Ringkasan Eksekutif. vii

dokumen-dokumen yang mirip
Menemukan Titik Keseimbangan: Kesimpulan dan Saran. Bagian IV: A. Kesimpulan

BAB 11 PENGHORMATAN, PENGAKUAN, DAN PENEGAKAN

Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011.

Penghormatan dan Penegakan Hukum dan Hak Asasi Manusia

Bahan Diskusi Sessi Kedua Implementasi Konvensi Hak Sipil Politik dalam Hukum Nasional

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

BAB 10 PENGHORMATAN, PENGAKUAN, DAN PENEGAKAN ATAS HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 18 TAHUN 2017 TENTANG PEMBERDAYAAN DAN PEMBINAAN LEMBAGA ADAT

Akses Buruh Migran Terhadap Keadilan di Negara Asal: Studi Kasus Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. paket kebijakan otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 tentang

BAB 10 PENGHORMATAN, PENGAKUAN, DAN PENEGAKAN ATAS HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG ARSITEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2017, No di bidang arsitektur, dan peningkatan mutu karya arsitektur untuk menghadapi tantangan global; d. bahwa saat ini belum ada pengaturan

DEKLARASI TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN. Diproklamasikan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa

BAB I PENDAHULUAN. Pemekaran ditingkat provinsi, kabupaten dan kota di Maluku utara tak

MEMBANGUN DAN MEMBERDAYAKAN DESA MELALUI UNDANG-UNDANG DESA Oleh : Mardisontori, LLM *

- 9 - No. Permasalahan Tujuan Tantangan Indikator Keberhasilan Fokus

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Foto Cover : Taufik Rinaldi

PROBLEM OTONOMI KHUSUS PAPUA Oleh: Muchamad Ali Safa at

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG

PUSANEV_BPHN KEBIJAKAN ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM

MENCERMATI PENERBITAN PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN PEKERJA RUMAH TANGGA

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENATAAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PEDOMAN TENTANG PERANAN PARA JAKSA. Disahkan oleh Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kedelapan. Tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakukan terhadap

BUPATI ENREKANG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN ENREKANG NOMOR 1 TAHUN 2016

LKjIP PA Watampone Tahun BAB I PENDAHULUAN

International IDEA, Strömsborg, Stockholm, Sweden Phone , Fax: Web:

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 84/PUU-XII/2014 Pembentukan Pengadilan Hubungan Industrial di Kabupaten/Kota

Walikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat

BAB V KESIMPULA DA SARA

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB III PEMBANGUNAN HUKUM

RENCANA STRATEGIS (RENSTRA)

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA

Pembangunan dan Perdamaian Berkelanjutan (PPB)

KUASA HUKUM Ir. Tonin Tachta Singarimbun, S.H., dkk berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 28 Februari 2013

TUGAS KEWARGANEGARAAN LATIHAN 4

BAB III PEMBANGUNAN BIDANG POLITIK

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Keempat daerah khusus tersebut terdapat masing-masing. kekhususan/keistimewaannya berdasarkan payung hukum sebagai landasan

SALINAN. 50 Huruf a. Ketentuan Pasal. dalam Persaingan Usaha. Pedoman Pasal Tentang

BAB I PENDAHULUAN. terlalu dominan. Sesuai konsep government, negara merupakan institusi publik

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH

Definisi tersebut dapat di perluas di tingkat nasional dan atau regional.

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyeles

PUSANEV_BPHN OVERVIEW ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA MEMBANGUN SISTEM HUKUM PIDANA (ANAK)

Asesmen Gender Indonesia

BAB 12 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan partisipasi masyarakat sebagai elemen penting dalam proses. penyusunan rencana kerja pembangunan daerah.

