yang menjadi isterinya kelak, dan sebagai orang tua berusaha untuk memenuhi permintaan anak-anak mereka. 3. Joint Venture, adalah proses ketika kedua orang tua dan anak-anak yang bersangkutan hadir dalam proses seleksi pasangan. Membuka proses pacaran, kencan atau perkenalan dengan calon pasangan yang akan terjadi diproses ini, proses tersebut merupakan tanggung jawab mempertahankan kehormatan atau `ird (izzat) dalam keluarga, dan sangat bergantung pada perempuan dalam masyarakat Islam. Di atas telah dijabarkan tentang ketiga tipe perjodohan, dimana peneliti menggunakan ketiga tipe perjodohan tersebut berdasarkan fenomena dan fakta-fakta yang ditemukan tentang perjodohan pada latar belakang. Pada proses perjodohan tidak adanya proses pacaran seperti pasangan yang tidak dijodohkan, Reiss (1980 dalam Strong, DeVault, dan Cohen, 2011) mempunyai proses dalam hal pacaran.
2.5 Wheels Theory Wheels theory itu terdiri dari empat jari-jari roda, yang saling berkaitan untuk mendorong roda tersebut berputar. Berikut keempat jari-jari yang dibuat oleh Reiss (1980 dalam Strong, DeVault, dan Cohen, 2011) yaitu: (1) Raport, adalah saat kedua orang bertemu dengan lawan jenis mereka, mereka akan merasakan perasaan yang nyaman, banyak kesamaan, menerima latar belakang antara diri mereka, dan dapat saling memahami seperti sudah lama kenal (Strong, DeVault, dan Cohen, 2011). (2) Self-revelation, semakin besar hubungan kedua orang tersebut, sehingga mereka merasa santai dan percaya diri satu sama lain, selain itu menjadi mengungkapkan perasaan satu sama lain dan mungkin bisa menjadi ketergantungan (Fitzpatrick et al. 2006 dalam Strong, DeVault, dan Cohen, 2011). (3) Mutual Dependency, setelah terbangun keduanya raport dan self-revelation, maka pasangan tersebut akan saling membutuhkan satu sama lain untuk berbagi cerita dan kesenangan masing-masing, dalam tahap inilah kedua orang disebut pacaran (Strong, DeVault, dan Cohen, 2011). (4) Fulfillment of intimacy needs atau pemenuhan kebutuhan keintiman, jika mereka menemukan kebutuhannya akan cinta dan hubungan intim baik laki-laki maupun perempuan jalinan tersebut akan semakin dalam (Strong, DeVault, dan Cohen, 2011). Hubungan berpacaran dalam teori ini diibaratkan seperti roda dapat maju kedepan atau berputar sebaliknya, dalam hal itu tergantung dari pasangan yang menjalani hubungan tersebut.
2.6. Kerangka Berfikir dan Hipotesis Penyesuaian pernikahan bagi suami-isteri adalah hal yang penting, jika tidak adanya proses penyesuaian pada pernikahan maka pasangan suami-isteri tidak dapat mencapai kebahagiaan dalam pernikahan. Penyesuaian pernikahan dalam penelitian ini dilihat dari empat dimensi dari alat ukur DAS. Dimensi pertama adalah dyadic consensus, dimensi kedua dyadic cohesion, dimensi ketiga dyadic satisfaction, dan dimensi yang terakhir adalah affectional expression. Dari keempat dimensi tersebut akan dibagikan pada empat kelompok, yaitu suami dijodohkan, suami tidak dijodohkan, isteri dijodohkan dan isteri tidak dijodohkan. Selain keempat dimensi tersebut penyesuaian pernikahan memiliki empat faktor-faktor yang mempengaruhi pernikahan. Suami-isteri yang tidak dijodohkan dapat melalui masa pacaran, sedangkan yang melalui perjodohan tidak melalui proses pacaran, tetapi ada tiga tipe perjodohan yang sudah dijabarkan. Tipe perjodohannya, yaitu planned type, delegation type, dan joint venture. Pada semua sampel diberikan kuesioner DAS untuk melihat penyesuaian pernikahan pada suami dan isteri yang dijodohkan dan yang tidak dijodohkan. 2.6. Hipotesa Penelitian Dengan demikian hipotesis yang diambil oleh peneliti adalah : Ho¹ : Penyesuaian pernikahan pada kelompok suami yang dijodohkan tidak lebih rendah dari kelompok yang tidak dijodohkan. Ho² : Penyesuaian pernikahan pada kelompok isteri yang dijodohkan tidak lebih rendah dari kelompok yang tidak dijodohkan.
Ha¹ : Penyesuaian pernikahan kelompok suami yang dijodohkan lebih rendah dari yang tidak dijodohkan. Ha² : penyesuaian pernikahan kelompok isteri yang dijodohkan lebih rendah dari yang tidak dijodohkan.