10 BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Teori Keagenan dan Problem Keagenan Teori keagenan menyatakan bahwa antara manajemen dan pemilik mempunyai kepentingan yang berbeda (Jensen dan Meckling, 1976). Perusahaan yang memisahkan fungsi pengelolaan dan kepemilikan akan rentan terhadap konflik keagenan (Lambert, 2001). Dalam model keagenan dirancang sebuah sistem yang melibatkan kedua belah pihak, sehingga diperlukan kontrak kerja antara pemilik (principal) dan manajemen (agent). Dalam kesepakatan tersebut diharapkan dapat memaksimumkan utilitas principal, dan dapat memuaskan serta menjamin agen untuk menerima reward dari hasil aktivitas pengelolaan perusahaan. Perbedaan kepentingan antara pemilik dan manajemen terletak pada maksimalisasi manfaat (utility) pemilik (principal) dengan kendala (constraint) manfaat (utility) dan insentif yang akan diterima oleh manajemen (agent). Karena kepentingan yang berbeda sering muncul konflik kepentingan antara pemegang saham/ pemilik (principal) dengan manajemen (agent). Pada dasarnya agency theory merupakan model yang digunakan untuk memformulasikan permasalahan (conflict) antara manajemen (agent) dengan pemilik (principal). Model hubungan principal-agent diharapkan dapat memaksimumkan utilitas principal, dan dapat memuaskan serta menjamin agen untuk menerima reward dari hasil aktivitas pengelolaan perusahaan. Ketika
11 pemilik tidak dapat memonitor secara sempurna aktivitas manajemen, maka secara potensial manajemen dapat menentukan kebijakan yang mengarah pada peningkatan level kompensasinya. Rajan dan Saouma (2006) menyatakan bahwa besarnya kompensasi yang diterima oleh pihak manajemen (agent) tergantung pada besarnya laba/ profit (π) yang dihasilkan sesuai dengan kontrak yang telah disepakati dengan pihak pemilik (owner). Besarnya laba yang diinformasikan melalui laporan keuangan, tidak terlepas dari kebijakan akuntansi yang dibuat oleh manajemen. Berdasarkan uraian tersebut, dapat dinyatakan bahwa besarnya kompensasi yang diterima oleh pihak manajemen (agent) tergantung pada besarnya laba/ profit (π) yang dihasilkan sesuai dengan kontrak yang telah disepakati dengan pihak pemilik. 2.1.2 Teori Akuntansi Positif Praktik manajemen laba dikaitkan dengan suatu teori baru di akuntansi, yaitu teori akuntansi positif atau positive accounting theory. Teori akuntansi positif merupakan teori akuntansi yang berusaha mengungkapkan bahwa faktor-faktor ekonomi tertentu atau ciri-ciri suatu unit usaha tertentu bisa dikaitkan dengan perilaku manajer atau para pembuat laporan keuangan. Teori ini dapat memberikan pedoman kepada para pembuat keputusan kebijakan akuntansi dalam melakukan perkiraan-perkiraan atau penjelasan-penjelasan akan konsekuensi dari keputusan tersebut. Manajemen laba dilakukan oleh manajer atau para pembuat laporan keuangan dalam proses pelaporan keuangan suatu organisasi karena mengharapkan suatu manfaat dari tindakan yang dilakukan. Manajemen laba memberikan gambaran
12 akan perilaku manajer dalam melaporkan kegiatan usahanya pada suatu periode tertentu, yaitu adanya kemungkinan munculnya motivasi tertentu yang mendorong mereka untuk mengatur data keuangan yang dilaporkan. Prediksi yang dibuat oleh teori akuntansi positif diorganisasikan secara luas pada tiga hipotesis yang diformulasikan oleh Watts dan Zimmerman (1990) yaitu hipotesis rencana bonus, hipotesis kontrak hutang, dan hipotesis biaya politik. Ketiga hipotesis tersebut menjelaskan hubungan antara kebijakan akuntansi dengan manajemen laba. 2.1.3 Laba Laba merupakan salah satu informasi potensial yang terkandung di dalam laporan keuangan dan sangat penting bagi pihak internal maupun pihak eksternal perusahaan. Perhatian para investor yang terpusat pada informasi laba membuat manajemen berpotensi untuk memanipulasi data dengan cara melakukan manajemen laba. Dalam paragraf ke 7 Standar Akuntansi Keuangan tahun 2009, disebutkan bahwa laba mencerminkan pos lainnya yang memenuhi definisi penghasilan dan mungkin timbul atau mungkin tidak timbul dalam pelaksanaan aktifitas perusahaan yang biasa. Laba mencerminkan kenaikan manfaat ekonomi dan dengan demikian pada hakikatnya tidak berbeda dengan pendapatan. Oleh karena itu, pos laba tidak dipandang sebagai unsur terpisah dalam kerangka dasar laporan keuangan.
