BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Penelitian yang dilakukan oleh Herryanto& Toly (2013) berjudul

dokumen-dokumen yang mirip
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN Ditetapkan tanggal 17 Juli 2007 KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Menurut Andriani (1991) dalam Waluyo (2011), pajak adalah iuran kepada negara

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN (UU KUP)

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Salah satu usaha untuk mewujudkan kemandirian suatu bangsa dalam

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PAJAK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN BAB I KETENTUAN UMUM.

Undang-Undang KUP dan Peraturan Pelaksanaannya

KOMPILASI RANCANGAN UNDANG-UNDANG KETENTUAN UMUM PERPAJAKAN (KUP)

PERSANDINGAN SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN BESERTA PERATURAN-PERATURAN PELAKSANAANNYA

Undang-Undang KUP dan Peraturan Pelaksanaannya

Team project 2017 Dony Pratidana S. Hum Bima Agus Setyawan S. IIP

BAB I PENDAHULUAN. Makalah Pemeriksaan Pajak Page 1

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

OLEH: Yulazri SE. M.Ak. Akt. CPA

Self assessment : WP membayar pajak sesuai UU tidak tergantung SKP

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2000 TENTANG

KETENTUAN UMUM & TATA CARA PERPAJAKAN

BAB II LANDASAN TEORI. berkaitan dengan hal tersebut yang terbagi menjadi 3 (tiga) bagian pokok yaitu

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

KETENTUAN UMUM & TATA CARA PERPAJAKAN

BAB II LANDASAN TEORI. pajak, diantaranya pengertian pajak yang dikemukakan oleh Prof. Dr. P. J. A. Adriani

PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK

PERPAJAKAN I KUASA & KONSULTAN PAJAK, PEMERIKSAAN, PENAGIHAN, RESTITUSI PAJAK. Deden Tarmidi, SE., M.Ak., BKP. Modul ke: Fakultas Ekonomi dan Bisnis

SIAPA PEMBAYAR PAJAK: WAJIB PAJAK

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB III GAMBARAN DATA. akan dapat membawa pengaruh positif terhadap kepatuhan wajib pajak dalam

MANAJEMEN PERPAJAKAN

Wajib Pajak mengubah data SPT saat Pemeriksaan atau Penyidikan Pajak?

PENETAPAN DAN KETETAPAN

RINGKASAN KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

BAB V PENUTUP. untuk Tujuan Lain. Kedua bentuk pemeriksaan ini pada dasarnya merupakan

Pengantar Perpajakan bagi Account Representative Dasar

BAB II LANDASAN TEORI

Pengertian & Tujuan Pemeriksaan

BAB 1 PENDAHULUAN. Sumber dana luar negeri, misalnya pinjaman luar negeri dan hibah ( grant),

BAB I PENDAHULUAN. sampai dengan tahun 2012 terlihat pada tabel berikut ini: Tabel 1.1 Perkembangan Penerimaan Pajak (triliun rupiah)

BAB II KAJIAN TEORI PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia merupakan negara hukum berlandaskan Pancasila dan

BAB 4 PEMBAHASAN. 4.1 Rencana dan Realisasi Penerimaan Pajak Pada Kantor Pelayanan Pajak. (KPP) Pratama Jakarta Kemayoran

JURNAL PENELITIAN TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KEBIJAKAN PEMERIKSAAN PAJAK OLEH DIREKTORAT JENDERAL PAJAK. Disusun oleh: Deddy Arief Setiawan ABSTRAK

1

*** ISTILAH PERPAJAKAN ***

Pelaksanaan Penelitian Dan Pemeriksaan Spt Tahunan Pph Badan Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bandung Cibeunying

membiayai segala pengeluaran-pengeluarannya. Pembangunan Nasional adalah kegiatan yang berlangsung secara terus-menerus dan berkesinambungan yang

NPWP dan Pengukuhan PKP

BAB II KERANGKA TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Pajak merupakan komponen yang sangat penting dalam keberlangsungan

KementerianKeuangan RepublikIndonesia Direktorat Jenderal Pajak

BAB 4 PEMBAHASAN. 4.1 Kepatuhan Wajib Pajak di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Jakarta Tanah Abang Satu

BAB 2 LANDASAN TEORI. Beberapa ahli dalam perpajakan telah memberikan pengertian pajak, antara lain sebagai berikut:

BAB II KETENTUAN UMUM dan TATA CARA PERPAJAKAN

2015, No Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan diubah sebagai berikut: 1. Kete

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DI INDONESIA

BAB II LANDASAN TEORI. A. Tinjauan Pustaka. pribadi maupun badan yang bersifat memaksa berdasar Undang-Undang, dengan

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS. wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang

SKEMA KEMUNGKINAN PENGEMBALIAN PAJAK

BAB VI KETENTUAN UMUM TATA CARA PERPAJAKAN

MENTERIKEUANGAN REPUBLlK INDONESIA SALIN AN

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan, yakni pada tahun 2015 besarnya belanja negara sebesar

Lamhot, S.E., M.Si Dosen Tetap Politeknik Mandiri Bina Prestasi ABSTRAKSI

BAB 2 LANDASAN TEORI. Cuma-Cuma) yang diberikan rakyat kepada Negara, namun seiring dengan

NO. URUT WEWENANG DIREKTUR JENDERAL PAJAK DASAR HUKUM DILIMPAHKAN KEPADA KETERANGAN

184/PMK.03/2015 PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 17/PMK.03/2013 TENTANG TATA CARA PEM

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 34 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN PAJAK DAERAH

II. PASAL DEMI PASAL. Pasal I. Angka 1 Pasal 1. Cukup jelas. Angka 2 Pasal 2

MINGGU PERTAMA KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

BAB IV PEMBAHASAN. Analisis Mekanisme Pajak Pertambahan Nilai. Pengusaha Kena Pajak, maka PT. PP (Persero) Tbk mempunyai hak dan

PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI KARAWANG NOMOR 21 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN PAJAK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENGANTAR PERPAJAKAN HAK WAJIB PAJAK

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 7/PJ/2011 TENTANG TATA CARA PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 243/PMK.03/2014 TENTANG SURAT PEMBERITAHUAN (SPT) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 242/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PEMBAYARAN DAN PENYETORAN PAJAK

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2000 TENTANG

- 1 - BUPATI TULUNGAGUNG PERATURAN BUPATI TULUNGAGUNG NOMOR 34 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PEMUNGUTAN PAJAK MINERAL BUKAN LOGAM DAN BATUAN

Lampiran 1 Standar Pelayanan Administrasi Perpajakan. Jenis Pelayanan Persyaratan Yang Diperlukan Waktu Penyelesaian.

