Pembenahan Pasokan Daging Sapi Melalui Sistem Logistik Nasional Senin, 10 Juni 2013

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAHAN MASUKAN PAPARAN DIRJEN PDN PADA LOKAKARYA KAKAO 2013 SESI MATERI: RANTAI TATA NIAGA KAKAO. Jakarta, 18 September 2013

V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

DAN. Oleh: Nyak Ilham Edi Basuno. Tjetjep Nurasa

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

Paket Kebijakan Ekonomi 9: Pemerataan Infrastruktur Ketenagalistrikan dan stabilisasi harga daging hingga ke desa

STUDI KASUS RANTAI PASOK SAPI POTONG DI INDONESIA

Kebijakan Pemerintah terkait Logistik Peternakan

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan yang dapat dinikmati secara merata oleh seluruh masyarakat. (Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Jumlah Tenaga Kerja Penduduk Indonesia (Badan Pusat Statistik, 2014)

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Inti dari adanya MEA adalah untuk

BAB I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mulai menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada awal. ekonomi kawasan ASEAN yang tercermin dalam 4 (empat) hal:

Bab 4 P E T E R N A K A N

BAB I PENDAHULUAN. beli masyarakat. Sapi potong merupakan komoditas unggulan di sektor

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

KEBIJAKAN PERGUDANGAN DI INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERDAGANGAN DALAM NEGERI KEMENTERIAN PERDAGANGAN

Menakar Penyediaan Daging Sapi dan Kerbau di dalam Negeri Menuju Swasembada 2014

I. PENDAHULUAN. pemenuhan protein hewani yang diwujudkan dalam program kedaulatan pangan.

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan subsektor peternakan merupakan bagian dari sektor

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai nilai sangat strategis. Dari beberapa jenis daging, hanya konsumsi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan daerah pada hakekatnya merupakan bagian integral dan

BAB I PENDAHULUAN. upaya terus ditempuh pemerintah guna mendorong pembangunan ekonomi

Yukki Nugrahawan Hanafi Ketua Umum DPP ALFI/ILFA

KAJIAN KEBIJAKAN TATA-NIAGA KOMODITAS STRATEGIS: DAGING SAPI. 20 Februari 2013 Direktorat Penelitian dan Pengembangan

DUKUNGAN KEBIJAKAN PERPAJAKAN PADA KONSEP PENGEMBANGAN WILAYAH TERTENTU DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Di era globalisasi saat ini, tingkat daya saing menjadi tolak ukur yang

PERKEMBANGAN BONGKAR BARANG

IV. GAMBARAN UMUM. 4.1 Gambaran Umum Perekonomian di Negara-negara ASEAN+3

PEMBANGUNAN KORIDOR EKONOMI DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara agraris yang mengandalkan sektor pertanian

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

6 PEMETAAN KARAKTERISTIK DISTRIBUSI HASIL TANGKAPAN

BAB I PENDAHULUAN. (Asia dan Australia), jelas ini memberikan keuntungan bagi negara indonesia

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR PROVINSI BENGKULU, AGUSTUS 2016

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia menjadi negara kepulauan terbesar yang ada di wilayah Asia Tenggara.

I. PENDAHULUAN. adanya ketimpangan dan ketidakmerataan. Salah satu penyebabnya adalah

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR PROVINSI BENGKULU

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Terwujudnya Kedaulatan Pangan dan Kesejahteraan Petani

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

Penyusutan Luas Lahan Tanaman Pangan Perlu Diwaspadai Rabu, 07 Juli 2010

V. EKONOMI GULA. dikonsumsi oleh masyarakat. Bahan pangan pokok yang dimaksud yaitu gula.

PERKEMBANGAN PERDAGANGAN INDONESIA - THAILAND PERIODE : JANUARI AGUSTUS 2014

I. PENDAHULUAN. perkembangan industrialisasi modern saat ini. Salah satu yang harus terus tetap

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5/PERMEN-KP/2014 TENTANG SISTEM LOGISTIK IKAN NASIONAL

SISTEM TRANSPORTASI DALAM MENDUKUNG EFISIENSI DISTRIBUSI

Gambar 3.A.1 Peta Koridor Ekonomi Indonesia

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan masyarakat. Sektor pertanian di Indonesia terdiri dari beberapa sub

IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP IMPORTASI ZONA BASED DAN KELEMBAGAANNYA. Pada Forum D i s k u s i Publik ke-15

CETAK BIRU PENGEMBANGAN SISTEM LOGISTIK NASIONAL BAB 1 PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. dari Departemen Pertanian, bahwa komoditas daging sapi. pilihan konsumen untuk meningkatkan konsumsi daging sapi.

