1 Bila seorang wanita yang berstatus budak dinikahkan oleh tuannya dengan seorang lelaki, lalu si lelaki

dokumen-dokumen yang mirip
Munakahat ZULKIFLI, MA

Istri-Istri Rasulullah? Adalah Ibunya Orang-Orang Beriman

Definisi Khutbah Jumat

Ternyata Hari Jum at itu Istimewa

Rasulullah SAW suri teladan yang baik (ke-86)

Ummu Sulaim Ar-Rumaishah

Seribu Satu Sebab Kematian Manusia


Memperbaiki Kesalahan dalam Bulan Ramadhan

Puasa Sunah Asyura: Waktu dan Keutamaannya

SIAPAKAH MAHRAMMU? Mahram adalah orang yang haram untuk dinikahi karena hubungan nasab atau hubungan susuan atau karena ada ikatan perkawinan1)

Membaca Sebagian Al-Quran Dalam Khutbah Jum'at

Membatalkan Shalat Witir

I TIKAF. Pengertian I'tikaf. Hukum I tikaf. Keutamaan Dan Tujuan I tikaf. Macam macam I tikaf

Pertama, batas kepatutan untuk suami yang melakukan masa berkabung

Kecemburuan Seorang Suami Kepada Istri


Isilah 10 Hari Awal Dzul Hijjah dengan Ketaatan

MENCARI REZEKI DENGAN MENJADI SEORANG PEMBERANI (1)

Kekhususan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam Yang Tidak Dimiliki Oleh Umatnya

FATWA TARJIH MUHAMMADIYAH HUKUM NIKAH BEDA AGAMA

Fidyah. "Dan orang-orang yang tidak mampu berpuasa hendaknya membayar fidyah, dengan memberi makanan seorang miskin." (Al Baqarah : 184)

TAFSIR AL QUR AN UL KARIM

MANDI JANABAH, HUKUM DAN TATA CARANYA

Najis, Mudah Dijumpai Jarang Dikenali NAJIS, MUDAH DIJUMPAI JARANG DIKENALI

Amir Syarifudin, Garis-Garis Besar FIQIH, (Jakarta:KENCANA. 2003), Hal-141. Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Ushul Fiqih, (Jakarta: AMZAH.

Bismillahirrahmanirrahim

Berani Berdusta Atas Nama Nabi? Anda Memesan Sendiri Tempat di Neraka

Apa yang Dianjurkan Setelah Selesai Witir

Bab 32 Nasehatnya Imam kepada Wanita dan Pengajarannya kepada Wanita. Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita (QS. An Nisaa (4) : 34).

Para wanita di bulan ramadhan

Ada beberapa hadits yang menyinggung tentang hajr ini, sebagiannya akan kita sebutkan dalam pembahasan kali ini.

Bahaya Zina dan Sebab Pengantarnya

PANDUAN I TIKAF RAMADHAN Oleh Nor Kandir ( edisi Ramadhan 1437 H)

Dan kemarahan itu sering menimbulkan perkara-perkara negatif, berupa perkataan maupun perbuatan yang haram.

PERNIKAHAN LINTAS AGAMA

Hukum Puasa 6 Hari di Bulan Syawal

Perzinahan dan Hukumnya SEPUTAR MASALAH PERZINAHAN DAN AKIBAT HUKUMNYA

MACAM-MACAM MAHRAM 1. MAHRAM KARENA NASAB Allah berfirman:

Keutamaan SABAR dalam Menghadapi Cobaan

Kewajiban Haji dan Beberapa Peringatan Penting dalam Pelaksanaannya

Kewajiban Berbakti Kepada Orang Tua

[

Shalat Berjamaah Tidak di Rumah

Kepada Siapa Puasa Diwajibkan?

MUNAKAHAT : IDDAH, RUJUK, FASAKH,KHULU DISEDIAKAN OLEH: SITI NUR ATIQAH

TANYA JAWAB SEPUTAR FIQIH dan SURAT AL-FATIHAH

Jika Beragama Mengikuti Kebanyakan Orang

992. Abdullah bin Umar r.a. berkata, "Rasulullah biasa melakukan i'tikaf pada sepuluh hari yang terakhir dari bulan Ramadhan."

BAB IV ANALISIS PERNIKAHAN DALAM MASA IDDAH. A. Analisis Pemikiran Pernikahan dalam Masa Iddah di Desa Sepulu Kecamatan

APAKAH ITU MAHRAM. Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda:

Jangan Taati Ulama Dalam Hal Dosa dan Maksiat

Warisan Wanita Digugat!

