Hingga tahun 2009 pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi telah menunjukkan hasil yang optimal, yang ditunjukkan dengan telah diselesaikannya

dokumen-dokumen yang mirip
I. Permasalahan yang Dihadapi

maupun peningkatan sarana dan prasarana sistem mitigasi bencana serta pengurangan risiko bencana.

Ringkasan Eksekutif. Laporan Kemajuan MDF Desember 2009 Ringkasan Eksekutif

KEDEPUTIAN PENCEGAHAN DAN KESIAPSIAGAAN BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA

INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU)

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB II VISI, MISI DAN LANDASAN PENGURANGAN RISIKO BENCANA

PERAN KEDEPUTIAN PENCEGAHAN DAN KESIAPSIAGAAN DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL BIDANG PENANGGULANGAN BENCANA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA BAB 33 PENANGGULANGAN DAN PENGURANGAN RISIKO BENCANA

BAB IV RENCANA AKSI DAERAH PENGURANGAN RESIKO BENCANA KABUPATEN PIDIE JAYA TAHUN

REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KATA PENGANTAR. Jakarta, Januari 2010 Kepala, Syamsul Maarif

xvii Damage, Loss and Preliminary Needs Assessment Ringkasan Eksekutif

BAB I PENDAHULUAN. Bencana gempa bumi yang berkekuatan 8,9 skala Richter yang diikuti

Peran Kelembagaan dalam Mitigasi Bencana di Indonesia. Oleh: Rudi Saprudin Darwis

PERAN BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH DALAM PENGUATAN KOORDINASI PENANGGULANGAN BENCANA DAN PENGANGGARAN BTT

Bab 4 Menatap ke Depan: Perubahan Konteks Operasional

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

INTEGRASI RPB dalam PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

Nomor : 5/PER/BP-BRR/I/2007 TENTANG

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Program Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK)

PENANGGULANGAN BENCANA (PB) Disusun : IdaYustinA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

V BAB V PENYAJIAN VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN

Bencana terkait dengan cuaca dan iklim [Renas PB ]

PERATURAN KEPALA BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA NOMOR 17 TAHUN 2010 TENTANG

2 2015, No.1443 Pemerintah Pusat Kepada Pemerintah Daerah Dalam Rangka Bantuan Pendanaan Rehabilitasi Dan Rekonstruksi Pascabencana; Mengingat : 1. Un

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BNPB. Bantuan logistik. Pedoman. Perubahan.

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 185 TAHUN 2014 TENTANG PERCEPATAN PENYEDIAAN AIR MINUM DAN SANITASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

INSTRUKSI GUBERNUR JAWA TENGAH

Kerangka Acuan Peringatan Bulan Pengurangan Risiko Bencana Nasional

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2008 TENTANG PENDANAAN DAN PENGELOLAAN BANTUAN BENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENDANAAN PENANGGULANGAN BENCANA DI DAERAH

Versi 27 Februari 2017

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN BENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2008 TENTANG PENDANAAN DAN PENGELOLAAN BANTUAN BENCANA

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN PROVINSI SULAWESI TENGAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2015, No Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 127, Tamba

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN BENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2008 TENTANG PENDANAAN DAN PENGELOLAAN BANTUAN BENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MATRIKS SANDINGAN PERUNDANG-UNDANGAN DALAM PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN BENCANA 1 BNPB KEMENDAGRI KEMENSOS CATATAN. Pemerintahan Daerah

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan lingkungan termasuk pencegahan, penanggulangan kerusakan,

KATA PENGANTAR RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN PACITAN

a. Visi Masyarakat Kabupaten Aceh jaya Tangguh Menghadapi Bencana Yang Didukung Sumber Daya Manusia Yang Berkualitas, Beriman dan Bertaqwa

PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA,

BAB V. RENCANA PROGRAM, KEGIATAN DAN INDIKATOR KINERJA, KELOMPOK SASARAN DAN PENDANAAN INDIKATIF

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BIMA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Strategi Sanitasi Kabupaten Malaka

KONDISI TEKTONIK INDONESIA

Memorandum Program Sanitasi (MPS) Kabupaten Balangan BAB 1 PENDAHULUAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 4 Tahun : 2011 Seri : D

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN BENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PB

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 81/Permentan/OT.140/8/2013 TENTANG PEDOMAN TEKNIS TATA CARA ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA

RENCANA KERJA SATUAN KERJA PERANGKAT ACEH (RENJA-SKPA) BAPEDAL ACEH TAHUN 2015

MANAJEMEN BENCANA PENGERTIAN - PENGERTIAN. Definisi Bencana (disaster) DEPARTEMEN DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

BAB 12 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH

PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 10 TAHUN 2010

PENERAPAN KERANGKA KERJA BERSAMA SEKOLAH AMAN ASEAN UNTUK PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DI INDONESIA

BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2011 NOMOR 32 SERI E

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ARAH KEBIJAKAN RENCANA INDUK KELITBANGAN OLEH KEPALA BALITBANG PROV. SUMBAR BUKITTINGGI, TANGGAL 25 APRIL 2018

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENGANTAR. Wilayah Indonesia terletak pada jalur gempa bumi dan gunung berapi

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN PROVINSI SULAWESI TENGAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

REVIEW UPAYA REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI TAHUN dan INA DRI

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

EKSPOSE HASIL PEMANTAUAN DAN EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM DAN KEGIATAN PENANGGULANGAN BENCANA NASIONAL TAHUN 2016 SEKRETARIS UTAMA

- 2 - MEMUTUSKAN : PERATURAN GUBERNUR TENTANG PERBAIKAN DARURAT PADA SAAT TRANSISI DARURAT BENCANA DI ACEH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia dengan keadaan geografis dan kondisi sosialnya berpotensi rawan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH

GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 43 TAHUN 2010 TENTANG SISTEM PERINGATAN DINI DAN PENANGANAN DARURAT BENCANA TSUNAMI ACEH

GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 104 TAHUN 2016 TENTANG

PEMERINTAH KOTA SINGKAWANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

RANCANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia terletak pada 6º LU 11º LS dan 95º BT - 141º BT, antara