Hukum Pajak. Kewajiban Perpajakan (Pertemuan #9) Semester Genap

RESUME SANKSI PERPAJAKAN SANKSI BUNGA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN HAK DAN PEMENUHAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN HAK DAN PEMENUHAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN

BAB II LANDASAN TEORI

smsi BUPATI KARANGASEM PROVINSI BALI PERATURAN BUPATI KARANGASEM NOMOR 29 TAHUN 2014 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN PAJAK DAERAH

Putusan Pengadilan Pajak Nomor : PUT.39513/PP/M.IV/99/2012. Jenis Pajak : Pajak Penghasilan Pasal 26. Tahun Pajak : 2010

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 242/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PEMBAYARAN DAN PENYETORAN PAJAK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1994 TENTANG

DIREKTORAT PENYULUHAN, PELAYANAN, DAN HUBUNGAN MASYARAKAT

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 184/PMK.03/2015 TENTANG

Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan. Oleh Ruly Wiliandri

PENGERTIAN DAN DEFINISI CIRI CIRI YANG MELEKAT PADA DEFINISI PAJAK ISTILAH-ISTILAH PERPAJAKAN

1 of 5 21/12/ :19

BAB II LANDASAN TEORI

Transkripsi:

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu Untuk mengetahui serta menganalisis permasalahan yang ada, maka dibutuhkan beberapa penelitian terdahulu yang menjelaskan hubungan-hubungan antara variabel. Hal tersebut akan dijabarkan dalam uraian penelitian terdahulu di bawah ini. Penelitian yang dilakukan oleh Herryanto& Toly (2013) berjudul Pengaruh Kesadaran Wajib Pajak, Kegiatan Sosialisasi Perpajakan, dan Pemeriksaan Pajak Terhadap Penerimaan Pajak Penghasilan di KPP Pratama Surabaya Sawahan. Dalam penelitian ini akan dianalisa apakah ada pengaruh variabel independen yang meliputi jumlah wajib pajak, kesadaran wajib pajak, kegiatan sosialisasi perpajakan, dan pemeriksaan pajak terhadap variabel dependen yaitu penerimaan Pajak Penghasilan. Populasi dalam penelitian ini adalah Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) pengusaha aktif yang terdaftar di KPP Pratama Surabaya Sawahan. Teknik analisa yang digunakan adalah analisa regresi linier berganda. Variabel penerimaan pajak penghasilan dilihat dari jumlah penerimaan angsuran PPh 25 dari Wajib Pajak Orang Pribadi. Variabel jumlah wajib pajak dilihat dari total jumlah wajib pajak orang pribadi pengusaha yang terdaftar yang secara aktif melakukan pembayaran dan pelaporan angsuran PPh 25. Variabel kesadaran wajib pajak diukur dengan persentase jumlah SPT Masa PPh 25 yang dilaporkan tepat waktu oleh Wajib Pajak Orang Pribadi. Variabel 13

14 kegiatan sosialisasi perpajakan dilihat dari jumlah kegiatan sosialisasi yang dilakukan KPP untuk WPOP. Sedangkan variabel pemeriksaan pajak diukur menggunakan produk hasil pemeriksaan yaitu SKP dan STP. Namun karena STP merupakan produk hasil pemeriksaan yang paling banyak diterbitkan oleh KPP Pratama Surabaya Sawahan maka pengukuran hanya menggunakan Surat Tagihan Pajak (STP). Dari hasil pengujian asumsi klasik didapat bahwa telah terjadi masalah multikolinieritas dalam model regresi. Oleh karena itu diambil langkah untuk mengeluarkan variabel jumlah wajib pajak sebagai variabel yang memiliki masalah multikolinieritas, sehingga hanya tersisa tiga variabel independen. Pengujian variabel kesadaran wajib pajak secara parsial berpengaruh negatif terhadap penerimaan Pajak Penghasilan. Pengujian variabel kegiatan sosialisasi perpajakan secara parsial tidak berpengaruh terhadap penerimaan Pajak Penghasilan. Pengujian variabel pemeriksaan pajak secara parsial berpengaruh terhadap penerimaan Pajak Penghasilan. Hasil pengujian secara simultan menyimpulkan bahwa variabel kesadaran wajib pajak, kegiatan sosialisasi perpajakan, dan pemeriksaan pajak berpengaruh terhadap penerimaan Pajak Penghasilan. Penelitian yang dilakukan oleh Tresno, dkk., (2011) berjudul Pengaruh Penambahan Wajib Pajak, Penyampaian SPT Masa PPh Badan, dan Pengawasan Kepatuhan Wajib Pajak Badan terhadap Penerimaan Pajak Penghasilan Badan di KPP Pratama Jakarta Matraman. Dalam penelitian ini akan dianalisa apakah ada pengaruh variabel independen yaitu Penambahan Wajib Pajak, Penyampaian SPT Masa PPh Badan, dan Pengawasan Kepatuhan Wajib Pajak Badan terhadap

