AKIBAT HUKUM TIDAK DIEKSEKUSINYA PUTUSAN PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DALAM PERSELISIHAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA

dokumen-dokumen yang mirip
UPAYA PERLAWANAN HUKUM TERHADAP EKSEKUSI PEMBAYARAN UANG DALAM PERKARA PERDATA (Studi Kasus Pengadilan Negeri Surakarta)

KEKUATAN HUKUM AKTA PERDAMAIAN MELALUI PROSES PENGADILAN DAN DILUAR PENGADILAN

SEFI AYU KURNIA WATI, Dr. Abdul Rachmad Budiono SH.,MH, Ratih Dheviana Puru Hitaningtyas SH.,LLM. Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

EKSEKUSI RIEL PUTUSAN HAKIM TERHADAP BENDA TIDAK BERGERAK

EKSEKUSI TANAH TERHADAP PUTUSAN SERTA MERTA Muhammad Ilyas,SH,MH Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar

BAB I PENDAHULUAN. pertentangan tersebut menimbulkan perebutan hak, pembelaan atau perlawanan

Lex Administratum, Vol. III/No.3/Mei/2015

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

EKSEKUSI TERHADAP KEPUTUSAN HAKIM YANG MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM TETAP DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan

BAB 1 PENDAHULUAN. Liberty, 1981), hal ), hal. 185.

Christian Daniel Hermes Dosen Fakultas Hukum USI

PPHI H. Perburuhan by DR. Agusmidah, SH, M.Hum

AKIBAT HUKUM PEMBATALAN TERHADAP AKTA PERDAMAIAN (ACTA VAN DADING) OLEH SALAH SATU PIHAK YANG BERPERKARA DI PENGADILAN

BAB III UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN PEKERJA KONTRAK YANG DI PHK SEBELUM MASA KONTRAK BERAKHIR

PELAKSANAAN EKSEKUSI PUTUSAN PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL YANG NILAI GUGATANNYA DI BAWAH Rp ,- DI PENGADILAN NEGERI PONTIANAK

Oleh Anak Agung Lita Cintya Dewi I Made Dedy Priyanto Ida Bagus Putu Sutama. Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Perdata (Burgerlijkrecht) ialah rangkaian peraturan-peraturan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN PERDAMAIAN DALAM PENYELESAIAN PERKARA PERDATA NASKAH PUBLIKASI SKRIPSI

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA. Oleh: NY. BASANI SITUMORANG, SH., M.Hum. (Staf Ahli Direksi PT Jamsostek)

SKRIPSI. Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh:

BAB IV. tunduk dan patuh pada putusan yang dijatuhkan. 1

PENEGAKAN HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA KETENAGAKERJAAN MELALUI PERADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. Yati Nurhayati ABSTRAK

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 23/PUU-XIV/2016 Perselisihan Hubungan Industrial

BAB IV. ANALISIS TERHADAP PUTUSAN NO. 0688/Pdt.G/2011/PA.Tbn TENTANG PENCABUTAN GUGATAN TANPA PERSETUJUAN TERGUGAT DALAM PERKARA CERAI GUGAT

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia ada tata hukum yaitu tata tertib dalam pergaulan hidup

KEKUATAN PEMBUKTIAN ALAT BUKTI PENGAKUAN YANG DIBERIKAN DI LUAR PERSIDANGAN

BAB I PENDAHULUAN. mengadakan kerjasama, tolong menolong, bantu-membantu untuk

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan. Kehakiman mengatur mengenai badan-badan peradilan penyelenggara

ELIZA FITRIA

III. PUTUSAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN

PERSELISIHAN HAK ATAS UPAH PEKERJA TERKAIT UPAH MINIMUM KABUPATEN/KOTA (UMK) Oleh :

SEKITAR EKSEKUSI. (oleh H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu)

Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui kekuatan pembuktian alat bukti

BAB I PENDAHULUAN. putusan ini, hubungan antara kedua belah pihak yang berperkara ditetapkan untuk selamalamanya,

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak.

Oleh : Ayu Diah Listyawati Khesary Ida Bagus Putu Sutama. Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perikatan merupakan hubungan hukum yang tercipta karena adanya peristiwa

PEMBAYARAN BIAYA PERKARA PERDATA DALAM PRAKTIKNYA DI PENGADILAN NEGERI KLAS I.A PADANG. ABSTRACT

HUKUM ACARA PERDATA BAB I PENDAHULUAN

UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

KEKUATAN HUKUM DARI HASIL MEDIASI DI PENGADILAN

KESEPAKATAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) MELALUI PERJANJIAN BERSAMA DITINJAU DARI ASPEK HUKUM KETENAGAKERJAAN

ABSTRACT. * Tulisan ini bukan merupakan ringkasan skripsi **

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

PENYELESAIAN PERKARA GUGATAN PIHAK KETIGA /DERDEN VERZET

BAB IV PEMBAHASAN. Dasar pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan dispensasi nikah dibawah umur di Pengadilan Agama Bantul

UPAYA HUKUM TERHADAP PUTUSAN SELA SERTA PENGARUHNYA TERHADAP SUATU PERKARA PERDATA (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI DENPASAR)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang

