BPS PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA No. 05/01/34/Th.XVII, 2 Januari 2015 PROFIL KEMISKINAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RINGKASAN Garis kemiskinan di Daerah Istimewa Yogyakarta pada sebesar Rp 321.056,- per kapita per bulan. Sementara garis kemiskinan pada 2014 sebesar Rp 313.452,- per kapita per bulan, atau garis kemiskinan mengalami kenaikan sekitar 2,43 persen. Bila dibandingkan kondisi ember yang sebesar Rp 303.843,- per kapita per bulan maka dalam kurun satu tahun terjadi kenaikan sebesar 5,66 persen. Peran komoditi makanan terhadap Garis Kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan (perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan). Pada, sumbangan Garis Kemiskinan Makanan terhadap Garis Kemiskinan sebesar 71,42 persen, tidak jauh berbeda dengan ember yang sebesar 72,22 persen. Jumlah penduduk miskin, yaitu penduduk yang konsumsinya berada di bawah garis kemiskinan, pada di Daerah Istimewa Yogyakarta terdapat 532,59 ribu orang. Bila dibandingkan keadaan ember yang jumlah penduduk miskinnya mencapai 541,95 ribu orang, maka selama satu tahun terjadi penurunan sebesar 9,36 ribu jiwa. Tingkat kemiskinan yaitu persentase penduduk miskin dari seluruh penduduk di Daerah Istimewa Yogyakarta pada sebesar 14,55 persen. Apabila dibandingkan dengan keadaan 2014 yang besarnya 15,00 persen berarti ada penurunan sebesar 0,45 poin selama setengah tahun. Sedangkan bila dibandingkan dengan kondisi ember dengan persentase penduduk miskin sebesar 15,03 persen, terjadi penurunan sebesar 0,48 poin. Indeks Kedalaman Kemiskinan (P 1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P 2) pada periode ember - mengalami kenaikan. Hal ini mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung menjauh dari garis kemiskinan dan ketimpangan pengeluaran antar penduduk miskin juga semakin melebar.. Berita Resmi Statistik D.I. Yogyakarta No. 05/01/34/Th.XVII, 2 Januari 2015 1
1. Garis Kemiskinan ember - Secara umum kemiskinan didefinisikan sebagai suatu kondisi kehidupan dimana terdapat sejumlah penduduk tidak mampu mendapatkan sumber daya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok (basic needs) minimum dan mereka hidup di bawah tingkat kebutuhan minimum tersebut (Todaro dan Smith, 2007). Konsep yang dipakai BPS dalam mengukur kemiskinan juga berdasarkan kebutuhan dasar (basic needs approach). Nilai kebutuhan dasar minimum digambarkan dengan garis kemiskinan (GK), yaitu batas minimum pengeluaran per kapita per bulan untuk memenuhi kebutuhan minimum makanan dan non makanan, yang memisahkan seseorang tergolong miskin atau tidak. Garis kemiskinan pada adalah Rp 321.056,-per kapita per bulan. Jika dibandingkan dengan kondisi ember yang garis kemiskinannya sebesar Rp 303.843,- per kapita per bulan, terjadi kenaikan sebesar 5,66 persen dan jika dibandingkan dengan kondisi 2014 yang besarnya Rp 313.452,- per kapita per bulan, maka tampak adanya kenaikan garis kemiskinan sebesar 2,43 persen. Terjadinya peningkatan garis kemiskinan ini sejalan dengan terjadinya inflasi ember ke yang sebesar 4,54 persen, serta inflasi 2014 - yang mencapai 2,12 persen. Tabel 1 Garis Kemiskinan menurut Tipe Daerah ember Daerah/Tahun Garis Kemiskinan (Rp/Kapita/Bulan) Makanan Bukan Makanan Total Perkotaan 222 466 2014 227 691 2014 230 329 Perdesaan 213 359 2014 220 412 2014 227 233 Kota+Desa 219 422 2014 225 245 2014 229 286 Sumber: Susenas ember, 2014, dan 95 459 99 582 103 232 62 427 65 724 69 196 84 421 88 207 91 770 317 925 