BAB I PENDAHULUAN. sejahtera, pemerintah Indonesia berusaha untuk mewujudkan tata kelola

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. mendelegasikan sebagian wewenang untuk pengelolaan keuangan kepada daerah

BAB I PENDAHULUAN. krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Krisis ekonomi yang terjadi pada awal

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi di Indonesia setidaknya telah mengeluarkan dua undangundang

BAB I PENDAHULUAN. melalui UU No. 22 Tahun Otonomi daerah memberikan Pemerintah Daerah

BAB I PENDAHULUAN. Pergantian pemerintahan dari orde baru kepada orde reformasi yang

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan tuntutan transparansi dan akuntabilitas sebagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dewasa ini masyarakat Indonesia semakin menuntut pemerintahan untuk

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Dalam rangka mendukung terwujudnya tata kelola yang baik

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam pengelolaan keuangan dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 17

BAB I PENDAHULUAN. organisasi, baik organisasi privat maupun organisasi publik. Governance) yang berbasis pada aspek akuntabilitas, value for money,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Teori entitas yang dikemukakan oleh Paton menyatakan bahwa organisasi

BAB I PENDAHULUAN. reformasi tata kelola pemerintah. Khususnya mengenai aset tetap, hal ini sudah

BAB I PENDAHULUAN. 2004) tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Mustikarini, 2012).

BAB I PENDAHULUAN. karena memiliki sumber daya ekonomi yang tidak kecil, bahkan bisa dikatakan

BAB I PENDAHULUAN. akuntabilitas sesuai dengan prinsip-prinsip dasar good governance pada sektor

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ghia Giovani, 2015

BAB I PENDAHULUAN. informasi dalam rangka pemenuhan hak-hak publik, yaitu hak untuk mengetahui

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang menitik beratkan pada pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. dilaksanakan secara periodik (Mardiasmo, 2006, hal 17). Pemerintah harus mampu untuk

BAB I PENDAHULUAN. dengan Good Government Governance (GGG). Mekanisme. penyelenggaraan pemerintah berasaskan otonomi daerah tertuang dalam

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan teknologi dan ekonomi, sudah pasti disemua negara di dunia

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka mewujudkan tata kelola yang baik (good governance),

BAB I PENDAHULUAN. akuntansi pemerintahan yang telah diterima secara umum. Kualitas informasi dalam laporan

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. arah dan tujuan yang jelas. Hak dan wewenang yang diberikan kepada daerah,

BAB I PENDAHULUAN. Good Government Governance merupakan function of governing. Salah

BAB I PENDAHULUAN. keuangan pemerintah masih menemukan fenomena penyimpangan informasi laporan

BAB I PENDAHULUAN. salah satunya prinsip transparansi dan akuntabilitas. Berdasarkan Undang-Undang

BAB 1 PENDAHULUAN. Pemerintah telah menerbitkan peraturan tentang tingkat pengungkapan

BAB I PENDAHULUAN. Akuntanbilitas publik merupakan kewajiban pihak pemegang amanah (agent) untuk

BAB I PENDAHULUAN. Mardiasmo (2004) mengatakan, instansi pemerintah wajib melakukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan dan pertanggungjawaban, maka dalam era otonomi daerah sekarang ini

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi. Artinya bahwa pemerintah pusat memberikan wewenang untuk

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Organisasi sektor publik adalah organisasi yang bertujuan untuk

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pertimbangan yang

BAB V KESIMPULAN DAN IMPLIKASI. Setelah penulis menggali dan mengganalisis data temuan BPK RI Perwakilan

BAB I PENDAHULUAN. yang baik (good governance government), telah mendorong pemerintah pusat dan

BAB I PENDAHULUAN. menerapkan adanya Sistem Pengendalian Intern Pemerintah.