UU No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL ANTARA PEKERJA DAN PENGUSAHA

BAB IV. memutuskan dan mengadili perkara Nomor: 207/Pdt. G/2011/PA. Kdr. tentang

DIPONEGORO LAW JOURNAL Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016 Website :

PROSEDUR PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

BAB I PENDAHULUAN. membuat keseimbangan dari kepentingan-kepentingan tersebut dalam sebuah

Lex Et Societatis Vol. V/No. 9/Nov/2017

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Implementasi UU 13/2003 terhadap Pemutusan Hubungan Kerja Disebabkan Perusahaan Dinyatakan Pailit

BAB I PENDAHULUAN. buruh dalam rangka memperjuangkan hak-haknya yang selama ini dirasakan tidak

PROSES PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN JURUS MENGHINDARI BIAYA PERKARA 1. Oleh: Agus S. Primasta, S.H. 2.

PROSES PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN JURUS MENGHINDARI BIAYA PERKARA 1 Oleh: Agus S. Primasta, S.H. 2

KAJIAN HUKUM PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA SENGKETA TANAH AKIBAT PERBUATAN MELAWAN HUKUM

file://\\ \web\prokum\uu\2004\uu htm

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA Nomor : 02 Tahun 2003 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

BAB 1 PENDAHULUAN. Tengker, cet. I, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2001), hal (Jakarta: Djambatan, 2002), hal. 37.

DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016 Website :

KAPAN PUTUSAN NIET ONTVANKELIJKE VERKLAARD DAPAT DIAJUKAN ULANG?

Perselisihan Hubungan Industrial

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 61/PUU.D-VIII/2010 Tentang Perlindungan dan Penghargaan Terhadap Hak-Hak Buruh

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi dengan sesamanya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, hal ini

BAB I PENDAHULUAN. Manusia hidup diatas tanah dan memperoleh bahan pangan dengan mendayagunakan. Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Bergabungnya Pihak Ketiga Dalam Proses Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase dan Permasalahan Yang Mungkin Timbul

CARA MENGAJUKAN GUGATAN DAN PERUBAHAN GUGATAN DALAM PRAKTEK PERADILAN HUKUM ACARA PERDATA

SIFAT KHUSUS PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

BAB III LANDASAN TEORI. A. Pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak. 2 Perjanjian kerja wajib

BAB I PENDAHULUAN. yaitu Bouman, mengungkapkan bahwa manusia baru menjadi manusia. adanya suatu kepentingan (Nurnaningsih Amriani, 2012: 11).

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN KERJA DI PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEGAL ACTIONS VERZET AGAINTS EXECUTION CONFISCATION IN CIVIL CASE AT DISTRICT COURT SEMARANG (CASE STUDY COURT DECISION NO. 152/Pdt.Plw/2006/PN.

EFEKTIVITAS PELAKSANAAN MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2003 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. membuat manusia mampu menjalani kehidupannya. Contoh kecil yaitu manusia tidak bisa

BERACARA DALAM PERKARA PERDATA Sapto Budoyo*

HAK TERSANGKA UNTUK MENDAPATKAN BANTUAN HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN

TINJAUAN TENTANG HAKIM AD-HOC TERKAIT DENGAN ASPEK IMPARSIAL DALAM PRAKTEK PERADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

2015, No tidaknya pembuktian sehingga untuk penyelesaian perkara sederhana memerlukan waktu yang lama; d. bahwa Rencana Pembangunan Jangka Mene

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. Oleh : Gunarto, SH, SE, Akt,MHum

BAB I PENDAHULUAN. * Dosen Pembimbing I ** Dosen Pembimbing II *** Penulis. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan sehari-hari seringkali terjadi gesekan-gesekan yang timbul diantara. antara mereka dalam kehidupan bermasyarakat.

PANDUAN WAWANCARA. proses mediasi terhadap perkara perceraian? b. Apa ada kesulitan dalam menerapkan model-model pendekatan agama?

Anda Stakeholders? Yuk, Pelajari Seluk- Beluk Penyelesaian Sengketa di Pengadilan Hubungan Industrial

PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. OLEH : Prof. Dr. H. Gunarto,SH,SE,Akt,M.Hum

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia usaha yang diwarnai dengan semakin. pihak yang terlibat dalam lapangan usaha tersebut, sangat berpotensi

Transkripsi:

1 AKIBAT HUKUM TIDAK DIEKSEKUSINYA PUTUSAN PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DALAM PERSELISIHAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA Nazhiva Anjani, Ummu Hilmy SH.MS, Ratih Dheviana Puru Hitaningtyas, S.H. Fakultas Hukum Universitas Brawijaya E-mail: nazhivaa@gmail.com Abstrak Adanya suatu putusan hakim yang memutuskan agar pengusaha mempekerjakan kembali buruh/pekerja. Namun pengusaha tersebut tidak menaati amar putusan untuk mempekerjakan kembali buruh/pekerja. Sumber hukum acara perdata utama yang berlaku untuk Pengadilan Negeri adalah HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement) dan RBg (Rechtsreglement Buitengewesten). HIR berlaku untuk Jawa dan Madura, sedangkan RBg berlaku untuk luar Jawa dan Madura. Pasal 57 Undang-undang Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial menegaskan, Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Hubungan Industrial adalah hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan di lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang diatur secara khusus dalam UU PPHI, HIR dan RBg tidak mengatur secara khusus eksekusi putusan pengadilan dimana pengadilan memerintahkan subjek hukum tertentu untuk melakukan perbuatan hukum, misalnya mempekerjakan kembali pekerja. Sementara itu UU PPHI juga tidak mengatur secara khusus eksekusi putusan dibidang PHK. Penelitian dilakukan dengan metode hukum normatif dengan menggunakan pendekatan kasus dan pendekatan perundang-undangan. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa akibat hukum yang terjadi apabila pengusaha tidak menaati amar putusan Pengadilan Hubungan Industrial artinya adalah pengusaha tersebut telah melakukan perbuatan melawan hukum, karena perbuatannya bertentangan dengan hak orang lain. Akibat hukum bentuknya adalah bahwa pengusaha tersebut harus menanggung ganti kerugian yang diderita oleh pekerja. Namun demikian jika hal ini yang terjadi, prosesnya amat panjang dan amat merugikan pekerja. Oleh karena itu sebaiknya selalu ada amar alternatif atas perintah mempekerjakan pekerja. Kata kunci: Eksekusi dan Pemutusan Hubungan Kerja Abstract There is presence of a verdict that decide employers rehire workers/employees. However, the employer does not comply with the ruling to reinstate workers/employees. The main source of civil procedural law applicable to the

2 District Court is HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement) and RBg (Rechtsreglement buitengewesten). HIR applies to Java and Madura, while RBg apply for outside Java and Madura. Article 57 of Law No. 2 of 2004 (Act of Industrial Dispute Settlement) asserted, procedural law applicable to the Industrial Relations Court is the law of civil procedure applicable in the courts in the General Court, except as specifically provided in the Act of Industrial Dispute Settlement, HIR and RBg not set specifically the execution of court decisions in which the court ordered certain legal subject to legal action, for example rehire workers. Meanwhile the proposed law does not specifically regulate the execution of the decision in the field of layoffs. The study was conducted by using the approach of normative law and the case law approach. From the results of this study concluded that the legal consequences occur if the employer does not comply with the ruling of the Industrial Relations Court means the employer has committed an unlawful act, because his actions conflict with the rights of others. Due to the shape of law is that the employer should bear the damages suffered by the worker. However, if this happens, the process is very long and very detrimental to workers. Therefore, it should always be an alternative verdict besides reinstate workers. Keywords : Execution and Termination A. PENDAHULUAN Pasal 1 angka 1 juncto pasal 2 UPPHI menegaskan bahwa ada 4 jenis perselisihan hubungan industrial, yaitu (1) perselisihan hak, (2) perselisihan kepentingan, (3) perselsihan pemutusan hubungan kerja, dan (4) perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan. Di antara beberapa lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diatur oleh UU PPHI, yaitu konsiliasi, arbitrase, mediasi, dan pengadilan hubungan industrial, lembaga Pengadilan Hubungan Industrial mempunyai kewenangan absolut untuk memeriksa dan memutus empat jenis perselisihan hubungan industrial tersebut. Perselisihan pemutusan hubungan kerja (selanjutnya disingkat PHK) mempunyai kekhususan karena dua hal, yaitu (1) frekuensinya, dan (2) substansinya. Frekuensi perselisihan PHK selalu di atas tiga jenis perselisihan lainnya. Hal ini dapat dilihat dari data putusan yang ada pada MA bahwa frekuensi perselisihan PHK paling banyak dibandingkan ketiga jenis perselisihan lainnya. Substansi perselisihan PHK mengandung kerumitan, sebab salah satu kemungkinan amar putusan Pengadilan Hubungan Industrial adalah

3 memerintahkan pengusaha untuk mempekerjakan kembali pekerja/buruh. 1 Ada persoalan tersendiri apabila pengusaha yang dierintah tersebut tidak dengan sukarela melaksanakan putusan Pengadilan Hubungan Industrial tersebut. Rangkaian prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial diakhiri dengan putusan Pengadilan Hubungan Industrial. Berikut ini diuraikan secara singkat rangkaian prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial menurut UPPHI. Akibat hukum tidak dieksekusinya putusan Pengadilan Hubungan Industrial dalam perselisihan pemutusan hubungan kerja. Dilatarbelakangi dengan adanya suatu putusan hakim yang memutuskan agar pengusaha mempekerjakan kembali buruh/pekerja. Namun pengusaha tersebut tidak menaati amar putusan untuk mempekerjakan kembali buruh/pekerja. Di dalam Undang-undang Nomor 2 tahun 2004 menjelaskan bahwa hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Hubungan Industrial adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Terjadi kekosongan hukum, artinya tidak ada undang-undang yang mengatur secara khusus mengenai eksekusi putusan Pengadilan Hubungan Industrial. Pasal 1 angka 17 UU PPHI menegaskan, Pengadilan Hubungan Industrial adalah pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial. Sebagai pengadilan di lingkungan Pengadilan Negeri, eksekusi putusan Pengadilan Hubungan Industrial mengikuti regulasi eksekusi yang berlaku untuk Pengadilan Negeri, kecuali UU PPHI menentukan lain. Eksekusi putusan pengadilan adalah salah satu wujud penyelesaian suatu perselisihan, sebab salah satu kewenangan pengadilan adalah menyelesaikan suatu perselisihan. Pasal 50 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum menegaskan, Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama. 1 Di dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, istilah pekerja dipadankan dengan istilah buruh. Di dalam skripsi ini digunakan istilah pekerja dengan alasan efisiensi.