I. PENDAHULUAN. oleh kelompok menengah yang mulai tumbuh, daya beli masyarakat yang

KARYA ILMIAH PELUANG USAHA PETERNAKAN SAPI

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sub sektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan

I. PENDAHULUAN. dalam hal lapangan pekerjaan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1.

PENUGASAN IMPORTASI DAN STABILISASI HARGA DAGING

Politik Pangan Indonesia - Ketahanan Pangan Berbasis Kedaulatan dan Kemandirian Jumat, 28 Desember 2012

PERKEMBANGAN EKSPOR, IMPOR, DAN NERACA PERDAGANGAN

REKOMENDASI OMBUDSMAN BRIEF T AT A NIAGA SAPI SALURAN PANJANG, NIAGA INFRAST SAPI RUKTUR DI NT T T IDAK MENUNJANG, PET ERNAK T IDAK SEJAHT ERA

I. PENDAHULUAN. penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan

PERKEMBANGAN PARIWISATA DAN TRANSPORTASI SUMATERA SELATAN OKTOBER 2016

BAB I PENDAHULUAN. merupakan produsen tepung terigu pertama dan terbesar di dunia, pabrik ini berada

Sistem Logistik Indonesia yang Berdaya Saing

KAJIAN PENGARUH KEBIJAKAN IMPOR SAPI TERHADAP PERKEMBANGAN USAHA TERNAK SAPI DI NTB

PERKEMBANGAN PARIWISATA DAN TRANSPORTASI SUMATERA SELATAN MARET 2017

I. PENDAHULUAN. dari penangkapan ikan di laut. Akan tetapi, pemanfaatan sumberdaya tersebut di

PROSPEK TANAMAN PANGAN

Kebijakan Percepatan Pembangunan Industri Perikanan Nasional

SUPPLY DEMAND MATERIAL DAN PERALATAN KONSTRUKSI DALAM RANGKA MENDUKUNG INVESTASI INFRASTRUKTUR NASIONAL

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

BAB I PENDAHULUAN. angka tersebut adalah empat kali dari luas daratannya. Dengan luas daerah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

PERKEMBANGAN TRANSPORTASI SUMATERA SELATAN MARET 2016

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat besar (mega biodiversity) berupa sumber

memberikan multiple effect terhadap usaha agribisnis lainnya terutama peternakan. Kenaikan harga pakan ternak akibat bahan baku jagung yang harus

PERKEMBANGAN PARIWISATA DAN TRANSPORTASI SUMATERA SELATAN AGUSTUS 2015

BAB 4 INDIKATOR EKONOMI ENERGI

BAB II PROFIL PERUSAHAAN. A. Sejarah Ringkas PT. Agung Sumatera Samudera Abadi

Studi Pengembangan Kapasitas dan Fasilitas Pelabuhan Dalam Mendukung MP3EI Koridor Sulawesi KATA PENGANTAR. Final Report

1.I. Latar Belakang lkan tuna sebagai salah satu sumber bahan baku bagi perekonomian

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR SULAWESI TENGGARA APRIL 2016

1. PERKEMBANGAN EKSPOR

PERKEMBANGAN PARIWISATA DAN TRANSPORTASI SUMATERA SELATAN JUNI 2015

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR PROVINSI BENGKULU, JULI 2016

CUPLIKAN LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011, TANGGAL 20 MEI 2011 TENTANG

BAB IV GAMBARAN UMUM OBYEK PENELITIAN


BAB I PENDAHULUAN. Indonesia menjadi komoditas pangan yang dapat mempengaruhi kebijakan politik

PERKEMBANGAN PARIWISATA DAN TRANSPORTASI SUMATERA UTARA JANUARI 2016

KONSEP INTEGRATED PORT. SAPTONO R. IRIANTO DIREKTUR KOMERSIAL PT. Pelabuhan Indonesia II (Persero)

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR PROVINSI BENGKULU

PERKEMBANGAN PARIWISATA DAN TRANSPORTASI SUMATERA SELATAN JULI 2015

Transkripsi:

Pembenahan Pasokan Daging Sapi Melalui Sistem Logistik Nasional Senin, 10 Juni 2013 Indonesia memiliki potensi sapi potong yang cukup besar. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) hasil Sensus Pertanian tahun 2011 menyebutkan bahwa populasi sapi potong mencapai 14,8 juta ekor.  Hasil sensus tersebut dinilai belum ada kejelasan populasi berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin ternak. Informasi populasi ternak berdasarkan umur dan jenis kelamin penting untuk diketahui karena dapat menentukan perkembangan populasi ternak di masa depan. Data terbaru hasil Sensus Pertanian 2013 (SP-2013) secara resmi belum diumumkan. Namun, saat ini sudah beredar berita yang menyebutkan populasi sapi potong hanya 12-12,5 juta ekor.  Penurunan populasi itu ditengarai akibat pemotongan sapi secara besar-besaran sebagai dampak harga daging sapi yang bertahan relative tinggi. Sementara itu proyeksi kebutuhan daging sapi tahun 2013 dari Kementerian Pertanian adalah sebesar 549,7 ribu ton. Dari jumlah itu, 474,4 ribu ton mampu dipenuhi dari populasi ternak sapi domestik, sedangkan sisanya sekitar 80 ribu ton (14,6%) harus diimpor. Adapun rincian impor tersebut terdiri dari 32 ribu ton dalam bentuk daging sapi beku dan 267 ribu ekor sapi bakalan yang setara dengan 48 ribu ton daging sapi. Data yang disampaikan Kementerian Pertanian  tersebut menggambarkan bahwa potensi pemenuhan penyediaan daging sapi dari dalam negeri cukup besar meskipun belum mampu mencukupi seluruhnya.  Fenomena tingginya harga daging sapi di Pulau Jawa, khususnya Jabodetabek dalam beberapa bulan terakhir ini, menunjukkan  adanya indikasi ketimpangan padaâ sistem pasokan daging sapi di Indonesia. Sebaran populasi ternak sapi  dan sebaran konsumsi daging sapi menurut data BPS menurut propinsi tidak merata.â Di Indonesia terdapat perbedaan tingkat konsumsi daging oleh masyarakat antara daerah satu dengan lainnya.â Masyarakat di kawasan Indonesia Barat (Sumatera dan Jawa) memiliki tingkat konsumsi daging sapi tinggi, sementara itu populasi ternak sapiâ menyebar di seluruh wilayah Indonesia dan dalam jumlah cukup besar berada di kawasan Indonesia Timur, seperti di Sulawesi Selatan, NTB, NTT, dan Jawa Timur, yang justru tingkat konsumsinya rendah.

Sebagai contoh, Provinsi NTT menempati urutan empat populasi sapi potong terbesar di Indonesia. Perkembangan populasi ternak di NTT diprediksi akan terus meningkat setiap tahun, dengan penambahan populasi terbanyak terdapat pada jenis ternak sapi. Pada tahun 2012, jumlah populasi ternak sapi sebanyak 814.450 ekor, sedangkan pada Januari 2013 meningkat menjadi 817.708 ekor. Angka itu diprediksi akan terus meningkat seiring dengan sejumlah langkah konkret di lapangan dalam pengembangan peternakan di NTT. Di sisi lain kebutuhan pasokan daging sapi untuk keperluan konsumsi masyarakat di NTT  relatif rendah, karena jumlah penduduknya memang jauh lebih sedikit dibandingkan pulau Jawa.  Kelebihan potensi populasi sapi potong yang cukup besar tersebut sulit untuk disalurkan ke pulau Jawa,  yang masih membutuhkan tambahan pasokan cukup besar, akibat kendala logistik yang berpengaruh pada harga jual yang tinggi saat tiba di tangan konsumen. Secara ekonomis, akan lebih murah mengimpor daging sapi atau bakalan sapi dari Australia dibandingkan mendatangkannya dari NTT. Biaya logistik yang tinggiâ menyebabkan daya saing produk Indonesia, termasuk daging sapi, menjadi lebih rendah dibandingkan dengan produk sejenis yang dihasilkan negara-negara pesaing. Pasokan daging sapi dari daerah produsen menuju daerah konsumen menjadi tersendat sebagai akibat dari kendala logistik, khususnya sistem transportasi angkutan ternak yang masih belum memadai. Seperti sampai saat ini, pengangkutan ternak dari NTT masih menggunakan truk atau kapal barang biasa yang berbarengan dengan penumpang. Kondisi ini sangat berbeda dengan Australia, negara pemasok utama sapi hidup ke Indonesia, yang menyediakan angkutan khusus untuk ternak.â  Pembenahan Sistem Logistik Nasional Memperhatikan kondisi tersebut, tampaknya agar permasalahan daging sapi dapat segera dipecahkan maka salah satu upaya yang perlu dan mendesak dilakukan adalah pembenahan terhadap sistem logistik nasional. Upaya ini diharapkan akan berdampak langsung terhadap perbaikan distribusi daging sapi nasional, sehingga penyaluran komoditas daging sapi antar daerah di Indonesia dapat berjalan secara efektif dan efisien. Sistem logistik nasional Indonesia saat ini relative belum efisien sehingga menyebabkan biaya logistik tinggi. Kondisi ini berdampak negative pada komoditas perdagangan, baik