15 variabel dependen yaitu Penerimaan Pajak Penghasilan Badan. Populasi dalam penelitian ini adalah Wajib Pajak Badan yang terdaftar di KPP Pratama Jakarta Matraman. Teknik analisa yang digunakan adalah analisa regresi linier berganda. Variabel penambahan wajib pajak diukur dengan menghitung perubahan jumlah wajib pajak badan tiap bulannya. Variabel penyampaian SPT Masa PPh Badan diukur dengan menghitung jumlah SPT Masa PPH Badan yang disetorkan tiap bulannya.variabel pengawasan kepatuhan wajib pajak badan dihitung dengan menghitung jumlah STP yang diterbitkan tiap bulannya. Variabel penerimaan pajak diukur dengan menghitung jumlah pembayaran atas penerimaan pajak penghasilan badan yang disetor wajib pajak badan tiap bulannya. Pengujian variabel Penambahan Wajib Pajak secara parsial berpengaruh terhadap penerimaan Pajak Penghasilan Badan. Pengujian variabel Penyampaian SPT Masa PPh Badan secara parsial berpengaruh terhadap penerimaan Pajak Penghasilan Badan. Pengujian variabel Pengawasan Kepatuhan Wajib Pajak Badan secara parsial berpengaruh terhadap penerimaan Pajak Penghasilan Badan. Penelitian yang dilakukan oleh Fitriani W & Saputra (2009) berjudul Analisa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Jumlah Penerimaan Pajak Penghasilan Orang Pribadi (Studi Kasus di Wilayah Kerja Kantor Pelayanan Pajak Batu. Dalam penelitian ini akan dianalisa apakah ada pengaruh variabel independen yaitu jumlah WPOP yang terdaftar, jumlah SSP yang diterima, ekstensifikasi WPOP, Rasio Pencairan Tunggakan terhadap variabel dependen yaitu Penerimaan Pajak Penghasilan Orang Pribadi. Populasi dalam penelitian ini adalah WPOP pengusaha yang terdaftar di KPP Pratama Batu. Teknik analisa

16 yang digunakan adalah analisa regresi linier berganda. Variabel penerimaan pajak penghasilan orang pribadi dilihat dari jumlah pemasukan per bulan yang diterima oleh KPP Batu berkenaan dengan pajak penghasilan yang dibayar oleh WPOP pengusaha. Variabel jumlah WPOP dilihat dari banyaknya WPOP pengusaha yang terdaftar setiap bulannya. Variabel jumlah SSP yang diterima dilihat dari banyaknya SSP Pajak Penghasilan orang pribadi yang diterima oleh KPP tiap bulannya. Variabel ekstensifikasi wajib pajak dilihat dari banyaknya WPOP terdaftar baru yang berhasil diekstensifikasi oleh KPP tiap bulannya. Variabel rasio pencairan tunggakan dilihat dari perbandingan antara jumlah pencairan tunggakan dengan jumlah tunggakan pajak di KPP tiap bulannya. Pengujian variabel jumlah WPOP yang terdaftar secara parsial berpengaruh terhadap penerimaan Pajak Penghasilan Orang Pribadi. Pengujian variabel jumlah SSP yang diterima secara parsial berpengaruh terhadap penerimaan Pajak Penghasilan Orang Pribadi. Pengujian variabel Ekstensifikasi WPOP secara parsial berpengaruh terhadap penerimaan Pajak Penghasilan Orang Pribadi. Pengujian variabel Rasio Tunggakan Pajak secara parsial berpengaruh terhadap penerimaan Pajak Penghasilan Orang Pribadi. Hasil pengujian secara simultan menyimpulkan bahwa keempat variabel independen berpengaruh terhadap penerimaan Pajak Penghasilan Orang Pribadi. Penelitian yang dilakukan oleh Kosasih (2008) berjudul Analisis Jumlah Wajib Pajak dan Pemeriksaan Pajak terhadap Realisasi Penerimaan Pajak pada Kantor Pajak XXX. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan jumlah wajib pajak terhadap realisasi target penerimaan pajak, untuk menganalisis

17 hubungan pemeriksaan terhadap realisasi target penerimaan pajak, untuk menganalisis hubungan jumlah wajib pajak dan pemeriksaan pajak terhadap realisasi target penerimaan pajak, untuk menganalisis antara realisasi penerimaan sebelum dan sesudah penerimaan pajak. Teknik analisa yang digunakan adalah analisa regresi linier berganda. Variabel penerimaan pajak dilihat dari realisasi penerimaan pajak tiap tahunnya. Variabel jumlah wajib pajak dilihat dari jumlah wajib pajak yang terdaftar tiap tahunnya. Variabel pemeriksaan pajak dilihat dari besarnya jumlah penerimaan pajak yang berasal dari pemeriksaan pajak. Pengujian variabel jumlah wajib pajak tidak berpengaruh terhadap realisasi penerimaan pajak. Pengujian variabel pemeriksaan pajak tidak berpengaruh terhadap realisasi penerimaan pajak. Hasil pengujian secara simultan menjelaskan bahwa jumlah wajib pajak dan pemeriksaan pajak mempunyai hubungan yang kuat (positif) akan tetapi kontribusi terhadap realisasi penerimaan pajak tidak signifikan. Dan dari hasil analisis menggunakan selisih rata-rata hitung populasi menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara realisasi penerimaan pajak sebelum dan sesudah pemeriksaan. Artinya kontribusi pemeriksaan pajak terhadap realisasi penerimaan kurang berarti. Penelitian yang dilakukan oleh Suryadi (2006) berjudul Model Hubungan Kausal Kesadaran, Pelayanan, Kepatuhan Wajib Pajak dan Pengaruhnya terhadap Kinerja Penerimaan Pajak: Suatu Survei di Wilayah Jawa Timur. Dalam penelitian ini akan diuji hubungan antar variabel Kesadaran, Pelayanan, Kepatuhan Wajib Pajak dan Pengaruhnya terhadap Kinerja Penerimaan Pajak. Teknik analisa yang digunakan adalah Structural Equation Modelling (SEM) dan