13 Laba meliputi, misalnya pos yang timbul dalam pengalihan aset tidak lancar. Definisi penghasilan juga mencakup keuntungan yang belum direalisasi, misalnya yang timbul dari revaluasi sekuritas yang dapat dipasarkan (marketable) dan dari kenaikan jumlah aset jangka panjang. Kalau diakui dalam laporan laba rugi, laba biasanya dicantumkan terpisah karena informasi mengenai pos tersebut berguna dalam pengambilan keputusan ekonomi. Laba biasanya dilaporkan dalam jumlah bersih setelah dikurangi dengan beban yang bersangkutan. 2.1.4 Manajemen Laba 1. Definisi Manajemen Laba Scott (2012) mengidentifikasi manajemen laba sebagai perilaku manajemen, menggunakan pilihan yang tersedia dalam kebijakan akuntansi, atau tindakan nyata, untuk mempengaruhi laba dan untuk mencapai beberapa tujuan produktif pelaporan laba tertentu. Berdasarkan definisi tersebut menunjukkan bahwa manajemen laba merupakan pilihan kebijakan akuntansi dan tindakan nyata oleh manajer untuk berbagai tujuan spesifik. 2. Motivasi Manajemen Laba Berdasarkan teori akuntansi positif terdapat beberapa motivasi manajemen dalam melakukan tindakan manajemen laba, yaitu : a. Manajemen laba untuk rencana bonus (bonus purposes) Manajer perusahaan yang mendapatkan rencana bonus akan memilih kebijakan akuntansi yang sedikit konservatif dibandingkan dengan manajer perusahaan
14 tanpa rencana bonus. Manajer dengan rencana bonus akan menghindari metode akuntansi yang melaporkan net income lebih rendah. Manajer menggunakan laba akuntansi untuk menentukan besarnya bonus, cenderung memilih kebijakan akuntansi yang dapat memaksimumkan laba. Dalam rencana bonus terdapat istilah bogey dan capbogey. Bogey merupakan tingkat laba minimum untuk memperoleh bonus. Sedangkan capbogey adalah tingkat laba maksimum untuk memperoleh bonus. Jika laba ada di atas cap, ada tidaknya bonus tergantung pada kontrak yang dilakukan antara pemegang saham dan manajer. Manajemen laba dapat dilakukan dengan menggeser laba ke periode berikutnya. Jika laba berada di bawah bogey maka manajer akan semakin mengurangi laba bersih. Dengan demikian kemungkinan untuk mendapatkan bonus di periode berikutnya akan meningkat. b. Manajemen laba untuk kontrak hutang jangka panjang (covenant purposes) Kontrak hutang jangka panjang (debt covenant) merupakan perjanjian untuk melindungi pemberi pinjaman (kreditur) dari tindakan-tindakan manajer terhadap kepentingan kreditur, seperti deviden yang berlebihan, pinjaman tambahan, atau membiarkan modal kerja dan kekayaan pemilik di bawah tingkat yang telah ditentukan yang mana semuanya menurunkan keamanan atau menaikkan resiko bagi kreditur yang telah ada. Motivasi ini sejalan dengan hipotesis debt covenant dalam teori akuntansi positif yang semakin dekat suatu perusahaan dengan pelanggaran perjanjian hutang maka manajer akan cenderung memilih metode akuntansi yang dapat