Engkau Bersama Orang Yang Kau Cintai

FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor 17 Tahun 2013 Tentang BERISTRI LEBIH DARI EMPAT DALAM WAKTU BERSAMAAN

Menyoal Poligami dan Kendalanya Jumat, 26 Nopember 04

Sunah Yang Hilang di Bulan Dzulhijjah

UCAPAN SELAMAT HARI RAYA

Memaksimalkan Waktu-Waktu Mustajab Untuk Berdoa

BAB IV ANALISIS TENTANG IDDAH BAGI ISTRI YANG DITINGGAL MATI SUAMINYA DALAM KEADAAN HAMIL

Kematian Lebih Baik Bagi Seorang Mukmin

Islam Punya Cara Terhormat Untuk Memuliakan Wanita

Pentingnya Menyambung Silaturahmi

HUKUM-HUKUM HAID. Oleh Syaikh Muhammad bin Shaleh Al 'Utsaimin

Perbandingan Kenikmatan Surga dan Kenikmatan Dunia

AWAS!!! JANGAN SEPELEKAN PERKARA DALAM AGAMA ISLAM Al Ustadz Muhammad Umar as Sewed

Mengenal Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah

??????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????

Tauhid Yang Pertama dan Utama

Bersama Orang Tua Menuju Surga

TAFSIR AL BAQARAH Talak (Cerai) dalam Islam. Varyzcha

1 NIKAH, THALAK, I DDAH, RUJU

Berhati-Hati Dalam Menjawab Permasalahan Agama

BAB IV DASAR PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PUTUSAN WARIS BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

Qunut dalam Shalat Witir

E٤٨٤ J٤٧٧ W F : :

Sifat Allah Al-Hayiyyu, Yang Maha Pemalu

TEMAN WANITA BARU MASUK ISLAM, APAKAH PERLU DIBERITAHU TENTANG HARAMNYA TETAP HIDUP BERSAMA SUAMINYA YANG KAFIR

Bahaya Minuman Keras. Khutbah Pertama:

Fikih Ringkas dalam Berkurban

FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor : 24 Tahun 2012 Tentang PEMANFAATAN BEKICOT UNTUK KEPENTINGAN NON-PANGAN

Pentingnya Menyambung Silaturahmi

Menjaga Kebersihan Jasmani bagian dari Sunnah Rasulullah

2. Jika memang ada haditsnya, Kenapa dosa meratapi mayit ditimpakan ke mayit, padahal yg melakukan kesalahan itu adalah orang lain.

Hari ini adalah hari Asyura, dan saya puasa pada hari tersebut, siapa yang suka maka hendaklah dia puasa dan siapa yang suka dia berbuka

MENJAGA KEBERSIHAN JASMANI Bentuk Pengamalan Sunnah Nabi Shalallahu alaihi wa Sallam, Bag: 2

Bimbingan Islam di Musim Hujan

DI BULAN SUCI RAMADHAN

Rasulullah saw. memotong tangan pencuri dalam (pencurian) sebanyak seperempat dinar ke atas. (Shahih Muslim No.3189)

Adab Makan. Karya: Dr. Amin bin Abdullah asy-syaqawi. Terjemah : Muzaffar Sahidu Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad

استقبال شهر رمضان MENYAMBUT DATANGNYA BULAN RAMADHAN. Oleh: Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-utsaimin Rahimahullahu Ta ala. Diterjemahkan Oleh:

Otopsi Jenazah Dalam Tinjauan Syar'i

Umrah dan Haji Sebagai Penebus Dosa

Hukum Mengqadha' Puasa Ramadhan

Derajat Hadits Puasa TARWIYAH

Menjaga Hak-Hak Orang Yang Sudah Tua

Seorang Bapak Tidak Boleh Memaksa Putrinya Menikah

??????????????????????????????????????????????? :????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????.