18 Uji Beda Dua Rata-Rata (t-test). Variabel kesadaran wajib pajak dibentuk oleh dimensi persepsi wajib pajak, karakteristik wajib pajak, dan penyuluhan perpajakan. Variabel pelayanan perpajakan dibentuk oleh dimensi kualitas sumber daya manusia (SDM), ketentuan perpajakan dan sistem informasi perpajakan. Variabel kepatuhan wajib pajak dibentuk oleh dimensi pemeriksaan pajak, penegakan hukum dan kompensasi pajak. Hasil dari penelitian ini adalah kesadaran wajib pajak tidak berpengaruh terhadap kinerja penerimaan pajak, pelayanan perpajakan tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja penerimaan pajak, namun kepatuhan wajib pajak berpengaruh signifikan terhadap kinerja penerimaan pajak. Penelitian yang dilakukan oleh Suhendra (2010) berjudul Pengaruh Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Badan terhadap Peningkatan Penerimaan Pajak Penghasilan Badan. Dalam penelitian ini akan dianalisa apakah ada pengaruh variabel independen yang meliputi tingkat kepatuhan Wajib Pajak Badan, Pemeriksaan Pajak, Pajak Penghasilan Terutang terhadap variabel dependen yaitu Peningkatan Penerimaan Pajak Penghasilan. Populasi dalam penelitian ini adalah perusahaan yang terdaftar pada KPP di wilayah DKI Jakarta. Teknik analisa yang digunakan adalah analisa regresi linier berganda. Variabel peningkatan penerimaan pajak penghasilan diukur berdasarkan besarnya pajak penghasilan badan yang terealisasi dalam tiap tahunnya. Variabel tingkat kepatuhan wajib pajak badan diukur berdasarkan persentase perbandingan jumlah penyampaian SPT wajib pajak badan dengan jumlah wajib pajak badan efektif tiap tahunnya. Variabel pemeriksaan pajak diukur berdasarkan persentase perbandingan antara

19 jumlah SPT yang menyatakan lebih bayar dan nihil terhadap jumlah SPT yang disampaikan. Variabel jumlah PPh terhutang diukur berdasarkan besarnya jumlah PPh terhutang pada tahun pajak berjalan.pengujian variabel tingkat kepatuhan wajib pajak secara parsial berpengaruh terhadap peningkatan penerimaan Pajak Penghasilan. Pengujian variabel pemeriksaan pajak secara parsial tidak berpengaruh terhadap peningkatan penerimaan Pajak Penghasilan.Pengujian variabel Pajak Penghasilan Terutang secara parsial berpengaruh terhadap peningkatan penerimaan Pajak Penghasilan. Hasil pengujian secara simultan menyimpulkan bahwa ketiga variabel independen berpengaruh terhadap peningkatan penerimaan Pajak Penghasilan. Penelitian yang dilakukan oleh Hernadi (2012) berjudul Pengaruh Penagihan Pajak dan Kepatuhan Wajib Pajak terhadap Penerimaan Pajak (Studi Kasus pada Kantor Pajak Wilayah Pajak Jabar 1). Dalam penelitian ini akan dianalisa apakah ada pengaruh variabel independen yang meliputi penagihan pajak dan kepatuhan wajib pajak terhadap variabel dependen yaitu penerimaan pajak. Teknik analisa yang digunakan adalah Path Analysis. Hasil dari penelitian ini adalah penagihan pajak memiliki pengaruh dengan kepatuhan Wajib Pajak pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama di Kanwil Jawa Barat 1 serta secara bersama-sama penagihan pajak dan kepatuhan Wajib Pajak berpengaruh terhadap penerimaan pajak pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama di Kanwil Jawa Barat 1. Penelitian yang dilakukan oleh Komarawati & Muktharuddin (2010) berjudul Analisis Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi terhadap Tingkat Penerimaan Pajak di Kabupaten Lahat. Dalam penelitian ini akan

20 dianalisa apakah ada pengaruh variabel independen yaitu tingkat kepatuhan WPOP terhadap variabel dependen yaitu jumlah penerimaan pajak. Teknik analisa yang digunakan adalah analisa regresi sederhana. Variabel kepatuhan wajib pajak dilihat dari perbandingan jumlah wajib pajak yang melaporkan SPT tiap tahunnya terhadap jumlah wajib pajak yang memiliki NPWP. Variabel penerimaan pajak dilihat dari realisasi penerimaan pajak penghasilan orang pribadi tiap tahunnya. Hasil pengujian data menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh antara tingkat kepatuhan wajib pajak terhadap perubahan penerimaan pajak pada KPP Lahat. Adapun perbedaan dengan penelitian-penelitian terdahulu terletak pada metodologi penelitiannya. Variabel jumlah wajib pajak dilihat dari jumlah wajib pajak badan yang terdaftar yang masih dalam kategori efektif pada KPP Pratama Jakarta Tambora. Variabel pemeriksaan pajak diukur berdasarkan banyaknya pemeriksaan pajak yang dilakukan oleh KPP Pratama Jakarta Tambora yang tercermin dari banyaknya produk hukum yang diterbitkan (SKPKB, SKPKBT, SKPLB, SKPN, STP). Tolok ukur pemeriksaan pajak ini berbeda dengan penelitian-penelitian terdahulu. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Herryanto & Toly (2013) serta Tresno, dkk., (2011) variabel pemeriksaan pajak diukur hanya berdasarkan STP yang diterbitkan, padahal sebenarnya produk hukum pemeriksaan ada 5 jenis. Dari kelima jenis produk hukum pemeriksaan, semuanya memiliki kemungkinan untuk mempengaruhi penerimaan pajak. Apabila dalam tahun pajak berjalan diterbitkan SKP untuk tahun pajak yang lalu, maka besarnya angsuran pajak dihitung kembali berdasarkan SKP tersebut dan berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan penerbitan SKP. SKPKB, SKPKBT, serta STP

21 mengakibatkan adanya jumlah pajak yang masih harus dibayar sehingga memiliki kemungkinan untuk mempengaruhi penerimaan pajak. SKPLB juga memiliki kemungkinan untuk mempengaruhi penerimaan pajak. Salah satu contohnya yaitu apabila pajak terhutang yang dilaporkan adalah lebih bayar sebesar Rp 10.000.000,00. Namun pada saat dilakukan pemeriksaan dikeluarkan produk hukum SKPLB sebesar Rp 2.000.00,00. Dengan adanya pemeriksaan maka KPP hanya harus mengembalikan sejumlah SKPLB yaitu Rp 2.000.000,00, bukan sebesar Rp 10.000.000,00. KPP bisa save sebesar Rp 8.000.000,00. Kemudian contoh SKPN yang memiliki kemungkinan untuk mempengaruhi penerimaan pajak adalah apabila pajak terhutang yang dilaporkan adalah lebih bayar. Sama halnya dengan penjelasan sebelumnya bahwa dengan penerbitan SKPN, KPP bisa menyimpan penerimaanya (tidak terjadi pengembalian pajak kepada WP). Variabel tingkat kepatuhan diukur berdasarkan persentase dari jumlah SPT Masa yang masuk tepat waktu terhadap keseluruhan SPT Masa yang seharusnya disetor/dilaporkan. Sedangkan variabel penerimaan pajak penghasilan dilihat dari besarnya PPh 25 yang disetorkan tiap bulannya. Untuk memperjelas uraian mengenai penelitian terdahulu maka akan dirangkum ke dalam bentuk tabel kajian penelitian terdahulu yang tersedia di dalam lampiran penelitian ini.