4 Sumber hukum acara perdata utama yang berlaku untuk Pengadilan Negeri adalah HIR (Het Herziene indonesisch Reglement) dan RBg (Rechtsreglement Buitengewesten). HIR berlaku untuk Jawa dan Madura, sedangkan RBg berlaku untuk luar Jawa dan Madura. Pasal 57 UU PPHI menegaskan, Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Hubungan Industrial adalah hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan di lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang diatur secara khusus dalam undang-undang ini. Dengan pasal ini berarti, kecuali diatur secara khusus dalam UU PPHI, HIR dan RBg berlaku pada Pengadilan Hubungan Industrial. Persoalannya adalah bahwa HIR dan RBg tidak mengatur secara khusus eksekusi putusan pengadilan di mana pengadilan memerintahkan subjek hukum tertentu untuk melakukan perbuatan hukum, misalnya mempekerjakan kembali pekerja. B. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : apa akibat hukum apabila pengusaha tidak menaati amar putusan Pengadilan Hubungan Industrial dalam perselisihan hubungan industrial untuk mempekerjakan kembali pekerja? C. Pembahasan Penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian hukum Normatif, karena penelitian dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan yaitu Undangundang Nomor 2 Tahun 2004. Penelitian normatif ini bertujuan untuk mengetahui akibat hukum yang terjadi apabila tidak dieksekusinya putusan pengadilan hubungan industrial dalam perselisihan pemutusan hubungan kerja. Metode penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasar logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. 2 Penelitian hukum normatif berawal dari ketidakjelasan norma, baik karena kekosongan norma, kekaburan norma, maupun pertentangan norma (konflik norma). Norma hukum dapat berupa hukum positif bentukan lembaga Perundangundangan (Undang Undang Dasar, kodifikasi, Undang-undang, Peraturan 2 Johny Ibrahim,. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media, Malang, 2007, hlm 57

5 Pemerintah, dan seterusnya) dan norma hukum tertulis bentukan lembaga peradilan (judge made law), serta norma hukum tertulis buatan pihak-pihak yang berkepentingan (kontrak, rancangan Undang-undang). 3 Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan Perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach). Pendekatan Perundang-undangan berusaha mengkaji Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan tema penelitian. Pendekatan kasus dimaksudkan untuk mempelajari secara intensif tentang latar belakang masalah keadaan dan posisi suatu peristiwa yang sedang berlangsung saat ini, serta interaksi lingkungan unit sosial tertentu yang bersifat apa adanya. Istilah eksekusi memiliki arti sebagai suatu tindakan hukum yang dilakukan pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara. Hal ini merupakan bagian suatu proses pemeriksaaan perkara. Dalam pengertian yang lain eksekusi putusan perdata berarti menjalankan putusan dalam perkara perdata secara paksa sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku karena pihak tereksekusi tidak bersedia melaksanakan secara sukarela. 4 Menjalankan putusan pengadilan, tidak lain daripada melaksanakan isi putusan pengadilan, yakni melaksanakan secara paksa putusan pengadilan dengan bantuan alat-alat negara apabila pihak yang kalah tidak mau menjalankannya secara sukarela. Pada masa belakangan ini, menurut Yahya hampir baku dipergunakan istilah hukum eksekusi atau menjalankan eksekusi. 5 Tujuan pihak-pihak yang berperkara menyerahkan perkara, khususnya perkara perdata kepada pengadilan adalah untuk menyelesaikan permasalahan secara tuntas dan menemukan kepastian hukum melalui putusan pengadilan. Pada prinsipnya, hanya putusan yang berkekuatan hukum tetap yang dapat dilaksanakan putusannya, yaitu putusan pengadilan yang bersifat kondemnatoir, karena putusan telah berkekuatan hukum tetap, didalamnya mengandung hubungan hukum yang tetap dan pasti, antara pihak yang berperkara. Amar yang 3 Abdulkadir Muhammad. Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2004, hlm 52 4 Wildan Suyuthi, Sekitar Acara dan Hukum Perdata Agama, PUSDIKLAT Pegawai Mahkamah Agung RI, 2005, hlm. 59 5 Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Jakarta, Sinar Grfika, 2007, hlm. 6

