LAPORAN AKHIR KAJIAN DAMPAK SOSIAL EKONOMI BUDIDAYA PADI SRI BAGI PETANI DAN MASYARAKAT KABUPATENTASIKMALAYA. Oleh :

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Struktur PDB Menurut Lapangan Usaha di Indonesia Tahun (Persentase)

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

daerah untuk membiayai berbagai pelayanan publik yang menjadi tanggunga

I. PENDAHULUAN. bagian integral dari pembangunan nasional mempunyai peranan strategis dalam

II. TINJAUAN PUSTAKA. mestinya sudah mengarah pada pertanian yang mempertahankan keseimbangan

II. TINJAUAN PUSTAKA

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TASIKMALAYA NOMOR 18 TAHUN 2008 TENTANG KECAMATAN DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN TASIKMALAYA

BAB I PENDAHULUAN. Pada awal masa orde baru tahun 1960-an produktivitas padi di Indonesia hanya

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN. Kabupaten Tasikmalaya secara geografis terletak antara 07 2' 00" ' 00"

MENINGKATKAN PROUKSI PADI DENGAN PENERAPAN TEKNOLOGI HEMAT AIR

PENDAHULUAN. Petunjuk Teknis Lapang PTT Padi Sawah Irigasi...

I PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

Jumlah rumah tangga usaha pertanian di Kab. Tasikmalaya Tahun 2013 sebanyak 282,6 ribu rumah tangga

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris dengan sektor pertanian sebagai sumber. penduduknya menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian.

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hal ini seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk diiringi

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. bermata pencarian sebagai petani (padi, jagung, ubi dan sayur-sayuran ). Sektor

VI. ANALISIS BIAYA USAHA TANI PADI SAWAH METODE SRI DAN PADI KONVENSIONAL

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TASIKMALAYA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG ORGANISASI KECAMATAN DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN TASIKMALAYA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian berperan penting dalam pembangunan ekonomi nasional.

I. PENDAHULUAN. Pembangunan yang dilakukan di negara-negara dunia ketiga masih menitikberatkan

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TASIKMALAYA NOMOR 15 TAHUN 2008 TENTANG DINAS DAERAH KABUPATEN TASIKMALAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti:

BAB IV GAMBARAN UMUM OBYEK PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENINGKATAN EFISIENSI SISTEM PRODUKSI STUDI KASUS PETANI PADI SAWAH ORGANIK DI KABUPATEN BOYOLALI JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. peranan yang sangat penting dalam ketahanan nasional, mewujudkan ketahanan

Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010 ISBN :

I. PENDAHULUAN. rumahtangga yang mengusahakan komoditas pertanian. Pendapatan rumahtangga

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

V. GAMBARAN UMUM 5.1. Wilayah dan Topografi 5.2. Jumlah Kepala Keluarga (KK) Tani dan Status Penguasaan Lahan di Kelurahan Situmekar

Bunaiyah Honorita Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu Jl. Irian Km.6,5 Bengkulu 38119

PENDAHULUAN. Latar Belakang. pembangunan pertanian dan sebagai makanan utama sebagian besar masyarakat

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap

I. PENDAHULUAN. Perekonomian di sebagian besar negara-negara yang sedang berkembang. hal

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN TASIKMALAYA dan BUPATI TASIKMALAYA MEMUTUSKAN:

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TASIKMALAYA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN ORGANISASI DINAS DAERAH KABUPATEN TASIKMALAYA

2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Kabupaten dalam Lingkungan Propinsi Djawa Barat (Berita Negara Tahun 1950)

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian, khususnya tanaman pangan bertujuan untuk meningkatkan

peningkatan produksi dan produktifitas melalui intensifikasi, ekstensifikasi,

Pengembangan Jagung Nasional Mengantisipasi Krisis Pangan, Pakan dan Energi Dunia: Prospek dan Tantangan

BAB I PENDAHULUAN. Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia di samping kebutuhan

I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanian modern atau pertanian anorganik merupakan pertanian yang

DASAR DASAR AGRONOMI MKK 312/3 SKS (2-1)

PENGARUH SISTIM TANAM MENUJU IP PADI 400 TERHADAP PERKEMBANGAN HAMA PENYAKIT

BAB I. PENDAHULUAN. Tahun. Pusat Statistik 2011.htpp:// [Diakses Tanggal 9 Juli 2011]

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menuju kemandirian sebagai daerah otonom tersebut, pemerintah daerah

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

I PENDAHULUAN Latar Belakang

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

I PENDAHULUAN * Keterangan : *Angka ramalan PDB berdasarkan harga berlaku Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2010) 1

I. PENDAHULUAN. terpadu dan melanggar kaidah pelestarian lahan dan lingkungan. Eksploitasi lahan

I. PENDAHULUAN. kemampuan daerah tersebut dalam swasembada pangan atau paling tidak

POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN

SRI SUATU ALTERNATIVE PENINGKATAN PRODUKTIVITAS LAHAN SAWAH (PADI) YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN

KAJIAN PENGGUNAAN VARIETAS UNGGUL PADI BERLABEL DI KECAMATAN CURUP SELATAN KABUPATEN REJANG LEBONG PROVINSI BENGKULU

MELALUI PENYEDIA. Perkiraan Biaya (Rp) Satuan kerja. Kegiatan

Gambar 2. Tingkat Produktivitas Tanaman Unggulan Kab. Garut Tahun

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu sentra produksi tanaman bahan makanan di

BAB 4 EVALUASI KEEFEKTIFAN PROGRAM DALAM MENINGKATKAN PRODUKSI PADI SAWAH

ANALISIS FINANSIAL USAHA PUPUK ORGANIK KELOMPOK TANI DI KABUPATEN BANTUL I. PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. akan mempengaruhi produksi pertanian (Direktorat Pengelolaan Air, 2010).

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. ini belum mampu memenuhi kebutuhannya secara baik, sehingga kekurangannya

I. PENDAHULUAN. Padi merupakan bahan makanan yang menghasilkan beras. Bahan makanan

BAB I. PENDAHULUAN. Kedelai merupakan komoditas yang bernilai ekonomi tinggi dan banyak memberi

Yuni Maliani 1) Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Siliwangi

PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Indonesia selama ini dikenal sebagai negara yang memiliki sumber daya alam

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. Penelitian menyimpulkan sebagai berikut:

BAB IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sragi Kabupaten Lampung Selatan.

PENGGUNAAN BERBAGAI PUPUK ORGANIK PADA TANAMAN PADI DI LAHAN SAWAH IRIGASI

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

KEUNGGULAN KOMPETITIF SISTEM USAHATANI TANAMAN PANGAN DI KABUPATEN SUMBA TIMUR, NTT

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan

ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

1. I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. yang cocok untuk kegiatan pertanian. Disamping itu pertanian merupakan mata

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Tanggamus merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Lampung yang

I. PENDAHULUAN. menjadi suatu keharusan, agar produksi dapat menunjang permintaan pangan yang

POLICY BRIEF MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (GP-PTT) MELALUI TINJAUAN KRITIS SL-PTT

KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA PETANI PENGHASIL BERAS ORGANIK (Kasus di Kecamatan Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya)

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN 3.3. PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN : ALTERNATIF PEMIKIRAN

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya mata pencaharian penduduk Indonesia bergerak pada sektor

KEBIJAKAN PENINGKATAN PRODUKSI PADI PADA LAHAN PERTANIAN BUKAN SAWAH

Transkripsi:

LAPORAN AKHIR KAJIAN DAMPAK SOSIAL EKONOMI BUDIDAYA PADI SRI BAGI PETANI DAN MASYARAKAT KABUPATENTASIKMALAYA Oleh : Dr. Ronnie S Natawidjaja, Ir., MSc Endah Djuwendah, SP., MSi Gema Wibawa Mukti, SP., MSi KERJASAMA SWAKELOLA NON SWADANA LEMBAGA PENELITIAN UNPAD DENGAN DINAS PERTANIAN TANAMAN PANGAN KABUPATEN TASIKMALAYA TAHUN ANGGARAN 2008

KATA PENGANTAR Laporan ini kami sampaikan sebagai hasil akhir dari kajian keadaan lapangan yang telah dilaksanakan Tim Peneliti dalam kegiatan penelitian Dampak Sosial Ekonomi Budidaya Padi SRI Bagi Petani dan Masyarakat Kabupaten Tasikmalaya yang dipercayakan kepada kami oleh Dinas Pertanian Kabupaten Tasikmalaya. Pengkajian ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang pelaksanaan budidaya padi SRI (Sistem of Rice Intensification) di Kabupaten Tasikmalaya, membandingkan produksi dan produktifitas budidaya padi SRI dan konvensional, mengidentifikasi dampak teknis, sosial, dan ekonomi dari pelaksanaan budidaya padi SRI, serta mengidentifikasi hambatan pelaksanaan budidaya padi SRI secara teknis (operasional), sosial, dan ekonomi yang terdapat di lapangan. Dari hasil kajian ini, dibuat saran sebagai arahan kebijakan dalam pengembangan budidaya padi SRI di Kabupaten Tasikmalaya. Kami mengucapkan terimakasih kepada Dinas Pertanian Kabupaten Tasikmalaya yang telah memberikan kepercayaan kepada kami untuk melaksanakan penelitian ini, Sdr Dea Maulana Yusuf, SP dan Andri Rakhmansyah, SP yang telah membantu mengolah dan kompilasi data lapangan serta kepada semua pihak yang telah membantu sehingga kajian ini dapat berjalan dengan lancar. Bandung, 28 Desember 2008 a.n. Ketua Lembaga Penelitian Kepala Puslit Kebijakan Pertanian dan Agribisnis Unpad Dr. Ronnie S. Natawidjaja, Ir., MSc. i