327 273 333 561 275 786 286 137 296 429 303 843 313 452 321 056 Bila dilihat komponen Garis Kemiskinan (GK) yang terdiri dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM), terlihat bahwa peranan komoditi makanan masih jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan (perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan). Pada ember sumbangan GKM terhadap GK sebesar 72,22 persen dan 71,42 persen pada. Pada garis kemiskinan di daerah perkotaan sebesar Rp 333.561,- per kapita per bulan, mengalami kenaikan 4,92 persen dibanding keadaan ember yang sebesar Rp 317.925,- per kapita per bulan. Garis kemiskinan di daerah perdesaan pada sebesar Rp 296.429,- per kapita per bulan, mengalami kenaikan 7,48 persen dibanding keadaan ember yang mencapai Rp 275.786,- per kapita per bulan. Berdasarkan tiga dari lima komoditas makanan yang memberikan kontribusi terbesar pada garis kemiskinan makanan di perkotaan maupun di perdesaan yaitu beras, rokok kretek filter, dan daging ayam ras. Dua komoditas lainnya yang mempunyai kontribusi cukup besar di perkotaan adalah telur ayam ras dan tempe, sedangkan di perdesaan adalah gula pasir dan mie instan. 2 Berita Resmi Statistik D.I. Yogyakarta No. 05/01/34/Th.XVII, 2 Januari 2015
Komoditi non makanan yang memberikan sumbangan besar pada garis kemiskinan baik di perkotaan maupun di perdesaan yaitu perumahan, bensin, listrik dan pakaian jadi anak-anak. Komoditi lainnya yang termasuk dalam posisi lima terbesar lainnya di perdesaan adalah pendidikan, sedangkan perkotaan adalah kesehatan. Tabel 2 Lima Kontribusi Terbesar Garis Kemiskinan menurut Tipe Daerah Makanan Jenis Komoditi Perkotaan Jenis Komoditi Perdesaan Beras 29,33 Beras 40,20 Rokok kretek filter 8,30 Rokok kretek filter 4,46 Daging ayam ras 7,32 Daging ayam ras 4,25 Telur ayam ras 5,74 Gula pasir 4,07 Tempe 4,61 Mie instan 3,94 Non Makanan Perumahan 24,96 Perumahan 18,66 Bensin 13,27 Bensin 11,02 Pendidikan 10,52 Kesehatan 7,69 Listrik 7,01 Pakaian jadi anak-anak 7,18 Pakaian jadi anak-anak 5,11 Listrik 6,44 2. Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin di Daerah Istimewa Yogyakarta Jumlah penduduk miskin di Daerah Istimewa Yogyakarta pada periode 2009 - mengalami fluktuasi, meskipun ada kecenderungan menurun. Pada periode 2009-2011 cenderung menurun dari tahun ke tahun, tetapi dari ember 2011-2012 mengalami kenaikan dan turunt kembali sampai periode ember. Jumlah penduduk miskin pada 2009 tercatat 585,78 ribu orang dan pada 2011 turun menjadi 562,70 ribu, namun sampai dengan kondisi bulan 2012 jumlah penduduk miskin naik menjadi 568,35 ribu. Sementara pada periode ember 2012 - mengalami penurunan. Perkembangan jumlah penduduk miskin seperti terlihat pada Gambar 1. Berita Resmi Statistik D.I. Yogyakarta No. 05/01/34/Th.XVII, 2 Januari 2015 3
Gambar 1 Jumlah Penduduk Miskin di Daerah Istimewa Yogyakarta 2009 - ember (dalam ribu orang) 585.78 577.30 562.70 568.05 568.35 565.73 553.07 541.95 544.87 532.59 2009 2010 2011 2011 2012 2012 2014 Sumber: Susenas 2009 - Penduduk miskin tersebar di perkotaan (60,92 persen) maupun perdesaan (39,08 persen). Jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan pada sebanyak 324,43 ribu orang, berkurang 5,22 ribu orang bila dibandingkan keadaan ember yang mencapai 329,65 ribu orang. Jumlah penduduk miskin di daerah perdesaan pada sebanyak 208,15 ribu orang, mengalami penurunan sekitar 4,15 ribu dari keadaan ember yang jumlahnya mencapai 212,30 ribu orang (Tabel 3). Tabel 3 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin menurut Tipe Daerah, ember - Daerah/Tahun Jumlah penduduk miskin (000) Persentase penduduk miskin Perkotaan ember 2014 Perdesaan ember 2014 Kota+Desa ember 2014 329.65 333.03 324.43 212.30 211.84 208.15 541.95 544.87 532.59 13.73 13.81 13.36 17.62 17.36 16,88 15.03 15.00 14.55 Sumber: Susenas ember, 2014, dan 3. Perkembangan Tingkat Kemiskinan di Daerah Istimewa Yogyakarta 4 Berita Resmi Statistik D.I. Yogyakarta No. 05/01/34/Th.XVII, 2 Januari 2015