6 berciri kondemnatoir, secara sederhana merupakan amar yang dapat dieksekusi apabila tergugat enggan secara sukarela memenuhi putusan. Selanjutnya tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu putusan pengadilan dinamakan eksekusi. 6 Sesuai dengan ketentuan Pasal 57 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan Hubungan Industrial adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang diatur secara khusus dalam undang-undang ini. Ketentuan tersebut berarti menegaskan bahwa Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 merupakan Lex specialist derogate legi generalis dengan pengertian bahwa segala sesuatu yang telah diatur secara khusus dalam ketentuan Undangundang Nomor 2 Tahun 2004 dapat mengesampingkan ketentuan hukum acara yang berlaku secara umum. Di dalam buku Sudikno 7, Hukum Acara Perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata material dengan perantara hakim. Dengan perkataan lain hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata material. Lebih konkrit lagi dapat dikatakan, bahwa hukum acara perdata mengatur tentang bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutusnya dan pelaksanaan dari pada putusannya. Tuntutan hak dalam hal ini tidak lain adalah tindakan yang bertujuan memperoleh perlindungan hukum yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah tindakan menghakimi sendiri. Tindakan menghakimi sendiri merupakan tindakan untuk melaksanakan hak menurut kehendaknya sendiri yang bersifat sewenang-wenang, tanpa persetujuan dari pihak lain yang berkepentingan, sehingga akan menimbulkan kerugian. hlm 2 6 A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata, Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2000, hlm. 314 7 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta, Liberty, 1999,

7 Tugas dan kewenangan badan peradilan dibidang perdata adalah menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan sengketa diantara para pihak yang berperkara. Hal inilah yang menjadi tugas pokok peradilan. Dalam perkara gugatan ada suatu sengketa atau konflik yang harus diselesaikandan diputus oleh pengadilan. Dalam suatu gugatan ada seorang atau lebih yang merasa bahwa haknya atau hak mereka telah dilanggar, akan tetapi orang yang dirasa melanggar haknya atau hak mereka itu, tidak mau secara sukarela melakukan sesuatu yang diminta itu. Untuk penentuan siapa yang benar dan berhak, diperlukan adanya suatu putusan hakim. Disini hakim benar-benar berfungsi sebagai hakim yang mengadili dan memutus siapa diantara pihak-pihak tersebut yang benar dan siapa yang tidak benar. 8 Suatu putusan hakim merupakan suatu pernyataan yang dibuat secara tertulis oleh hakim sebagai pejabat Negara yang diberi wewenang untuk itu yang diucapkan dimuka persidangan sesuai dengan perundangan yang ada yang menjadi hukum bagi para pihak yang mengandung perintah kepada suatu pihak supaya melakukan suatu perbuatan atau supaya jangan melakukan suatu perbuatan yang harus ditaati. Menurut Sudikno Mertokusumo Putusan hakim adalah: suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat yang diberi wewenang itu, diucapkan dipersidangan dan bertujuan mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak. 9 Setelah adanya putusan tersebut, apabila salah satu dari kedua belah pihak masih tidak puas akan putusan oleh hakim, ia dapat melakukan upaya hukum. Upaya hukum merupakan upaya yang diberikan oleh undang-undang kepada seseorang atau badan hukum untuk hal tertentu untuk melawan putusan hakim sebagai tempat bagi pihak-pihak yang tidak puas dengan putusan hakim yang dianggap tidak sesuai dengan apa yang diinginkan, tidak memenuhi rasa keadilan, karena hakim juga seorang manusia yang dapat melakukan kesalaha/kekhilafan sehingga salah memutuskan atau memihak salah satu pihak. 174 8 Subekti, Hukum Acara Perdata, Binacipta, Bandung, 1989, hlm 129 9 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Jogyakarta,1993, hlm

8 Jika di dalam hukum acara dikenal bermacam-macam gugatan dengan sengketa yang berbeda, dalam PHI hanya dikenal empat macam perselisihan yaitu perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. Dan jika dalam hukum acara perdata tidak ada batasan perkara tertentu untuk Banding dan Kasasi. Setiap pihak yang bersengketa tidak puas dengan putusan hakim, ia berhak untuk mengajukan upaya banding. Pada PHI tidak ada upaya banding, ada kasasi tapi untuk perkara tertentu. Untuk menjamin penyelesaian yang cepat, tepat, adil, dan murah, penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui PHI yang berada pada lingkungan peradilan umum dibatasi proses dan tahapannya dengan tidak membuka kesempatan lagi untuk mengajukan upaya banding ke Pengadilan Tinggi. Putusan PHI pada Pengadilan Negeri yang menyangkut perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja dapat langsung dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung. Sedangkan putusan PHI pada Pengadilan Negeri yang menyangkut perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/ serikat buruh dalam satu perusahaan merupakan putusan tingkat pertama dan terakhir yang tidak dapat dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung. Kemudian yang membedakan pada gugatan dalam Hukum Acara Perdata diajukan ke Pengadilan Negeri di wilayah di mana Tergugat tinggal. Atau bila ditentukan dalam Perjanjian, maka akan mengikuti sesuai dengan Pengadilan Negeri di wilayah sesuai dengan kesepakatan para pihak dan tertuang dalam Perjanjian tersebut. Berbeda dengan PHI, gugatan diajukan ke pengadilan negeri di wilayah di mana pekerja bekerja. Hal ini kadang membuat buruh bingung saat menafsirkan dalam UU PPHI apa yang dimaksud tempat pekerja bekerja. Contoh kasus, seorang pekerja bekerja di sebuah pabrik di Tangerang dan bertempat tinggal di Depok. Sementara kantor pusat pabrik itu berada di Jakarta. Di mana pekerja akan mengajukan gugatan perselisihan hubungan industrial yaitu di Tangerang. Ada dua kemungkinan amar putusan perselisihan pemutusan hubungan kerja. Yang pertama adalah mengabulkan untuk terjadi pemutusan hubungan kerja. Yang kedua adalah menolak pemutusan hubungan kerja (PHK) disertai