BAB II KAJIAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. yang dapat dijadikan milik Negara (UU no 17 pasal1 ayat1). Undang undang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia mulai menerapkan otonomi daerah setelah berlakunya Undang-

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

BAB I PENDAHULUAN. publik dalam rangka pemenuhan hak publik. Untuk pengertian good governance,

BAB I PENDAHULUAN. menjadi isu yang sangat penting di pemerintahan Indonesia. Salah satu kunci

I. PENDAHULUAN. melakukan pengelolaan keuangan serta mempertanggungjawabkan pelaksanaan

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan pemerintah yang baik (good governance). Good Governance. Menurut UU No. 32/2004 (2004 : 4). Otonomi daerah ada lah hak

BAB I PENDAHULUAN. yang menyajikan laporan keuangan diharuskan memberi pernyataan

BAB I PENDAHULUAN. pertanggungjawaban yang dilakukan kepada masyarakat luas (Mardiasmo:

BAB 1 PENDAHULUAN. dan Rochmansjah (2010) ditandai dengan adanya penyelenggaraan manajemen

BAB 1 PENDAHULUAN. banyak mendapatkan perhatian khusus dibandingkan masa-masa sebelumnya

BAB I PENDAHULUAN. Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, dan seiring

BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Seiring dengan adanya perubahan masa dari orde baru ke era

BAB I PENDAHULUAN. Tata kelola pemerintahan yang baik (Good Government Governance)

BAB I PENDAHULUAN. pertanggungjawaban yang dilaksanakan secara periodik yang disebut. dengan laporan keuangan (Mardiasmo, 2006).

BAB I PENDAHULUAN. dalam satu periode. Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan (PSAP) No.1

BAB I PENDAHULUAN. Pemeriksaan Tanggung Jawab Keuangan Negara, BPK RI diamanatkan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Good Government Governance di Indonesia semakin meningkat.

BAB I PENDAHULUAN. informasi yang relevan mengenai posisi keuangan dan seluruh transaksi yang

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang baik (good government governance), telah mendorong

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah mengeluarkan Undang Undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam rangka meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 pasal 32 ayat 1 dan 2 tentang keuangan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. daerah (Mahmudi, 2011). Laporan keuangan dalam lingkungan sektor publik

AKUNTANSI, TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS KEUANGAN PUBLIK (SEBUAH TANTANGAN) OLEH : ABDUL HAFIZ TANJUNG,

BAB I PENDAHULUAN. Dengan semakin maju dan terbukanya sistem informasi dewasa ini, isu-isu

BAB I PENDAHULUAN. reformasi dapat dinilai kurang pesat, pada saat itu yang lebih mendapat perhatian

dalam pelaksanaan kebijakan otonomi daerah. Sejak diberlakukannya otonomi desantralisasi mendorong perlunya perbaikan dalam pengelolaan dan

BAB I PENDAHULUAN. harus ditingkatkan agar menghasilkan laporan keuangan yang berkualitas. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. Sejak Indonesia mulai memasuki era reformasi, kondisi pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. dan fungsinya yang didasarkan pada perencanaan strategis yang telah ditetapkan.

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan tuntutan masyarakat terhadap terselenggaranya

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka reformasi di bidang keuangan, pada tahun

BAB I PENDAHULUAN. pesat dengan adanya era reformasi dalam pelaksanaan kebijakan pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. telah menjadi semacam new product dari sebuah industri bernama pemerintahan

BAB 1 PENDAHULUAN. yang dapat diraih melalui adanya otonomi daerah.indonesia memasuki era otonomi

BAB I PENDAHULUAN. diwujudkan melalui penyampaian laporan pertanggungjawaban keuangan pemerintah

I. PENDAHULUAN. Perubahan paradigma pengelolaan keuangan baik pemerintah pusat maupun

BAB I PENDAHULUAN. telah membawa perubahan terhadap sistem politik, sosial, kemasyarakatan serta

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan penyelenggaraan operasional pemerintahan. Bentuk laporan

BAB I PENDAHULUAN. governance) ditandai dengan diterbitkannya Undang undang Nomor 28 Tahun

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Reformasi manajemen keuangan negara di Indonesia diawali lahirnya

BAB I PENDAHULUAN. yang mensyaratkan bentuk dan isi laporan pertanggungjawaban pelaksanaan