22 2.2 Landasan Teori Landasan teori yang melandasi penelitian berasal dari peraturan-peraturan perpajakan yang berlaku dan didukung dengan pendapat-pendapat dari sumber di bidang perpajakan. 2.2.1 Ekstensifikasi dan Intensifikasi Pajak Menurut Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak No. SE-06/PJ.09/2001 tentang Pelaksanaan Ekstensifikasi Wajib Pajak dan Intensifikasi Pajak (Direktur Jenderal Pajak, 2001) menjelaskan bahwa: pengertian ekstensifikasi wajib pajak adalah kegiatan yang berkaitan dengan penambahan jumlah Wajib Pajak terdaftar dan perluasan objek pajak dalam administrasi Direktorat Jenderal Pajak (DJP).Sedangkan pengertian intensifikasi pajak adalah kegiatan optimalisasi penggalian penerimaan pajak terhadap objek serta subjek pajak yang telah tercatat atau terdaftar dalam administrasi DJP, dan dari hasil pelaksanaan ekstensifikasi Wajib Pajak. Ruang lingkup pelaksanaan kegiatan ekstensifikasi Wajib Pajak dan intensifikasi pajak menurut Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak No. SE- 06/PJ.09/2001 (Direktur Jenderal Pajak, 2001), meliputi: 1. Pemberian NPWP dan atau pengukuhan sebagai PKP, termasuk pemberian NPWP secara jabatan terhadap Wajib Pajak PPh orang pribadi yang berstatus sebagai karyawan perusahaan, orang pribadi yang bertempat tinggal di wilayah atau lokasi pemukiman atau perumahan, dan orang pribadi lainnya (termasuk orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan), yang menerima atau memperoleh penghasilan melebihi batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP); 2. Pemberian NPWP dilokasi usaha, termasuk pengukuhan sebagai PKP, terhadap orang pribadi pengusaha tertentu yang mempunyai lokasi usaha di sentra perdagangan atau perbelanjaan atau pertokoan atau perkantoran atau mal atau plaza atau kawasan industri atau sentra ekonomi lainnya; 3. Pemberian NPWP dan atau pengukuhan sebagai PKP terhadap Wajib Pajak badan yang berdasarkan data yang dimiliki atau diperoleh ternyata belum terdaftar sebagai Wajib Pajak dan atau PKP baik di domisili atau lokasi;

23 4. Penentuan jumlah angsuran PPh Pasal 25 dan atau jumlah PPN yang harus disetor dalam tahun berjalan, dimulai sejak bulan Januari tahun yang bersangkutan; 5. Penentuan jumlah PPN yang terutang atas transaksi penjualan dalam tahun berjalan, khususnya untuk PKP Pedagang Eceran, yang mempunyai usaha di sentra perdagangan atau perbelanjaan atau pertokoan atau perkantoran atau mal atau plaza atau sentra ekonomi lainnya. Pelaksanaan ekstensifikasi wajib pajak menurut Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak No. SE-06/PJ.09/2001(Direktur Jenderal Pajak, 2001) adalah sesuai dengan tujuan kegiatan ekstensifikasi Wajib Pajak di mana prioritas utama kegiatan ekstensifikasi Wajib Pajak ditujukan untuk menambah jumlah Wajib Pajak dan atau PKP. Pelaksanaan intensifikasi pajak menurut Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak No. SE-06/PJ.09/2001(Direktur Jenderal Pajak, 2001) di mana kegiatan intensifikasi pajak dan atau pelaksanaan ekstensifikasi Wajib Pajak yang dilakukan melalui pemeriksaan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut : 1. Dalam hal ditemukan kewajiban untuk melakukan pembayaran PPh dan atau PPN dalam tahun berjalan, kegiatan pemeriksaan dilanjutkan dengan penerbitan Surat Tagihan Pajak (STP) PPh dan atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) PPN, dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut: a. apabila kewajiban perpajakan telah ada sejak awal tahun dilakukan pemeriksaan, STP PPh dan atau SKPKB PPN yang diterbitkan meliputi bulan Januari sampai dengan bulan terakhir sebelum dilakukan pemeriksaan dalam tahun yang bersangkutan (tidak termasuk bulan dilakukannya pemeriksaan); b. apabila kewajiban perpajakan timbul setelah awal tahun dilakukannya pemeriksaan, STP PPh dan atau SKPKB PPN yang diterbitkan meliputi bulan sejak timbulnya kewajiban perpajakan sampai dengan bulan terakhir sebelum dilakukan pemeriksaan dalam tahun yang bersangkutan (tidak termasuk bulan dilakukannya pemeriksaan). 2. Dalam hal ditemukan adanya kewajiban perpajakan tahun-tahun sebelumnya (sepanjang belum melewati batas daluarsa penetapan pajak), agar dibuatkan usulan pemeriksaan khusus.