Proposal Ke-11 Permintaan Opini Dewan Pengawas Syariah (DPS) Tentang Pengolahan Daging Qurban Menjadi Sosis atau Kornet

Transkripsi:

Berihdad atas kematian suami wajib dijalani seorang istri selama empat bulan sepuluh hari. Demikian pendapat mayoritas ulama bahkan hampir seluruh mereka, kecuali pendapat berbeda yang dinukilkan dari Al-Hasan Al-Bashri dan Asy-Sya bi. Namun pendapat keduanya ganjil, menyelisihi sunnah hingga tak perlu ditengok. Kata Al-Imam Ahmad rahimahullahu, Tersembunyi perkara ihdad ini bagi keduanya. Adapun selain kematian suami, baik kematian ayah, ibu saudara laki-laki, anak dan sebagainya, maka haram hukumnya bila melebihi tiga hari. [Fathul Bari 9/601,602, Zadul Ma ad 4/220, Subulus Salam 3/312] Zainab bintu Abi Salamah berkata, Aku masuk menemui Ummu Habibah radhiyallahu 'anha istri Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, saat datang berita kematian ayahnya Abu Sufyan radhiyallahu 'anhu dari negeri Syam. Pada hari ketiga setelah meninggalnya sang ayah, Ummu Habibah meminta minyak wangi lalu mengusapkannya pada kedua sisi wajahnya dan kedua pergelangannya. Demi Allah!, katanya, Aku sebenarnya tidak berkeinginan terhadap wewangian. Hanya saja aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda di atas mimbar: Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berihdad terhadap mayat lebih dari tiga hari kecuali bila yang meninggal itu suaminya, maka ia berihdad selama empat bulan sepuluh hari. Zainab berkata lagi, Kemudian aku masuk menemui Ummul Mukminin Zainab bintu Jahsyin radhiyallahu anha ketika saudara laki-lakinya meninggal dunia. Lalu ia minta diambilkan minyak wangi untuk diusapkan pada dirinya.ia pun berkata, Aku sebenarnya tidak berkeinginan terhadap wewangian. Hanya saja aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda di atas mimbar: Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berihdad terhadap mayat lebih dari tiga hari. Kecuali bila yang meninggal itu suaminya, maka ia berihdad selama empat bulan sepuluh hari. Zainab melanjutkan penjelasannya, Aku pernah mendengar ibuku, Ummu Salamah radhiyallahu anha, berkata, Datang seorang wanita menemui Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Ia berkata, Wahai Rasulullah, suami putriku telah meninggal dunia. Sementara putriku mengeluhkan rasa sakit pada matanya. Apakah kami boleh memakaikan celak pada matanya? Tidak, jawab Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam sebanyak dua atau tiga kali. Setelahnya beliau bersabda: Masa ihdad itu hanyalah empat bulan sepuluh hari. Adapun dulu di masa jahiliah salah seorang wanita dari kalian menjalani masa iddahnya selama satu tahun. (HR. Al-Bukhari no. 1281, 1282, 5336 dan Muslim no. 3709) Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata, Dalam hadits di atas ada dalil wajibnya berihdad bagi wanita yang menjalani iddah karena wafatnya suami. Perkara ini secara umum disepakati walaupun ulama berselisih dalam perinciannya. Ihdad ini wajib bagi setiap wanita yang menjalani iddah karena kematian suami, baik ia telah berkumpul dengan suaminya atau pun belum, si wanita masih kecil atau sudah besar, perawan (ketika dinikahi suaminya) atau sudah janda, wanita merdeka atau budak 1, wanita muslimah atau wanita kafir 2. Ini 1 Bila seorang wanita yang berstatus budak dinikahkan oleh tuannya dengan seorang lelaki, lalu si lelaki meninggal dunia maka wanita tersebut wajib berihdad berdasarkan keumuman ayat: Dan orangorang yang meninggal dunia di antara kalian dengan meninggalkan istri -istri. (Al- Baqarah: 234) Permasalahan ihdad ini berkaitan dengan hak suami. Dan ihdad merupakan perkara yang mengikuti iddah. (Asy-Syarhul Mumti, 5/717) 2 Dari kalangan Yahudi atau Nasrani. Apabila ada wanita Yahudi atau Nasrani yang dinikahi oleh seorang muslim, lalu si suami meninggal dunia maka si istri wajib berihdad. Karena ihdad itu mengikuti iddah walaupun si istri kafir. Dalilnya adalah keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta ala: Dan orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian dengan meninggalkan istri -istri. (Al- Baqarah: 234) [Asy-Syarhul Mumti, 5/715]