15 memindahkan laba mendatang ke periode berjalan sehingga dapat mengurangi kemungkinan perusahaan mengalami pelanggaran kontrak. c. Manajemen laba untuk motivasi politis (political motivation) Aspek politis tidak akan dapat dilepaskan dari perusahaan, khususnya perusahaan besar dan strategis, karena aktivitasnya melibatkan hajat hidup orang banyak. Perusahaan yang berkecimpung di bidang penyediaan fasilitas bagi kepentingan orang banyak seperti listrik, air, telekomunikasi, dan sarana infrastruktur, secara politis akan mendapat perhatian dari pemerintah dan masyarakat. Perusahaan seperti ini cenderung menurunkan laba untuk mengurangi visibilitasnya, khususnya selama periode kemakmuran tinggi. Tindakan ini dilakukan untuk memperoleh kemudahan dan fasilitas dari pemerintah misalnya subsidi. d. Manajemen laba untuk motivasi perpajakan (taxation motivation) Perpajakan merupakan salah satu alasan utama mengapa perusahaan mengurangi laba bersih yang dilaporkan. Dengan mengurangi laba yang dilaporkan maka perusahaan dapat meminimalkan besarnya pajak yang harus dibayarkan ke pemerintah. Sebagai contoh, cara yang dilakukan misalnya merubah metode pencatatan persediaan menjadi LIFO agar laba bersih yang dihasilkan rendah. e. Pergantian direksi Beragam motivasi timbul di sekitar waktu pergantian direksi sebagai contoh, direksi yang mendekati masa akhir penugasan atau pensiun akan melakukan strategi memaksimalkan laba untuk meningkatkan bonusnya. Demikian juga
16 dengan direksi yang kurang berhasil memperbaiki kinerja perusahaan akan cenderung memaksimalkan laba untuk mencegah atau membatalkan pemecatannya. f. Penawaran Perdana (Initial Public Offering) Ketika perusahaan dinyatakan telah go public, informasi keuangan yang ada di dalam prospektus merupakan sumber informasi penting. Informasi ini dapat digunakan sebagai sinyal kepada calon investor tentang nilai perusahaan. Untuk mempengaruhi keputusan calon investor, maka manajer berusaha menaikkan laba yang dilaporkan. Selain itu, motivasi pasar modal juga mempengaruhi dalam tindakan manajemen laba. Penggunaan informasi secara luas oleh investor dan analisa keuangan untuk melindungi nilai sekuritasnya, dapat menciptakan dorongan manajer untuk memanipulasi laba dalam usahanya untuk mempengaruhi kinerja sekuritas jangka pendek. 3. Teknik Manajemen Laba Berikut adalah beberapa teknik dalam manajemen laba yang dapat dilakukan oleh manajemen : a. Memanfaatkan peluang untuk membuat estimasi akuntansi Manajemen dapat mempengaruhi laba melalui perkiraan terhadap estimasi akuntansi antara lain estimasi tingkat piutang tak tertagih, estimasi kurun waktu depresiasi asset tetap atau amortisasi asset tidak berwujud, estimasi biaya garansi, dan lain-lain.