9 perintah untuk mempekerjakan pekerja/buruh. Hal ini berdasarkan pertimbangan praktis bahwa tidak pernah terjadi pekerja/buruh memphk pengusaha. HIR dan RBg tidak mengatur secara khusus mengenai eksekusi putusan untuk melakukan perbuatan hukum tertentu. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI) pun tidak mengatur mengenai hal tersebut. Berarti ada kekosongan hukum mengenai hal tersebut. Jenis-jenis dari perselisihan dalam hubungan industrial adalah perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh yang hanya dalam satu perusahaan. Jenis-jenis perselisihan hubungan industrial yang ada tersebut apabila perselisihan tersebut diajukan proses penyelesaiannya melalui Pengadilan hubungan industrial maka apabila telah keluar putusan dari perkara tersebut dan pihak yang kalah tidak mau dengan sukarela melaksanakan putusan tersebut, maka pihak yang menang dapat mengajukan permohonan pelaksanaan putusan (eksekusi) kepada Ketua Pengadilan Negeri. Pelaksanaan putusan (eksekusi) yang dilakukan oleh pihak yang berwenang sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh ketua Pengadilan, dalam praktiknya tidak semuanya berjalan dengan lancar. Pastinya banyak hambatan-hambatan yang terjadi dalam proses pelaksanaan putusan (eksekusi) tersebut yang ditemui dilapangan. Pelaksanaan eksekusi itu sendiri tidak mudah untuk dilaksanakan, maka sebab itu tidak menutup kemungkinan bahwa dalam pelaksanaannya nantinya ditemukan hambatan-hambatan yang dapat mempengaruhi pelaksanaan eksekusi tersebut tidak dapat dilaksanakan. Masalah yang terjadi adalah bahwa pengusaha bermaksud memphk pekerjanya. Prosedur telah ditempuh dan berakhir di Pengadilan Hubungan Industrial. Pengadilan Hubungan Industrial telah mengeluarkan putusan untuk perkara ini, yaitu bahwa PHI menolak permohonan untuk memphk pekerja dan disertai pengusaha harus mempekerjakan kembali pekerjanya. Ada masalah apabila Pengusaha tidak dengan sukarela melaksanakan amar putusan Pengadilan Hubungan Industrial yang memutuskan bahwa pengusaha untuk mempekerjakan

10 kembali pekerja. Setelah perselisihan hubungan industrial itu diputuskan, pihak yang kalah wajib melaksanakan isi putusan tersebut. Namun apabila pihak yang kalah itu tidak mau melaksanakan putusan tersebut secara sukarela, maka pihak yang menang dalam berperkara tersebut dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri untuk melaksanakan putusan tersebut. Biasanya permohonan eksekusi tersebut disebut dengan permohonan teguran (aanmaning). Sesuai dengan salah satu asas eksekusi yang telah dijelaskan pada Bab sebelumnya, bahwa putusan tersebut dapat dimohonkan permohonan untuk eksekusi apabila telah mempunyai hukum tetap artinya sudah tidak bisa untuk diupayakan lagi ke jalur pengadilan tingkat selanjutnya, apabila para pihak yang kalah tidak mau menjalankan putusan tersebut dengan sukarela, dan apabila putusan tersebut bersifat condemnatoir (menghukum). Barulah pihak yang menang dalam berperkara tersebut dapat mengajukan permohonan eksekusi terhadap Ketua Pengadilan Hubungan Industrial. Menurut pasal 109 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, yakni : putusan pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri mengenai perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/buruh dalam satu perusahaan merupakan putusan akhir dan bersifat tetap Antara perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/buruh dalam satu perusahaan tidak dapat diajukan upaya banding ataupun kasasi, sehingga putusan tersebut dapat segera dilaksanakan. Sedangkan untuk perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK) dapat diupayakan kembali untuk banding ataupun kasasi ke Mahkamah Agung selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja. Putusan pengadilan hubungan industrial tentang perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK) bukan berarti tidak dapat dieksekusi. Putusan tersebut dapat dieksekusi apabila tidak dimintakan upaya hukum kasasi oleh pihak yang kalah karena apabila putusan tersebut tidak dimintakan upaya kasasi maka putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, namun apabila