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... ii DAFRAR TABEL... iv DAFTAR GAMBAR... v DAFTAR LAMPIRAN... vi BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Tujuan Penelitian... 3 1.3. Sasaran... 3 1.4. Keluaran... 4 1.5. Ruang Lingkup... 4 1.6. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Logis... 5 BAB II METODE PENELITIAN... 14 2.1. Metode Pengambilan Sampel dan Lokasi Penelitian... 14 2.2. Jenis dan Sumber Data... 15 2.3. Tahapan Kerja dan Teknis Analisis Data... 15 2.4. Personalia... 17 BAB III KEADAAN DAERAH DAN PERKEMBANGAN SRI DI KABUPATEN TASIKMALAYA... 18 3.1. Geografis dan Topografis Kabupaten Tasikmalaya... 18 3.2. Administrasi dan Pemerintahan... 19 3.3. Keadaan Hidrologi dan Iklim... 21 3.4. Jumlah Penduduk dan Mata Pencahariannya... 22 3.5. Jenis Tanah dan Penggunaan Lahan di Kabupaten Tsikmalaya... 23 3.6. Karakteristik Responden Petani SRI dan Konvensional... 25 3.7. Kebijakan Dinas Pertanian Kabupaten Tasikmalaya... 31 BAB IV PENERAPAN SRI OLEH PETANI... 33 4.1. Sejarah Penerapan SRI di Kabupaten Tasikmalaya... 33 4.2. Adopsi Teknologi SRI di Kabupaten Tasikmalaya... 37 4.3. Kondisi Aktual Penerapan SRI Oleh Petani di Kabupaten Tasikmalaya... 38 4.3.1. Pemilihan Varietas dan Benih... 39 4.3.2. Persemaian... 41 4.3.3. Pengolahan Tanah... 42 4.3.4. Penanaman... 44 4.3.5. Perawatan Tanaman... 44 4.3.6. Pengaturan Air... 45 4.3.7. Pemupukan... 46 4.3.8. Pengendalian Hama dan Penyakit Tanaman... 48 4.3.9. Panen dan Pasca Panen... 49 4.4. Kendala Teknis, Sosial Ekonomi dan Pengembangan Pelaksanaan ii

Budidaya Padi SRI... 53 4.4.1. Kendala Teknis... 53 4.4.2. Kendala Sosial... 54 4.4.3. Kendala Ekonomi... 56 4.4.4. Kendala Pengembangan... 57 BAB V PEMASARAN HASIL PANEN PADI SRI... 58 5.1. Jumlah yang Dipanen dan yang Dijual... 58 5.2. Saluran Pemasaran... 59 5.3. Pengemasan (Handling)... 66 BAB VI DAMPAK EKONOMI... 69 6.1. Biaya Usahatani... 69 6.2. Pendapatan Petani... 73 6.3. Penyediaan Pupuk dan Pestisida Organik... 76 6.4. Lapangan Kerja Pertanian... 78 6.5. Terbangunnya Rantai Nilai (Value Chain) Padi SRI... 81 BAB VII DAMPAK SOSIAL... 83 7.1. Perubahan Paradigma Petani... 83 7.2. Peningkatan Kreativitas Petani Berbasis Spesifikasi Lokal... 89 7.3. Perkembangan Kelembagaan Petani... 100 BAB VIII PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN PADI SRI DI KABUPATEN TASIKMALAYA... 105 8.1. Prospek... 105 8.2. Strategi Pengembangan... 106 8.3. Kebijakan... 109 8.4. Program... 110 BAB IX KESIMPULAN DAN PENUTUP... 117 DAFTAR PUSTAKA... 119 iii

DAFTAR TABEL No. Judul Hal. 1 Perbandingan Antara Hasil Produksi Rata-rata dan Maksimum SRI Dengan Konvensional (Konvensional) di 13 Negara... 8 2 Jumlah Sampel yang Diambil... 15 3 Personalia Pelaksana Penelitian... 17 4 Batas Wilayah Administratif Kabupaten Tasikmalaya... 18 5 Karakteristik Ketinggian Wilayah Kabupaten Tasikmalaya... 19 6 Daftar Kecamatan dan Jumlah Desa di Kabupaten Tasikmalaya 2007... 20 7 Jumlah Hari Hujan dan Rata-rata Curah Hujan Per Bulan Tahun 2006... 23 8 Jumlah Penduduk Kabupaten Tasikmalaya... 23 9 Mata Pencaharian Penduduk Menurut Lapangan Usaha di Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2007... 24 10 Jenis Tanah di Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2006... 25 11 Luas Penggunaan Lahan di Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2006... 25 12 Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktifitas Padi Sawah di Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2006... 26 13 Distribusi Responden Petani Berdasarkan Usia... 27 14 Tingkat Pendidikan Petani Responden... 28 15 Pengalaman Berusahatani Responden... 29 16 Pola Tanam Usahatani Padi... 29 17 Sumber Pengairan Pertanian... 30 18 Luas Lahan Garapan Petani Responden... 30 19 Status Penguasaan Lahan... 30 20 Distribusi Responden Petani Berdasarkan Sumber Modal Usahatani... 31 21 Distribusi Responden Petani Berdasarkan Motivasi Berusahatani SRI... 32 22 Faktor Penghambat Penerapan SRI... 32 23 Kronologis Singkat SRI di Tasikmalaya... 36 24 Perbedaan Budidaya Padi Organik SRI dengan Padi Konvensional... 54 25. Alokasi Hasil panen Padi...58 26 Pemasaran Hasil Panen Padi... 60 27 Biaya Usahatani Padi SRI dan Padi Konvensional di Kabupaten Tasikmalaya... 72 28 Total Biaya Penerimaan Pendapatan dan R/C Usahatani Padi di Kabupaten Tasikmalaya... 74 29 Biaya Tenaga Kerja Usahatani Padi di Kabupaten Tasikmalaya... 79 30 Perubahan Paradigma Petani Dalam Kegiatan Usahatani Padi... 88 31 Matrik Kebijakan... 111 32 Matriks Program... 113 iv

DAFTAR GAMBAR No. Judul Hal. 1 Kerangka Logis (Kajian Dampak Sosial Ekonomi Budidaya Padi Organik Metode SRI)... 13 2 Foto Petani Sedang Melakukan Percobaan Aerasi Tanah Saat Pelatihan... 35 3 Proses Seleksi Benih Dalam Larutan Garam... 40 4 Foto Metode Penanaman SRI... 43 6 Foto Lahan Sawah Macak-macak Dengan Saluran Air Ditengahnya... 47 6 Kegiatan Panen Padi SRI di Kecamatan Tanjungjaya, Kabupaten Tasikmalaya... 49 7 Saluran Pemasaran Khusus Padi SRI di Ciramajaya... 62 8 Kemasan Beras Organik SRI di Kecamatan Cisayong... 67 9 Saluran Pemasaran Padi yang Dianjurkan Untuk Pemasaran Padi Metode SRI di Kabupaten Tasikmalaya... 82 v

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Produksi padi yang berhasil dilipatgandakan dengan pesat pada masa revolusi hijau dengan menggunakan bibit varietas baru, penggunaan pestisida kimia dan pupuk buatan secara intensif semenjak tahun 1990-an memperlihatkan gejala adanya stagnasi. Penggunaan tambahan input dan usaha ekstensifikasi tidak mampu lagi menghasilkan kenaikan produktivitas dan produksi. Kenaikan produksi padi pada satu dekade terakhir hanya diperoleh dari peningkatan intensitas tanam dan perluasan areal produksi. Berbagai upaya dan inovasi teknologi untuk meningkatkan produksi padi telah dilakukan, baik berupa inovasi sistem maupun inovasi komponen. Salah satu inovasi sistem yang menunjukkan hasil menonjol dan memberikan harapan baru adalah Sistem of Rice Intensification (SRI). Metode SRI diklaim bisa meningkatkan produksi padi lebih dari 50 persen dengan kualitas beras yang dihasilkan lebih baik. Dinyatakan pula oleh penggagas metode ini bahwa penggunaan SRI dapat mengurangi input dan biaya yang dikeluarkan petani berupa efisisensi penggunaan bibit sebesar 80 90 persen, pemberian air irigasi antara 25 50 persen serta mengurangi ketergantungan pada penggunaan pupuk kimia. Di Jawa Barat, Kabupaten Tasikmalaya adalah salah satu sentra produksi padi yang dijadikan pilot project oleh Departemen Pertanian RI untuk uji coba SRI. Pada Tahun 2004 telah memberikan hasil yang nyata berupa peningkatan produktivitas sebesar 25 50 persen. Petani di Kabupaten Tasikmalaya yang telah menerapkan budidaya padi SRI saat ini sudah mencapai 933 orang dengan areal pertanaman seluas 122 ha (Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Kab. Tasikmalaya, 2006). Dengan demikian, masihbesar potensi untuk dilakukannya pengembangan metode SRI di lahansawah pada sentra padi Kabupaten Tasikmalaya. Melalui teknologi SRI ini produksi padi dapat meningkat sampai 8 1