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU

ANGGARAN DASAR KOMNAS PEREMPUAN PENGESAHAN: 11 FEBRUARI 2014

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kedudukan negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan Daerah

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG

TERWUJUDNYA MASYARAKAT SELOMARTANI YANG AGAMIS SEJAHTERA BERBUDAYA DAN MANDIRI DENGAN KETAHANAN PANGAN PADA TAHUN 2021

BAB I PENDAHULUAN. penyelenggaraan pemerintahan, sementara fenomena globalisasi ditandai dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Secara etimologi kata desa berasal dari bahasa Sansekerta, deca yang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Pengertian Anak dan Pentingnya Mendefinisikan Anak Secara Konsisten dalam Sistem Hukum 1 Oleh: Adzkar Ahsinin

POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PARTISIPASI PUBLIK DALAM PROSES PENGAMBILAN KEBIJAKAN PUBLIK

BAB 12 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA

proses perjalanan sejarah arah pembangunan demokrasi apakah penyelenggaranya berjalan sesuai dengan kehendak rakyat, atau tidak

BUPATI BANYUWANGI PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 31 TAHUN 2016 TENTANG KABUPATEN RAMAH HAK ASASI MANUSIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2001 TENTANG PENYELENGGARAAN DEKONSENTRASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2001 TENTANG PENYELENGGARAAN DEKONSENTRASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2017, No Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara

PENGHARMONISASIAN, PEMBULATAN, DAN PEMANTAPAN KONSEPSI ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

KESEPAKATAN PEMUKA AGAMA INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. pada era reformasi adalah diangkatnya masalah kekerasan dalam rumah tangga

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA

PENGANTAR KONVENSI HAK ANAK

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2001 TENTANG PENYELENGGARAAN DEKONSENTRASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

CATATAN PENUTUP REFLEKSI AKHIR TAHUN PAPUA 2010 : MERETAS JALAN DAMAI PAPUA OLEH: LAKSAMANA MADYA TNI (PURN) FREDDY NUMBERI

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 43/PUU-XI/2013 Tentang Pengajuan Kasasi Terhadap Putusan Bebas

Pemberdayaan KEKUASAAN (POWER)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas

GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

Hadirkan! Kebijakan Perlindungan Korban Kekerasan Seksual. Pertemuan Nasional Masyarakat Sipil Untuk SDGs Infid November 2017

BAB I PENDAHULUAN. kaum perempuan yang dipelopori oleh RA Kartini. Dengan penekanan pada faktor

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

I. PENDAHULUAN. melalui implementasi desentralisasi dan otonomi daerah sebagai salah satu realita

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2017 NOMOR 24

ANALISIS UUD 1945 SEBELUM DAN SESUDAH AMANDEMEN. Pasal 19 s/d 37. Tugas untuk memenuhi Mata Kulia Pendidikan Kewarganegaraan

BUPATI PEMALANG PERATURAN BUPATI PEMALANG NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DI KPPU KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2017 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BNPB. Masyarakat. Penanggulangan Bencana. Peran Serta.

PERSPEKTIF PEMERINTAH ATAS HAK DAN KEWAJIBAN MASYARAKAT HUKUM ADAT

Transkripsi:

Ringkasan Eksekutif Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendokumentasikan proses peradilan non-negara (non-state justice) di tingkat desa, dengan fokus utama pada inklusifitas sosial dan perspektif dari pihak-pihak yang terpinggirkan. Laporan ini juga dimaksudkan untuk memahami dinamika perubahan di masyarakat dan bagaimana menerjemahkannya dalam sebuah kerangka kerja yang mempertahankan kekuatan dan mengatasi kelemahan peradilan non-negara. Laporan ini terdiri dari 34 kajian kasus etnografi yang dikumpulkan dari lima provinsi di Indonesia selama lebih dari 18 bulan, serta data kuantitatif dari Survei Pemerintahan dan Desentralisasi 2006. Hal ini merupakan masalah krusial bagi agenda pembangunan Indonesia. Sistem peradilan yang berjalan baik merupakan faktor penting dalam menjaga ketertiban sosial dan untuk menjamin kepastian hukum yang mendasari pertumbuhan ekonomi, serta memajukan dan melindungi hak asasi manusia. Pemerintah Indonesia dan dunia peradilan telah juga berupaya melakukan pembaharuan meskipun belum seluruh persoalan terselesaikan, khususnya penegakan keadilan untuk masyarakat miskin. Kesimpulan utama Bentuk utama penyelesaian sengketa; penting bagi kesejahteraan orang miskin. Peradilan informal merupakan bentuk utama penyelesaian sengketa. Bagaimana perselisihan itu dipecahkan memiliki dampak sosio-ekonomi yang berarti bagi masyarakat miskin. Mekanisme peradilan informal memiliki beberapa kekuatan yang nyata. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk kasus kecil di tingkat komunitas, peradilan non-negara berjalan cepat dan efektif. Keberhasilan tersebut tercermin pada tingkat kepuasan yang tinggi. Namun juga memiliki kelemahan yang signifikan. Ketika kasus menjadi lebih besar dan kompleks, dan ada keterlibatan relasi kuasa, tidak adanya standar peradilan yang jelas, tidak adanya pertanggungjawaban ke pihak di atas dan di bawahnya, persinggungan yang kabur terhadap sistem hukum formal, serta dikombinasikan dengan tingkat keterwakilan yang rendah dari perempuan dan kelompok minoritas, bisa menciptakan kesewenang-wenangan. Dalam kondisi demikian, relasi kekuasa di tingkat lokal dan norma sosial yang menentukan proses dan hasilnya, yang seringkali merugikan bagi pihak lemah dan tidak berkuasa. Terdapat contoh perubahan yang positif, meskipuan hanya sedikit dan jarang. Sistem politik dan demokrasi yang makin terbuka menciptakan dinamika yang progresif yang dimanfaatkan oleh berbabagai pihak di tingkat lokal untuk mengeksploitasi terbentuknya berbagai model penyelesaian sengketa yang lebih inovatif dan inklusif. Kelompok masyarakat pro-reformis ini layak didukung. Kenyataan keadilan di Indonesia dijalankan bukan di ruang sidang di kota-kota besar, tapi di balai desa di penjuru nusantara. Temuan paling penting dalam penelitian ini adalah peradilan non-negara merupakan bentuk utama dalam penyelesaian sengketa. Dalam konteks Indonesia, peradilan non-negara atau peradilan informal pada dasarnya adalah penyelesaian sengketa di-tingkat lokal arbitrase dan mediasi yang dilakukan oleh kepala desa, para pemuka adat, tokoh masyarakat, dan tokoh agama kadang-kadang didasarkan pada tradisi, namun sering pula hanya berdasarkan pertimbangan subyektif para pemimpin warga tanpa dasar yang jelas atau mengacu kepada hukum negara maupun hukum adat. vii