11 putusan perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK) tersebut telah dimintakan upaya hukum kasasi maka harus menunggu putusan hakim kasasi terlebih dahulu karena putusan kasasi merupakan putusan yang sudah berkekuatan hukum yang tetap barulah dapat dimohonkannya pelaksanaan eksekusi putusan tersebut. Majelis hakim yang memimpin jalannya persidangan hubungan industrial dalam mengambil keputusan harus mempertimbangkan hukum, perjanjian yang ada, kebiasaan dan keadilan. Ketika memutuskan suatu perselisihan hubungan industrial, majelis hakim wajib terlebih dahulu menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat agar putusan hakim itu nantinya sudah sesuai dengan hukum dan keadilan yang ada dimasyarakat. 10 Perkara yang isi amar putusannya mempekerjakan kembali, biasanya terjadi pada perselisihan pemutusan hubungan kerja (yang selanjutnya akan disebut PHK). Majelis hakim yang memimpin persidangan dengan perkara perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK) setelah melihat bukti-bukti perjanjian-perjanjian serta fakta-fakta hukum yang dihadirkan dipersidangan, maka majelis hakim memutuskan untuk pihak pekerja tidak layak diphk dan memerintahkan untuk mempekerjakan kembali. Apabila buruh/pekerja tersebut sudah diphk secara sepihak oleh pihak pengusaha dan dilarang untuk masuk kembali ke perusahaan, maka secara sosial para pekerja/buruh yang telah diphk tersebut untuk dipekerjakan kembali agak sulit bahkan tidak pernah terjadi lagi hal tersebut, karena penilaian dari pengusaha tentang pekerja/buruh tersebut sudah negatif atau sudah dinilai sebagai pembuat masalah di perusahaan tersebut. Pelaksanaan putusan hakim yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap dan isi amar putusannya tersebut adalah mempekerjakan kembali, meskipun pihak yang menang tersebut telah mengajukan permohonan eksekusi kepada ketua Pengadilan hubungan industrial pada, tapi pada kenyataannya pihak pengusaha tidak mau untuk melaksanakan putusan hakim tersebut, karena tadi faktor penilaian dari pengusaha kepada pekerja/buruh tersebut sudah buruk. Nantinya akan berdampak 10 Farid Mu azd, Pengadilan Hubungan Industrial dan Alternative Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial di Luar Pengadilan, Jakarta, 2006, hlm 127

12 diperlakukan tidak baik oleh pengusaha terhadap pekerja/buruh yang bersangkutan. Meskipun pada akhirnya pihak pengusaha mau melaksanakan putusan tersebut, namun nanti pada akhirnya pihak pekerja/buruh tersebut yang mengundurkan diri sendiri karena faktor sosial dan pergaulan dalam perusahaan tadi yang sulit untuk diterima kembali, bahkan sudah dinilai buruk oleh pengusaha itu kedepannya juga tidak baik untuk kinerja pekerja/buruh tersebut untuk perusahaan tersebut. Hakim juga harus lebih membuat keputusan yang semaksimal mungkin tidak mempersulit para pihak untuk kedepannya. Dalam hal ini diupayakan agar hakim dapat menjatuhkan hukuman dalam putusannya, yang nantinya hukuman tersebut dapat dilaksanakan oleh pihak yang kalah dalam berperkara karena apabila putusan tersebut tidak bersifat menghukum maka pada asasnya putusan tersebut sudah tidak dapat dilakukan eksekusi. Salah satu contoh dari putusan yang tidak bersifat condemnatoir adalah putusan yang amar putusannya tidak menghukum sejumlah uang atau barang. Hakim mengupayakan untuk faktor putusan yang isi amar putusannya mempekerjakan kembali untuk dihindari dalam mengambil keputusan, karena apabila amar putusannya mempekerjakan kembali nantinya berakibat fatal kepada pihak pekerja/buruh yang nantinya apabila amar putusannya itu dilaksanakan akan memperoleh perbedaan sosial yang diterima oleh pekerja/buruh apabila diperkerjakan kembali sesuai dengan amar putusan tersebut. Tetapi apabila memang harus memberikan putusan yang amar putusannya mempekerjakan kembali, maka juga harus disertai dengan uang paksa (Dwangsom) yang nantinya uang paksa tersebut sebagai hukuman apabila pihak yang kalah dalam berperkara tidak mau menjalankan putusannya. Agar putusan yang amar putusannya mempekerjakan kembali dapat dilaksanakan dengan sukarela. Para hakim pun pasti telah berupaya sebaik mungkin untuk penyelesaian kasus pemutusan hubungan kerja ini. Hakim tidak dapat menolak perkara tersebut dengan alasan apapun. Namun para hakim disini lebih mementingkan kepentingan bagi para pekerja yang berselisih. Agar nantinya hak-hak yang akan diperoleh dari putusan tersebut untuk para pekerja dapat diperoleh dengan maksimal dan