10 ton perhektar, bahkan secara kasuistis ada yang dapat mencapai 12 ton per hektar jauh lebih tinggi dibandingkan dengan cara intensifikasi yang biasa dilakukan (6 ton per ha). Apabila dirata-ratakan, peningkatan produksi gabah dalam sekali musim panen mencapai 30 persen dari teknik budidaya konvensional. Dengan menggunakan perhitungan kasar, pendapatan petani akan naik 30 persen. Namun disamping adanya potensi besar yang mungkin diperoleh dari budidaya padi dengan SRI tersebut, masih banyak hal-hal yang masih meragukan keberhasilannya apabila diaplikasikan secara meluas di Kabupaten Tasikmalaya. Sejauh ini teknik budidaya padi dengan sistem SRI hanya dipandang sebagai langkah taktis untuk menekan penggunaan air dan optimalisasi lahan pertanian. Belum dilihat sebagai prioritas peningkatan produksi beras dan menaikkan pendapatan petani padi, padahal berdasarkan perhitungan di atas, jelas memberikan kontribusi pendapatan yang tinggi. Disamping itu, masih banyak kendala yang dihadapi petani dalam mengadopsi budidaya padi SRI yaitukendala sosial, teknis, politis, budaya dan kelembagaan. Secara sosial, SRI sulit diterima, apalagi diadopsi oleh para petani. Penelitian Royan (2005) di Tasikmalaya menemukan kasus yang sama, bahwa sebagian besar petani padi organik yang sebelumnya mendapatkan pelatihan SRI dan telah menerapkannya selama dua musim, kini sebagian besar kembali ke pendekatan konvensional. Secara teknis, SRI masih dinilai rumit oleh para petani. Secara kelembagaan, petani menghadapi kesulitan di dalam memasarkan hasil, karena jaringannya kurang dapat terakses dengan mudah oleh para petani. Petani tidak mendapatkan bimbingan SRI yang efektif dan berkelanjutan dari pendamping atau fasilitator. Petani menghadapi kesulitan untuk mendapatkan pupuk organik dan bahan pupuk organik. Petani kurang mendapatkan dukungan sosial, baik dari keluarga maupun mayoritas petani di sekitarnya. Secara politis, pemihakan pemerintah sendiri masih setengah hati untuk melegalisasi pengembangan SRI. 2

Ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan sebagaimana diuraikan dalam paragraf di atas, diduga terjadi karena pengembangan SRI di Tasikmalaya masih belum terintegrasi. Padahal, pendekatan sistem agribisnis menghendaki terjadinya integrasi atau sinergisme antara satu subsistem dengan subsistem lainnya. Untuk itu, diperlukan alternatif strategi bagi pengintegrasian kegiatan on-farm dengan offarm (up-stream, down-stream and supporting institution)dalam sistem agribisnis untuk mewujudkan pola pengembangan SRI secara efektif, efisien dan berkelanjutan. Agar dihasilkan rumusan strategi yang tepat, maka perlu terlebih dahulu dilakukan penelitian untuk mengungkap kinerja penerapan SRI di Tasikmalaya serta dampak sosial ekonomi dari budidaya padi SRI terhadap petani dan masyarakat secara luas. 1.2. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perkembangan dan dampak budidayapadi SRI di Kabupaten Tasikmalaya dan membuat Arahan Pola Pengembangan Padi SRI di Kabupaten Tasikmalaya. Tujuan spesifik dari penelitian ini adalah: 1) Mendeskripsikan pelaksanaan program budidaya padi SRI di Kabupaten Tasikmalaya 2) Menganalisis aspek sosial, ekonomi dan teknis budidaya padi SRI dengan budidaya padi konvensional yang dilaksanakan oleh petani di Kabupaten Tasikmalaya. 3) Menyusun arahan pola pengembangan SRI berdasarkan aspek sosial, ekonomi dan teknis di Kabupaten Tasikmalaya. 1.3. Sasaran Berdasarkan tujuan penelitian tersebut, maka sasaran kegiatan ini adalah hasil studi yang mencakup : 1) Tersedianya informasi mengenai pelaksanaan program budidaya padi SRI di Kabupaten Tasikmalaya 3

2) Mengetahui aspek sosial, ekonomi dan teknis budidaya padi SRI dengan budidaya padi konvensional yang dilaksanakan oleh petani di Kabupaten Tasikmalaya. 3) Tersusunnya arahan pola pengembangan SRI aspek sosial, ekonomi dan teknis di Kabupaten Tasikmalaya. 1.4. Keluaran Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan arahan dan kebijakan dalam pengembangan budidaya padi SRI sebagai bentuk kelembagaan yang menunjang sistem inovasi dan pengembangan teknologi dalam memajukan komoditas unggulan daerah yang sampai saat ini belum tersentuh oleh lembaga litbang dan penyuluhan yang merupakan sektor publik (pelayanan masyarakat). Secara lebih spesifik keluaran jangka panjang dari penelitian ini adalah: (1). Sebagai keluaran diperolehnya gambaran lengkap tentang pelaksanaan budidaya padi SRI, hambatan, dan kemungkinan dampak sosial ekonominya sebagai bahan masukan bagi perbaikan secara teknis maupun rekayasa sistem kelembagaan petani untuk mendukungpenerapan budidaya padi SRI secara meluas di Kabupaten Tasikmalaya (2). Dari hasil evaluasi kemudian disusun perumusan Arahan dan Kebijakan Pengembangan Padi SRI sebagai komoditas bernilai tinggi unggulan daerah yang pada akhirnya diharapkan akan menunjang upaya peningkatan ketahanan pangan dan kesejahteraan masyarakat Kabupaten Tasikmalaya 1.5. Ruang Lingkup Penelitian ini dilaksanakan selama 2 bulan dengan mengambil lokasi di Kabupaten Tasikmalaya. Penelitian ini akan memfokuskan pada upaya untuk mengevaluasi budidaya padi SRI yang dilakukan oleh masyarakat selama 2 tahun terakhir. Sebagai langkah pertama untuk bisa mengevaluasi pelaksanaan budidaya padi SRI adalah dengan observasi menggali kondisi lokal spesifik lingkungan agroekologis pada sawah petani yang menerapkan budidaya padi SRI di Kabupaten 4

Tasikmalaya. Dari hasil pelaksanaan kegiatan survey dengan pendekatan wawancara menggunakan daftar pertanyaan terstruktur (kuesioner) diperoleh informasi berupa gambaran realistis kondisi lapangan yang merupakan hasil dari sebuah bentuk intervensi (baik sukses maupun kekurangberhasilan). Guna memperoleh informasi yang bersifat umum mengenai kondisi wilayah dan kegiatan program budidaya padi metode SRI dalam skala luas dilakukan penggalian informasi menggunakan FGD (Focus Group Discussion). Untuk lebih mempertajam analisis yang dilakukan, perbandingan kondisi faktual akan dibandingkan dengan kondisi normatif didasarkan pada kerangka acuan teoritis terkini mengenai sistem budidaya padi SRI dengan budidaya padi konvensional. Untuk menciptakan arah dan kebijakan pengembangan padi SRI akan dikembangkan strategi pemodelan yang didasarkan pada kerangka normatif teori yang menjadi rujukan, kemudian di konfirmasi dan didiskusikan dengan para pelaku (stakeholder) secara partisipatif melalui pendekatan PRA (Paticipatory Rural Appraisal) di tingkat kabupaten. 1.6. Tinjuan Pustaka dan Kerangka Logis Padi sebagai makanan pokok masyarakat Indonesia akan tetap menduduki posisi strategis dalam pembangunan sosial, ekonomi dan politik di Indonesia, karena itu pemerintah senantiasa berupaya untuk meningkatkan produksi dan produktifitas padi bagi terciptanya ketahanan pangan. Salah satu strategi yang ditempuh oleh pemerintah Indonesia dalam upaya meningkatkan ketahanan pangan, khususnya beras adalah program intensifikasi. Secara historis-empiris intensifikasi padi yang telah dioperasikan sejak tahun 1970-a melalui gerakan revolusi hijau telah terbukti mampu meningkatkan produksi padi secara signifikan. Kebehasilan yang dicapai revolusi hijau mengantarkan Indonesia mencapai swasembada beras Tahun 1985 dan meraih produksi yang tinggi di Tahun 1998-2001, program intensifikasi yang tidak terkendali juga memunculkan permasalahan baru. Menurut Agus Andoko (2008), permasalahan lingkungan yang muncul sebagai dampak revolusi hijau diantaranya : (1) kemajuan teknologi 5

