JURNAL ILMIAH. Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna menempuh Sidang Ujian Sarjana dan meraih gelar Sarjana Hukum

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM UPAYA PENANGGULANGAN CYBERCRIME (CRIMINAL LAW POLICY IN PREVENTING CYBERCRIME)

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP CYBERBULLYING TAHUN 2016 TENTANG ITE

PANANGGULANGAN KEJAHATAN MAYANTARA (CYBER CRIME) DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA (STUDI DI DIREKTORAT RESERSE KRIMINAL KEPOLISIAN DAERAH SUMATERA UTARA)

MODEL PENGATURAN INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

I. PENDAHULUAN. dan media elektronik yang berfungsi merancang, memproses, menganalisis,

I. PENDAHULUAN. seseorang (pihak lain) kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagai

PELAKSANAAN PERAN KEJAKSAAN DALAM MENANGGULANGI TINDAK PIDANA PENODAAN AGAMA YANG DILAKUKAN OLEH ALIRAN KEPERCAYAAN MASYARAKAT

LAPORAN PENELITIAN INDIVIDU PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI SEBAGAI SUBJEK TINDAK PIDANA DALAM RUU KUHP

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Sebelum penulis menguraikan hasil penelitian dan pembahasan, dan untuk menjawab

BAB 1 PENDAHULUAN. itu setiap kebijakan yang diambil harus didasarkan pada hukum. Hukum

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Perbuatan yang Termasuk dalam Tindak Pidana. Hukum pidana dalam arti objektif atau ius poenale yaitu sejumlah peraturan yang

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Terorisme merupakan suatu tindak kejahatan luar biasa yang menjadi

Pembahasan : 1. Cyberlaw 2. Ruang Lingkup Cyberlaw 3. Pengaturan Cybercrimes dalam UU ITE

KETERKAITAN ARSIP ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI SAH DI PENGADILAN

BAB II PENGATURAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA CYBERCRIME. A. Pengaturan hukum pidana terhadap tindak pidana cybercrime.

BAB I PENDAHULUAN. melalui kebijakan hukum pidana tidak merupakan satu-satunya cara yang. sebagai salah satu dari sarana kontrol masyarakat (sosial).

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

BAB I PENDAHULUAN. bertransformasi dalam bentuk-bentuk yang semakin canggih dan

SKRIPSI. Diajukan Sebagai Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum. Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum. Universitas Kristen Satya Wacana

ANALISIS YURIDIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENYEBARAN PORNOGRAFI MELALUI SITUS JEJARING SOSIAL FACEBOOK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sesuai dalam Undang Undang Dasar 1945 Pasal 30 ayat (3) yaitu

TINDAK PIDANA CYBER TERRORISM DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK 1 Oleh: Agis Josianto Adam 2

TINDAK PIDANA DI BIDANG MEDIA SOSIAL Oleh : Prof. Dr. H. Didik Endro Purwoleksono, S.H., M.H.

Perbuatan yang Dilarang dan Ketentuan Pidana UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (ITE)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan di masyarakat sering sekali pelanggaran terhadap

BUKTI ELEKTRONIK CLOSED CIRCUIT TELEVISION (CCTV) DALAM SISTEM PEMBUKTIAN PIDANA DI INDONESIA

BAB II KEJAHATAN PEMBOBOLAN WEBSITE SEBAGAI BENTUK KEJAHATAN DI BIDANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME [LN 2002/106, TLN 4232]

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN BARANG DAN JASA. Nisa Yulianingsih 1, R.B. Sularto 2. Abstrak

I. PENDAHULUAN. Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan (Crime Against

KEBIJAKAN PEMERINTAH MENGENAI JARINGAN INTERNET MELALUI UU NO. 11 TAHUN 2008 TENTANG ITE

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. atributif dan peraturan normatif. Peraturan hukum atributif

BAB II TINDAK PIDANA MILITER. tentang apa yang disebut dengan tindak pidana tersebut, yaitu : dilarang dan diancam dengan pidana.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia di kenal sebagai salah satu negara yang padat penduduknya.