13 juga dapat dirasakan seadil-adilnya untuk semua pihak. Menurut penulis, untuk menciptakan keadaan yang seadil-adilnya serta tidak ada kejadian-kejadian yang tidak diinginkan terjadi pada pelaksanaan eksekusi putusan hakim tersebut berlangsung, tidak diinginkan artinya pada pelaksanaan eksekusi tersebut berlangsung terjadi juga demo besar-besaran yang dilakukan oleh pihak pekerja, yang nantinya ditakutkan akan menambah resiko serta kerugian yang dialami oleh para pihak. Sebelum pelaksanaan eksekusi itu berlangsung alangkah baiknya untuk dirundingkan terlebih dahulu untuk menciptakan situasi dan kondisi yang kodusif agar kepentingan semua pihak dapat telaksana dengan lancar tanpa ada lagi hambatan-hambatan. Isi dari putusan tersebut memang harus disertai dengan uang paksa (Dwangsom). Karena apabila dipaksakan pengusaha mempekerjakan kembali pekerja tersebut, tentu nantinya akan menciptakan suasana yang tidak kondusif di dalam lapangan pekerjaan bagi pekerja tersebut dan pengusaha. Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Surabaya Nomor: 122/G/2007/PHI. SBY, Rabu, tanggal 19 September 2007, antara Salis (pekerja, sebagai penggugat) melawan PT Indozing Diecastieng (pengusaha, sebagai tergugat) diambil sebagai contoh. Dalam perkara ini, pengusaha (sebagai tergugat) tidak mau menjalankan amar putusan Pengadilan Hubungan Industrial yaitu untuk mempekerjakan kembali pekerja. Majelis Hakim telah berupaya untuk mendamaikan kedua belah pihak yang berperkara, akan tetapi tidak berhasil. Majelis Hakim menyatakan tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum yaitu dengan tidak mau menaatai amar putusan untuk mempekerjakan kembali pekerja. Akibat hukum yang diterima pengusaha tersebut adalah bahwa ia harus membayar dengan tunai uang pesangon untuk pekerja. Lewat putusan, hakim bisa memerintahkan agar pengusaha mempekerjakan pekerja/buruh. Hal ini berarti hakim memerintahkan agar pengusaha melakukan perbuatan hukum tertentu, yakni berupa mempekerjakan pekerja/buruh. Apabila hal ini tidak dilaksanakan, maka pengusaha tersebut telah melakukan perbuatan melawan hukum, karena perbuatannya bertentangan dengan hak orang lain. Akibat hukum bentuknya adalah bahwa pengusaha tersebut harus menanggung ganti kerugian yang diderita oleh pekerja. Namun demikian jika hal

14 ini yang terjadi, prosesnya amat panjang dan amat merugikan pekerja. Oleh karena itu sebaiknya selalu ada amar alternatif atas perintah mempekerjakan pekerja. D. Penutup F.1 Kesimpulan Ada amar putusan Pengadilan Hubungan Industrial dalam perkara Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang memerintahkan agar pengusaha mempekerjakan pekerja/buruh. Menurut hukum acara perdata yang bersumber pada: a) HIR; b) RBg; c) UU PPHI, amar putusan yang demikian itu bisa dieksekusi atau dilaksanakan karena bersifat condemnatoir atau penghukuman. Ada kemungkinan pengusaha tidak melaksanakan putusan untuk mempekerjakan pekerja/buruh tersebut. Jika pengusaha tidak melaksanakan putusan yang demikian itu maka pengusaha tersebut telah melakukan perbuatan melawan hukum. Akibat hukum apabila pengusaha tidak menaati amar putusan Pengadilan Hubungan Industrial dalam perselisihan hubungan industrial untuk mempekerjakan kembali pekerja adalah bahwa pengusaha tersebut harus menanggung kerugian. Kerugian ini bisa dihitung dari jumlah upah yang seharusnya diterima pekerja/buruh andaikata iya dipekerjakan kembali. F.2 Saran Maka upaya yang dilakukan apabila pengusaha tidak menaati amar putusan Pengadilan Hubungan Industrial dalam perselisihan hubungan industrial untuk mempekerjakan kembali pekerja diantaranya adalah dari majelis hakim Pengadilan Hubungan Industrial mengupayakan semaksimal mungkin untuk membuat putusan hakim yang sebenar-benarnya sesuai dengan kenyataan yang ada dan juga mempertimbangkan asas kemanusiaan dan sosial. Majelis hakim di Pengadilan Hubungan Industrial tidak perlu melanggar asas kehakiman yakni hakim tidak dapat menolak perkara tersebut dengan alasan apapun. Sebaiknya para hakim disini lebih mementingkan kepentingan bagi para buruh/pekerja yang berselisih. Agar nantinya hak-hak yang akan diperoleh dari putusan tersebut

15 untuk para buruh/pekerja dapat diperoleh dengan maksimal dan juga dapat dirasakan seadil-adilnya untuk semua pihak.

16 DAFTAR PUSTAKA A. Buku-buku : Abdulkadir Muhammad. Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004. A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000. Dr. Johny Ibrahim, S.H., M. H. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Bayu Media, Malang, 2007. Farid Mu azd, Pengadilan Hubungan Industrial dan Alternatif Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial di Luar Pengadilan, Jakarta, 2006. Subekti, Hukum Acara Perdata, Binacipta, Bandung: 1989. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1999. Wildan Suyuthi, Sekitar Acara dan Hukum Perdata Agama, PUSDIKLAT Pegawai Mahkamah Agung RI, 2005. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Jakarta: Sinar Grfika, 2007. B. Peraturan Perundang-undangan : Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Sinar Grafika, Jakarta, 2009 Undang-undang Nomor Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.

17 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement) RBg (Rechtsreglement Buitengewesten) C. Kamus : Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Cetakan Ketiga, Departemen Pendidikan Nasional Balai Pustaka, Jakarta, 2005