BAB 1 PENDAHULUAN. Tata kelola pemerintah yang baik (Good Government Governance) merupakan

BAB I PENDAHULUAN. berupa laporan keuangan. Fenomena yang terjadi di Indonesia adalah

BAB I PENDAHULUAN. Good governace merupakan function of governing, salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. Konsep good governance memiliki arti yang luas dan sering dipahami

BAB I INTRODUKSI. Bab I dalam penelitian ini berisi tentang latar belakang, konteks riset, rumusan

BAB I PENDAHULUAN. tata kelola yang baik diperlukan penguatan sistem dan kelembagaan dengan

BAB I PENDAHULUAN. satu dasar penting dalam pengambilan keputusan. Steccolini (2002;24) mengungkapkan bahwa :

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan adanya pelaksanaan otonomi daerah menuntut pemerintah harus memberikan

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. kebijakan yang telah ditetapkan, dan ketentuan. Selain itu, pengawasan intern atas

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang baik (good governance government), telah mendorong

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang baik (good government governance), telah mendorong

BAB I PENDAHULUAN. transparansi pada laporan keuangan pemerintah daerah. Munculnya Undangundang

BAB I PENDAHULUAN. dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengeluarkan UU No. 33 Tahun 2004

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara dengan wilayah yang luas yang terdiri

BAB 1 PENDAHULUAN. Pergantian Pemerintahan dari orde baru ke orde reformasi yang. dimulai pertengahan tahun 1998 menuntut pelaksanaan otonomi daerah

BAB I PENDAHULUAN. daerah merupakan tujuan penting dalam reformasi akuntansi dan administrasi

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam rangka memajukan pembangunan masyarakat yang makmur dan sejahtera, pemerintah Indonesia berusaha untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (Good Public Governance). Good Public Governance (GPG) merupakan sistem atau aturan perilaku terkait dengan pengelolaan kewenangan oleh para penyelenggara negara dalam menjalankan tugasnya secara bertanggung jawab. Dalam mewujudkan GPG, maka pemerintah melakukan perbaikan di berbagai bidang, diantaranya dalam bidang pengelolaan keuangan. Peningkatan pengelolaan keuangan di Indonesia ditandai dengan munculnya regulasi mengenai keuangan negara, yaitu Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 mengenai Keuangan Negara, Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 mengenai Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Ketiga regulasi tersebut mencakup pengelolaan keuangan pemerintah secara keseluruhan, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Pengelolaan keuangan daerah oleh pemerintah daerah dimulai sejak diberlakukannya aturan mengenai otonomi daerah. Dengan diberlakukannya otonomi daerah yang didorong melalui Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah telah memberikan warna baru dalam sistem pemerintahan di Indonesia. Mardiasmo (2004:125) menyatakan bahwa :

2 Otonomi yang diberikan kepada daerah kabupaten dan kota dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional. Artinya, pelimpahan tanggung jawab akan diikuti oleh pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Berlakunya otonomi daerah memberikan kewenangan bagi daerah untuk mengatur dan mengelola rumah tangganya sendiri, termasuk dalam hal keuangan. Pemerintah daerah memiliki wewenang untuk mengelola keuangannya sendiri dengan tetap patuh pada peraturan perundang-undangan dan standar akuntansi yang telah ditetapkan. Selain itu, adanya pelimpahan wewenang akan diikuti oleh bentuk pertanggungjawaban dari pengelolaan yang dilakukan. Bentuk pertanggungjawaban pengelolaan keuangan tertera dalam Undangundang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Dalam undang-undang tersebut, tertera kewajiban bagi Presiden dan Gubernur/Walikota/Bupati untuk menyampaikan laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD berupa laporan keuangan. Penyusunan laporan keuangan pemerintah Indonesia harus sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). Dengan mengikuti SAP, maka laporan keuangan dapat diakui konsistensinya dan dapat dikatakan bahwa pemerintah daerah telah memenuhi kewajiban dalam hal akuntabilitas dan tranparansi keuangan publik melalui laporan keuangan. Dalam Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan (PSAP) Nomor 1 dalam paragraf 24 dinyatakan bahwa : Laporan keuangan memberikan informasi tentang sumber daya ekonomi dan kewajiban entitas pelaporan pada tanggal pelaporan dan arus sumber daya ekonomi selama periode berjalan. Informasi ini diperlukan pengguna untuk melakukan penilaian terhadap kemampuan entitas pelaporan dalam menyelenggarakan kegiatan pemerintahan di masa mendatang.