Pesan penting kedua adalah bagaimana berjalannya non-state justice akan sangat berdampak pada stabilitas sosial dan kesejahteraan masyarakat miskin. Sebagaimana ditunjukkan pada tabel di bawah ini, jenis sengketa yang paling sering dihadapi oleh masyarakat Indonesia adalah tindak pidana, sengketa tanah, kekerasan dalam rumah tangga, warisan, perkawinan, dan perceraian. Individu dan komunitas yang tidak mampu menyelesaikan sengketa tersebut mengalami dampak sosio-ekonomi yang besar. Efektivitas peradilan informal menentukan apakah suatu konflik bisa diselesaikan secara damai atau justru berkembang mengarah pada kekerasan. Konflik lahan seringkali tercatat sebagai masalah yang paling sulit dipecahkan dan yang paling mungkin memicu kekerasan. Tabel 1: Konflik regional berdasarkan jenis konflik Tipe Konflik Indonesia Sumatera Jawa/Bali Kalimantan Sulawesi NTB/NTT Maluku Pidana Umum 16.4% 15.6% 16.0% 10.9% 16.9% 24.2% 18.6% Sengketa Tanah/Gedung 13.3% 9.6% 9.2% 14.2% 17.5% 23.3% 19.5% Perselisihan Keluarga 10.9% 8.3% 11.0% 8.0% 9.8% 17.3% 15.3% Penyalahgunaan Wewenang 2.8% 1.7% 3.0% 2.4% 2.3% 4.0% 4.8% KDRT 7.6% 5.1% 6.2% 5.2% 4.1% 13.8% 19.8% Sengketa Pemilu 3.2% 1.3% 4.2% 1.8% 2.0% 2.6% 8.8% SARA 2.0% 1.2% 1.7% 1.2% 3.4% 1.9% 3.9% Secara keseluruhan, penyelesaian perselisihan informal bukan merupakan suatu sistem yang menyeluruh dan koheren, namun merupakan serangkaian proses yang dijalankan oleh pihak yang berpengaruh. Di beberapa lokasi penelitian, majelis adat setempat dengan struktur dan norma yang jelas sudah terbentuk. Akan tetapi, secara umum lebih sering dijumpai proses tersebut yang dijalankan oleh para kepala desa atau para pemimpin agama setempat yang berpengaruh. Mereka biasanya menyelesaikan sengketa berdasarkan konsep keadilan lokal, atau pemikiran subyektif atas apa yang dianggap pantas, tanpa mengacu kepada hukum negara, agama atau adat. Pada kenyataannya, norma sosial dan kekuasaan yang biasanya menentukan hasil penyelesaian perselisihan di tingkat lokal. Jadi, pada umumnya peradilan non-negara merupakan suatu lingkungan tanpa hukum ( delegalized environment ). Hal tersebut dapat memudahkan pencapaian hasil mediasi yang fleksibel. Tetapi tanpa ada struktur atau norma yang jelas, para pelaku penyelesaian sengketa informal memiliki wewenang yang sangat luas. Dimana norma sosial yang dominan, hubungan sosial dan relasi kuasa akan menjadi faktor penentu. Akibatnya, jalan menuju keadilan tidak setara bagi semua orang. Pihak yang berkuasa melewati jalan yang lancar; pihak yang lemah harus menghadapi jalan yang penuh hambatan. Pemulihan harmoni masyarakat merupakan tujuan utama yang melandasi penyelesaian sengketa oleh peradilan non-negara. Akan tetapi, tujuan untuk mempertahankan kerukunan sering disalahgunakan, menjadi diartikan sama dengan upaya untuk menjaga status quo. Pencapaian keharmonisan lebih mengutamakan hubungan komunal, dengan mengorbankan hak asasi dan keadilan individu. Sebaliknya, sistem peradilan formal sering mengutamakan keadilan pribadi diatas kepentingan bersama. Keadaan ini menciptakan kondisi dimana ketika mencari keadilan baik kepentingan individu ataupun kelompok, sama-sama tidak terlayani dengan baik. Tujuan untuk mempertahankan harmoni juga melandasi sanksi yang dikenakan oleh sistem non-state justice. Sanksi untuk sengketa pidana maupun perdata biasanya diukur dengan uang, menggabungkan unsur hukuman dengan ganti rugi atas kerugian materiil. Penelitian di lapangan juga menemukan beberapa kejadian hukuman fisik, termasuk cambukan dan pemukulan, yang secara hukum di luar wewenang para pelaku nonstate justice. viii