BAB - I PENDAHULUAN I Latar Belakang

PEMUTAKHIRAN SSK LAMPUNG TIMUR Tahun 2016

WALIKOTA MATARAM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN WALIKOTA MATARAM NOMOR : 7 TAHUN 2017 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. sebenarnya adalah proses dan fenomena alam yang menimpa manusia. Rentetan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2016 SERI D.4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG

PENDAHULUAN Latar Belakang 1-1

BAB III LANDASAN TEORI

Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kab. Banyuwangi 1

BAB 4 STRATEGI SEKTOR SANITASI KABUPATEN GUNUNGKIDUL

Transkripsi:

BAB 34 REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI DI WILAYAH PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM DAN KEPULAUAN NIAS PROVINSI SUMATERA UTARA, PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA DAN PROVINSI JAWA TENGAH, DAN PENANGGULANGAN LUMPUR SIDOARJO, SERTA PENGURANGAN RISIKO BENCANA Dalam kurun waktu hampir lima tahun terakhir, sejak terjadinya bencana tsunami dan gempa bumi di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias di Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2004, disusul kemudian bencana gempa bumi di wilayah Provinsi DI Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah, gempa bumi di wilayah Provinsi Sumatera Barat dan Provinsi Bengkulu serta kejadian semburan lumpur panas di Sidoarjo pada tahun 2006, berbagai upaya penanganan telah dilakukan sejak masa tanggap darurat sampai pada upaya rehabilitasi dan rekonstruksi. Keseriusan pemerintah dalam menangani kejadian bencana diwujudkan dengan dikeluarkannya beberapa kebijakan khusus bagi wilayah yang terkena dampak bencana sebagai pedoman umum pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi yang disertai dukungan pendanaan melalui APBN, termasuk menjalin kerjasama dengan lembaga dan donor internasional dalam upaya mendukung percepatan bagi pemulihan di wilayah pascabencana.

Hingga tahun 2009 pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi telah menunjukkan hasil yang optimal, yang ditunjukkan dengan telah diselesaikannya program rehabilitasi dan rekonstruksi fisik terutama di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara, serta di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2008. Demikian pula dengan proses penanganan terhadap korban semburan lumpur panas Sidoarjo yang terus ditingkatkan. Besarnya potensi ancaman bencana alam yang setiap saat dapat mengancam dan mempengaruhi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia serta guna meminimalkan risiko pada kejadian mendatang, perlu disikapi dengan meningkatkan kapasitas dalam penanganan dan pengurangan risiko bencana baik di tingkat Pemerintah maupun masyarakat. Sebagaimana halnya untuk mewujudkan pembangunan yang berkesinambungan, kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi perlu dipadukan dengan upaya-upaya penanganan dan pengurangan risiko bencana yang dilakukan secara komprehensif dan sistematis dan komitmen yang kuat dari semua pihak. Seiring dengan perubahan paradigma penanganan bencana di Indonesia yang telah mengalami pergeseran, yaitu penanganan bencana tidak lagi menekankan pada aspek tanggap darurat, tetapi lebih menekankan pada keseluruhan manajemen risiko. Perlindungan masyarakat dari ancaman bencana bukan lagi menjadi tanggung jawab Pemerintah semata, melainkan menjadi tanggungjawab bersama. Di samping itu, Pemerintah juga secara aktif melibatkan dan meningkatkan partisipasi lintaspemangku kepentingan yang berasal dari non-pemerintah seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), perguruan tinggi, dunia usaha, media, serta lembaga donor internasional dalam upaya penanggulangan bencana dan pengurangan risiko bencana sebagai wujud komitmen dari para pemangku kepentingan tersebut, termasuk di dalamnya yaitu upaya edukasi dan peningkatan penyadaran masyarakat akan pentingnya pengurangan risiko bencana. 34-2

I. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI A. Rehabilitasi dan Rekonstruksi di Wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Kepulauan Nias (Provinsi Sumatera Utara) Tahun 2008 merupakan tahun terakhir pelaksanaan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi di wilayah Provinsi NAD dan Kepulauan Nias (Provinsi Sumatera Utara) yang dilakukan oleh Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD dan Kepulauan Nias (BRR NAD-Nias). Tahun ini merupakan persiapan pengakhiran masa tugas BRR NAD-Nias, sebagaimana ketentuan yang diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2005 juncto. Undang-Undang Nomor 10 tahun 2005, BRR NAD-Nias mengakhiri masa tugasnya pada bulan April 2009 dan tanggung jawab pelaksanaan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi pascamandat BRR NAD-Nias dikembalikan kepada tugas dan tanggung jawab pemerintah daerah serta kepada 6 (enam) Kementerian/Lembaga terkait di tingkat pusat, yaitu: (1) Departemen Pekerjaan Umum, (2) Departemen Perhubungan, (3) Departemen Agama, (4) Departemen Dalam Negeri, (5) Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal, dan (6) Badan Pertanahan Nasional, yang dikoordinasikan oleh Bappenas, dengan berkonsultasi dengan Pemerintah Daerah Provinsi NAD dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara sesuai perundang-undangan yang berlaku. Penegasan tentang proses peralihan/transisi mandat dan tanggungjawab tersebut dituangkan dalam Perpres Nomor 3 Tahun 2009 pasal 2 ayat 1 tentang Pengakhiran Masa Tugas BRR NAD dan Nias dan Kesinambungan Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi di Provinsi NAD dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara, menyatakan bahwa BRR NAD dan Nias akan berakhir masa tugasnya pada tanggal 16 April 2009. Proses peralihan yang dimaksud meliputi peralihan transfer aset, perlengkapan, personel, pendanaan dan dokumen (AP3D) kepada pemerintah daerah dan 34-3