17 b. Mengubah metode akuntansi Manajemen laba dapat dilakukan dengan mengubah metode akuntansi yang digunakan untuk mencatat suatu transaksi. Seperti mengubah depresiasi asset tetap dari metode jumlah angka tahun ke metode garis lurus. c. Menggeser periode biaya atau pendapatan Manajemen laba dapat dilakukan dengan menggeser periode atau pendapatan. Dengan mempercepat atau menunda pengeluaran untuk penelitian sampai pada periode akuntansi periode berikutnya, mempercepat atau menunda pengeluaran promosi sampai periode berikutnya, mempercepat atau menunda pengiriman produk ke pelanggan, mengatur penjualan aset tetap perusahaan. 4. Pola Manajemen Laba Berikut adalah beberapa pola manajemen laba yang dapat dilakukan oleh manajemen (Scott, 2012 : 425) : a. Taking a bath Praktek ini biasanya dilakukan dalam kesulitan keuangan atau periode restrukturisasi. Manajemen dapat mengetahui biaya di masa depan, catatan sejumlah besar kerugian, dan / atau penghapusan aset saat ini dalam rangka menciptakan cadangan laba masa depan yang akan diketahui di masa mendatang sebagai cadangan akrual. b. Income minimization Minimalisasi laba dilakukan ketika perusahaan sedang menikmati periode profitabilitas tinggi. Manajemen dapat melakukan penghapusan aset berwujud
18 maupun tak berwujud atau pengeluaran biaya iklan suatu barang dan pengeluaran R&D dengan tujuan untuk meminimalkan pajak penghasilan dan/atau menghindari atau mengurangi biaya politik lainnya. c. Income maximization Manajemen melakukan maksimalisasi laba untuk mencapai tujuan tertentu, seperti tujuan bonus atau menghindari pelanggaran perjanjian. d. Income smoothing Praktek ini bertujuan untuk menormalkan laba untuk mencapai tren tertentu apakah untuk sinyal pasar tentang perusahaan dapat memperkirakan kekuatan laba persisten, untuk menciptakan cadangan keuntungan guna mengantisipasi kerugian aktual masa depan, atau untuk manajemen menerima kompensasi yang relatif konstan. 5. Manajemen Laba : Akrual Diskresioner Berdasarkan definisi manajemen laba, manajemen laba dapat dilakukan dengan menggunakan kebijakan akuntansi atau tindakan nyata. Manajemen laba oleh variabel riil berarti manajemen dapat secara langsung mempengaruhi akun seperti biaya pengaturan iklan, R&D, waktu pembelian dan pelepasan aset tetap, kelebihan produksi, dan tindakan langsung lainnya. Namun, penelitian ini berfokus pada manajemen laba yang merupakan pilihan dalam akuntansi kebijakan. Manajemen dapat menggunakan kebijakan akuntansi, seperti contoh antara FIFO dibanding rata-rata arus biaya persediaan dan persentase dari penyelesaian dibandingkan pemulihan biaya metode pengakuan laba, untuk
19 mempengaruhi pencatatan laba dan / atau biaya, yang menghasilkan laba yang dilaporkan sebagai output. Manajemen juga dapat menggunakan diskresioner akrual, seperti ketentuan kerugian kredit, biaya garansi, penilaian persediaan, dan waktu dan jumlah dari penghapusan persistensi item yang rendah, serta ketentuan restrukturisasi (Scott, 2012 : 423). Utami (2005) mengatakan untuk mendeteksi ada tidaknya manajemen laba melalui pengukuran atas akrual adalah hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Total akrual adalah selisih antara laba dan arus kas yang berasal dari aktivitas operasi. Total akrual dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu (1) bagian akrual yang memang sewajarnya ada dalam proses penyusunan laporan keuangan, disebut normal accruals atau non discretionary accruals; (2) bagian akrual yang merupakan manipulasi data akuntansi yang disebut dengan abnormal accruals atau discretionary accruals. Diskresioner akrual berbeda dengan akrual non diskresioner, yang berkorelasi dengan tingkat aktivitas bisnis. Misalnya, jika perusahaan mengalami penurunan dalam penjualan, mungkin memiliki piutang yang lebih rendah, dan harus menunda pembayaran kewajiban lancar, dan mungkin harus menghapuskan persediaan. Hal seperti ini adalah negatif akrual, tetapi tidak diskresioner dan manajemen laba. Akrual diskresioner positif digunakan oleh manajer untuk meningkatkan pelaporan laba perusahaan, sedangkan akrual diskresioner negatif digunakan untuk menurunkan pelaporan laba perusahaan. Masalah penelitian ini mengenai sejauh atau seberapa banyak manajer melakukan manajemen laba daripada mengarah pada manajemen laba. Oleh karena itu nilai absolut akrual diskresioner digunakan untuk pengukuran manajemen laba.