pemuliaan tanaman yang hanya mengembangkan dan menanam varietas unggul yang menguntungkan secara ekonomis menyebabkan banyak jenis tanaman akan tersingkir dan akhirnya musnah sehingga akan mengancam keanekaregaman hayati, (2) penggunaan pupuk kimia secara intensif mempunyai efek merusak struktur tanah, dan (3) penggunanan pestisida kimia menganggu aktivitas mahluk hidup dalam tanah, menimbulkan pencemaran lingkungan dan menyebabkan penyakit pada manusia. Terganggunya kehidupan dan keseimbangan, meningkatnya dekomposisi bahan organik yang kemudian menyebabakan degradasi sturktur tanah, kerentanan yang tinggi terhdap kekeringan dan keefektifan yang lebih rendah dalam menghasilkan panenan. Aplikasi yang tidak seimbang dari pupuk mineral Nitrogen bisa menyebabkan menurunkan PH tanah dan ketersediaan fospor bagi tanaman. Penggunaan pupuk buatan NPK yang terus-menerus menyebabkan penipisan unsur-unsur mikro seperti seng, besi, tembaga, mangan, magnesium, molybdenum, boro bisa mempengaruhi tanaman, hewan dan kesehatan manusia. Bila unsur mikro ini tidak diganti oleh pupuk buatan NPK, produksi lambat laun akan menurun dan serangan hama penyakit akan meningkat (Sharma, 1985; Tandon, 1990). Fenomena kerusakan lingkungan yang munculnya berbagai kritik atas model pembangunan pertanian dengan input tinggi, perlahan namun pasti telah mendorong berkembang dan memasyarakatnya pertanian ramah lingkungan. Pada kasus pangan, pengertian ramah lingkungan tidak hanya sekedar aman (bersih, sehat, bergizi, bermutu dan berwawasan lingkungan) tetapi juga memberikan jaminan kesejahteraan bagi petani dan ketersediaan pangan secara berkelanjutan. Pada perkembangannya, konsep pertanian ramah lingkungan diarusutamakan menjadi pembangunan pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture development). Salah satu program pembangunan pertanian ramah lingkungan yang mulai mendapat perhatian serius di Asia adalah System of Rice Intensification (SRI). SRI merupakan teknik budidaya padi yang intensif dan efisien dengan proses manajemen sistem perakaran yang berbasis pada pengelolaan tanah, air dan 6

tanaman (kelompok studi petani, 2003). SRI yang berbasis pada padi organik merupakan program pertanian dalam rangka meningkatkan hasil produksi padi baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Secara empiris, SRI mulai dikembangkan di Madagaskar sekitar 20 tahun yang lalu sebagai respon atas menurunnya kesuburan lahan, langka dan tingginya harga pupuk kimia, serta suplai air yang terus berkurang. Saat ini, SRI telah dikembangkan di banyak negara, seperti Thailand, Philipina, India, China, Kamboja, Laos, Srilangka, Peru, Cuba, Brazil, Vietnam dan termasuk di Indonesia. SRI dikatakan organik karena mulai dari pengolahan lahan, pemupukan, hingga penanggulangan serangan OPT menggunakan bahan organik. SRI masuk ke Indonesia Tahun 1997 dan mulai dikembangkan di Jawa Barat pada Tahun 2003. Produktivitas padi dengan metode SRI sangat menakjubkan, karena mencapai angka rata-rata 9-11 ton per hektar, bahkan lebih (Raphaella dkk., 2003; dan Royan, 2005). Metode ini menjadi terkenal di dunia melalui upaya dari Norman Uphoff yang memperkenalkannya kepada masyarakat Indonesia Tahun 1997 yang merupakan solusi dan dapat menjadi titik tolak untuk membangkitkan kembali sektor pertanian, khususnya padi. Melalui SRI, produktivitas padi bisa lebih tinggi, sebagai contoh, produktivitas padi di Madagaskar bisa meningkat hingga 500 persen, yakni dari semula 2,6 ton/ha menjadi 21 ton/ha. (Tabel 1). Di Indonesia, pada panen perdana di Sukabumi, SRI mampu meningkatkan produktivitas padi hingga 9,4 ton/ha. Selain itu, SRI juga hemat dalam penggunaan bibit (93 persen), hemat air irigasi (50 persen) dan hemat pestisida (100 persen). International Federation of Organic Agriculture Movements (2004), melaporkan bahwa metode SRI juga memberikan kontribusi terhadap kesehatan tanah, tanaman dan memelihara mikroba tanah yang beragam ( Tarya S Sugarada, dkk, 2008) Secara umum dalam konsep SRI semua potensi tanaman padi dikembangkan dengan cara memberikan kondisi yang sesuai dengan pertumbuhannya. Hal ini disebabkan SRI menerpakan konsep sinergi dimana semua komponen teknologi Sri terinteraksi secara positif dan saling menunjang sehingga hasilnya secara keseluruhan lebih banyak daripada jumlah masing- 7

masing bagian. Dalam pelaksanaanya sangat ditekankan bahwa SRI dapat berhasil apabila semua komponen teknologi dilaksanakan secara bersamaan dan berkesinambungan. Tabel 1. Perbandingan Antara Hasil Produksi Rata-rata dan Maksimum SRI dengan Konvensional (Konvensional) di 13 Negara No Negara No. of Data Sets (No. of Farmers) Produktivitas Usahatani Padi Konvensional (Ton/Ha) Produktivitas Rata- Rata Usahatani Padi SRI (Ton/Ha) Produktivitas Maksi- mum Usahatani Padi SRI (Ton/Ha) 1. Bangladesh 4 on-farm (261) 6 onstation 4,9 ( 4,4 5,0) 6,3 (5,3 7,3) 7,1 ( 5,6 9,5) 2. Cambodia 3 on-farm (427) 2,7 ( 2,0 4,0) 4,8 (3,4 6,0) 12,9 (10,0 14,0) 3. China `7 on-station w/ hybrid varieties 10,9 (10,0 11,8) 12,4 (9,7 15,8) 13,5 (10,5 17,5) 4. Cuba 17 on-farm trials 4,3 ( 1,6 7,6) 7,4 (3,0 12,0) 13,3 (12,0 14,0) 5. Gambia 1 on-farm (10) 1 onstation 2,3 ( 2,0 2,5) 7,1 (6,8 7,4) 8,8 ( 8,3 9,4) 6. India on-farm trials(134) 4,0 ( 2,0 6,0) 8,0 (3,2 16,2) 15,3 (14,3 16,2) 7. Indonesia 2 on-farm 5 on-station 5,0 ( 4,1 6,7) 7,4 (6,2 8,4) 9,0 ( 7,0 10,3) 8. Madagascar 11 on-farm (3.025) 3 on-station 2,6 ( 1,5 3,6) 7,2 (4,2 10,4) 13,9 ( 5,6 21,0) 9. Myanmar 121 farmer field schooltrials 2,0 5,4 (2,0 15,3) 15,3 10. Nepal 13 farmer field school trials 4,2 FP (3,0 5,2) 6,3 IP (3,8 8,5) 8,5 (7,5 11,0) 11,0 11. Philippines 4 on-farm (47) 1 onstation 3,0 ( 2,0 3,6) 6,0 (5,0 7,6) 7,4 ( 7,3 7,6) 12 Sierra Leone 8 on-farm (160) 2,5 ( 1,9 3,2) 5,3 (4,9 7,4) 7,4 13. 6 on-farm (275) 2 onstation Sri Lanka 3,6 ( 2,7 4,2) 7,8 (7,0 13,0) 14,3 (11,4 17,0) Sumber : Most Data are From Country Report is Norman Uphoff (2002) Keterangan : Angka dalam Kolom Merupakan Kisaran Produksi; FP (Farmer Practice); IP (ImprovedPractice) Program SRI menawarkan pertumbuhan akar yang besar dan mudah beradaptasi dengan aktivitas biologis tanah yang tidak terlihat. SRI tidak tergantung dari input luar bahkan sebaliknya mampu meningkatkan produktifitas lahan, tenaga kerja, air dan modal pada produksi padi beririgasi dengan mendayagunakan potensi genetik dan proses biologis yang ada terutama di dalam tanah (Nippon Koei Co,.2004) 8