3 Informasi dalam laporan keuangan sangat dibutuhkan untuk menilai kinerja pemerintahan selama periode tertentu. Dengan tersedianya berbagai informasi menandakan bahwa laporan keuangan yang dibuat telah sesuai dengan peraturan yang ada dan pemerintah dapat menunjukkan bagaimana kinerja pemerintahannya. Penyediaan informasi dalam laporan keuangan dilakukan untuk kepentingan transparansi, yaitu memberikan informasi keuangan yang terbuka dan jujur kepada masyarakat. Dalam Konsep Pedoman Kebijakan Governance (2008:7), dinyatakan bahwa transparansi mengandung unsur pengungkapan (disclosure) dan penyediaan informasi yang memadai dan mudah diakses oleh pemangku kepentingan. Pengungkapan dan penyediaan informasi menjadi unsur penting dalam laporan keuangan. Oleh karena itu, pemerintah daerah harus mengungkapkan berbagai informasi dalam laporan keuangan sebagai bentuk akuntabilitas dan transparansi keuangan publik. Pengungkapan merupakan bagian integral dari pelaporan keuangan dan merupakan bentuk dari penyajian informasi dalam statemen keuangan. Aturan pengungkapan tertera jelas dalam SAP. Pengungkapan tersebut merupakan pengungkapan wajib (mandatory disclosure), yaitu informasi-informasi yang harus dan wajib disajikan dalam laporan keuangan pemerintah daerah. Pengungkapan wajib merupakan bagian dari SAP yang bertujuan untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas keuangan publik, namun penerapannya belum dilakukan secara maksimal oleh pemerintah daerah di Indonesia. Hal itu sesuai dengan yang dikemukakan oleh Ketua Badan Pemeriksa

4 Keuangan (BPK) Republik Indonesia, Hari Purnomo, bahwa Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) yang diperiksa pada Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I Tahun 2011 mendapat predikat buruk. Dari hasil pemeriksaan LKPD Tahun Anggaran 2010 yang memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) hanya 32 pemerintah daerah atau 9% dari 358 LKPD yang diperiksa pada semester 1/2011(www.bpk.go.id). Itu berarti 91 % lainnya dari LKPD yang dibuat oleh pemerintah daerah masih kurang baik. Rendahnya perolehan opini WTP tersebut terjadi pula di Provinsi Jawa Barat. Selama periode 2006-2010, LKPD pemerintah daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Barat, hanya satu kali memperoleh opini WTP. Berikut adalah grafik perkembangan opini yang diperoleh pemerintah daerah di Provinsi Jawa Barat dari tahun 2006-2010. 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% 100% 0% 4% 4% 4% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 2006-25 LKPD 68% 28% 2007-25 LKPD 96% 2008-26 LKPD 88% 12% 2009-26 LKPD 96% 2010-26 LKPD WTP WDP TW TMP Sumber : Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2011 (data diolah) Gambar 1.1 Grafik Opini LKPD Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Barat Tahun Anggaran 2006 2010