Kekuatan dan Kelemahan Untuk sebagian besar kasus kecil dan ringan, peradilan informal merupakan proses yang tepat dan efektif. Dari empat belas kasus kecil yang tercatat dalam penelitian ini, sebelas kasus diselesaikan tanpa kesulitan. Secara keseluruhan, peradilan non-negara populer, mencerminkan kekuatannya. Para pelaku non-state justice memiliki legitimasi dan otoritas lokal, yang tidak selalu dimiliki oleh para hakim dan polisi. Masyarakat mencari bantuan dari para aktor non-state justice justru karena mereka memiliki legitimasi sosial di lingkungan kampung. Lagipula, prosedur dan substansinya sesuai dengan pendapat umum yang mengutamakan kerukunan. Tujuannya bersifat menghindari konflik dan bersifat restoratif; dan prosesnya bersifat cepat dan sangat murah. Sifat-sifat tersebut sangat penting bagi masyarakat pedesaan yang saling bergantung satu sama lain secara ekonomi dan sosial. Akibatnya masyarakat puas dengan para pelaku peradilan informal 69 persen responden menyatakan kepuasannya pada aktor non-state justice dibandingkan dengan 58 persen responden puas dengan pelaku peradilan formal. Akan tetapi, penelitian ini menemukan beberapa kekurangan yang signifikan dalam sistem peradilan non-negara. Ketika kasus yang dihadapi semakin rumit, pihak dari luar desa turut campur tangan atau ketika kepentingan perempuan yang dipertaruhkan, peradilan informal mulai terpecah. Tidak adanya norma dan struktur yang jelas dan tidak adanya pertanggungjawaban keatas maupun kebawah mengakibatkan terjadinya kesewenang-wenangan. Hal yang mendasari kekuatan peradilan informal adalah otoritas sosial, namun pelaksanaannya tanpa kontrol sekaligus merupakan kelemahan terbesarnya. Kelemahan tersebut biasanya dieksploitasi oleh pihak yang kuat sehingga merugikan pihak yang lemah. Perempuan kurang terwakili dalam lembaga penyelesaian sengketa di pedesaan. Dari dua pelaku peradilan informal yang paling populer kepala desa dan kepala dusun hanya 3 persen dan 1 persen perempuan. Oleh karena itu, masalah hukum yang menyangkut kepentingan perempuan sering diabaikan atau tidak ditanggapi secara serius. Persengketaan antar etnis sulit untuk dipecahkan. Khususnya dalam mekanisme tradisional berbasis adat, pelaku penyelesaian sengketa hampir selalu merupakan kaum elit dari suku asli setempat. Kelompok minoritas, terutama di daerah pasca konflik, secara konsisten cenderung memilih pengadilan formal, karena dinilai relatif netral dan tidak mengandung prasangka. Sengketa antar kelompok masyarakat juga merupakan masalah yang berat.. Para aktor non-state justice jarang mampu menerapkan kewenganan mereka melampaui batas wilayah atau sosial. Dalam kasus yang diteliti, lembaga desa tidak mampu memecahkan sengketa dimana perusahaan swasta yang sering didukung oleh pemerintah turut terlibat. Kasus-kasus ini biasanya mengenai hak atas tanah dan kekayaan di dalamnya, yang terbukti secara konsisten paling sulit dipecahkan. Ketidakberdayaan ini dapat memicu konflik horizontal di tingkat desa. Tidak adanya persinggungan yang jelas antara peradilan formal dan informal, khususnya berkaitan dengan kewenangan yurisdiksi, menciptakan ketidakpastian hukum dan membuka kemungkinan penyalahgunaan dan manipulasi. Polisi menentukan dan memilih apakah akan melakukan mediasi atau penuntutan atas suatu kasus, tanpa prosedur resmi. Pengadilan wajib mempertimbangkan hasil penyelesaian ix