Adapun hasil-hasil yang berkaitan dengan pelaksanaan progam padi SRI yaitu meningkatnya jumlah anakan, pertumbuhan akar yang besar,kualitas gabah lebih tinggi dan lebih berat, hemat air, mengurangi serangan hama dan penyakit tanaman, biaya produksi rendah karena tidak memerlukan pupuk kimia, meningkatkan produktivitas faktor, keuntungan, dan mengurangi risiko. Namun berdasarkan hasil penelitian Moser dan Baret (2003) dalam Wardana et all, (2005) dilihat dari sudut pandang petani sebagian besar petani merasakan bahwa teknologi SRI sulit dilaksanakankarena membutuhkan tambahan tenaga kerja yang banyak pada saat keuangan petani rendah. Pada awal penerapan SRI terjadi penurunan produktivitas, terutama pada tanah-tanah yang memiliki kesuburan rendah. Penurunan produksi pada musin tanam pertama dan kedua dalam penerapan SRI bisa mencapai 30-50 persen. Namun melalui pemberian kompos yang kontinue, produktifitas lahan secara perlahan meningkat. Hasil penelitian Iwan setiajie, dkk, (2008) di daerah Garut dan Ciamis menunjukkan bahwa penerapan SRI mampu menghemat saprodi berupa benih, pupuk, dan insektisida, namun lebih boros dalam penggunaan kompos. Kurangnya ketersediaan pupuk kandang merupakan kendala bagi pengembangan SRI karena petani tidak mampu memproduksi kompos untuk keseluruhan lahannya. Oleh karena itu petani hanya mempu menerapkan SRI pada 30-50 persen lahannya. Peningkatan penggunaan input tenaga kerja terutama dalam fase pembuatan kompos maupun pengendalian gulma. Pemakaian tenaga kerja dalam model SRI lebih banyak dibandingkan dengan cara konvensional. Penerapan SRI sangat ideal dilakukan pada kondisi lingkungan yang mendukung terhadap komponen inovasi yang dipersyaratkan. Kendala yang dihadapi pada saat pengembangan SRI pada skala luas terkait dengan aspek teknis dan non teknis. Aspek non teknis diantaranya ketersediaan bahan baku kompos yang berupa kotoran hewan (kohe) untuk pembuatan pupuk organik, kebutuhan tenaga kerja yang meningkat, penanganan hasil produksi gabah dan perubahan pasar sasaran beras organik untuk mempertahankan harga jual.kendala dalam aspek teknis terkait dengan tingkat adopsi teknologi SRI. 9

Secara sosiologis, lamban tidaknya adopsi sistem pertanian organik yang berbasiskan pupuk dan pestisida organik disebabkan oleh faktor-faktor berikut: 1. Secara psikologis, perilaku petani masih sangat tergantung kepada input luar (pupuk anorganik dan pestisida sintetis. Hal ini dapat dimaknai bahwa kemandirian petani telah menurun. Budaya instan yang dilahirkan dari keprakatisan seperti tinggal menabur tanpa harus membuat sendiri dan kemudahan input dari luar karena selalu tersedia di toko-toko sarana produksi pertanian tampaknya masih menjadi perhitungan dan pertimbangan para petani, baik secara sosial, ekonomi maupun teknis. Secara riil Rientjies et all, (1992) menyatakan bahwa para petani telah menyadari bahwa lingkungan (khususnya tanah telah mengalami penurunan produktifitas (levelling off), namun pada kenyataannya sikap masyarakat atas pupuk dan pestisida hayati masih tetap tidak menyakinkan. Bagi sebagian besar petani dan masyarakat pertanian yang masih awam, pertanian organik, pupuk organik dan pestisida organik masih identik dengan pertanian tradisional (kuno) yang produktivitasnya rendah. 2. Lemahnya pengetahuan petani mengenai pertanian organik terjadi karena kurangnya komunikasi antar petani, baik di dalam menginternalisasikan praktek pembuatan dan penggunaan pupuk dan pestisida organik maupun dalam menginternalisasikan manfaat, keuntungan dan keunggulan dari pertanian organik. Bagi petani yang kadang mengabaikan dampak negatif dari pupuk atau pestisida yang penting hasil harus maksimal. Aspek lingkungan, kesehatan, dan masa depan lahan, belum menjadi prioritas. Lemahnya komunikasi juga terjadi dalam proses diseminasi informasi pertanian organik oleh sumber-sumber informasi, baik kepada petani maupun kepada khalayak umum. Reintjes et al. (1992) menyatakan bahwa kemerosotan pengetahuan petani dan masyarakat pada umumnya atas agroekosistem setempat dan teknik pertanian, strategi dan sumber daya genetik lokal setempat karena menurunnya kedudukan praktek tradisional dan pertanian sebagai suatu profesi. 10

3. Permasalahan sosial budaya dalam pengembangan pertanian organik juga datang dari petani sebagai konsumen. Di mata konsumen, produk organik relatif masih mahal, kurang menarik secara fisik dan susah didapat. Sebagian besar konsumen belum memahami bahaya pestisida atau keberadaan residu pestisida dalam makanan yang dikonsumsinya, sehingga secara riil telah menurunkan minat petani untuk mengembangkan pertanian organik. Pada kasus padi organik, Royan (2005) mengungkapkan bahwa beberapa petani yang semula menerapkan pertanian organik (SRI) kembali menerapkan cara konvensional karena harga gabah konvensional tidak berbeda secara nyata dari harga gabah organik. Royan pun mengungkapkan bahwa petani yang menerapkan pertanian organik tidak saja mendapatkan tantangan (cemoohan) dari tetangga tetapi juga dari keluarganya. Kendala sosial yang paling dirasakan oleh petani dalam menerapkan pertanian organik adalah hilang atau memudarnya budaya dan pengetahuan lokal tentang pupuk maupun pestisida organik. Hampir sebagian besar petani merasa asing dengan cara yang diterapkan dalam SRI, kondisi tersebut sejalan dengan tererosinya kearifan lokal dan ketersediaan tanaman yang dapat dimanfaatkan untuk pestisida dan pupuk organik. 4. Faktor keamanan sebaiknya tidak dilihat secara sempit menyangkut minimalisasi risiko atau kerugian tetapi juga dilihat secara makro menyangkut kemanan pangan. Secara sempit, ancaman kemanan bisa datang dari cuaca, munculnya hama, permintaan pasar yang belum jelas, taksiran sumber daya dan ketersediaan tenaga kerja. Petani merasakan bahwa penggunaan pestisida dan pupuk organik belum memberikan jaminan keamanan baik secara ekologis, ekonomis maupun sosial. Bagi petani, berusahatani merupakan jaminan untuk mendapatkan ketahanan pangan dan bagi negara usahatani hendaknya menjamin ketahanan pangan negara yang erat kaitannya dengan politik. Menerapkan pertanian organik secara politis menyimpan keraguan terhadap kemampuan dalam menjaga stabilitas pangan terutama pada tahap awal. 11

Secara ekonomis penerapan pertanian organik terutama untuk pupuk organik akan memberatkan bagi petani, terutama pada tahap awal penerapan. Permasalahan ekonomi yang paling menjadi kendala bagi pengembangan pertanian organik yang paling dirasakan adalah pasar. Hal ini disebabkan konsumen belum menyadari keuntungan dari produk organik, selain itu struktur pasar yang tidak bersaing sempurna kurang mendukung dalam pemasaran produk pertanian organik. Kendala kelembagaan pendukung (supporting system) dalam pertanian organik menyangkut aspek kelembagaan pengelolaan lahan, kelembagaan penyedia atau pelayanan sarana produksi, kelelmbagaan pengembangan sumberdaya manusia(pemberdayaan), kelembagaan pemasaran (distribusi) kelembagaan keuangan(permodalan)kelembagaan penanganan dan pengolahan hasil. Secara riil, kelembagaan tersebut belum semuanya terbentuk dan yang sudah ada juga masih belum berfungsi secara optimal. Kendala pertanian organik secara teknis adalah petani masih beranggapan bahwa pertanian organik belum praktis dimana mereka masih merasa lebih nyaman apabila menggunakan pupuk dan pestisida sintetis karena hampir selalu tersedia kapanpun dan dimanapun ketika petani membutuhkannya. Petani juga masih menganggap bahwa kelemahan pertanian organik adalah terjadinya penurunan produktivitas pada tahap awal penerapan dan pestisida organik. Pada tahap ini, petani maengalami kesulitan karena disamping penurunan produktifitas terjadi pula peningkatan biaya produksi. Pada tahap awal penerapan pertanian organik, pupuk kandang atau kompos yang diperlukan cukup banyak, bagi petani yang tidak memiliki ternak, hal ini akan cukup menyulitkan. Oleh karena itu, pendampingan atau penyuluhan dari para fasilitator atau penyuluh sangat diperlukan terutama dalam penguatan motivasi. 12