kementerian / lembaga terkait yang melaui transisi bertahap dari fase rekonstruksi menuju pembangunan daerah yang berkelanjutan. Sampai berakhirnya masa tugas BRR NAD dan Nias, masih dihadapi beberapa permasalahan mengenai: (1) sasaran rahabilitasi dan rekonstruksi dalam Rencana Induk tidak semuanya dapat dicapai secara keseluruhan; (2) dana rehabilitasi dan rekonstruksi yang sudah masuk ke dalam dokumen anggaran (DIPA) tidak terserap secara keseluruhan; dan (3) proses pengalihan asset rehabilitasi dan rekonstruksi kepada K/L dan Pemerintah Daerah belum sepenuhnya berjalan dengan baik dan tepat waktu. B. Rehabilitasi dan Rekonstruksi di Wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Jawa Tengah, dan Daerah Pascabencana Alam Lainnya. Proses pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana gempa bumi 27 Mei 2006 di wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Provinsi Jawa Tengah, yang direncanakan dalam 2 (dua) tahun telah berakhir pada tanggal 3 Juli 2008. Selama dua tahun pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi telah dicapai hasil yang cukup memuaskan. Namun, hal tersebut masih memerlukan upaya pembangunan dan pemulihan berkelanjutan terutama peningkatan kesadaran masyarakat terhadap upaya-upaya pengurangan risiko bencana. Bidang ekonomi juga masih memerlukan perhatian terutama bagaimana mendorong usaha dan mata pencaharian masyarakat pulih kembali sebagaimana sebelum gempa, khususnya dalam aspek permodalan, alat produksi, dan jaringan ke pasar. Terkait dengan penanganan pascabencana alam di wilayah lainnya, antara lain, pascabencana gempa bumi di wilayah Provinsi Sumatera Barat dan Provinsi Bengkulu pada 12 September 2007 masih terkendala oleh mekanisme penyaluran dana bantuan rehabilitasi dan rekonstruksi kepada masyarakat. Jumlah wilayah pascabencana yang jumlahnya tidak sedikit terbentur kepada keterbatasan pendanaan dari Pemerintah, yang menjadi kendala 34-4

utama pemulihan wilayah yang terkena bencana secara komperehensif. C. Penanggulangan Lumpur Sidoarjo Didahului dengan aktivitas eksplorasi minyak oleh PT Lapindo Brantas Inc. dan hampir bersamaan dengan gempa bumi hebat dengan 7,2 skala Richter di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada 27 Mei 2006, pada tanggal 29 Mei 2006 terjadi semburan pertama lumpur di Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur, yang volumenya mencapai 100.000 120.000 m3 per hari. Sampai hari ini semburan ini belum berhenti atau belum bisa dihentikan dan telah menggenangi lahan seluas 640 hektar yang terdiri 300 hektar sawah, 60 hektar perkebunan tebu, dan merendam 17 sekolah, 15 pabrik, dan 8.300 buah rumah warga rusak akibat genangan lumpur panas tersebut. Upaya untuk menghentikan semburan sudah dilakukan dengan berbagai cara, antara lain, melalui pengeboran miring dan pemompaan lumpur pekat ke pusat semburan (side tracking mud injection) dan memasukkan bola beton (high density concrete chained balls) ke kawah semburan. Upaya tersebut belum atau tidak menunjukkan hasil yang berarti sehingga diperlukan penanganan luapan yang efektif dengan memperlancar pengaliran lumpur ke laut melalui Kali Porong. Ada tiga kategori kerusakan yang parah yang masing-masing harus ditangani secara simultan karena erat kaitannya satu dengan lainnya, sebagai contoh, penanganan relokasi infrastruktur jalan arteri dan infrastruktur penanganan luapan lumpur. Penuntasan masalah ini akan memperlancar kegiatan ekonomi yang dampaknya akan dapat menurunkan masalah sosial. Sebaliknya, kelancaran penanganan masalah sosial akan menghentikan atau mengurangi protes-protes sosial seperti pemblokiran jalan masuk kendaraan/alat berat, yang sering kali mengakibatkan terhambatnya kegiatan konstruksi. Adapun ketiga kategori kerusakan tersebut adalah (1) rusaknya kehidupan sosial kemasyarakatan; (2) rusaknya berbagai 34-5

infrastruktur; dan (3) rusaknya lingkungan di sekitar semburan lumpur. Masalah yang paling berat adalah timbulnya keresahan sosial kemasyarakatan sebagai dampak dari hilangnya kesempatan kerja, hancurnya rumah dan harta benda, dan terganggunya kegiatan belajar-mengajar. Kerusakan infrastruktur, terutama infrastruktur jalan (jalan tol dan arteri) dan jalan KA, sangat besar dampaknya terhadap kegiatan ekonomi setempat, bukan saja kegiatan ekonomi di sekitar Sidoarjo saja, melainkan juga berpengaruh terhadap kegiatan ekonomi regional di Provinsi Jawa Timur pada umumnya. D. Pengurangan Risiko Bencana Dengan dikeluarkannya UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, paradigma penanganan bencana yang semula terfokus pada penanganan darurat (response) menjadi pengurangan risiko bencana (prevention and preparedness). Besarnya potensi ancaman berbagai jenis bencana alam perlu disikapi dengan peningkatan aspek pengurangan risiko bencana secara keseluruhan dan diperlukan komitmen bersama yang kuat dan sangat jelas dalam menangani kebencanaan baik di tingkat nasional maupun daerah. Bencana dan risiko bencana bersifat dinamis dan satu bencana dapat memicu terjadinya bencana yang lain. Pengurangan risiko bencana selama ini belum dilakukan secara terus-menerus, bersamasama, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh. Upaya yang telah dilaksanakan selama ini belum mampu memenuhi kebutuhan dan harapan masyarakat karena masih lebih menekankan pada penanggulangan pada aspek dampak kerusakan setelah terjadinya bencana dan bukan pada upaya pengurangan risiko dan mitigasi bencana. Apabila hal itu dibiarkan berlangsung terus, yang terjadi adalah permasalahan penanganan bencana tidak terselesaikan. Halhal yang bersifat mendasar belum sepenuhnya tertangani, sementara kebutuhan penanggulangan bencana makin besar dihadapkan pada kemampuan sumber daya yang terbatas. Luasnya cakupan wilayah 34-6