20 2.1.5 Adopsi IFRS di Indonesia Menurut Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK), tingkat pengadopsian IFRS dapat dibedakan menjadi 5 tingkat : Full Adoption, Adopted, Piecemeal, Referenced, dan Not adopted at all. Di Indonesia, Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK), telah mengembangkan program konvergensi untuk mengadopsi IFRS dalam PSAK. Keputusan untuk konvergensi diumumkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) pada tahun 2008 dengan tujuan menghilangkan perbedaan antara prinsip akuntansi lokal yang berlaku umum dan meningkatkan kualitas pelaporan keuangan. Berbeda dengan negara-negara di Eropa dan Australia, yang menggunakan pendekatan big-bang, DSAK memutuskan untuk menggunakan implementasi secara bertahap untuk program konvergensi PSAK- IFRS, yaitu : 1. Tahap Adopsi (2008 2011), meliputi aktivitas dimana seluruh IFRS diadopsi ke PSAK, persiapan infrastruktur yang diperlukan, dan evaluasi terhadap PSAK yang berlaku. 2. Tahap Persiapan Akhir (2011), dalam tahap ini dilakukan penyelesaian terhadap persiapan infrastruktur yang diperlukan. Selanjutnya, dilakukan penerapan secara bertahap beberapa PSAK berbasis IFRS. 3. Tahap Implementasi (2012), berhubungan dengan aktivitas penerapan PSAK IFRS secara bertahap. Kemudian dilakukan evaluasi terhadap dampak penerapan PSAK secara komprehensif.
21 Selama tahun 2008 sampai dengan 2010, yang relevan dalam penelitian ini, ada tujuh revisi PSAK yang secara efektif dilaksanakan. Revisi tujuh PSAK tersebut ditunjukkan dalam tabel 1 sebagai berikut : Tabel 1 Revisi PSAK yang Efektif Diimplementasikan 2008-2010 PSAK Tahun Revisi Tahun Implementasi PSAK 13 Properti Investasi 2007 2008 PSAK 16 Aset Tetap PSAK 30 Sewa PSAK 14 Persediaan PSAK 26 Biaya Pinjaman PSAK 50 Instrumen Keuangan : Penyajian dan Pengungkapan 2007 2007 2008 2008 2006 2008 2008 2009 2010 2010 PSAK 55 2006 Instrumen Keuangan : Pengakuan dan Pengukuran Sumber : Standar Akuntansi Keuangan per 1 Juni 2012 2010 2.1.6 Adopsi IFRS dan Manajemen Laba Pengadopsian IFRS di Indonesia bertujuan untuk menghasilkan laporan keuangan yang memiliki tingkat kredibilitas tinggi yang bermanfaat dalam pengambilan keputusan investasi, investor memerlukan informasi ekonomi dari
22 perusahaan yang terkait. Sebelum pengadopsian standar IFRS, pengukuran transaksi perusahaan menggunakan historical cost. Kelemahan dari historical cost adalah kurang mencerminkan kondisi yang sebenarnya. Pihak manajemen bisa memanfaatkan kelemahan historical cost untuk melakukan manajemen laba. Standar IFRS menggunakan pengukuran berdasarkan nilai wajar, terutama properti investasi, beberapa aset tak berwujud, aset keuangan, dan aset biologis. Keuntungan menggunakan nilai wajar adalah bahwa pos-pos aset dan liabilitas yang dimiliki lebih mencerminkan nilai yang sebenarnya pada saat tanggal laporan keuangan. Dengan demikian peralihan dari biaya historis ke nilai wajar diharapkan akan mengurangi manajemen laba yang dilakukan oleh manajemen. Sebagai contoh, ketika nilai-nilai wajar tersebut diestimasi dengan menggunakan model penilaian, manajer dapat mempengaruhi estimasi melalui pilihan model dan parameter mereka, sehingga lebih membuka peluang untuk melakukan manajemen laba (Capkun et al., 2013). Penerapan standar IFRS di Indonesia akan berdampak pada semakin sedikitnya pilihan-pilihan metode akuntansi yang dapat diterapkan oleh manajemen sehingga dapat meminimalisir praktek manajemen laba. Ewert dan Wagenhof (2005) menyatakan bahwa standar akuntansi yang semakin ketat dapat menurunkan manajemen laba dan meningkatkan kualitas pelaporan keuangan. Webster dan Thompson (2005) menguji kualitas laba dari perusahaan Kanada yang terdaftar di Bursa Efek Kanada dan Amerika dimana perusahaan Kanada yang menggunakan standar akuntansi yang principal based (IFRS) mempunyai