Kekurangan Pangan SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (SRI) Revolusi Hijau - Stagnasi Hasil Pertanian - Kerusakan Lingkungan - Gangguan Kesehatan Perubahan Penggunaan Input Perubahan Teknologi Perubahan Pasar - Ketersediaan Air terbatas - Ketersediaan Pupuk Organik - Ketersediaan Modal Terbatas - Skala luasan Usaha kecil - Perubahan Perilaku - Perubahan Teknik budidaya - Pemasaran Hasil Terbatas -Fluktuasi Harga K a j a i n S o s i a l E k o n o m i Ketahanan Pangan Nasional Arahan Pola Pengembangan SRI Gambar 1. Kerangka Logis (Kajian Dampak Sosial Ekonomi Budidaya Padi Organik Metode SRI) 13

BAB II METODE PENELITIAN 2.1. Metode Pengambilan Sampel dan Lokasi Penelitian Penelitian ini menggunakan metode survey deskriptif yaitu suatu metode penelitian yang bertujuan untuk menggali informasi untuk memberikan gambaran tentang sesuatu, baik situasi maupun peristiwa yang bersifat meluas dari objek yang dikaji. Hasil survei akan digunakan untuk menyusun arahan pola pengembangan budidaya padi organik metode System of Rice Intencification (SRI) di Kabupaten Tasikmalaya, Penelitian ini dilakukan pada daerah sentra produksi padi SRI yang dijadikan lokasi intervensi penerapan teknologi oleh Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Kabupaten Tasikmalaya selama 2 tahun terakhir, yang dikelompokan menjadi 5 wilayah kecamatan yaitu: Cisayong, Manonjaya, Sukaraja, Mangunreja, dan Tanjungjaya. Dari masing-masing kecamatan diambil sampel secara acak berdasarkan proporsi dari jumlah petani yang menerapkan SRI dan yang tidak menerapkan SRI sebagai kontrol. Kecamatan Mangunreja, petani SRI sebanyak 8 orang dan Konvensional 7 orang, Kecamatan Manonjaya petani SRI sebanyak 5 orang dan Konvensional 5 orang, Kecamatan Cisayong, petani SRI sebanyak 2 orang dan Konvensional sebanyak 3 orang, Kecamatan Sukaraja, petani SRI sebanyak 5 orang dan Konvensional sebanyak 5 orang, terakhir Kecamatan Tanjungjaya petani SRI sebanyak 10 orang dan Konvensional sebanyak 10 orang, jadi jumlah seluruh sampel adalah 60 orang petani. Selain petani, juga dilakukan wawancara terhadap petugas paling sedikit 10 orang, mulai dari tingkat kecamatan, Balai Penyuluhan Pertanian dan dinas terkait dengan aktivitas di lingkungan agroekologis padi sawah. Data sekunder akan diambil dari BPS, dinas, BPP, dan instansi terkait lainnya. 14

Tabel 2. Jumlah Sampel yang Diambil No. Kecamatan Luas Lahan SRI (Ha) Jumlah Petani SRI Jumlah Sampel Petani SRI Konvensional 1. Cisayong 88,00 2 3 2. Manonjaya 115,60 5 5 3. Sukaraja 156,84 1.049 5 5 4. Mangunreja 299,71 1.219 8 7 5. Tanjungjaya 411,15 2.746 10 10 Total 1.071,30 30 30 2.2. Jenis dan Sumber Data Jenis dan sumber data yang diperlukan tediri dari data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan secara langsung dari lokasi kegiatan dengan metode observasi dan Focus Group Discussion (FGD). Data ini terutama yang menyangkut pelaksanaan budidaya padi metode SRI dan konvensional mulai dari pengadaan input, usahatani, panen dan pasca panen, pemasaran hasil produksi, serta kendala dan manfaat yang diperoleh dari penerapan budidaya padi metode SRI. FGD dilakukan terutama untuk menangkap kondisi umum serta peluang dan hambatan dari penerapan budidaya padi metode SRI per wilayah penelitian. Data sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan yang bersumber dari Dinas Petanian dan Tanaman Pangan,BPS, serta hasil penelitian terdahulu. Data tersebut diantaranya data produksi dan produkstifitas tanaman padi, dan data keadaan umum pertanian di Kabupaten Tasikmalaya. 2.3. Tahapan Kerja dan Teknis Analisis Data Tahapan penelitian yang akan dilakukan mengacu pada tujuan penelitian yang telah ditetapkan, terdiri atas: 1. Melakukan pemetaan dan menganalisis keragaan budidaya padi SRI di lokasi penelitian selama 2 tahun terakhir. Dalam tahap ini akan digunakan kerangka model input-output sistem agribisnis sebagai pijakan analisis dan sintesis. 15

2. Menghitung dan Membandingkan hasil produksi dan produktivitas budidaya padi SRI dengan budidaya padi konvensional yang dilaksanakan oleh petani setempat. Dalam tahap ini akan digunakan pengukuran dengan model analisis usahatani. 3. Mengidentifikasi hambatan dan mengukur kemungkinan dampak sosial ekonomi dari budidaya padi SRI oleh petani di Kabupaten Tasikmalaya. Tahapan ini dihasilkan dari dialog partisipatif dengan para pelaku. Sebagai cara perumusan untuk model yang disepakati adalah dengan melakukan pertemuan partisipatif dengan seluruh stakeholder terkait dan menjadikan hasilnya sebagai kesepakatan dan komitmen dari seluruh stakeholder. Bentuk penggalian informasi menggunakan PRA (Participatory Rural Appraisal) dan FGD (Focus Group Discussion) dimaksudkan untuk menggali solusi pada permasalahan secara partisipatif dengan para stakeholders sistem usaha padi SRI dan konvensional di lokasi kajian. Data yang diperoleh akan dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan teknis tabulasi, crosstab, dan diperbandingkan sehingga dapat memberikan informasi yang sistematis. 16

2.4. Personalia Tabel 3. Personalia Pelaksana Penelitian No. Nama lengkap Dan Gelar Gol/ Pangkat NIP Jabatan Fungsional Jabatan Struktural Bidang Keahlian Alokasi Waktu 1. Dr. Ronnie S. Natawidjaja, Ir., MSc. IVa/Pembina/1 31 471 344 Lektor Kepala Direktur Pusat Kajian Kebijakan Pertanian dan Agribisnis Kebijakan Pertanian, Ekonomi Kelembagaan 12 jam 2. Endah Djuwendah,SP., MS. IIId/ Pembina/ 132 146 255 Lektor Kepala - Manajeme n Usaha Tani 12 jam 17

BAB III KEADAAN DAERAH DAN PERKEMBANGAN SRI DI KABUPATEN TASIKMALAYA 3.1. Geografis dan Topografis Kabupaten Tasikmalaya Kabupaten Tasikmalaya secara geografis terletak diantara 7 02 o dan 7 50 o Lintang Selatan serta 109 97 dan 108 25 Bujur Timur dengan jarak membentang utara-selatan terjauh 75 km dan arah barat-timur 56,25 km. Adapun batas-batas wilayahnya sebagai berikut: Tabel 4. Batas Wilayah Administratif Kabupaten Tasikmalaya No. Batas Wilayah Kabupaten/ Kota 1. Utara Ciamis, Kota Tasikmalaya, dan Majalengka 2. Timur Ciamis 3. Selatan Samudra Indonesia 4. Barat Garut Kabupaten Tasikmalaya berada di bagian tenggara dari Propinsi Jawa Barat dengan luas wilayah 268,090 ha yang sebagian besarnya yaitu 218.428 ha merupakan tanah darat dan selebihnya yaitu 46.662 ha merupakan tanah sawah. Kabupaten ini resmi menjadi daerah otonom tersendiri terpisah dengan Kota Tasikmalaya sejak tanggal 23 Juni 2001. Lokasi Ibukota Kabupaten Tasikmalaya yang terletak di Kecamatan Singaparna berbatasan dengan kota Tasikmlaya dan berada pada lokasi yang relatif di tengah-tengah wilayah Tasikmalaya. Hal ini merupakan suatu keuntungan geografis mengingat aksessibilitas ke seluruh Kabupaten Tasikmalaya menjadi lebih baik. Sebagian besar wilayah Kabupaten Tasikmalaya berada pada ketinggian antara 0 2000 meter di atas permukaan laut (dpl), dengan karakteristik bergunung-gunung. Berdasarkan ketinggiannya, maka Kecamatan Bojonggambir dan Taraju mempunyai wilayah paling tinggi dibandingkan wilayah lainnya dengan ketinggian rata-rata 800 meter dari permukaan laut dan wilayah yang 18

terendah adalah Kecamatan Cikalong dengan ketinggian hanya 25 meter dari permukaan laut. Untuk lebih jelasnya, karakteristik ketinggian Kabupaten Tasikmalaya dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Karakteristik Ketinggian Wilayah Kabupaten Tasikmalaya No. Ketinggian (m dpl) Proporsi (%) Sebaran Wilayah 1. 000-100 5,80 Pantai Cipatujah, Cikalong, dan bagian tengah dan utara 2. 101-200 7,25 Pantai Cipatujah, Cikalong, dan bagian tengah dan utara 3. 201-500 53,64 Bagian tengah dan selatan 4. 501-700 15,26 Sedikit bagian utara dan selatan 5. 701-1000 11,82 Sedikit bagian tengah dan utara 6. 1001-2000 6,23 Sedikit bagian tengah dan utara Sumber : Bappeda Tasikmalaya, diolah 3.2. Administrasi dan Pemerintahan Kabupaten Tasikmalaya mengalami perkembangan. Pada Tahun 2001 terdiri dari 39 kecamatan dan 345 desa, sedangkan pada Tahun 2007 jumlah desa berkembang menjadi 351 desa. Dalam rangka memudahkan mengatur pembangunan Kabupaten Tasikmalaya dengan keseluruhan luas wilayah 268.090 ha, maka dilakukan pembagian wilayah menjadi enam satuan wilayah pembangunan (SWP). 19