serta tingginya intensitas kejadian bencana yang harus dihadapi juga menjadi permasalahan utama yang harus diatasi. Upaya penanggulangan bencana dan pengurangan risiko bencana harus dilakukan secara komprehensif dan sistematis, namun hal ini masih terkendala dengan: (1) belum memadainya kinerja penanggulangan bencana selama ini; (2) masih terbatasnya kebijakan Pengurangan Resiko Bencana (PRB) di daerah, (3) masih rendahnya perhatian terhadap perlunya integrasi pengurangan risiko bencana ke dalam kebijakan dan perencanaan pembangunan; (4) masih terbatasnya kelembagaan pelaksana penanggulangan bencana (PB) di daerah; (5) rencana tata ruang yang belum berbasis pengurangan risiko bencana; kurangnya data dan informasi ataupun peta wilayah rawan bencana; (6) belum memadainya sarana dan prasarana sistem deteksi dini bencana alam; dan (7) terbatasnya pengetahuan dan pemahaman dikalangan pemerintah dan masyarakat akan kebencanaan. II. LANGKAH-LANGKAH KEBIJAKAN DAN HASIL- HASIL YANG DICAPAI A. Rehabilitasi dan Rekonstruksi di Wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Kepulauan Nias (Provinsi Sumatera Utara) Pencapaian pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi di Wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Kepulauan Nias (Provinsi Sumatera Utara) sesuai dengan revisi Rencana Induk Peraturan Presiden (Perpres) nomor 47 Tahun 2008 sebesar 94,18 persen key performance indicator (KPI), yang terdiri dari 5 (lima) bidang, yaitu: (1) Perumahan dan Permukiman; (2) Infrastruktur; (3) Perekonomian; (4) Sosial Kemasyarakatan; dan (5) Kelembagaan. Sehubungan dengan diterbitkannya Perpres Nomor 3 Tahun 2009 pasal 2 ayat 1 tentang Pengakhiran Masa Tugas BRR NAD dan Nias dan kesinambungan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi di 34-7

Provinsi NAD dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara tanggal 16 April 2009, kegiatan tersebut diserahterimakan kepada 6 (enam) kementerian/lembaga terkait di tingkat pusat yang dikoordinasikan oleh Bappenas serta Pemerintah provinsi NAD dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara, yang meliputi beberapa aspek, yaitu: (1) program yang berbasis Pinjaman/Hibah Luar Negeri (PHLN) dilaksanakan melalui penyediaan dana pendamping; (2) program dukungan transisi dan keberlanjutan dilaksanakan dalam rangka memperkuat kapasitas pemerintah daerah dalam pengoperasian dan pemeliharaan aset rehabilitasi dan rekonstruksi yang telah diserahterimakan; (3) program strategis dilaksanakan dalam rangka menunjang perekonomian dan kesejahteraan masyarakat; dan (4) program fungsionalisasi/penyelesaian dilaksanakan dalam rangka menuntaskan program yang belum dicapai sasarannya pada tahun 2008. Untuk menjaga kesinambungan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi di Provinsi NAD dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara, telah disusun rencana kegiatan oleh 6 (enam) kementerian/lembaga terkait ditingkat pusat berdasarkan Peraturan Presiden nomor 38 tahun 2008 sebagaimana tertuang dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2009 meliputi sasaran program yang akan dicapai oleh masing-masing kementerian/lembaga dimaksud adalah sebagai berikut: (1) Departemen Pekerjaan Umum, dengan sasaran: (i) terselesaikannya pembangunan jalan baru dan peningkatan jalan strategis 549 km di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam serta Kabupaten Nias; (ii) pengembangan sistem drainase di 4 Kabupaten/Kota di NAD; (2) Departemen Perhubungan, dengan sasaran: (i) pembangunan fasilitas pelabuhan laut; (ii) terlaksananya lanjutan pembangunan dermaga dan trestel pelabuhan Malahayati di Aceh Besar; (iii) terlaksananya lanjutan pelabuhan Lhoekseumawe; (iv) terlaksananya lanjutan pembangunan dermaga dan trestel di Kuala Langsa; (v) terlaksananya lanjutan pembangunan pelabuhan Calang di Aceh Jaya; (vi) rehabilitasi fasilitas terminal dan pengembangan pelabuhan udara Sultan Iskandar Muda Provinsi NAD; (3) Departemen Agama, dengan sasaran pembangunan gedung pendidikan tinggi agama melalui 34-8

pinjaman Islamic Development Bank (IDB) melalui proyek Rehabilitasi dan Rekonstruksi IAIN Ar-Raniry yang terdiri dari pembangunan 8 gedung baru (16.700 m2) dan renovasi 10 gedung lama (33.000 m2); (4) Departemen Dalam Negeri, dengan sasaran: (i) Rehabilitasi dan Rekonstruksi Kecamatan di Nias dengan pembangunan 5.000 unit rumah dan 200 unit sekolah dan insfrastruktur publik; dan (ii) pelaksanaan pinjaman IDB-Simeulue Reconstruction Project untuk perbaikan 15 unit sekolah, Puskesmas Pembantu (Pustu) 20 unit, perbaikan jalan 37 km, perbaikan jembatan 140 m, perbaikan TPI (Tempat Pelelangan Ikan) dan pasar, pengadaan peralatan mebeler untuk sekolah, rumah sakit, dan Pustu, serta perbaikan insfrastruktur lainnya (cold storage, gedung serba guna, packing room, ruang generator, dan rumah operator); (5) Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal, dengan sasaran: (i) melanjutkan Proyek SPADA (Support for Poor and Disadvantaged Area), Aceh EDFF (Economic Development Financing Facility), dan Nias-LED (Local Economic Development) untuk terbangunnya infrastruktur ekonomi untuk menciptakan lapangan pekerjaan, meningkatkan akses pelayanan sosial dasar dan peningkatan kapasitas pemerintah daerah di 17 kabupaten di Provinsi NAD dan Kepulauan Nias; dan (6) Badan Pertanahan Nasional, dengan sasaran untuk mendukung pengelolaan pertanahan dan percepatan pelaksanaan pendaftaran tanah melalui program Reconstruction of Aceh Land Administration System (RALAS), terlaksananya sertifikasi 140.000 bidang di Provinsi NAD, serta terlaksananya sertifikasi 10.000 bidang di Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara; Sementara itu, untuk instansi pelaksana Pemerintah Daerah di Provinsi NAD, serta Kabupaten Nias dan Kabupaten Nias Selatan diarahkan untuk: (i) Peningkatan kehidupan masyarakat dan pengembangan wilayah Provinsi NAD dan Kepulauan Nias pasca bencana; (ii) pembangunan jalan kabupaten/provinsi dan insfrastruktur lainnya (terminal, irigasi, tanggul pengendali banjir, pengaman pantai, air minum, sanitasi, air limbah, drainase dan persampahan); dan (iii) transisi pembangunan ekonomi dan sosial kemasyarakatan; serta (iv) penguatan kelembagaan di 25 34-9