sengketa informal, akan tetapi hakim sering mengabaikan kewajiban ini atau bingung tentang yang mana yang merupakan proses hukum lokal yang sah dan yang tidak. Ketidakpastian tersebut membuat pihak yang lemah dan tidak berpendidikan, yang tidak memiliki kemampuan untuk memahami atau bergerak di antara beberapa sistem rentan dieksploitasi. Kegagalan dalam mendefinisikan persinggungan tersebut juga berarti bahwa para pelaku non-state justice seringkali memediasikan tindak pidana berat, seperti perkosaan dan pelecehan seksual. Hal ini sering dilakukan dengan persetujuan atau dukungan dari pihak kepolisian setempat. Kesenjangan Kebijakan Meskipun pentingnya untuk menjaga stabilitas sosial dan kesejahteraan ekonomi serta kepopulerannya di tingkat lokal, peradilan non-negara sangat diabaikan oleh pembuat kebijakan. Program reformasi hukum dan peradilan dari pemerintah dan donor hampir selalu hanya memperhatikan lembaga negara. Cetak Biru Mahkamah Agung dan program reformasi Kejaksaan Agung, berbagai macam komisi tingkat nasional yang baru dibentuk, dan upaya reformasi hukum nasional didukung oleh bantuan donor sebesar lebih dari $60 juta untuk meningkatkan kualitas keadilan di Indonesia. Prakarsa tersebut penting, akan tetapi mengingat bahwa sebagian besar orang Indonesia tergantung pada peradilan informal, kebijakan dan upaya reformasi hukum harus memberikan fokus yang seimbang terhadap sistem tersebut. Sebuah strategi reformasi hukum yang menyeluruh harus menyoroti peradilan informal apabila strategi tersebut ingin mencakup sistem yang merupakan satu-satunya pengalaman keadilan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Pemerintah saat ini kurang memperhatikan masalah ini. Kebijakan dan peraturan perundang-undangan pemerintah pusat penuh dengan pernyataan umum tentang pentingnya mengakui dan mendukung kewenangan lembaga desa untuk menyelesaikan sengketa. Namun, pernyataan tersebut memerlukan penjelasan tambahan agar menjadi berarti. Pemerintah kota/kabupaten memiliki peluang dengan adanya otonomi daerah. Proses desentralisasi telah memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur bentuk dan struktur pemerintahan desa, termasuk mekanisme penyelesaian sengketa. Hal tersebut memungkinkan terbentuknya struktur baru untuk mengatasi konflik antar etnis, meningkatkan keterwakilan perempuan, dan mengatasi sengketa antar masyarakat. Akan tetapi, tidak ditemukan contoh pengaturan kembali atas lembaga tersebut selama penelitian lapangan. Faktanya, di Sumatera Barat, Maluku, dan Kalimantan Tengah, kewenangan tersebut telah digunakan untuk menghidupkan kembali struktur pemerintahan berdasarkan hukum adat. Upaya untuk kembali ke cara lama dimaknai untuk menegaskan kembali identitas budaya asli. Penelitian ini menunjukkan bahwa pengaktifan kembali lembaga adat kemungkinan tidak akan dapat mengatasi masalah utama yang telah diidentifikasi terkait kebutuhan akan perlakuan yang lebih setara terhadap perempuan dan kaum minoritas. Beberapa unsur masyarakat madani mendesak diadakannya pengakuan menyeluruh atas mekanisme peradilan informal. Akan tetapi, desakan tersebut mengabaikan tidak adanya standar minimum, tidak adanya pengawasan dan kelemahan mendasar dalam pelaksanaan peradilan informal yang telah diidentifikasi dalam peneilitian ini. x