Tabel 6. Daftar Kecamatan dan Jumlah Desa di Kabupaten Tasikmalaya 2007 No SWP Kecamatan Luas daerah Jumlah Desa 1. SWP I Ciawi 4.223 11 Kadipaten 4.356 6 Pagerageung 6.376 10 Sukahening 2.603 7 Rajapolah 1.491 8 Jamanis 1.547 8 Sukaresik 1.709 8 Sukaratu 3.235 8 Cisayong 4.610 13 2. SWP II Singaparna 2.168 10 Padakembang 3.015 5 Tanjungjaya 3.637 7 Sukarame 1.722 6 Leuwisari 4.628 7 Cigalontang 11.913 16 Sariwangi 3.917 8 Mangunreja 2.832 6 Sukaraja 4.314 8 Salawu 6.823 12 3. SWP III Taraju 5.552 9 Puspahiang 5.155 8 Bojonggambir 22.784 10 Sodonghilir 9.711 12 4. SWP IV Manonjaya 4.290 12 Gunungtanjung 3.820 7 Cineam 7.720 10 Karangjaya 4.834 4 Salopa 10.923 9 Jatiwaras 7.964 11 5. SWP V Karangnunggal 13.628 14 Cibalong 6.446 6 Bojongasih 4.336 6 Parungponteng 4.102 8 Cipatujah 22.306 15 Bantarkalong 6.701 8 Culamega 6.198 5 6. SWP VI Cikatomas 13.263 9 Pancatengah 19.905 11 Cikalong 13.372 13 Kabupaten Tasikmalaya 268.090 351 Sumber: BPS Kabupaten Tasikmalaya,2007 20

3.3.Keadaan Hidrologi dan Iklim Kondisi hidrologi Kabupaten Tasikmalaya dibagi menjadi air permukaan dan air tanah. Air permukaan yang dimaksud adalah air yang mengalir dan muncul di permukaan sseperti mata air, kawah dan sungai, sedangkan air tanah pada umumnya berupaair tanah bebas yang seringkali digunakan oleh penduduk untuk memenuhi kebutuhan air bersih. Secara geografis, wilayah Kabupaten Tasikmalaya merupakan daerah siklus air, dekat dengan pemukaan laut dan pegunungan beriklim tropis.pesediaan air relatif merata sepanjang tahun dan secara kuantitatif relatif dapat mencukupi jumlah kebutuhan. Secara umum kebutuhan air masih dapat dipenuhi, walaupun di beberapa tempat sudah menunjukkan adanya kesulitan air terutama pada musim kemarau. Kabupaten Tasikmalaya dilalui oleh sungai besar seperti Ciwulan, Citanduy, Cikunten, Cimawate, Cupatujah, Cipalu, dan Cilangka. Secara keseluruhan, konsumsi air di Kabupaten Tasikmalaya adalah 1.971,90 juta meter kubik. Penggunaan atau konsumsi air terbesar untuk proses produksi di sektor pertanian hingga mencapai 1.281,70 juta meter kubik dengan komposisi 65 persen total konsumsi air. Penggunaan kedua adalah konsumsi rumah tangga (untuk air minum, mandi, cuci, dan kakus) yaitu 394,40 juta meter kubik dengan komposisi 20 persen, Industri menyerap 10 persen dan sisanya untuk penggunaan lain-lain sebesar 5 persen. Hasil pengukuran curah hujan di Kabupaten Tasikmalaya oleh instansi terkait dirasakan kurang bermanfaat untuk keseluruhan daerah. Hal ini disebabkan peralatan pengukuran curah hujan di beberapa kecamatan sudah banyak yang rusak. Diantara peralatan tersebut yang masih baik hanya di 8 stasiun pengukuran yang terdapat di Kecamatan Karangnunggal, Cikatomas, Pancatengah, Bantarkalong, Taraju, Rajapolah, Salopa, dan Pagerageung. 21

Tabel 7. Jumlah Hari Hujan Dan Rata-rata Curah Hujan Per Bulan Tahun 2006 No SWP Jumlah Hari Hujan Jumlah Curah hujan Rata-rata/bln 1. SWP I 33 538,00 538,00 2. SWP II - - - 3. SWP III 41 782,50 391,30 4. SWP IV 25 391,00 130,30 5. SWP V 56 2.675,00 668,70 6. SWP VI 143 3.001,00 500,20 Kabupaten Tasikmalaya 37 923,40 278,60 Sumber: BPS Kabupaten Tsikmalaya, 2007 3.4. Jumlah Penduduk dan Mata Pencahariannya Jumlah penduduk Kabupaten Tasikmalaya pada Tahun 2007 adalah 1.668.581 orang yang terdiri dari 833.018 orang penduduk laki-laki dan 835.563 penduduk perempuan. Dengan demikian, angka sex ratio sebesar 99,77 persen, sedangkan kepadatan penduduk mencapai 651 orang per kilometer persegi. Kepadatan penduduk tertinggi berada di Kecamatan Rajapolah yaitu 2.204 orang per kilometer persegi, sedangkan terendah berada di Kecamatan Pancatengah sebesar 210 orang per kilometer persegi. Laju pertumbuhan penduduk (LPP) Kabupaten Tasikmalaya setiap tahunnya menunjukkan kecenderungan menurun. Pada Tahun 2006, LPP mencapai 1,01 persen, sedangkan pada Tahun 2005 yaitu sebesar 1,85 persen. Tabel 8. Jumlah Penduduk Kabupaten Tasikmalaya No. Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) Jumlah Penduduk 1. SWP I 378.916 2. SWP II 452.154 3. SWP III 173.074 4. SWP IV 232.439 5. SWP V 283.972 6. SWP VI 148.066 Total 1.668.621 Sumber : BPS kabupaten Tasikmalaya, 2007 22

Mata pencaharian penduduk Kabupaten Tasikmalaya didominasi oleh lapangan kerja di sektor pertanian yang mencapai 46,53 persen. Kedua terbesar adalah lapangan kerja disektor perdagangan mencapai 25,20 persen. Dengan demikian, dapat dikatakan penduduk Kabupaten Tasikmalaya berifat agraris. Hal ini merupakan peluang untuk dapat mengembangkan kegiatan pertanian dalam rangka mendukung perekonomian masyarakatnya. Tabel 9. Mata Pencaharian Penduduk Menurut Lapangan Usaha di Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2007 No. Lapangan usaha Jumlah (Orang) Persentase (%) 1. Pertanian 329.846 46,2 2. Pertambangan 3.254 0,46 3. Industri pengolahan 75.177 10,60 4. Listrik, gas dan Air 540 0,08 5. Bangunan 32.715 4,61 6. Perdagangan 178.665 25,20 7. Angkutan 42.108 5,94 8. Keuangan 4.789 0,68 9. Jasa Kemasyarakatan 41.637 5,87 10. Lainnya 271 0,04 Jumlah 709.002 100 Sumber : BPS kabupaten Tasikmalaya, 2007 3.5. Jenis Tanah dan Penggunaan Lahan di Kabupaten Tasikmalaya Secara regional, kondisi geologi daerah Tasikmalaya didominasi oleh batuan vulkanik, batuan intrusi, serta batuan dasar lainnya, termasuk diantaranya adalah batuan sedimen. Proses pembentukan batuan wilayah Tasikmalaya merupakan bagian dari pembentuka batuan pegunungan selatan Jawa Barat yang membentangdari barat ke timur, mulai dari Teluk Pelabuhan Ratu hingga Pulau Nusa Kambangan. Pegunungan Jawa Barat selatan ini merupakan rangkaian gunung api tua yang sudah tidak aktif lagi. 23