Kabupaten/Kota di Provinsi NAD dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara. Sejalan dengan terbitnya peraturan Presiden Nomor 3 tahun 2009, dalam rangka meningkatkan koordinasi pelaksanaan kegiatan penuntasan dan kesinambungan pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca BRR, Pemerintah membentuk Badan Kesinambungan Rekonstruksi Aceh dan Nias (BKRAN) yang berkedudukan di Pusat dengan masa tugas sampai dengan 31 Desember 2009. Sementara itu, untuk Tim Pelaksana BKRA berkedudukan di Provinsi NAD dan BKRN berkedudukan Provinsi Sumatera Utara yang diketuai secara ex-officio oleh masing-masing Gubernur yang didukung oleh SKPD sebagai anggotanya. Dengan demikian, maka kedudukan BKRA dan BKRN akan sangat penting di dalam mengawal proses penuntasan dan kesinambungan rehabilitasi dan rekonstruksi yang akan dilaksanakan oleh kementerian/lembaga terkait dan pemerintah daerah serta sekaligus mempersiapkan kerangka percepatan pembangunan Provinsi NAD dan kepulauan Nias pascarehabilitasi dan rekonstruksi dalam jangka menengah mendatang. B. Rehabilitasi dan Rekonstruksi di Wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Jawa Tengah, dan Daerah Pascabencana Alam Lainnya. Seiring dengan berakhirnya masa tugas Tim Koordinasi Keppres 9/2006 terkait dengan pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana gempabumi di Provinsi DI Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah tersebut, rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana gempa bumi di wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah dinyatakan berakhir. Selanjutnya, koordinasi untuk keberlanjutan pembangunan pascarehabilitasi dan rekonstruksi sepenuhnya akan dilakukan oleh pemerintah daerah masing-masing. Namun, masih terdapat beberapa program yang masih akan dilanjutkan yang bersumber dari bantuan lembaga donor dan lembaga swadaya masyarakat. 34-10

Terkait dengan penanganan pascabencana alam lainnya, Pemerintah telah melakukan upaya penyelamatan tanggap darurat melalui penyediaan bantuan pangan dan obat-obatan serta tendatenda hunian sementara bagi para korban bencana yang masih selamat. Sebagai tindak lanjut dari upaya penyelamatan pada tahap tanggap darurat tersebut, Pemerintah telah melakukan penilaian terhadap kerusakan serta prakiraan pendanaan yang diperlukan untuk melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi. Pemerintah telah menyediakan dana penanggulangan bencana secara khusus yang diperkirakan akan cukup memadai dalam mengupayakan pemulihan kembali daerah pascabencana. Upaya pemulihan wilayah pascabencana tersebut telah dilakukan oleh kementerian/lembaga terkait melalui koordinasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). C. Penanggulangan Lumpur Sidoarjo Kebijakan awal pemerintah terkait dengan penanganan semburan tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 2006 tentang Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo. Kebijakan yang dilakukan adalah melakukan langkahlangkah penyelamatan penduduk di sekitar lokasi semburan, menjaga infrastruktur dasar, dan penyelesaian masalah semburan dengan memperhitungkan risiko lingkungan seminimal mungkin. Dengan berakhirnya masa tugas Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo pada 8 Maret 2007. Penanganan lumpur Sidoarjo dilanjutkan oleh Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) yang dibentuk melalui Keputusan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggungan Lumpur Sidoarjo. Pada tahun 2008 bapel BPLS akan menyelesaikan sebagian besar (60 hingga 70 persen) pembebasan tanah dan 40 persen pekerjaan fisik untuk relokasi jalan arteri raya Porong dan menyelesaikan 20 persen pembayaran jual-beli tanah di tiga desa yang terendam luapan lumpur (Desa Besuki, Desa Pejarakan dan Desa Kedung Cangkring). Di samping itu, dalam tahun 2008 diselesaikan perkuatan/peninggian tanggul menjadi 11 meter dari 34-11

permukaan laut, dengan panjang tanggul total sekitar 17 km, yang disertai dengan pemeliharaan Kali Porong sebagai media pengaliran lumpur, sekaligus penanganan/pengerukan endapan di muara sungai guna menjaga kelancaran pengaliran lumpur ke laut. Kegiatan lain yang cukup penting di tahun 2008 adalah pembangunan/rehabilitasi jaringan drainase di sekitar kolam lumpur dan peningkatan jalan di sekitar Kecamatan Porong sebagai jalan alternatif selain jalan arteri raya Porong yang sudah terlalu padat dan sering kali terganggu genangan dan luapan/rembesan air dari kolam lumpur. Ada pun kegiatan bantuan sosial di tahun 2008 hingga tahun 2009 akan difokuskan pada pemberdayaan masyarakat warga korban lumpur Sidoarjo, yaitu memberikan pelatihan keterampilan, bantuan evakuasi, dan membiayai kontrak tempat tinggal sementara selama 1 tahun serta jaminan hidup sementara selama 6 bulan. Seluruh kegiatan yang dikerjakan oleh BPLS tersebut tidak akan mengurangi baik kewajiban PT Lapindo Brantas untuk menyelesaikan sisa pelunasan (80 persen) untuk tanah warga yang masuk Peta Area Terdampak, 22 Maret 2008 maupun kewajiban lainnya sesuai Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007. Sementara itu, untuk relokasi infrastruktur lainnya, Pemerintah telah berkomitmen untuk melaksanakan melalui kementerian/lembaga terkait masing-masing. Diharapkan relokasi seluruh infrastruktur terdampak akan selesai tuntas paling lambat akhir tahun 2010. D. Pengurangan Risiko Bencana Menyikapi kondisi wilayah Indonesia yang sangat rawan terhadap kejadian bencana, Pemerintah telah mengubah paradigma penanganan bencana dari upaya reaktif menjadi pro-aktif melalui pengurangan risiko bencana. Sehubungan dengan itu, Pemerintah telah melakukan berbagai upaya strategis, antara lain, dengan menerbitkan Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana (RAN-PRB) tahun 2006-2009 yang saat ini juga sedang disusun Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana (RAN-PRB) tahun 2010-2012. Selanjutnya, Pemerintah telah mengintegrasikan aspek pengurangan risiko bencana ke dalam kebijakan dan 34-12