Peluang untuk Perubahan Otonomi daerah merupakan sebuah peluang untuk perubahan. Meskipun tidak ditemukan contoh reformasi yang substantif di tingkat daerah, perbincangan dengan ratusan pejabat pemerintah, anggota parlemen, aktivis, pemuka desa dan anggota masyarakat biasa selama pelaksanaan penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat pihak-pihak yang mendukung perubahan. Pihak-pihak tersebut dapat dan harus didukung untuk mengadvokasikan peraturan daerah yang mendukung sistem peradilan informal yang lebih inklusif dan akuntabel. Perubahan yang inovatif di tingkat akar rumput telah teridentifikasi. Kelompok perempuan di Sumatera Barat telah memanfaatkan potensi emansipasi dalam meningkatkan kesadaran hukum dan mobilisasi masyarakat untuk mengubah prosedur dan struktur adat. Persatuan desa Perekat Ombara di Lombok Barat memiliki pandangan yang progresif tentang adat yang mengakui bahwa adat istiadat setempat perlu beradaptasi dengan realitas modern, termasuk keterwakilan perempuan. Kesadaran hukum dan pendidikan hukum telah terbukti membuka berbagai pilihan dan membuat sistem formal lebih mudah diakses oleh semua pihak. Dengan mengurangi monopoli para pelaku peradilan non-negara, kesadaran akan hak dapat memberdayakan pihak yang terpinggirkan untuk mendapatkan keadilan yang lebih baik. Contoh-contoh tersebut menunjukkan bahwa prakarsa pemberdayaan masyarakat di tingkat akar rumput juga dapat mendorong upaya reformasi institusional yang sistematik. Rekomendasi Pentingnya peradilan informal berarti bahwa strategi yang menyeluruh untuk mendukung penegakan hukum di Indonesia harus mempertimbangkan hal-hal di luar pengadilan. Strategi reformasi hukum dan peradilan yang berbasis pada pengacara, litigasi dan institusi formal semata tidak menjangkau masyarakat miskin di pedesaan. Namun demikian, merancang suatu strategi menyeluruh terhambat oleh banyaknya ragam pelaku, lembaga dan proses yang terlibat. Upaya pembaharuan tersebut kemungkinan betentangan dengan norma sosial dan struktur kekuasaan yang telah baku dan norma tersebut tidak dapat dengan mudah dihapuskan dengan mengeluarkan peraturan perundang-undangan atau pernyataan kebijakan baru. Memang dapat dikatakan bahwa begitu rumitnya peradilan informal sehingga seolah-olah tidak ada yang dapat dilakukan. Terdapat dua alasan pembenar untuk menerapkan pendekatan tidak melakukan apaapa. Pertama, memberikan dukungan kepada peradilan non-negara akan hanya memberikan peradilan yang buruk bagi masyarakat miskin. Dengan demikian, sumberdaya harus diarahkan untuk menjadikan sistem formal berjalan lebih efektif. Alasan kedua adalah bahwa peradilan informal terlalu rumit dan melekat secara sosial dan oleh karena itu bukan sasaran yang tepat untuk kegiatan intervensi dari pihak luar. Pihak lainnya memiliki sikap yang berbeda, dengan beranggapan bahwa praktik lokal merupakan hal yang ideal dan mendesak adanya pengakuan menyeluruh dari negara atas mekanisme peradilan informal. Pendekatan ini juga memiliki kelemahan, karena mengabaikan tidak adanya standar minimum dan tidak adanya pengawasan efektif, yang diidentifikasikan sebagai suatu kelemahan dalam studi ini. Di tengah-tengah, terdapat sudut pandang yang lebih realistis; sebuah titik keseimbangan. Peradilan informal merupakan cara utama untuk menyelesaikan sengketa. Peradilan informal telah terbukti sangat andal. Oleh karena itu, sistem informal seharusnya menjadi unsur penting yang dipertimbangkan dalam setiap program yang mendukung penegakan hukum. Akan tetapi, penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat beberapa masalah yang serius terkait dengan peradilan informal yang perlu ditangani oleh pemerintah dan masyarakat madani. xi

Laporan ini mengusulkan sebuah kerangka kerja untuk membangun titik keseimbangan antara praktik peradilan non-negara yang berlaku saat ini dan sistem peradilan formal. Pendekatan ini berupaya untuk mengawinkan aksesibilitas sosial, kewenangan dan legitimasi proses hukum informal dengan akuntabilitas kepada masyarakat dan negara. Titik keseimbangan ini berupaya untuk mengakomodasikan berbagai konteks sosial budaya, adat istiadat dan kebiasaan namun secara bersamaan menetapkan prinsip umum untuk melindungi pihak yang terpinggirkan. Dengan berdasar pada UUD 1945, prinsip tersebut antara lain adalah: (i) keterwakilan dengan basis yang luas; (ii) pertanggungjawaban publik dan transparansi; (iii) anti-diskriminasi; (iv) kesetaraan di depan hukum; dan (v) kebebasan dari penyiksaan. Rekomendasi tersebut tidak bertujuan untuk menciptakan peradilan informal yang ideal atau sempurna, tetapi untuk mengatasi dua kelemahan utama: (i) mengatasi kesewenang-wenangan dan menyeimbangkan otoritas sosial dengan akuntabilitas sosial; dan (ii) meningkatkan kinerja peradilan non-negara dalam melayani perempuan dan kelompok minoritas. Pembentukan titik keseimbangan tersebut memerlukan gabungan perubahan di tingkat kebijakan, peraturan perundang-undangan dan akar rumput. Perubahan tersebut harus memberdayakan pihak yang lemah dan terpinggirkan, meningkatkan kualitas pelaksanaan peradilan dan menetapkan standar minimum yang jelas melalui reformasi peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, tindakan yang direkomendasikan terdiri atas empat tingkatan. 1. Pertama, lakukan kegiatan di tingkat akar rumput untuk mendukung pertanggungjawaban ke bawah dan memberdayakan pihak yang lemah dan terpinggirkan untuk menuntut layanan dengan kualitas yang lebih baik dari peradilan informal. Hal tersebut merupakan prioritas yang paling penting karena kegiatan tersebut mengatasi kelemahan utama yang dihadapi. 2. Prioritas kedua adalah untuk melakukan kegiatan di tingkat menengah untuk mengembangkan kapasitas dan keterampilan teknis dari lembaga dan pelaku peradilan informal. 3. Prioritas ketiga di luar desa untuk meningkatkan akses terhadap sistem peradilan formal guna membuka pilihan dan memperluas bayangan hukum. 4. Untuk mendasari kegiatan di tingkat akar rumput, prioritas terakhir adalah perubahan kebijakan pemerintah pusat dan daerah untuk mendukung pertanggungjawaban ke atas dengan membuat (i) pedoman tingkat nasional yang memperkuat persinggungan dengan sektor formal; dan (ii) peraturan daerah untuk melembagakan serangkaian prinsip untuk peradilan non-negara yang adil dan inklusif sehingga sesuai dengan standar konstitusi. xii