Tingkat kemiskinan di Daerah Istimewa Yogyakarta pada periode 2011-2014 cenderung mengalami penurunan. Persentase penduduk miskin pada 2011 sebesar 16,08 persen, turun menjadi 14,55 persen pada. Perkembangan tingkat kemiskinan di Daerah Istimewa Yogyakarta selengkapnya seperti terlihat pada Gambar 2. Gambar 2 Persentase Penduduk Miskin di Daerah Istimewa Yogyakarta 2009 18 17 17.23 16.83 16 15 16.08 16.14 16.05 15.88 15.43 15.03 15.00 14.55 14 2009 2010 2011 2011 2012 2012 Mar 2014 2014 Sumber: Susenas 2009 - Tingkat kemiskinan di daerah perkotaan lebih kecil daripada di perdesaan. Persentase penduduk miskin di daerah perkotaan pada sebesar 13,36 persen mengalami penurunan 0,37 poin jika dibandingkan dengan keadaan ember yang besarnya mencapai 13,73 persen. Persentase penduduk miskin di daerah perdesaan pada sebesar 16,88 persen, mengalami penurunan 0,74 poin jika dibandingkan dengan keadaan ember yang mencapai 17,62 persen. 4. Kualitas Kemiskinan di Daerah Istimewa Yogyakarta Persoalan kemiskinan bukan hanya berapa jumlah dan persentase penduduk miskin. Dimensi lain yang perlu diperhatikan adalah tingkat kedalaman (poverty gap index) dan tingkat keparahan (poverty severity index) dari kemiskinan. Artinya, selain harus mampu memperkecil jumlah penduduk miskin, kebijakan berkaitan kemiskinan juga sekaligus harus bisa mengurangi tingkat kedalaman dan tingkat keparahan kemiskinan itu. Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) pada periode ember - ember 2014 sedikit mengalami kenaikan. Indeks kedalaman kemiskinan naik dari 2,13 pada ember menjadi 2,35 pada. Demikian pula Indeks keparahan kemiskinan naik dari 0,46 menjadi 0,61 pada periode yang sama (Tabel 4). Kenaikan nilai kedua indeks ini mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung menjauh garis kemiskinan dan ketimpangan pengeluaran antar penduduk miskin juga semakin melebar. Tabel 4 Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di Daerah Istimewa Yogyakarta Menurut Daerah, ember - Tahun Kota Desa Kota + Desa Indeks Kedalaman Kemiskinan (P 1 ) ember 2,18 2,04 2,13 2014 2,22 2,11 2,19 2,03 2,98 2,35 Berita Resmi Statistik D.I. Yogyakarta No. 05/01/34/Th.XVII, 2 Januari 2015 5
Indeks Keparahan Kemiskinan (P 2 ) ember 0,52 0,34 0,46 2014 0,53 0,40 0,48 0,52 0,79 0,61 Sumber: Susenas ember, 2014, dan Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) pada di daerah perdesaan lebih tinggi dari pada perkotaan. Pada bulan Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) untuk perdesaan mencapai 2,98, sementara di daerah perkotaan mencapai 2,03. Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di daerah perdesaan 0,79 sementara di daerah perkotaan mencapai 0,52. Hal ini berarti rata-rata pengeluaran konsumsi penduduk miskin terhadap garis kemiskinan di perdesaan lebih besar dibandingkan di perkotaan. Kesenjangan pengeluaran konsumsi antar penduduk miskin di daerah perdesaan juga lebih lebar dibandingkan dengan di daerah perkotaan. 6 Berita Resmi Statistik D.I. Yogyakarta No. 05/01/34/Th.XVII, 2 Januari 2015