perencanaan pembangunan, yang sudah dilakukan sejak tahun 2007 lalu, yang tertuang dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2008, bahwa kebijakan pengurangan risiko bencana telah dijadikan salah satu prioritas pembangunan nasional. Kemudian, lebih jauh lagi pada RKP 2009, pengurangan risiko bencana telah dimuat secara terintegrasi dengan fokus adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim global (climate change). Dalam upaya melakukan review terhadap implementasi pengurangan risiko bencana, telah dilakukan review terhadap RAN PRB 2006 2009 yang telah dijadikan masukan bagi Rencana Kerja Pemerintah tahun 2010 dan juga masukan dalam rangka penyusunan rancangan awal Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010 2014, khususnya yang terkait dengan rencana penajaman dan optimalisasi alokasi anggaran kementerian/lembaga terkait dan sumber-sumber pendanaan lainnya yang dimungkinkan dalam rangka pengurangan risiko bencana. Selanjutnya, sebagai kerangka hukum penanganan bencana dan pengurangan risiko bencana, telah dikeluarkan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanganan Bencana, serta tiga Peraturan Pemerintah turunannya, yaitu: (1) PP Nomor 21 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana; (2) PP Nomor 22 tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana; serta (3) PP Nomor 23 tahun 2008 tentang Peran Serta Lembaga Internasional dan Lembaga Asing Non-Pemerintah dalam Penanggulangan Bencana. Untuk mengatur kelembagaan di tingkat pusat dan daerah, telah ditetapkan Peraturan Presiden Nomor 8 tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Dalam upaya pembentukan kelembagaan penanggulangan bencana di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, berupa Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), telah diterbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 46 tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja BPBD dan Peraturan Kepala BNPB Nomor 3 tahun 2008 tentang Pedoman Pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah, yang telah ditindaklanjuti oleh pembentukan BPBD di 8 (delapan) provinsi dan 16 (enambelas) kabupaten/kota. 34-13

Sesuai dengan mandat UU Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, yang menyatakan bahwa penanggulangan bencana merupakan urusan bersama pemerintah, masyarakat, dunia usaha, organisasi non-pemerintah internasional, serta seluruh pemangku kepentingan lainnya, telah dibentuk Platform Nasional Pengurangan Risiko Bencana yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan tersebut. Platform Nasional atau Forum Nasional PRB ini akan memberikan advokasi dan dukungan kepada pemerintah dalam upaya melaksanakan PRB secara terencana, sistematis dan menyeluruh. Pembentukan Platform Nasional mendapat apresiasi di mata Perserikatan Bangsa-Bangsa dan dunia internasional karena Indonesia telah memperlihatkan adanya komitmen global untuk upaya pengurangan risiko bencana, sebagai bagian dari implementasi Kerangka Aksi Hyogo (Hyogo Framework for Action HFA) 2005 2015. Sementara itu, terkait dengan penyiapan data dan informasi untuk mitigasi bencana alam, pada tahun 2008 telah dicapai: (1) terbangunnya sistem peringatan dini agar masyarakat yang berisiko bencana dapat mengambil tindakan secepatnya untuk mengurangi risiko; dan (2) terwujudnya sistem mitigasi bencana. Masih dalam kaitannya dengan mitigasi bencana, pada sektor Pertambangan, Energi dan Sumber Daya Mineral telah dilakukan penanganan bencana geologi pada tahun 2008, antara lain: (1) telah dilaksanakannya pengamatan aktivitas 129 gunung api aktif melalui 76 pos pengamatan yang masih berlangsung sampai saat ini; (2) dilakukannya pemetaan geologi gunung api; (3) dilakukannya pemetaan kawasan rawan bencana gunung api; (4) disusunnya katalog gempa bumi yang merusak di Indonesia; (5) dibuatnya peta wilayah rawan gempa bumi dan tsunami nasional skala 1:5.000.000. Untuk tahun 2009 dan sampai dengan tahun 2010, diharapkan dapat dilakukan penyelidikan kondisi geologi lingkungan regional, perkotaan, kawasan karst, kawasan pesisir dan kawasan pertambangan. Selain itu, penyelidikan geologi teknik skala 1:100.000, dan geologi teknik - geodinamika, tanah lunak, pengembangan wilayah/ infrastruktur. Beberapa hal lainnya yang 34-14

akan dilakukan ke depan terkait dengan mitigasi kebencanaan geologi adalah: (1) pemetaan kawasan rawan bencana tsunami, gempa bumi, dan zona kerentanan gerakan tanah; (2) tanggap darurat gunung api, gerakan tanah dan gempa bumi; (3) rekomendasi teknis kepada pemerintah daerah yang dilanda bencana gunung api, gempa bumi, tsunami dan gerakan tanah; (4) peringatan dini bahaya dan pemantauan kegiatan letusan gunung api dan gerakan tanah; (5) penelitian sesar aktif; (6) penyelidikan kestabilan lereng, (7) instalasi peralatan pemantauan/kegiatan gunung api, dan (8) penerbitan peta gempa bumi/tsunami. III. TINDAK LANJUT YANG DIPERLUKAN A. Rehabilitasi dan Rekonstruksi di Wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara Dalam pelaksanaan kesinambungan program dan keberlanjutan rehabilitasi dan rekonstruksi di Wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara pasca BRR NAD dan Nias, perlu diupayakan tindak lanjut yang meliputi pemantapan Kapasitas Kelembagaan Pemerintah Daerah, yang dimaksudkan untuk meningkatkan kapasitas berbagai aparatur pemerintah termasuk badan-badan pemerintah kabupaten dan provinsi, Polri dan TNI melalui penyediaan dukungan infrastruktur fisik, pemberdayaan terhadap kemampuan teknis dan manajemen serta pengembangan kelembagaan secara umum dan penyediaan program-program pelatihan dan pendidikan. Kebijakan dan strategi yang perlu ditempuh dalam rangka Pemantapan Kapasitas Kelembagaan Pemerintah di Provinsi Aceh dan Kepulauan Nias Sumatera Utara meliputi: (1) memperkuat pemerintah daerah dalam melaksanakan pelayanan publik yang efektif, akuntabel dan transparan; dan (2) melanjutkan pembangunan dan pemulihan infastruktur pemerintahan untuk mendukung proses pelayanan publik dalam jangka menengah. 34-15