23 kualitas akrual yang lebih tinggi dibandingkan perusahaan Amerika yang menggunakan US GAAP yang rules based. 2.1.7 Leverage dan Manajemen Laba Ada dua sumber bagi perusahaan untuk membiayai aset mereka. Perusahaan dapat menggunakan sumber internal modal yaitu ekuitas, atau mengandalkan sumber eksternal, yaitu hutang. Leverage adalah hutang sumber dana yang digunakan oleh perusahaan untuk membiayai asetnya di luar sumber dana modal atau ekuitas. Leverage dibagi menjadi dua yaitu leverage operasi (operating leverage) dan leverage keuangan (financial leverage). Leverage operasi adalah suatu indikator perubahan laba bersih yang diakibatkan oleh besarnya volume penjualan sedangkan leverage keuangan menunjukkan kemampuan perusahaan dalam membayar hutang dengan equity yang dimilikinya. Leverage mengukur porsi aset perusahaan yang dibiayai menggunakan sumber modal eksternal atau hutang. Apabila nilai leverage tinggi berarti sebagian besar aset perusahaan dibiayai dengan menggunakan hutang dan hutang memiliki porsi yang lebih besar dalam struktur modal. Hubungan antara leverage dan praktek manajemen laba dapat dijelaskan dengan menggunakan teori perjanjian hutang dari teori akuntansi positif. Leverage yang tinggi ditemukan berkorelasi dekat dengan pelanggaran perjanjian hutang (Press dan Weintrop, 1990). Dengan demikian, manajer di perusahaan dengan leverage yang tinggi cenderung untuk melakukan manajemen laba dan memilih prosedur akuntansi yang meningkatkan pelaporan laba. Selain itu, leverage yang
24 tinggi juga dapat dikaitkan dengan tekanan finansial. DeAngelo, DeAngelo, dan Skinner (1994) mencatat bahwa secara finansial perusahaan bermasalah cenderung memiliki akrual negatif yang besar yang berkaitan dengan kontrak negosiasi ulang yang menyediakan insentif untuk mengurangi laba. Agnes Utari Widyaningdyah (2001) menyatakan terdapat hubungan positif antara leverage dengan manajemen laba. 2.1.8 Ukuran Perusahaan dan Manajemen Laba Ukuran perusahaan dapat mempengaruhi manajemen laba dimana perusahaan besar memiliki aktivitas operasional yang lebih kompleks sehingga memungkinkan dilakukannya manajemen laba. Perusahaan besar juga menghadapi public demand atas informasi yang tinggi sehingga perusahaan harus mengungkapkan lebih banyak informasi. Ukuran perusahaan, diukur dengan total aset, dapat digunakan untuk menggambarkan karakteristik perusahaan. Ukuran menggambarkan kemampuan operasi perusahaan, seperti efektivitas pengendalian internal dan tata kelola perusahaan. Ukuran juga menggambarkan reputasi perusahaan. Perusahaan besar biasanya tumbuh dengan membentuk kredibilitas dan tanggung jawab sosial dalam komunitas bisnis dan pasar, termasuk kredibilitas dan akuntabilitas informasi keuangan yang dilaporkan. Selain itu, perusahaan besar biasanya mempunyai banyak penyedia modal yaitu investor, analis, dan kreditor. Oleh karena itu, perusahaan besar biasanya cenderung lebih banyak menarik perhatian dan pengawasan dari investor, analis, kreditur, dan pemegang saham.