selalu berulang seperti halnya dengan musim yang berganti-ganti dari tahun ke

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENGGUNA WEBSITE PORNO RAFIKA DURI / D

ANALISIS KASUS CYBERCRIME YANG TERPUBLIKASI MEDIA KASUS PENANGKAPAN WNA YANG DIDUGA KELOMPOK CYBERCRIME INTERNASIONAL

NCB Interpol Indonesia - Fenomena Kejahatan Penipuan Internet dalam Kajian Hukum Republik Indonesia Wednesday, 02 January :00

BAB III PENUTUP. 1. Kendala Polda DIY dalam penanganan tindak pidana penipuan : pidana penipuan melalui internet dan minimnya perangkat hukum.

Berdasarkan keterangan saya sebagai saksi ahli di bidang Hukum Telematika dalam sidang Mahkamah Konstitusi tanggal 19 Maret 2009, perihal Pengujian

kejahatan ekonomi di bidang perbankan dalam hukum pidana yang akan datang.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN. maraknya penggunaan media elektronik mulai dari penggunaan handphone

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia berdasarkan hukum (Rechstaat), tidak berdasarkan atas

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. informasi baik dalam bentuk hardware dan software. Dengan adanya sarana

KAJIAN TERHADAP TINDAK PIDANA PENIPUAN MELALUI JUAL-BELI ONLINE

NASKAH AKADEMIS RANCANGAN UNDANG- UNDANG PERLINDUNGAN DATA PRIBADI. November

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Tercatat 673 kasus terjadi, naik dari tahun 2011, yakni 480 kasus. 1

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

SILABUS PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU HUKUM UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SEMARANG

BAB II PERATURAN-PERATURAN HUKUM YANG BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA PEMALSUAN UANG DI INDONESIA

UPAYA PENEGAKAN HUKUM NARKOTIKA DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta

BAB I PENDAHULUAN. 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 amandemen ke-iii. Dalam Negara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara berkembang yang dari waktu ke waktu

BAB I PENDAHULUAN. ayat 3 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia (UUD RI) tahun 1945

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 76/PUU-XV/2017

Lex et Societatis, Vol. V/No. 5/Jul/2017

III. METODE PENELITIAN. Metode pendekatan penelitian yang digunakan penulis dalam tesis ini dilakukan

I. PENDAHULUAN. adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal

KEKUATAN HUKUM PEMBUKTIAN PIDANA MELALUI MEDIA ELEKTRONIK BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP)

CYBERCRIME & CYBERLAW

BAB I PENDAHULUAN. informasi dan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi.

BAB I PENDAHULUAN. kemajuan teknologi dari tahun ke tahun semakin cepat. Hal yang paling

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. macam informasi melalui dunia cyber sehingga terjadinya fenomena kejahatan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Maraknya tindak pidana yang terjadi di Indonesia tentu

TINJAUAN YURIDIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PROSTITUSI SECARA ONLINE BERDASARKAN PERSPEKTIF CYBER CRIME

I. PENDAHULUAN. juga dapat menyengsarakan dan menghancurkan suatu negara. Dampak korupsi bagi negara-negara dengan kasus korupsi berbeda-beda bentuk,

PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA KORPORASI PERBANKAN DENGAN PERMA NO. 13 TAHUN 2016

CAKRAWALA HUKUM Perjalanan Panjang Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Oleh : Redaksi

PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI DALAM KUHP SEBAGAI UPAYA KESELARASAN SISTEM PEMIDANAAN ATURAN HUKUM DENGAN UNDANG UNDANG KHUSUS DI LUAR KUHP

II TINJAUAN PUSTAKA. mencari untung. Sedangkan penipuan sendiri berdasarkan Kamus Besar Bahasa

I. PENDAHULUAN. serta kerugian harta benda, sehingga menimbulkan pengaruh yang tidak. hubungan Indonesia dengan dunia Internasional.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu masalah besar yang dihadapi masyarakat pada saat ini