24 3. Tata cara penentuan besarnya peredaran usaha dalam rangka menghitung besarnya pembayaran angsuran PPh pasal 25 dalam tahun berjalan dilakukan berdasarkan ketentuan yang berlaku. 2.2.2 Wajib Pajak Adapun definisi dari wajib pajak tertera pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) pada pasal 1 ayat 2 yang berbunyi wajib pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa wajib pajak bisa merupakan orang pribadi atau bisa juga merupakan badan. Dalam ayat selanjutnya dalam UU KUP menjelaskan mengenai definisi dari badan yaitu: sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. 2.2.3 Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) Definisi dari Nomor Pokok Wajib Pajak tertera pada UU KUP pada pasal 1 ayat 6 yang berbunyi Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang

25 dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. Dalam pasal 2 ayat 1 pada UU KUP dijelaskan bahwa: setiap wajib pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan NPWP. Adapun kewajiban Wajib Pajak setelah memiliki NPWP yang tertera pada UU KUP adalah sebagai berikut: 1. Dalam pasal 4 dijelaskan bahwa wajib pajak wajib mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, jelas dan menandatanganinya. Dalam hal wajib pajak adalah badan maka Surat Pemberitahuan harus ditandatangani oleh pengurus atau direksi. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan harus dilampiri dengan laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi serta keterangan lain yang diperlukan untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak. 2. Dalam pasal 10 dijelaskan bahwa Wajib Pajak wajib membayar atau menyetor pajak yang terutang dengan menggunakan Surat Setoran Pajak ke kas negara melalui tempat pembayaran yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. 2.2.4 Pemeriksaan Pajak Definisi dari pemeriksaan pajak tertera pada UU KUP pada pasal 1 ayat 25 yang berbunyi: Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

26 2.2.4.1 Tujuan Pemeriksaan Pajak Pada pasal 2 dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 17/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan (Menteri Keuangan, 2013) menyatakan bahwa Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan Pemeriksaan dengan tujuan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Menurut Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 17/PMK.03/2013, pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dapat dilakukan dalam hal memenuhi kriteria sebagai berikut: 1. Wajib Pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar, selain yang mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak 2. Wajib Pajak yang telah diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak; 3. Wajib Pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan yang menyatakan rugi; 4. Wajib Pajak melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran, likuidasi, pembubaran, atau akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya; 5. Wajib Pajak melakukan perubahan tahun buku atau metode pembukuan atau karena dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap; 6. Wajib Pajak tidak menyampaikan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan tetapi melampaui jangka waktu yang telah ditetapkan dalam surat teguran yang terpilih untuk dilakukan Pemeriksaan berdasarkan analisis risiko; atau 7. Wajib Pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan yang terpilih untuk dilakukan Pemeriksaan berdasarkan analisis risiko. Sedangkan menurut Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 17/PMK.03/2013 dalam pasal 70, pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dilakukan dengan kriteria antara lain sebagai berikut:

27 1. pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan selain yang dilakukan berdasarkan Verifikasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai tata cara Verifikasi; 2. penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak selain yang dilakukan berdasarkan Verifikasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai tata cara Verifikasi; 3. pengukuhan atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak selain yang dilakukan berdasarkan Verifikasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai tata cara Verifikasi; 4. Wajib Pajak mengajukan keberatan; 5. pengumpulan bahan guna penyusunan norma penghitungan penghasilan neto; 6. pencocokan data dan/atau alat keterangan; 7. penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil; 8. penentuan satu atau lebih tempat terutang Pajak Pertambahan Nilai; 9. Pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak; 10. penentuan saat produksi dimulai atau memperpanjang jangka waktu kompensasi kerugian sehubungan dengan pemberian fasilitas perpajakan; dan/atau 11. memenuhi permintaan informasi dari negara mitra Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda. 2.2.4.2 Hasil Pemeriksaan Pajak Pemeriksaan pajak berkaitan erat dengan laporan pemeriksaan pajak. Di mana laporan pemeriksaan pajak merupakan laporan tentang hasil pemeriksaan yang disusun oleh pemeriksa pajak secara ringkas dan jelas serta sesuai dengan ruang lingkup dan tujuan pemeriksaan. Laporan pemeriksaan pajak inilah yang digunakan sebagai dasar penerbitan produk hukum seperti berbagai Surat Ketetapan Pajak dan Surat Tagihan Pajak. Produk-produk hukum hasil pemeriksaan adalah sebagai berikut: 1. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) Definisi SKPKB tertera pada UU KUP pasal 1 ayat 16 yang berbunyi: Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah

28 kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar. Dalam pasal 13 ayat 1 UU KUP dijelaskan bahwa Dirjen Pajak dapat menerbitkan SKPKB dalam hal-hal sebagai berikut: a. apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar; b. apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu yang telah ditentukan dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran; c. apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain mengenai Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah ternyata tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenai tarif 0% (nol persen); d. apabila kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 atau Pasal 29 UU KUP tidak dipenuhi sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terutang; atau e. apabila kepada Wajib Pajak diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan. 2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) Definisi SKPKBT tertera pada UU KUP pasal 1 ayat 17 yang berbunyi: Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan. Dalam pasal 15 ayat 1 UU KUP dijelaskan bahwa: Dirjen Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak apabila ditemukan data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah dilakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan. 3. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) Definisi SKPLB tertera pada UU KUP pasal 1 ayat 19 yang berbunyi: Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar adalah surat ketetapan pajak yang

29 menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang. Dalam pasal 17 ayat 3 UU KUP dijelaskan bahwa Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar masih dapat diterbitkan lagi apabila berdasarkan hasil pemeriksaan dan/atau data baru ternyata pajak yang lebih dibayar jumlahnya lebih besar daripada kelebihan pembayaran pajak yang telah ditetapkan. 4. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) Definisi SKPN tertera pada UU KUP pasal 1 ayat 18 yang berbunyi: Surat Ketetapan Pajak Nihil adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak. 5. Surat Tagihan Pajak (STP) Definisi STP tertera pada UU KUP pasal 1 ayat 20 yang berbunyi: Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda. Menurut UU KUP dalam pasal 9 ayat 3 dijelaskan mengenai jatuh tempo pelunasan Surat Tagihan Pajak beserta Surat Ketetapan Pajak. STP beserta SKP yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterbitkan. 2.2.5 Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Definisi kepatuhan perpajakan menurut Nurmantu (2005,148) adalah suatu keadaan di mana wajib pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan

30 melaksanakan hak perpajakannya. Umumnya kepatuhan wajib pajak diukur dari ketaatannya dalam membayar dan melaporkan pajaknya, apakah telah dilakukan dengan benar sesuai dengan peraturan yang berlaku. Kepatuhan dalam perpajakan terdiri dari dua jenis yaitu kepatuhan formal dan kepatuhan material. Kepatuhan formal adalah suatu keadaan di mana wajib pajak memenuhi kewajiban perpajakan secara formal sesuai dengan ketentuan dalam Undang- Undang Perpajakan. Misalnya ketentuan tentang batas waktu penyampaian SPT Masa maupun Tahunan. Sedangkan kepatuhan material adalah suatu keadaan di mana wajib pajak secara substantif/ hakekat memenuhi semua ketentuan material perpajakan. Kepatuhan material dapat meliputi kepatuhan formal. Wajib pajak yang memenuhi kepatuhan material dalam mengisi SPT adalah wajib pajak yang mengisi SPT dengan jujur, baik dan benar sesuai dengan ketetuan dalam Undang- Undang Perpajakan dan menyampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tepat waktu. Dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor 74/PMK.03/2012 tentang tata cara penetapan dan pencabutan penetapan wajib pajak dengan kriteria tertentu dalam rangka pengembalianpendahuluan kelebihan pembayaran pajak menjelaskan mengenai apa yang dimaksud kriteria tertentu. Dalam hal ini kriteria tertentu merupakan wujud dari wajib pajak yang patuh. Adapun wajib pajak yang masuk dalam kriteria tertentu (Menteri Keuangan, 2012) adalah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1. Tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan; 2. Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali tunggakan pajak yang telah memperoleh izin mengangsur atau menunda pembayaran pajak;

31 3. Laporan Keuangan diaudit oleh Akuntan Publik atau lembaga pengawasan keuangan pemerintah dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian selama 3 (tiga) tahun berturut-turut; dan 4. Tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir. Dalam pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesianomor 74/PMK.03/2012 dijelaskan lebih lanjut mengenai maksud dari tepat waktu dalam penyampaian Surat Pemberitahuan. Hal tersebut meliputi: 1. penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan selama 3 (tiga) Tahun Pajak terakhir yang wajib disampaikan sampai dengan akhir tahun sebelum tahun penetapan Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu dilakukan tepat waktu; 2. penyampaian Surat Pemberitahuan Masa yang terlambat dalam tahun terakhir sebelum tahun penetapan Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu untuk Masa Pajak Januari sampai November tidak lebih dari 3 (tiga) Masa Pajak untuk setiap jenis pajak dan tidak berturut-turut; 3. seluruh Surat Pemberitahuan Masa dalam tahun terakhir sebelum tahun penetapan Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu untuk Masa Pajak Januari sampai November telah disampaikan; dan 4. Surat Pemberitahuan Masa yang terlambat sebagaimana dimaksud pada angka 2 telah disampaikan tidak lewat dari batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Masa Pajak berikutnya. Dalam penelitian ini, variabel tingkat kepatuhan yang diteliti yaitu berdasarkan kepatuhan formal yang diukur dengan Surat Pemberitahuan yang disampaikan oleh wajib pajak setiap bulannya. Presentase dari penyampaian Surat Pemberitahuan setiap bulan ini yang akan mengukur tingkat kepatuhan dari wajib pajak. 2.2.6 Penerimaan Pajak Penghasilan Pajak penghasilan adalah pajak yang dikenakan terhadap wajib pajak berkenaan dengan penghasilan diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak.

32 Dalam forum website kompas (Binajasa, 2012) dijelaskan bahwa Pajak Penghasilan merupakan jenis pajak subjektif yang kewajiban pajaknya melekat pada Subjek Pajak yang bersangkutan, artinya kewajiban pajak tersebut dimaksudkan untuk tidak dilimpahkan kepada subjek pajak lainnya. Menurut Undang-undang No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana yang telah diubah terakhir dengan Undang-undang No.36 Tahun 2008 (UU PPh) tentang pelunasan pajak penghasilan oleh wajib pajak dalam tahun berjalan terdiri dari: 1. Pelunasan pajak penghasilan melalui pemotongan pajak oleh pihak lain, dalam hal: a. Penghasilan dari pekerjaan, jasa atau kegiatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 b. Penghasilan dari modal, jasa atau kegiatan tertentu sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 23 c. Penghasilan oleh Wajib Pajak Luar Negeri, sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 26 2. Pelunasan pajak penghasilan melalui pemungutan pajak oleh bendaharawan pemerintah sehubungan dengan kegiatan dibidang impor atau kegiatan usaha dibidang lain sebagaimana dimaksud dalam PPh Pasal 22. 3. Pelunasan pajak penghasilan melalui pembayaran pajak oleh wajib pajak sendiri sebagaimana yang dimaksud dalam PPh Pasal 25. 4. Pelunasan pajak penghasilan melalui pembayaran oleh wajib pajak atas penghasilan-penghasilan tertentu yang diatur tersendiri dengan peraturan

33 pemerintah, sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 4 ayat (2) Undangundang PPh. Namun dalam penelitian ini, penerimaan pajak penghasilan yang dimaksudkan adalah penerimaan pajak penghasilan pasal 25 yang bersifat masa. 2.2.6.1 Pajak Penghasilan Pasal 25 PPh Pasal 25 adalah besarnya angsuran pajak penghasilan yang harus dibayar sendiri oleh wajib pajak untuk setiap bulan sekali dalam tahun pajak berjalan. Menurut UU PPh dalam pasal 25 dijelaskan mengenai cara penghitungan angsuran pajak tersebut. Besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan yang harus dibayar sendiri oleh wajib pajak untuk setiap bulan adalah sebesar pajak penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Pajak Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak tahun yang lalu dikurangi dengan : a. Pajak Penghasilan yang dipotong dalam pasal 21 dan pasal 23 serta Pajak Penghasilan yang dipungut dalam pasal 22; dan b. Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang diluar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, kemudian dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak. Dasar perhitungan PPh pasal 25 untuk bulan-bulan sebelum batas waktu penyampaian SPT adalah angsuran pajak yang sama besarnya dengan bulan terakhir tahun pajak yang lalu. Kemudian apabila dalam tahun pajak berjalan diterbitkan surat ketetapan pajak untuk tahun pajak yang lalu, maka besarnya angsuran pajak dihitung kembali berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut dan berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan penerbitan surat ketetapan pajak.