merupakan madzhab Al-Imam Asy-Syafi i rahimahullahu dan jumhur. Abu Hanifah rahimahullahu dan selainnya dari kalangan ulama negeri Kufah, Abu Tsaur rahimahullahu, dan sebagian Malikiyah menyatakan, Tidak wajib berihdad bagi seorang istri dari kalangan ahlul kitab (Yahudi atau Nasrani, pent.). Karena ihdad hanya khusus bagi istri yang muslimah, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam: Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah. Dalam hadits di atas dikhususkan penyebutan wanita yang beriman (mukminah). Jumhur 3 memberi jawaban dengan menyatakan bahwa dalam hadits disebutkan orang yang beriman karena hanya orang berimanlah yang bisa mengambil buah dari pembicaraan sang penetap syariat, mengambil manfaat dengannya dan terikat padanya. Karena itulah, sasaran pembicaraan dalam hadits dikaitkan dengannya 4. Abu Hanifah rahimahullahu juga berkata menyelisihi pendapat jumhur, Tidak ada ihdad bagi istri yang masih kecil. Tidak pula bagi istri yang berstatus budak. Ulama sepakat tidak ada ihdad bagi ummul walad (budak perempuan yang telah melahirkan anak untuk tuannya, pent.), tidak pula bagi budak perempuan yang tuannya meninggal 5. Demikian juga istri yang ditalak raj i (talak satu dan dua atau talak yang bisa dirujuk kembali oleh suaminya, pent.). Adapun terhadap istri yang ditalak tiga (talak ba in), mereka berbeda pendapat. Atha`, Rabi ah, Malik, Al-Laits, Asy-Syafi i, dan Ibnul Mundzir rahimahumullah berpendapat tidak ada ihdad baginya. Sedangkan Al-Hakam, Abu Hanifah, ulama Kufah, Abu Tsaur, dan Abu Ubaid rahimahumullah berpendapat ada ihdad bagi istri yang ditalak tiga. Asy-Syafi i rahimahullahu juga memiliki pendapat seperti ini, namun merupakan pendapat yang lemah dari beliau. Al-Qadhi rahimahullahu menghikayatkan satu ucapan dari Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu yang menyatakan tidak wajibnya ihdad bagi wanita yang ditalak, bahkan juga bagi wanita yang suaminya meninggal dunia. Namun pendapat ini ganjil dan aneh. Mereka yang berpendapat tidak ada ihdad bagi wanita yang ditalak tiga, berdalil dengan sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam: terhadap mayat. 6 3 Yang berpendapat bahwa ihdad berlaku bagi setiap istri yang ditinggal mati suaminya, baik si istri muslimah ataupun non muslimah 4 Dalam Fathul Bari disebutkan, jawaban jumhur dalam hal ini adalah bahwa lafadz beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta ala disebutkan sebagai penekanan untuk menyatakan sangat dicercanya hal tersebut (berihdad lebih dari tiga hari karena kematian selain suami). Sehingga tidak bisa difahami bahwa ihdad hanya berlaku bagi wanita yang beriman. Sebagaimana kalau kita menyatakan, Ini adalah jalan kaum muslimin. Sementara jalan tersebut terkadang dilalui pula oleh selain kaum muslimin. (9/602) Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu menyatakan bahwa yang dimaukan dengan hadits: Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir Adalah untuk memberi hasungan dan anjuran kepada wanita agar tidak melakukan perbuatan demikian. Bukan maksudnya membatasi hukumnya hanya untuk wanita beriman saja sementara yang lain tidak masuk di dalamnya. Sebagaimana kalau kita mengatakan, Tidak mungkin seorang yang dermawan menghinakan tamunya. Kita maksudkan dengan kalimat ini sebagai hasungan untuk memuliakan tamu. (Asy-Syarhul Mumti, 5/716) 5 Karena mereka tidak berstatus istri dan si mayat bukan suami mereka. Sementara dalam hadits disebutkan dengan lafadz: kecuali bila yang meninggal suaminya. (Al-Mughni, kitab Al- Iddah, fashl La Ihdada ala Ghairiz Zaujat) 6 Lengkapnya: Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berihdad terhadap mayat. Kata Al-Imam Ash-Shan ani rahimahullahu, Dalam ucapan Nabi: terhadap mayat. ada dalil

Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengkhususkan kebolehan berihdad disebabkan kematian seseorang setelah mengharamkannya, bila bukan karena kematian. Al-Qadhi rahimahullahu berkata: Wajibnya ihdad bagi wanita yang meninggal suaminya diketahui dari kesepakatan ulama yang membawa hadits tentang ihdad kepada hukum wajib. Walaupun dalam lafadz hadits tersebut tidak ada yang menunjukkan wajibnya, akan tetapi mereka sepakat membawa hadits tersebut kepada hukum wajib. Bersamaan pula adanya pendukung dari sabda beliau Shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits lain seperti hadits Ummu Salamah radhiyallahu anha 7, hadits Ummu Athiyyah radhiyallahu anha tentang celak, minyak wangi, dan pakaian perhiasan, serta pelarangan beliau darinya. Wallahu a lam. (Al-Minhaj, 9/351-352) Dalam hadits di atas juga terdapat dalil bolehnya berihdad karena kematian kerabat atau yang lainnya selama tiga hari dan tidak boleh (haram) jika lebih. Batasan waktu tiga hari ini dibolehkan karena syariat memerhatikan keadaan jiwa dan tabiat seorang manusia yang jelas berduka bila ditinggal mati oleh orang yang dikasihinya hingga ia tak berselera berdandan, memakai pakaian bagus dan sebagainya. Karena itulah Ummu Habibah radhiyallahu anha dan Zainab bintu Jahsyin radhiyallahu anha memakai wewangian untuk keluar dari ihdadnya. Dan secara jelas keduanya menyatakan bahwa mereka memakai wangi-wangian bukan karena suatu kebutuhan. Ini sebagai isyarat bahwa bekas-bekas kesedihan masih ada pada mereka, namun karena syariat tidak membolehkan berihdad lebih dari tiga hari, maka tidak ada yang melapangkan mereka kecuali berpegang dengan perintah agama. [Fathul Bari 9/602, Asy-Syarhul Mumti 5/712, Nailul Authar 6/3434] Lama Ihdad Lamanya masa ihdad adalah selama masa iddah seorang wanita yang ditinggal mati suaminya, yaitu empat bulan sepuluh hari sebagaimana ditunjukkan dalam hadits di atas. Dan sepuluh hari yang disebutkan dalam hadits: و ع ش ر ا mencakup pula malam-malamnya. [Fathul Bari 9/603] Kata Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu, Ini merupakan madzhab kami dan madzhab ulama secara keseluruhan. Kecuali pendapat berbeda yang dihikayatkan dari Yahya ibnu Abi Katsir dan Al-Auza i yang menyatakan lamanya empat bulan sepuluh malam dan si wanita telah halal (tidak lagi berihdad) pada hari yang kesepuluh [Karena menurut pendapat ini, yang terhitung hanyalah malam tidak menyertakan hari]. Sementara pendapat kami dan jumhur, si wanita tidak halal hingga ia masuk malam yang kesebelas. [Setelah berlalu hari kesepuluhnya] (Al-Minhaj, 9/352) Bila si istri dalam keadaan hamil, maka masa iddah dan ihdadnya berakhir dengan melahirkan kandungannya, walaupun ia melahirkan sesaat sebelum jenazah suaminya dimandikan. Iddahnya saat itu telah berakhir dan halal baginya untuk menikah. Demikian pendapat jumhur ulama dari kalangan salaf dan khalaf, dengan dalil ayat berikut ini: Dan istri-istri yang sedang hamil waktu iddah mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungannya. (Ath-Thalaq: 4) 8 tentang tidak adanya ihdad bagi istri yang ditalak. Bila talaknya raj i maka perkaranya disepakati. Adapun kalau talaknya ba in, jumhur ulama berpendapat tidak ada ihdadnya. (Subulus Salam, 3/313) 7 Tentang seorang wanita yang memintakan izin putrinya yang baru ditinggal mati suaminya untuk memakai celak karena keluhan sakit pada matanya. Hadits ini menunjukkan wajib berihdad bagi wanita yang wafat suaminya. Karena kalau tidak wajib, niscaya Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam tidak akan melarang seseorang berobat dengan pengobatan yang mubah seperti mengobati penyakit mata dengan bercelak. (Fathul Bari, 9/601) 8 Al-Jami li Ahkamil Qur`an 3/115, Al-Hawi 11/235, Al-Minhaj 9/348, Al-Mughni kitab Al- Iddah, fashl Aqsamul Mu tadat, Al-Muhalla bil Atsar 10/41