TINJAUAN PUSTAKA. Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. tinggi tingkat budaya dan semakin modern suatu bangsa, maka semakin

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

TINDAK PIDANA TERORISME DARI SUDUT HUKUM PIDANA MATERIIL (PENGATURAN NYA DALAM UNDANG - UNDANG NO. 15 TAHUN 2002)

I. PENDAHULUAN. Penyalahgunaan izin tinggal merupakan suatu peristiwa hukum yang sudah sering

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kejahatan terorisme sudah menjadi fenomena internasional, melihat

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/3/PBI/201 /PBI/2015 TENTANG KEWAJIBAN PENGGUNAAN RUPIAH DI WILAYAH NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya setiap undang-undang yang dibuat oleh pembuat undangundang

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XIV/2016 Frasa mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya dalam UU ITE

BAB I PENDAHULUAN. tabu untuk dilakukan bahkan tidak ada lagi rasa malu untuk

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Seiring dengan perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan dan

Lex Crimen Vol. III/No. 3/Mei-Jul/2014

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TATA CARA PERLINDUNGAN TERHADAP SAKSI, PENYIDIK, PENUNTUT UMUM, DAN HAKIM DALAM PERKARA TINDAK PIDANA TERORI

Transkripsi:

JURNAL ILMIAH KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP AKTIVITAS CYBERTERRORISM DI INDONESIA DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NO.15 TAHUN 2003 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna menempuh Sidang Ujian Sarjana dan meraih gelar Sarjana Hukum Oleh : Solihin Niar Ramadhan 110110110195 Program Kekhususan : Hukum Pidana Pembimbing : Dr. Sigid Suseno, S.H., M.Hum. Dr. Muhamad Amirulloh, S.H., M.H. FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG 2015

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP AKTIVITAS CYBERTERRORISM DI INDONESIA DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NO.15 TAHUN 2003 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME ABSTRAK Solihin Niar Ramadhan 110110110195 Perkembangan teknologi informasi mempengaruhi motif manusia untuk melakukan kejahatan terorisme di dunia maya, sehingga muncul istilah cyberterrorism. Cyberterrorism dipandang sebagai sesuatu yang dapat mengancam, membahayakan dan merugikan masyarakat. Dalam rangka perlindungan masyarakat, maka hukum pidana memiliki peran penting dalam mencegah dan menanggulangi cyberterrorism. Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan informasi mengenai kebijakan kriminalisasi terhadap aktivitas cyberterrorism di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis-normatif, karena menggunakan data sekunder sebagai sumber utama. Spesifikasi penelitian bersifat deskriptif-analitis dibantu dengan penelitian empirik, yaitu suatu penelitian yang menggambarkan data dan fakta sebagaimana adanya untuk kemudian dianalisis terhadap ketentuan hukum yang berlaku, khususnya terhadap Undang-Undang No.15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Undang-Undang No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme memiliki kelemahan dalam mencegah dan menanggulangi aktivitas cyberterrorism yaitu, tidak tercakupnya kebijakan kriminalisasi propaganda dan dukungan terhadap terorisme. Terhadap pelaku pembuat dan penyebar materi muatan propaganda dan dukungan terhadap terorisme tidak dapat dikenai pertanggungjawaban pidana berdasarkan Undang-Undang No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dalam mengoptimalkan upaya perlindungan masyarakat dari bahaya cyberterrorism seperti propaganda dan dukungan terorisme, perlu diadakan perubahan terhadap Undang-Undang No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Selain itu, perlu dirumuskan suatu ketentuan agar pelaku pembuat dan penyebar informasi berisi materi muatan propaganda dan dukungan terhadap terorisme dapat dikenai pertanggungjawaban pidana. Kata kunci : kebijakan hukum pidana, kebijakan kriminalisasi, cyberterrorism, pertanggungjawaban pidana