25 Perusahaan besar memiliki tata kelola perusahaan yang baik, prosedur pengendalian internal yang efektif, auditor internal yang profesional, kecenderungan untuk mempertahankan reputasi, dan banyaknya jumlah pemegang saham yang tertarik, serta menjamin kualitas yang baik dalam pelaporan keuangan, dengan cara membatasi dan mendemotivasi manajer untuk terlibat dalam manajemen laba. Kim et al. (2003) melakukan penelitian yang secara spesifik memfokuskan pada hubungan antara ukuran perusahaan dengan manajemen laba, dan berhasil membuktikan hipotesis mereka bahwa perusahaan dengan ukuran apapun terindikasi melakukan manajemen laba melalui mekanisme pelaporan laba positif untuk menghindari earnings losess. Sedangkan penelitian Handayani dan Agustono (2009) meneliti bahwa perusahaan berukuran sedang dan besar tidak lebih agresif melakukan manajemen laba melalui mekanisme pelaporan laba positif, untuk menghindari pelaporan penurunan laba (earnings decreases) dibandingkan dengan perusahaan kecil. 2.2 Rerangka Pemikiran Penerbitan IFRS oleh IASB bertujuan untuk menunjukkan transparansi dan komparabilitas laporan keuangan antar negara di dunia, selain itu IFRS bertujuan untuk meningkatkan kualitas dari pelaporan keuangan. Dengan terjaganya kualitas pelaporan keuangan akan mengurangi management discretion dalam memanipulasi laba. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh adopsi IFRS, leverage, dan ukuran perusahaan terhadap manajemen laba. Sebelum IFRS
26 diadopsikan ke PSAK, PSAK di Indonesia berbasis US GAAP (rules based) namun setelah proses pengadopsian IFRS pada tahun 2006-2010, PSAK di Indonesia berbasis IFRS (principal based). Pergantian PSAK berbasis US GAAP ke PSAK berbasis IFRS sebagai standar akuntansi diharapkan dapat menekan angka pertumbuhan praktek manajemen laba. Leverage sebagai pengukuran proporsi aset berdasarkan hutang sebagai sumber dana untuk pembiayaan aset. Berdasarkan teori akuntansi positif dalam hipotesis kesepakatan hutang dan teori keagenan, manajer akan berupaya untuk mewujudkan tujuannya demi keuntungan tersendiri, sehingga manajer akan berusaha mengatur manajemen perusahaan sedemikian rupa demi keuntungan tersebut. Sedangkan ukuran perusahaan berhubungan dengan kemampuan perusahaan untuk membangun dan mengatur pengendalian internal dan corporate governance, serta reputasi dan daya tarik bagi para pemangku kepentingan, yang di mana hal ini menjadi motivasi manajemen untuk terlibat dalam manajemen laba. Nilai absolut dari total akrual dan arus kas perusahaan dari aktivitas operasi digunakan sebagai variabel kontrol. Nilai absolut dari total akrual untuk mengendalikan kemungkinan bahwa perusahaan dengan nilai absolut lebih besar dari total akrual juga memiliki akrual diskresioner yang lebih besar. Arus kas perusahaan dari aktivitas operasi digunakan untuk mengontrol kinerja perusahaan yang mempengaruhi manajemen laba. Adapun pengembangan rerangka pemikiran di atas tertuang dalam gambar 1 sebagai berikut :
27 PSAK (US GAAP) RULES BASED Hutang sumber dana yang digunakan untuk membiayai aset Kemampuan operasi perusahaan ADOPSI IFRS 2006-2010 LEVERAGE Total aset yang dimiliki perusahaan PSAK (IFRS) PRINCIPAL BASED PERUSAHAAN PUBLIC PERUSAHAAN NON PUBLIC Manajemen Perusahaan Planning Organizing Directing Pengendalian oleh manajer Manajer sebagai decision making Manajer termotivasi melakukan management discretion Teori akuntansi positif Manajemen Laba Gambar 1 Rerangka Pemikiran
28 2.3 Perumusan Hipotesis Berdasarkan pembahasan pada tinjauan teoritis dan penelitian terdahulu, maka dapat dikemukakan hipotesis dalam penelitian ini sebagai berikut : H 1 : Adopsi IFRS berpengaruh terhadap manajemen laba. H 2 : Leverage berpengaruh terhadap manajemen laba. H 3 : Ukuran perusahaan berpengaruh terhadap manajemen laba.