5 Berdasarkan Gambar 1.1 diketahui bahwa dari tahun 2006 2010, perolehan opini LKPD Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Barat hanya satu kali mendapat opini WTP yang diraih oleh Pemerintah Daerah Kota Banjar pada tahun 2007. LKPD Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Barat rata-rata mendapat opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP). Pada tahun 2010, perolehan opini WDP sebanyak 96 % atau sebanyak 25 LKPD dari total 26 LKPD yang diperiksa. Hal yang dikecualikan dalam perolehan opini tersebut adalah penyajian dan pengungkapan dalam laporan keuangan yang masih kurang baik. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Kepala BPK Perwakilan Jawa Barat, Slamet Kurniawan, (www.bandung.bpk.go.id) yang menyatakan bahwa : Dari hasil pemeriksaan tiga tahun terakhir, BPK masih menemukan temuan yang berulang yang menjadi pengecualian dalam pemberian opini, yaitu 1) Penatausahaan dan pelaporan aset tetap belum memadai; 2) Penyajian Persediaan tidak didukung dengan rincian daftar persediaan dan tidak dilengkapi dengan Berita Acara Stock Opname pada tanggal neraca pada seluruh SKPD; 3) Penyajian dan/atau pengungkapan penyertaan modal pemerintah kepada perusahaan daerah di atas 20% tidak disajikan dengan metode ekuitas sebagaimana dinyatakan dalam Standar Akuntansi. Berdasarkan pendapat diatas, penyajian dan pengungkapan masih menjadi permasalahan. Oleh karena itu penelitian mengenai pengungkapan dalam LKPD serta faktor yang mempengaruhinya perlu dilakukan. Penelitian terkait dengan pengungkapan wajib belum banyak dilakukan pada laporan keuangan pemerintahan (sektor publik) bila dibandingkan dengan perusahaan (sektor privat). Penelitian mengenai pengungkapan, diantaranya telah dilakukan oleh Martani dan Liestiani (2008). Dari penelitian ini diketahui bahwa rata-rata tingkat pengungkapan dalam LKPD di Indonesia tahun anggaran 2006 sebesar 32,61 %. Penelitian lain pun dilakukan oleh Lesmana (2010) yang

6 membuktikan bahwa tingkat pengungkapan wajib dalam LKPD di Indonesia tahun anggaran 2007 masih rendah, yaitu hanya sebesar 22 %. Rendahnya pengungkapan wajib dalam LKPD dapat mengindikasikan bahwa pemerintah daerah di Indonesia belum sepenuhnya mampu mewujudkan kualitas laporan keuangan yang baik. Bila hal tersebut terus dibiarkan, ketidakpercayaan masyarakat terhadap pengelolaan keuangan daerah akan muncul, serta peluang untuk terjadinya korupsi keuangan daerah akan semakin besar. Pengungkapan wajib dalam laporan keuangan pemerintah daerah dapat dipengaruhi oleh faktor yang beragam. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ayuningtyas (2010), pengungkapan wajib dipengaruhi oleh karakteristik pemerintah daerah. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa karakteristik pemerintah daerah dapat menjelaskan kepatuhan pengungkapan wajib dalam laporan keuangan pemerintah daerah, sehingga karakteristik pemerintah daerah merupakan prediktor kepatuhan pengungkapan wajib. Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai karakteristik pemerintah daerah dan pengungkapan wajib dalam sektor publik. Beberapa penelitian tentang karakteristik pemerintah daerah dan pengungkapan wajib telah dilakukan sebelumnya. Penelitian tersebut diantaranya telah dilakukan oleh Suhardjanto et al. (2010). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya pengaruh karakteristik pemerintah daerah terhadap pengungkapan wajib dalam LKPD. Suhardjanto et al. (2010) menggunakan variabel dua komponen organisasi, yaitu struktur organisasi (municipality size, municipality wealth, functional differentiation, municipality age, dan educational