PENDAHULUAN Kondisi kehidupan masyarakat yang berkembang pesat senantiasa diikuti oleh peningkatan kejahatan baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Kondisi tersebut kemudian didukung oleh perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi. Akibatnya, muncul tindak pidana teknologi informasi yang umumnya disebut sebagai tindak pidana siber atau kejahatan siber (cybercrime). Di antara ragam kejahatan yang menggunakan teknologi, salah satu jenis kejahatan yang saat ini berkembang adalah terorisme. Terorisme menimbulkan rasa takut pada seluruh masyarakat internasional, khususnya masyarakat Indonesia. Saat ini, Indonesia merupakan tempat yang subur pengkaderan terorisme dan tempat yang aman untuk berlindung bagi aktivitas terorisme. 1 Interaksi antara pemanfaatan teknologi informasi dan motif manusia untuk melakukan kejahatan terorisme di dunia maya atau di dunia virtual melahirkan pemahaman baru tentang terorisme, yaitu cyberterrorism. 2 Dalam beberapa kasus, perkembangan teknologi tersebut digunakan oleh kelompok-kelompok radikal untuk melancarkan kegiatannya. 3 1 Romli Atmasasmita ( et.al.), Laporan Akhir Naskah Akademik Perubahan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta, 2011, hlm.10. 2 Sarah Gordon dan Richard Ford, Cyberterrorism?, (tanpa tahun), <www.symantec.com/avcenter/reference/cyberterrorism.pdf>, [25/09/2014]. 3 Faisal Salam, Motivasi Tindakan Terorisme, Bandung, Mandar Maju, 2005, hlm.106.

Kasus cyberterrorism yang saat ini sedang berkembang adalah pembuatan dan penyebaran video berisi perekrutan, ancaman, dan propaganda 4 terorisme yang diunggah ke internet. Kasus cyberterrorism berupa pembuatan dan penyebaran informasi berisi materi muatan perekrutan, ancaman, dan propaganda terorisme yang diunggah ke internet bukan merupakan suatu kejahatan yang sederhana walaupun terdapat Undang-Undang No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Cyberterrorism yang merupakan bagian dari cybercrime dipandang sebagai sesuatu yang dapat mengancam, membahayakan dan merugikan masyarakat. 5 Sehingga, diperlukan adanya upaya untuk mencegah dan menanggulangi cyberterrorism. Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, peneliti memberikan identifikasi masalah yang akan diteliti sebagai berikut : 1. Bagaimana kebijakan kriminalisasi terhadap perekrutan, ancaman, dan propaganda terorisme yang diunggah ke internet dihubungkan dengan Undang-Undang No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme? 2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap pembuat dan penyebar informasi berisi materi muatan perekrutan, ancaman dan propaganda terorisme yang diunggah ke internet? 4 Propaganda adalah salah satu upaya penerangan (paham atau pendapat) yang benar atau salah yang dikembangkan dengan tujuan meyakinkan orang lain agar menganut suatu aliran, sikap, atau arah tindakan tertentu. 5 Di beberapa negara, aktivitas cyberterrorism terjadi dengan target critical infrastructure seperti jaringan listrik, jaringan telepon, radar bandara udara, sistem peluru kendali, jaringan perbankan, jaringan komunikasi militer, dan infrastruktur publik lainnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Kebijakan Kriminalisasi Terhadap Perekrutan, Ancaman, Dan Propaganda Terorisme Yang Diunggah Ke Internet Dihubungkan Dengan Undang-Undang No.15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban. Selain itu, terorisme juga menjadi ancaman bagi segenap bangsa serta musuh dari semua agama di dunia. 6 Dalam rangka perlindungan masyarakat, hukum pidana memiliki peran penting untuk mencegah dan menanggulangi terorisme. Masyarakat internasional maupun regional telah berusaha melakukan kebijakan kriminal (criminal policy) disertai kriminalisasi secara sistematik dan komprehensif terhadap perbuatan yang dikategorikan sebagai Terorisme. 7 Indonesia telah melakukan kriminalisasi berbagai perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana terorisme dalam Undang-Undang No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Pembuatan dan penyebaran informasi berisi materi muatan perekrutan, ancaman, dan propaganda terorisme yang diunggah ke internet dikategorikan sebagai aktivitas penyebaran materi muatan (dissemination of content) untuk 3 (tiga) tujuan berbeda, antara lain rekrutmen, ancaman, dan propaganda (recruitment, threats and 6 Arsyad Mbaii, Op.Cit.hlm.2. 7 Muladi, Hakekat Terorisme dan Beberapa Prinsip Pengaturan dalam Kriminalisasi, Jurnal Kriminologi Indonesia FISIP UI, vol 2 no III, hlm. 1, (2002)..