Hal tersebut dipandang perlu untuk dilaksanakan dalam rangka mengembangkan dan mengefektifkan ruang publik dengan melibatkan semua pemangku kepentingan (stakeholders) dalam proses perencanaan, formulasi kebijakan, pembuatan keputusan, monitoring dan evaluasi, dengan melanjutkan rekonstruksi prasarana pemerintah daerah yang permanen sesuai dengan rencana induk (masterplan) dan rencana teknis serta penyediaan sarana kerja pemerintah daerah dan perlengkapan mitigasi bencana untuk mendukung pelayan publik. Keterpaduan Pembangunan NAD dan Nias, sebagaimana telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan tentang kesinambungan program dan keberlanjutan rehabilitasi dan rekonstruksi NAD dan Nias pada tahun 2009 dilaksanakan oleh K/L pusat terkait dengan alokasi pendanaan keseluruhan sebesar Rp. 1,78 triliun. Sementara itu, kepada Pemerintah Provinsi NAD dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara telah dialokasikan dana sebesar Rp. 1,663 triliun melalui bagian anggaran 69 (BA 69) dalam APBN tahun 2009, sedangkan untuk kementerian/lembaga pusat terkait mendapat dukungan pendanaan dari Multi Donor Fund for Aceh and Nias (MDFAN) dengan dana pendamping melalui APBN. Dengan adanya komitmen dari multidonor, NGO, APBN dan APBD, ketersediaan pendanaan untuk kesinambungan dan keberlanjutan rehabilitasi dan rekonstruksi NAD dan Nias masih cukup besar. Untuk itu, diharapkan program sektoral dan lintas sektoral harus berorientasi pada intensifikasi dan ekstensifikasi sektor perekonomian daerah dan masyarakat guna memacu pertumbuhan ekonomi di luar sektor migas B. Rehabilitasi dan Rekonstruksi di Wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Jawa Tengah, dan Daerah Pascabencana Alam Lainnya. Dengan melihat kebutuhan pendanaan bagi pemulihan pascabencana yang masih belum terpenuhi, diperlukan upaya tindak 34-16

lanjut untuk percepatan pemulihan serta pembangunan yang berkelanjutan, yang meliputi: 1. penyelesaian pembangunan, rehabilitasi, dan rekonstruksi perumahan dan prasarana dasar permukiman yang berorientasi pada pengurangan risiko bencana; 2. peningkatan pelayanan dasar bagi masyarakat melalui rehabilitasi dan rekonstruksi sarana dan prasarana publik yang meliputi sarana pendidikan, sarana kesehatan, dan sarana peribadatan; 3. pengembangan kapasitas aparatur pemerintah daerah dalam memantapkan penyelenggaraan pemerintah di wilayah pascabencana; 4. pemulihan sektor perekonomian di wilayah pascabencana beserta peningkatan kehidupan sosial ekonomi masyarakat setempat melalui penyusunan strategi pengembangan ekonomi lokal dan perbaikan infrastruktur pendukung perekonomian serta pengembangan insentif dan perlindungan bagi UMKM di wilayah pascabencana; dan 5. penataan mekanisme dan pengelolaan aset kekayaan negara pascarehabilitasi dan rekonstruksi wilayah pascabencana. C. Penanggulangan Lumpur Sidoarjo Pemulihan sendi kehidupan yang aman dan dinamis bebas dari ancaman lumpur merupakan visi dari bapel BPLS yang akan terus diupayakan melalui misi, tujuan, dan sasaran tahunan yang berkelanjutan. Di sini diperlukan komitmen semua pihak untuk memprioritaskan pendanaan yang mencukupi tahun anggaran mendatang agar target penyelesaian bisa direalisasikan. Setiap ada kendala yang menghambat pelaksanaan program dan kegiatan harus sesegera mungkin dipecahkan melalui forum Tim Pengarah BPLS yang beranggotakan lintas kementerian/lembaga. 34-17

Di dalam Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2009 BPLS memperoleh alokasi dana yang diperuntukkan bagi penyelesaian relokasi jalan arteri/raya Porong dan menyelesaikan sisa-sisa pembebasan tanah untuk relokasi berbagai infrastruktur dan jual-beli tanah di tiga desa. Bapel BPLS juga akan membangun tanggul penahan lumpur secara permanen sebagai prasyarat keamanan dan kelestarian lingkungan di sekitar kolam lumpur dan lebih memantapkan mekanisme pembuangan lumpur ke Kali Porong untuk diteruskan ke Selat Madura, termasuk meneruskan kegiatan rutin pemeliharaan Kali Porong dan daerah muara sungai, agar aman fungsi aslinya sebagai pengendali banjir Kali Brantas. Relokasi infrastruktur akan memulihkan kegiatan ekonomi di Provinsi Jawa Timur. Penanganan luapan lumpur secara efektif dan benar akan memberikan rasa aman kepada masyarakat dan meminimalkan kerusakan lingkungan dan penanganan masalah sosial kemasyarakatan secara adil akan menghapuskan keresahan masyarakat. Penyelesaian menyeluruh mengenai penataan lingkungan dan penetapan zona-zona yang layak, kurang layak, dan berbahaya untuk kawasan permukiman perlu dilakukan melalui studi yang mendalam dan menyeluruh dengan pendekatan keilmuan yang multidisiplin dan lintas sektor. Hanya dengan cara demikian penanganan masalah luapan lumpur ini akan memperoleh hasil maksimal yang aman, berkelanjutan, dan bisa menciptakan keseimbangan lingkungan yang baru dan nyaman baik untuk warga di sekitar semburan maupun masyarakat luas yang berkepentingan di Provinsi Jawa Timur pada umumnya. D. Pengurangan Risiko Bencana Upaya pengurangan risiko bencana ke depan masih dikonsentrasikan pada penguatan sistem penanggulangan bencana yang diawali dengan penyusunan Rencana Nasional Penanggulangan Bencana termasuk juga menindaklanjuti RAN PRB 2010 2012. Dalam memberikan pedoman di tingkat provinsi, BNPB telah mempersiapkan Pedoman Penyusunan Peta Risiko Bencana dan 34-18

Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana di Daerah, yang juga merupakan mandat dalam UU 24/2007. Tantangan ke depan adalah bagaimana memberikan dukungan kepada daerah dalam mengembangkan sistem penanggulangan bencana mulai dari aspek penyusunan kerangka peraturan perundangan, pembentukan kelembagaan, penyusunan perencanaan, penguatan sumber daya manusia, peningkatan penyadaran masyarakat. integrasi penanggulangan bencana ke dalam sistem pendidikan, serta pengembangan iptek untuk mendukung pengembangan budaya aman (safety culture). Dalam RPJMN 2004 2009, secara eksplisit aspek Penanggulangan Bencana dan PRB belum dibahas dalam bab tersendiri, tetapi beberapa isu pokok telah dicantumkan barkaitan dengan aspek pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan hidup. Sejak tahun 2007 upaya-upaya pemerintah dalam mengarusutama-kan PRB ke dalam kebijakan dan perencanaan pembangunan mulai jelas tercermin dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2008, bahwa kebijakan pengurangan risiko bencana telah dijadikan salah satu prioritas pembangunan nasional. Kemudian lebih jauh lagi pada RKP 2009, pengurangan risiko bencana telah dimuat secara terintegrasi dengan fokus adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim global (climate change). Ke depan diharapkan upaya-upaya ini sebaiknya dapat terus dilakukan agar dapat mengoptimalkan program-program pengurangan risiko bencana yang telah dirintis melalui strategi sebagai berikut. 1. Aspek Pengembangan Kerangka Kebijakan, Peraturan dan Perencanaan aspek PRB: a. Mendorong pengarusutamaan PRB ke dalam pembangunan nasional dan daerah, baik secara lintas sector (cross-cutting issues) maupun secara sektoral, 34-19

seperti sector pertanian, kehutanan, infrastruktur publik, kesehatan, dan pendidikan dan lain-lain. b. Mendorong pengembangan kerangka peraturan sesuai dengan mandat dalam UU 24/2007 sebagai dasar pedoman pelaksanaan Penanggulangan Bencana dan khususnya aspek PRB, seperti memberikan dukungan kepada K/L terkait dalam memformulasikan peraturan serta pedoman terkait aspek mitigasi bencana, termasuk pedoman Pembangunan Bangunan Tahan Bencana, Pedoman Penyusunan Analisis Risiko Bencana, dan lain-lain. c. Mendorong pemerintah daerah untuk memformulasikan dan menyusun peraturan daerah terkait aspek PB dan PRB. d. Memberikan dukungan kepada pusat dan daerah dalam memformulasikan menyusun Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) dan Rencana Aksi Pengurangan Risiko Bencana (RAN dan RAD PRB) serta mendorong agar rencana tersebut diintegrasikan ke dalam rencana pembangunan nasional dan daerah 2. Aspek Pengembangan Kelembagaan: a. Memberikan prioritas penguatan kapasitas BNPB dalam menjalankan fungsi koordinasi, pelaksana dan komando di aspek Penanggulangan Bencana. b. Mendorong pemerintah provinsi dalam membentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). c. Memberikan penguatan kapasitas kepada BPBD dalam menjalankan fungsi koordinasi, pelaksana dan komando aspek penanggulanan bencana dan PRB di tingkat daerah. d. Mendorong dan memberikan iklim yang kondusif kepada para kelompok pemangku kepentingan 34-20

(perguruan tinggi, dunia usaha, media, masyarakat serta lembaga donor internasional) untuk secara bersamasama sebagai mitra pemerintah dalam melaksanakan PRB, baik di tingkat nasional maupun daerah, melalui pembentukan Forum PRB. e. Mendorong dan mengembangkan kapasitas perguruan tinggi sebagai pusat riset dan teknologi di aspek PB dan PRB bagi daerah setempat (Center of Excellence). f. Mendorong dan meningkatkan kapasitas K/L terkait dalam mengembangkan dan mengimplementasikan Sistem Peringatan Dini 3. Aspek Pendidikan Kebencanaan dan Penyadaran Masyarakat: a. Mengembangkan strategi integrasi pendidikan kebencanaan ke dalam pendidikan sekolah, baik ke dalam kurikulum formal, muatan lokal maupun ekstrakurikulum. b. Mendorong dan memberikan penguatan kepada K/L terkait dan organisasi non pemerintah dalam upaya mengembangkan pendidikan kebencanaan di madrasah, pesantren dan sekolah-sekolah keagamaan lainnya. c. Meningkatkan peran media dan K/L terkait dalam memberikan informasi guna peningkatan penyadaran masyarakat pada aspek PRB, antara lain, melalui publik campaign, dan simulasi drill dan lain-lain. 4. Aspek Penguatan Kapasitas Masyarakat: a. Memberikan dan mendukung akses yang seluas-luasnya bagi penyelengggaraan penguatan kapasitas masyarakat dalam melaksanakan PRB. b. Mendorong komunitas di tingkat lokal untuk tetap mengedepankan kearifan local (local wisdom) dalam mengimplementasikan PB dan PRB. 34-21

34-22 c. Memberikan prioritas kepada program-program pengurangan kerentanan masyarakat untuk menghadapi bencana melalui program pengentasan kemiskinan, program peningkatan kesehatan masyarakat, program penyediaan air bersih dan sanitasi, program pembangunan infrastruktur di tingkat lokal, dan lainlain.