Prioritas tersebut dituangkan dalam tabel di bawah ini. Tingkat Akar Rumput/ Masyarakat Lembaga Desa dan Pelaku Peradilan informal Tingkat Kabupaten/Kota Tingkat Nasional Tindakan Prioritas Memberdayakan perempuan dan kelompok minoritas melalui peningkatan kesadaran akan hak Membuat agar para pelaku peradilan non-negara bertanggung jawab ke bawah dengan menjadikan posisi mereka sebagai posisi yang harus dipilih oleh masyarakat Membuka akses terhadap sistem formal melalui program pendidikan hukum dan pengadilan keliling Mendukung mobilisasi dan organisasi sosial untuk mengatasi sengketa antara masyarakat dan pihak luar Mengembangkan keterampilan dan kemampuan para pelaku peradilan nonnegara untuk menyelesaikan sengketa secara profesional Mendukung klarifikasi berbagai struktur dan norma yang berlaku di dalam sistem peradilan informal Mendukung keterwakilan perempuan dan kelompok minoritas di lembaga desa Membuat suatu kerangka peraturan daerah yang menjunjung tinggi standar konstitusi yang menjamin hak banding, sanksi yang manusiawi dan keterwakilan perempuan dan kelompok minoritas Mengembangkan pertanggungjawaban ke atas dengan mendukung pemantauan dan pengawasan atas peradilan informal oleh masyarakat madani dan pemerintah Mengeluarkan Surat Edaran pengadilan yang mengklarifikasikan yurisdiksi peradilan non-negara vis-a vis pengadilan Membentuk Community Justice Liaison Unit (Unit Penghubung Peradilan Komunitas) di Departemen Hukum dan HAM untuk mendorong keselarasan dan konsistensi antara peradilan negara dan non-negara (seperti model di Papua Nugini). Rekomendasi dalam laporan ini mengkerangkakan sebuah kerangka kerja yang pragmatis untuk mencapai perubahan mendasar yang dapat secara bertahap meningkatkan keadilan bagi pihak yang terpinggirkan. Berbagai elemen dari kerangka kerja tersebut akan dapat diberlakukan hanya di beberapa lokasi saja, sehingga tindakan harus disesuaikan dengan kondisi setempat dan didasarkan pada kenyataan yang ada. Rekomendasi yang luas yang telah diidentifikasi disini dapat melengkapi reformasi tingkat nasional dengan cara memfokuskan bantuan pada tingkat yang paling membutuhkannya, sehingga memungkinkan masyarakat miskin dan terpinggirkan untuk menyelesaikan sengketa mereka dan mendukung upaya reformasi Indonesia. xiii