34 Dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-22/PJ/2008 tentang Tata Cara Pembayaran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 25 (Direktur Jenderal Pajak, 2008) dalam pasal 3 dan 4 dijelaskan bahwa: 1. Pembayaran pajak harus harus dibayar/disetor selambat-lambatnya tanggal lima belas bulan takwim berikutnya dan dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak 2. Dalam hal pelaporan: a. Wajib Pajak yang melakukan pembayaran PPh Pasal 25 pada tempat pembayaran dan SSP nya telah mendapat validasi dengan NTPN, maka Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 25 dianggap telah disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak sesuai dengan tanggal validasi yang tercantum pada SSP. b. Wajib Pajak dengan jumlah angsuran PPh Pasal 25 Nihil atau angsuran PPh Pasal 25 dalam bentuk satuan mata uang selain rupiah atau yang melakukan pembayaran tidak secara on-line dan tidak mendapat validasi dengan NTPN, tetap harus menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 25 sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 2.2.7 Pengaruh Jumlah WP dengan Penerimaan Pajak Penghasilan Jumlah WP memiliki pengaruh terhadap penerimaan pajak merupakan latar belakang diadakannya sensus pajak nasional. Sensus Pajak Nasional sudah dilaksanakan sejak tahun 2010. Hasilnya pun memuaskan karena bisa

35 meningkatkan penerimaan negara. Sensus Pajak Nasional adalah kegiatan pengumpulan data mengenai kewajiban perpajakan dalam rangka memperluas basis pajak dengan mendatangi subjek pajak (orang pribadi atau badan) di seluruh wilayah Indonesia yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Pemutakhiran data Sensus Pajak Nasional wajib pajak dilakukan dengan cara pendataan pemilikan NPWP, konsultasi perpajakan sosialisasi hak dan kewajiban wajib pajak, pengawasan kepatuhan kewajiban wajib pajak. Sensus Pajak Nasional mempunyai sasaran agar wajib pajak yang belum ber-npwp, maka bisa diberikan NPWP. Yang belum bayar pajak, agar membayar pajak. Yang belum menyampaikan SPT, agar menyampaikan SPT. Yang memiliki utang pajak, agar melunasinya. Oleh karena itu diharapkan setiap orang pribadi atau badan usaha yang disensus wajib memberikan keterangan yang benar. Dengan demikian, setiap wajib pajak yang terdaftar akan diberikan NPWP sebagai sarana administrasi perpajakannya. Kewajiban wajib pajak setelah memiliki NPWP adalah wajib menyetorkan pajak atas penghasilan yang diperoleh dengan menggunakan SSP serta melaporkan perhitungan atas pajak tersebut dengan mengisi SPT dan disampaikan kepada KPP tempat wajib pajak terdaftar. Sehingga semakin banyak jumlah wajib pajak maka semakin besar penerimaan pajak yang diterima oleh KPP. Hal tesebut didukung oleh penelitian yang diteliti oleh Tresno, dkk., (2011) serta Fitriani W & Saputra (2009) yang menyatakan bahwa jumlah wajib pajak terdaftar berpengaruh terhadap penerimaan pajak.

36 2.2.8 Pengaruh Pemeriksaan Pajak dengan Penerimaan Pajak Penghasilan Untuk mengimbangi pelaksanaan sistem self-assesment maka ditetapkanlah suatu mekanisme pemeriksaan pajak. Mekanisme pemeriksaan pajak untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan Pemeriksaan untuk tujuan lain harus dilaksanakan sesuai dengan Standar Pemeriksaan. Standar pemeriksaan digunakan sebagai ukuran mutu pemeriksaan. Standar pemeriksaan meliputi standar umum pemeriksaan (standar yang bersifat pribadi dan berkaitan dengan persyaratan Pemeriksa Pajak), standar pelaksanaan pemeriksaan, dan standar pelaporan hasil pemeriksaan. Kegiatan pemeriksaan ini harus didokumentasikan dalam bentuk Kertas Kerja Pemeriksaan (KKP) yang kemudian harus dilaporkan dalam bentuk Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) di mana menjadi dasar diterbitkannya Surat Tagihan Pajak (STP) dan Surat Ketetapan Pajak (SKP). Dapat dilihat bahwa dalam hal ini fiskus berperan aktif dalam pelaksanaannya serta wajib memberikan hasil pemeriksaan berupa produkproduk hukum. Produk-produk hukum ini berpotensi untuk meningkatkan penerimaan pajak. Hal tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Herryanto & Toly (2013) yang menyatakan bahwa pemeriksaan pajak berpengaruh terhadap penerimaan pajak. 2.2.9 Pengaruh Tingkat Kepatuhan WP dengan Penerimaan Pajak Penghasilan Dalam rangka meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak (WP) sebagai bagian dari upaya pengamanan penerimaan pajak dan mengacu kepada Rencana Strategis Direktorat Jenderal Pajak (DJP) 2010-2014 serta pencapaian Indikator Kinerja

37 Utama (IKU) pada tahun 2012, DJP perlu mengoptimalkan penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) melalui kebijakan kepatuhan penyampaian SPT mulai tahun 2012. Menurut SE-06/PJ/2012, target rasio kepatuhan penyampaian SPT yang harus dicapai untuk Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang berada di DKI Jakarta (dalam penelitian ini yaitu KPP Pratama Tambora) yaitu sebesar 70% untuk SPT PPh. Dalam peraturan tersebut bisa dilihat bahwa target rasio kepatuhan diatur sedemikian rupa karena memiliki pengaruh yang strategis terhadap peningkatan penerimaan pajak. Tingkat kepatuhan wajib pajak mencerminkan ketaatan wajib pajak akan undang-undang perpajakan yang berlaku. Apabila tingkat kepatuhan wajib pajak semakin tinggi maka semakin banyak wajib pajak yang melaporkan pajak atas penghasilanya. Dengan demikian maka penerimaan pajak pun akan meningkat. Hal tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Hernadi (2012), Suhendra (2010), Fitriani W & Saputra (2009), Suryadi (2006) yang menyatakan bahwa tingkat kepatuhan wajib pajak berpengaruh terhadap penerimaan pajak.