Dan juga berdalil dengan kisah Subai ah Al-Aslamiyyah radhiyallahu anha. Ummul Mukminin Ummu Salamah radhiyallahu anha menceritakan: Ada seorang wanita dari Aslam bernama Subai ah. Ia sedang hamil saat suaminya meninggal dunia. Setelah melahirkan ia dipinang oleh Abus Sanabil bin Ba kak, namun Subai ah menolak untuk menikah dengannya. Lalu Abus Sanabil berfatwa kepada Subai ah, Demi Allah, tidak sepantasnya engkau menikah dengannya 9 sampai engkau beriddah dalam waktu yang paling akhir (paling panjang) dari dua waktu yang ada 10. Maka Subai ah pun berdiam selama sepuluh malam. Kemudian ia mendatangi Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, untuk bertanya tentang perkaranya dan ternyata Nabi bersabda, Menikahlah. (HR. Al-Bukhari no. 5318) Ubaidillah bin Abdillah bin Utbah bin Mas ud mengabarkan bahwa ayahnya menulis surat kepada Umar bin Abdilllah Ibnul Arqam Az-Zuhri memerintahkannya agar bertanya kepada Subai ah Al-Aslamiyyah tentang haditsnya dan tentang apa yang difatwakan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dalam perkaranya ketika ia minta fatwa. Maka Umar bin Abdillah pun membalas surat Abdullah bin Utbah mengabarkan bahwa Subai ah berkisah, dulunya ia bersuamikan Sa d bin Khaulah yang bernisbah kepada Bani Amir bin Lu`ai. Suaminya termasuk shahabat yang ikut dalam perang Badar. Ketika haji wada, suaminya meninggal dunia dalam keadaan ia sedang mengandung. Tidak berapa lama setelahnya ia melahirkan. Sesucinya dari nifasnya, ia pun berdandan untuk menerima orang-orang yang mau melamarnya. Ketika itu masuk Abus Sanabil bin Ba kak, seorang lelaki dari Bani Abdid Dar, 9 Dalam Muwaththa` Al-Imam Malik rahimahullahu (no. 1286) disebutkan bahwa ada dua orang lelaki yang meminang Subai ah. Seorang anak muda (Abul Basyar) dan seorang lagi lelaki berusia antara 30-50 tahun (Abus Sanabil). Subai ah cenderung dan lebih terpikat kepada Abul Basyar. Maka Abus Sanabil mengatakan, Engkau belum halal untuk menikah. Ia mengatakan demikian karena berharap sekembalinya keluarga Subai ah dari bepergian, mereka akan mengedepankannya dari yang lain untuk menikahi Subai ah. 10 Demikian pendapat yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu dan Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, dengan mengumpulkan dua firman Allah Subhanahu wa Ta ala, yaitu: Dan orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian dengan meninggalkan istri -istri, hendaklah para istri itu menangguhkan diri mereka (beriddah) selama empat bulan sepuluh hari. (Al-Baqarah: 234) dan ayat: Dan istri-istri yang sedang hamil, waktu iddah mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungannya. (Ath-Thalaq: 4) Menurut pendapat ini, iddah si wanita adalah masa yang paling akhir/paling panjang dari dua waktu yang ada, waktu 4 bulan 10 hari atau waktu melahirkan. Misalnya bila ia melahirkan 2 bulan setelah suaminya wafat, iddahnya belumlah berakhir karena waktu yang paling panjang adalah 4 bulan 10 hari. Sehingga ia harus menunggu sampai selesainya 4 bulan 10 hari tersebut. Contoh lain, bila sampai 4 bulan 10 hari ia belum juga melahirkan, maka iddahnya belumlah selesai meski sudah berlalu 4 bulan 10 hari tersebut. Ia harus menunggu hingga melahirkan kandungannya, karena itulah masa yang paling panjang dari dua waktu yang ada. Misalnya ia baru melahirkan setelah 9 bulan suaminya wafat, maka itulah akhir masa iddahnya. Wallahu a lam. (lihat Ihkamul Ahkam kitab Ath-Thalaq, bab Al- Iddah, no. hadits 320, Asy-Syarhul Mumti, 5/674) Pendapat ini ditolak oleh hadits Subai ah yang shahih, sebagai nash yang menunjukkan Subai ah telah halal dengan melahirkan kandungannya (selesai dari iddah). Dengan demikian dari hadits Subai ah tersebut kita dapatkan keterangan bahwa yang ditujukan oleh firman Allah Subhanahu wa Ta ala: Dan orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian dengan meninggalkan istri-istri, hendaklah para istri itu menangguhkan diri mereka (beriddah) selama empat bulan sepuluh hari. (Al-Baqarah: 234) Adalah para istri yang tidak sedang mengandung. Hadits Subai ah merupakan pengkhusus dari keumuman ayat ini dan menerangkan bahwa firman Allah Subhanahu wa Ta ala: Dan istri-istri yang sedang hamil waktu iddah mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungannya. (Ath- Thalaq: 4) berlaku umum, baik bagi istri yang ditalak ataupun istri yang meninggal suaminya. (Al-Minhaj 9/348, Fathul Bari, 9/587)