propaganda). Aktivitas cyberterrorism merupakan bagian dari cybercrime, sehingga dipandang sebagai sesuatu yang mengancam, membahayakan dan merugikan masyarakat. Dalam rangka perlindungan masyarakat, maka hukum pidana memiliki peran penting untuk mencegah dan menanggulangi cyberterrorism. Pembuatan dan penyebaran informasi berisi materi muatan propaganda terorisme perlu ditindak secara penal (hukum pidana). Dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, kebijakan kriminalisasi terhadap pembuatan dan penyebaran informasi berisi materi muatan untuk tujuan perekrutan, secara implisit tercakup dalam merencanakan dan/atau menggerakkan orang lain untuk melakukan aksi terorisme yang tercantum dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Pembuatan dan penyebaran informasi berisi materi muatan untuk tujuan ancaman tercakup dalam kebijakan kriminalisasi yang dikategorikan sebagai delik formil dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Selain itu, penyebaran materi muatan untuk tujuan ancaman tercakup sebagai tindak pidana pengancaman Pasal 27 Ayat (4) j.o Pasal 45 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Kebijakan kriminalisasi terhadap pembuatan dan penyebaran informasi berisi materi muatan untuk tujuan propaganda dan dukungan bagi terorisme melalui penggunaan teknologi dan informasi belum tercakup dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. 8 Belum tercakupnya kebijakan kriminalisasi terhadap penyebaran materi muatan untuk tujuan propaganda dan dukungan bagi terorisme melalui penggunaan teknologi dan informasi merupakan salah satu kelemahan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Untuk menutupi kelemahan tersebut, kebijakan kriminalisasi terhadap propaganda terorisme dapat ditinjau berdasarkan Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai lex generalis dan Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Apabila dihubungkan dengan KUHP, perbuatan propaganda terorisme tercakup dalam kebijakan kriminalisasi kejahatan terhadap ketertiban umum yang diatur dalam Pasal 155 ayat (1), 156, 157 ayat (1), dan Pasal 160 KUHP. Apabila dihubungkan dengan UU ITE, khusus bagi penyebar informasi elektronik berisi materi muatan untuk tujuan propaganda dan dukungan terhadap terorisme tercakup dalam kebijakan kriminalisasi menyebarkan informasi yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan dalam Pasal 28 Ayat (2) j.o Pasal 45 Ayat (2) UU ITE. 8 Romli Atmasasmita (et.al.), Laporan Akhir Naskah Akademik Perubahan UU No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta, 2011, hlm.58.

2. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pembuat dan Penyebar Informasi Berisi Materi Muatan Perekrutan, Ancaman dan Propaganda Terorisme yang Diunggah ke Internet Subjek hukum yang dapat dikenai pertanggungjawaban pidana berdasarkan Pasal 1 angka 2 dan angka 3 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme adalah setiap orang dan/atau korporasi. Pertanggungjawaban pidana selalu berhubungan dengan kesalahan (schuld) baik dalam bentuk kesengajaan (dolus/opzet) maupun kealpaan (culpa). Dalam pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana terorisme, unsur yang paling fundamental adalah unsur kesalahan, sebab seseorang tidak dapat dikenakan suatu pertanggungjawaban tanpa adanya suatu kesalahan. Kesalahan yang dimaksud tentu kesalahan yang berkaitan dengan pelanggaran Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Terhadap pelaku pembuat dan penyebar informasi berisi materi muatan perekrutan atau ajakan untuk melakukan aksi terorisme, dapat dikenai pertanggungjawaban pidana berdasarkan Pasal 14 Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Terhadap pelaku pembuat dan penyebar informasi berisi materi muatan ancaman terorisme, dapat dikenai pertanggungjawaban pidana berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Selain itu, terhadap