Tabel 10. Jenis Tanah di Kabupaten Tasikmalaya No. Jenis tanah Luas (Ha) 1. Alluvial Kelabu Kekuningan 5.529,16 2. Regosol Coklat Kelabu 1.445,35 3. Asosiasi Regosol Kelabu, Regosol Coklat Keabuan Dan Litosol 6.530,94 4. Asosiasi Regosol Coklat Dan Litosol 9.534,27 5. Asosiasi Glei Humus 5.201,34 6. Andosol Coklat Kekuningan 11.140,82 7. Asosiasi Andosol Coklat Dan Regosol Coklat 6.409,28 8. Rensina Litosol Dan Brown Forestsoil 60.628,84 9. Latosol Coklat Kekuning 7.410,51 10. Latosol Coklat Kekuning 3.164,70 11. Latosol Coklat Kemerahan 22.639,12 12. Asosiasi Podsolit Kuning Dan Regosol 74,43 13. Podosolit Merah Kekuningan, Podsolit Merah Kekuningan Dan Litosol 131.542,96 Jumlah 271.251,71 Sumber: BPS Kabupaten Tasikmalaya,2007 Terkait dengan kondisi geologi daeahnya, batuan yang terbentuk di wilayah Kabupaten Tasikmalaya termasuk dalam kategori batuan tua yaitu batuan tersier. Berkaitan dengan jenis batu tersebut, jenis tanahnya didominasi oleh mediteran, latosol, dan aluvial. Jenis tanah tersebut banyak ditemukan di sepanjang daerah aliran sungai. Persebaran jenis tanah tersaji pada Tabel 11. Tabel 11. Luas Penggunaan Lahan di Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2006 No. Jenis Pengggunaan lahan Luas (ha) Prosentasi (%) 1. Lahan pesawahan 49.658 18,52 2. Lahan pekarangan 16.543 6,17 3. Tegal 57.160 21,32 4. Perkebunan 27.276 10,17 5. Hutan rakyat 34.556 12,89 6. Hutan Negara 32.121 11,98 7. Kolam 4.101 1,53 8. Lainnya 46.675 17,41 Jumlah 268.090 100 Sumber : BPS Kabupaten Tasikmalaya, 2007 24

Luas wilayah Kabupaten Tasikmalaya setelah terpisah dari Kota Tasikmalaya adalah 268.090 hektar, dengan sebagian besar lahannya merupakan tanah darat (bukan sawah) yaitu 218.432 ha (81,48 persen) dan selebihnya 49.658 ha (18,52 persen) merupakan tanah sawah (sawah irigasi, maupun bukan irigasi). Jenis dan luas penggunaal lahan di Kabupaten Tasikmalaya dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktifitas Padi Sawah di Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2006 No. Keterangan Tahun 2002 2003 2004 2005 2006 1. Luas tanam (ha) 106.790 114.410 120.861 125.078 98.456 2. Luas panen(ha) 102.981 102.063 113.404 120.201 103.825 3. Produksi (ha) 516.141 503.642 592.196 648.740 574.468 4. Produktifitas (ku/ha) 50,12 49,35 52,22 53,97 55,34 Sumber : BPS Kabupaten Tasikmalaya, 2007 Dari lahan sawah yang tersedia selama 5 tahun terakhir trend produktifitasnya cenderung meningkat sedangkan produksi padi cukup berfluktuasi. Hal ini memberikan suatu potensi bahwa produktifitas lahan sawah di Kabupaten Tasikmalaya memiliki peluang yang besar untuk terus ditingkatkan. 3.6. Karakteristik Responden Petani SRI dan Konvensional Responden yang diambil di dalam penelitian ini sebanyak 60 orang petani yang terdiri dari 30 petani yang menerapkan SRI dan 30 petani yang tidak menerapkan SRI di dalam usahataninya. Jumlah responden yang diambil tersebut tersebar ke dalam lima Kecamatan, diantaranya Kecamatan Manonjaya, Kecamatan Cisayong, Kecamatan Sukaraja, Kecamatan Mangunreja, dan Kecamatan Tanjungjaya. Karakterisitik umum responden yang diteliti dan dijelaskan dalam penelitian ini meliputi umur, pendidikan formal dan non formal, pengalaman berusahatani, luas lahan usahatani, pola tanam, status penguasaan lahan, motivasi 25

penerapan budidaya padi SRI, dan faktor penghambat dalam penerapan budidaya padi SRI. Usia berkaitan erat dengan kesehatan, kemampuan fisik petani dalam melakukan kegiatan usahataninya, dan pengalaman yang diperolehnya. Banyak petani yang mengungkapkan bahwa faktor usia sangat berpengaruh dalam melakukan kegiatan usahatani padi, terutama padi organikmetode SRI yang menurut mereka memerlukan usaha pengelolaanyang relatif lebih telaten apabila dibandingkan dengan usaha pengelolaan padi konvensional. Usia juga berkaitan erat dengan kemampuan petani dalam mengadopsi suatu inovasi baru, dimana dalam kajian ini metode padi SRI merupakan suatu inovasi baru yang merubah kebiasaan petani bertani secara konvensional menjadi bertani organik. Tabel 13. Distribusi Responden Petani Berdasarkan Usia No. Kelompok Usia (Tahun) Petani SRI Petani Konvensional Orang Presentase Orang Presentase 1. 24 36 4 13,33 3 10,00 2. 37 49 12 40,00 9 30,00 3. 50 62 12 40,00 13 43,33 4. 62> 2 6,67 5 16,67 Jumlah 30 100 30 100 Umur petani secara umum di daerah penelitian bervariasi mulai dari 24 sampai 70 tahun. Jika mengacu pada batasan usia produktif menurut BPS, LembagaDemografi UI dan BKKBN yaitu dibawah 50 tahun, maka hampir separuh ( 46,67 persen) petani termasuk kategori usia muda dan produktif. Secara empiris petani SRI yang berusia muda relatif lebih banyak daripada petani konvensional. 26

Tabel 14. Tingkat Pendidikan Petani Responden Keterangan Petani SRI Petani Konvensional I. Pendidikan Formal 1. Tidak sekolah - - 2. Tidak tamat SD 1 1 3. Tamat SD 10 20 4. SLTP 11 6 5.SLTA 7 3 6. sarjana 1 - Jumlah 30 30 II. Pendidikan Non-Formal 1.SLPHT 19 5 2.Pelatihan dan pelatihan SRI 30 21 3.PTT - 15 4.tidak pernah - 3 Jumlah 49 44 Tingkat pendidikan formal akan berpengaruh terhadap produktifitas tenaga kerja serta tingkat penyerapan teknologi. Tingkat pendidikan yang rendah dapat mengakibatkan rendahnya tingkat iterasi dan produktifitas. Pendidikan non formal/pendidikan luar sekolah merupakan suatu sistem pendi-dikan praktis yang proses belajarnya dilakukan sambil mengerjakan (learning by doing), belajar berdasarkan permasalahan yang dihadapi (problem based learning). Tabel 15. Pengalaman Berusahatani Responden No. Keterangan Pengalaman Usahatani Petani SRI Petani Konvensional SRI Usahatani Biasa Usahatani Biasa 1. < 5 tahun 29 1-2. 5-10 tahun 1 10 5 3. 11-20 tahun - 6 12 4. >20 tahun - 13 13 Jumlah 30 30 30 27

Hasil penelitian mengungkap bahwa tingkat pendidikan formalpetani SRI dan konvensional relatif sama yaitu tergolong rendah hanya tamat SD dan SLTP. Namun keterbatasan pengetahuan dari pendidikan formal ini dapat diperkecil dengan partisipasi petani yang cukup baik dalam pendidikan non formal. Cukup tingginya tingkat pendidikan non formal petani terjadi karena sejak tahun 2002 pemerintah daerah setempat melalui instansi terkait (Dinas Pertanian) telah menyelenggarakan program SLPHT, PET-SRI, PTT, dan lain sebagainya Pengalaman berusaha tani padi petani relatif cukup lama, lebih dari 20 tahun. Namun untuk budidaya padi SRI relatif baru, kurang dari 5 tahun. Hal ini menunjukkan introduksi budidaya padi SRI relatif baru di daerah penelitian. Tabel 16. Pola Tanam Usahatani Padi Petani SRI Petani Konvensional No. Pola tanam orang % orang % 1. padi-padi-padi 29 96,6 27 90 2. padi-padi-palawija 1 3,4 3 10 Jumlah 30 100 30 100 Berdasarkan pengakuan responden baik petani yang menerapkan budidaya padi SRI maupun yang konvensional, mayoritas memiliki pola tanam padi tiga kali dalam setahun. Hal ini disebabkan sistem irigasi di wilayah kajian yang diteliti umumnya merupakan daerah pertanian irigasi teknis dan setengah teknis dengan sarana pengairan yang relatif lancar sepanjang tahun. Walaupun terdapat petani yang menanam padi dua kali dan palawija sekali setahun, jumlahnya sedikit terutama ditemukan di daerah pesawahan setengah teknis dan sawah tadah hujan. Tabel 17. Sumber Pangairan Pertanian No. Sumber pengairan Petani SRI Petani Konvensional 1. Teknis 4 6 2. Setengah teknis 23 18 3. Irigasi pedesaan 2 3 4. Tadah hujan 1 3 Jumlah 30 30 28