menemuinya sambil berkata memberi fatwa, Kenapa aku melihatmu berdandan? Mungkinkah engkau ingin menikah lagi? Padahal demi Allah, engkau tidak boleh menikah hingga berlalu waktu empat bulan sepuluh hari. Subai ah berkata, Mendengar ucapan demikian darinya, maka pada sore harinya aku menemui Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam untuk bertanya tentang hal tersebut. Ternyata beliau memfatwakan bahwa aku telah halal (selesai dari masa iddah) ketika aku melahirkan kandunganku 11, dan beliau memerintahkan agar aku menikah jika ada keinginan ke sana. (HR. Al-Bukhari no. 3991, 5319 dan Muslim no. 3706) Sepanjang masa iddahnya, si istri harus berihdad hingga selesai melahirkan kandungannya, sama saja baik masanya pendek atau panjang. Bila ia telah melahirkan maka tidak ada ihdad setelahnya [Al-Minhaj 9/352, Al-Muhalla 10/72, Asy-Syarhul Mumti 5/714]. Masa iddah disertai ihdad yang harus dijalani seorang istri yang ditinggal mati suami ini terhitung masa yang pendek bila dibandingkan dengan keadaan wanita di masa jahiliahnya bangsa Arab. Di mana seorang istri yang ditinggal mati suami harus berkabung selama setahun, sebagaimana telah disinggung dalam hadits tentang ihdad di atas. Dalam riwayat lain Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengabarkan tentang iddah wanita di jaman jahiliah dengan pernyataan: Dulunya salah seorang wanita dari kalian menjalani masa iddahnya dengan menetap di rumahnya yang paling buruk dengan mengenakan pakaiannya yang paling jelek atau: ia mengenakan pakaiannya yang paling jelek di dalam rumahnya selama satu tahun. Apabila lewat seekor anjing, ia melempar kotoran hewan kemudian ia keluar. (HR. Al- Bukhari no. 1280 dan Muslim no. 3711) Ibnu Daqiqil Ied rahimahullahu menyatakan, dalam hadits di atas ada isyarat pendeknya waktu ihdad seorang istri bila dibandingkan dengan iddah dan ihdad para istri di masa jahiliah, sehingga sepatutnya si istri lebih bersabar menjalaninya. (Ihkamul Ahkam, kitab Ath- Thalaq, bab Al- Iddah) Sebenarnya masa iddah dan ihdad selama setahun tersebut terus berlanjut setelah datangnya Islam, dengan dalil firman Allah Subhanahu wa Ta ala: Dan orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian dengan meninggalkan istri-istri, hendaklah mereka berwasiat untuk istri-istrinya, yaitu diberi nafkah hingga setahun lamanya (Al-Baqarah: 240) Namun kemudian ayat ini dihapus dengan ayat yang sebelumnya, yaitu: Dan orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian dengan meninggalkan istri-istri, hendaklah para istri itu menangguhkan diri mereka (beriddah) selama empat bulan sepuluh hari (Al-Baqarah: 234) [Tafsir Ibni Katsir 1/388, Al-Hawil Kabir 11/232] Wallahu ta ala a lam bish-shawab. http://asysyariah.com 11 Nabi Shallallahu alaihi wa sallam menetapkan bahwa Subai ah telah selesai iddahnya dan halal untuk menikah tatkala ia telah melahirkan dan Nabi tidak mensyaratkan agar Subai ah suci dulu dari nifasnya, karena nifas sebagaimana haid bukanlah penghalang untuk melangsungkan akad nikah. Ibnu Syihab rahimahullahu berkata, Aku memandang tidak apa-apa si wanita menikah seselesainya dari melahirkan, walaupun darah nifasnya masih keluar. Hanya saja suaminya yang baru tersebut tidak boleh menggaulinya sampai ia suci dari nifasnya. (Al-Minhaj 9/349)