pelaku penyebar informasi berisi materi muatan ancaman terorisme yang diunggah ke internet, dapat dikenai pertanggungjawaban pidana berdasarkan Pasal 27 Ayat (4) j.o Pasal 45 Ayat (1) Undang -Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Terhadap pelaku pembuat dan penyebar informasi berisi materi muatan propaganda dan dukungan terhadap terorisme tidak dapat dikenai pertanggungjawaban pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Jika dihubungkan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, pembuat informasi berisi materi muatan propaganda dan dukungan terhadap terorisme tidak dapat dikenai pertanggungjawaban pidana. Namun, terhadap penyebar informasi berisi materi muatan propaganda dan dukungan terhadap terorisme dapat dikenai pertanggungjawaban pidana. Penyebar informasi berisi materi muatan propaganda terorisme dapat dikenai pertanggungjawaban pidana berdasarkan Pasal 155 ayat (1), 156, 157 ayat (1), dan 160 KUHP. Sedangkan, untuk penyebar informasi elektronik berisi materi muatan propaganda terorisme dapat dikenai pertanggungjawaban pidana berdasarkan Pasal 28 Ayat (2) j.o Pasal 45 Ayat (2) UU ITE.

KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Kelemahan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dalam upaya mencegah dan menanggulangi aktivitas cyberterrorism yaitu tidak mencakup propaganda dan dukungan terhadap terorisme. Kelemahan tersebut masih dapat ditutupi oleh ketentuanketentuan dalam Pasal 155 ayat (1), 156, 157 ayat (1), 160 KUHP dan Pasal 28 Ayat (2) j.o Pasal 45 Ayat (2) Undang - Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Namun, kebijakan kriminalisasi dalam KUHP dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik hanya mencakup penyebar, bukan pembuat informasi propaganda. 2. Terhadap pelaku pembuat dan penyebar informasi berisi materi muatan perekrutan dan ancaman terorisme yang diunggah ke internet dapat dikenai pertanggungjawaban pidana berdasarkan Undang-Undang No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Namun, terhadap pelaku pembuat dan penyebar informasi berisi materi muatan propaganda dan dukungan terhadap terorisme tidak dapat dikenai pertanggungjawaban pidana berdasarkan Undang-Undang

Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorism. Jika dihubungkan dengan KUHP dan Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, pembuat informasi berisi propaganda dan dukungan terhadap terorisme tidak dapat dikenai pertanggungjawaban pidana. Namun, penyebar informasi berisi propaganda dan dukungan terhadap terorisme yang diunggah ke internet dapat dikenai pertanggungjawaban pidana berdasarkan Pasal 155 ayat (1), 156, 157 ayat (1), 160 KUHP dan Pasal 28 Ayat (2) j.o Pas al 45 Ayat (2) Undang -Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik SARAN 1. Dalam upaya mengoptimalkan perlindungan masyarakat dari bahaya cyberterrorism, perlu diadakan perubahan terhadap Undang-Undang No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dalam perubahan Undang-Undang No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme perlu ditetapkan kebijakan kriminalisasi terhadap aktivitas pembuatan dan penyebaran informasi berisi materi muatan (dissemination of content) untuk tujuan propaganda

termasuk dukungan terhadap terorisme sebagai suatu tindak pidana. 2. Dalam upaya perlindungan masyarakat dari bahaya propaganda dan pengaruh dukungan terhadap terorisme, maka perlu dirumuskan suatu ketentuan agar pelaku pembuat maupun penyebar informasi berisi materi muatan propaganda dan dukungan terhadap terorisme dapat dikenai pertanggungjawaban pidana.