7 background of the head of municipality) dan lingkungan eksternal (municipality debt financing dan intergovernmental revenue) untuk menjelaskan karakteristik pemerintah daerah. Penelitiannya dilakukan dengan objek penelitian laporan keuangan pemerintah daerah kabupaten dan kota di Indonesia. Penelitian lain pun dilakukan oleh Lesmana (2010), dengan menggunakan karakteristik pemerintah daerah sebagai variabel bebas. Karakteristik pemerintah daerah diproksikan dengan variabel ukuran (size) daerah, kewajiban, pendapatan transfer, umur pemerintahan daerah, jumlah SKPD, dan rasio kemandirian keuangan daerah dalam menjelaskan karakteristik pemerintah daerah. Penelitiannya dilakukan dengan objek penelitian laporan keuangan pemerintah daerah kabupaten dan kota di Indonesia tahun anggaran 2007. Dari penelitian yang telah dilakukan Suhardjanto et al. (2010) dan Lesmana (2010), karakteristik pemerintah daerah dapat dijelaskan oleh berbagai hal. Pentingnya pengungkapan wajib dalam laporan keuangan dan beragamnya karakteristik pemerintah daerah membuat peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang sama mengenai karakteristik pemerintah daerah dengan menggunakan beberapa karakteristik baru. Karakteristik pemerintah daerah yang digunakan dalam penelitian ini adalah rasio kemandirian keuangan daerah, umur pemerintahan daerah, rasio leverage dan intergovernmental revenue. Penelitian ini mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Lesmana (2010) dengan tiga perbedaan. Perbedaan pertama, penulis menggunakan variabel baru rasio leverage untuk mengukur hutang pemerintah, perbedaan kedua dengan menggunakan perbandingan intergovernmental revenue untuk mengukur

8 ketergantungan daerah, dan perbedaan yang ketiga adalah pemilihan lokasi penelitian yaitu terbatas pada pemerintah daerah kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat. Kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat merupakan daerah yang cukup besar dan berkembang. Jumlah penduduk Provinsi Jawa Barat pada tahun 2010 sebesar 43,02 juta jiwa atau 18% dari keseluruhan penduduk Indonesia (http://bpsjabar.bim.web.id). Dengan banyaknya jumlah penduduk, didukung oleh perkembangan cara berpikir masyarakat, tuntutan akan keterbukaan informasi akan semakin bertambah, sehingga pemerintah daerah wajib memberikan transparansi informasi kepada masyarakat. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui adanya pengaruh karakteristik pemerintah daerah terhadap pengungkapan wajib. Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai praktik pengungkapan wajib pemerintah daerah dalam LKPD kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Penelitian ini sangat penting karena dapat menambah pengetahuan mengenai akuntansi sektor publik dan administrasi pelaporan keuangan daerah. Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Pengaruh Karakteristik Pemerintah Daerah terhadap Pengungkapan Wajib dalam Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Barat Tahun 2010.

9 1.2 Rumusan Masalah Bertitik tolak dari fenomena yang telah dikemukakan pada latar belakang penelitian, maka pokok permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimana gambaran karakteristik pemerintah daerah kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat. 2. Bagaimana gambaran pengungkapan wajib dalam laporan keuangan pada pemerintah daerah kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat. 3. Apakah karakteristik pemerintah daerah berupa rasio kemandirian daerah, umur pemerintahan daerah, rasio leverage dan intergovernmental revenue memiliki pengaruh terhadap pengungkapan wajib dalam laporan keuangan pemerintah daerah kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat. 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui gambaran karakteristik pemerintah daerah kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat. 2. Untuk mengetahui gambaran pengungkapan wajib dalam laporan keuangan pada pemerintah daerah kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat. 3. Untuk mengetahui apakah karakteristik pemerintah daerah berupa rasio kemandirian keuangan daerah, umur pemerintahan daerah, rasio leverage

10 dan intergovernmental revenue memiliki pengaruh terhadap pengungkapan wajib dalam laporan keuangan pemerintah daerah kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat. 1.4 Kegunaan Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun praktis. 1.4.1 Kegunaan Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi serta masukan atau pertimbangan untuk mengembangkan keilmuan akuntansi, khususnya untuk akuntansi sektor publik, guna menyelesaikan masalah dalam pelaporan keuangan daerah. Selain itu, penelitian ini bisa dijadikan referensi untuk penelitian lebih lanjut mengenai hal yang serupa. 1.4.2 Kegunaan Praktis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi gambaran kelengkapan pengungkapan dalam laporan keuangan serta menjadi sumbangan pemikiran bagi intansi terkait dalam upaya memberikan transparansi dan akuntabilitas pelaporan keuangan di masa mendatang, sebagai bentuk dari tanggung jawab pengelolaan keuangan.