yang distribusikan di dalam negeri maupun dari atau ke luar negeri melalui ekspor â impor. Komoditas daging sapi tidak luput dari masalah ini sehingga salah satu faktor penyebab tingginya harga daging sapi akhir â akhir ini ditengarai juga akibat dari biaya logistik yang tinggi. Biaya logistik di Indonesia mencapai 24,64% dari PDB Indonesia pada tahun 2011. Padahal biaya logistik di Amerika Serikat hanya sebesar 9,9%, Jepang sebesar 10,6%, dan Korea Selatan sebanyak 16,3%.  Bahkan, menurut hasil survei Logistics Performance Index (LPI) oleh Bank Dunia tahun 2012, Indonesia menempati peringkat 59, atau berada di bawah Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Saat ini, biaya angkutan antar pulau seringkali jauh di atas biaya angkutan impor dari negara lain.  Misalnya, ongkos pengiriman satu kontainer ukuran 40 feet dari Padang, Sumatera Barat ke Jakarta mencapai US$ 600. Padahal, ongkos kirim kontainer berukuran sama dari Jakarta ke Singapura, yang jaraknya lebih jauh, hanya sebesar US$ 185. Biaya logistik yang tinggi juga terjadi di wilayah Indonesia Timur. Salah satu penyebabnya adalah tidak adanya jaminan muatan balik dari wilayah timur bagi angkutan kargo (backhaul). Ini mengakibatkan ongkos angkut dari dan ke wilayah timur Indonesia menjadi lebih tinggi dibandingkan dari dan ke wilayah barat Indonesia. Kondisi ini  mengakibatkan terjadinya disparitas harga yang tinggi antara wilayah barat dan timur. Padahal, terkait masalah pasokan daging sapi, wilayah timur Indonesia memiliki populasi serta potensi sapi potong yang cukup besar dan prospektif. Berkenaan dengan permasalahan tersebut, pemerintah dengan para pemangku kepentingan tengah berupaya untuk mengatasi permasalahan distribusi dan logistik daging sapi untuk menurunkan harga dan mendorong peningkatan konsumsi daging sapi.â Pemerintah terus berperan aktif dalam mengembangkan sistem logistik nasional. Upaya ini bertujuan untuk memperlancar konektivitas antar daerah dan antar simpul â simpul logistik yang dilakukan melalui revitalisasi pasar tradisional, pembangunan pusat distribusi regional, serta pembangunan jaringan logistik antar simpul â simpul logistik di setiap koridor ekonomi, sebagaimana dipetakan dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Sampai saat ini, Kementerian Perdagangan melalui Tugas Pembantuan telah merevitalisasi 461 unit pasar tradisional dan lima Pusat Distribusi Nasional/Provinsi dengan dana lebih dari Rp 2 triliun. Program lain yang dilakukan yaitu secara aktif mendorong pembentukan dan pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus, optimalisasi Cikarang Dry Port, serta mendorong penetapan pelabuhan hub internasional di Kuala Tanjung untuk kawasan barat dan Bitung untuk kawasan timur Indonesia. Upaya tersebut merupakan perwujudan nyata dari Peraturan Presiden Nomor 26 tahun 2012 tentang Cetak Biru Pengembangan Sistem Logistik Nasional. Peraturan ini secara jelas merumuskan Visi Logistik Indonesia 2025 yaitu: â œterwujudnya Sistem Logistik yang terintegrasi secara lokal, terhubung secara global untuk meningkatkan daya saing nasional dan kesejahteraan rakyat (locally integrated, globally connected for national competitiveness and social welfare)â. Terintegrasi secara lokal (locally integrated), diartikan bahwa pada tahun 2025 seluruh aktivitas logistik, termasuk sektor daging sapi,

di Indonesia mulai dari tingkat pedesaan, perkotaan,sampai dengan antar wilayah dan antar pulau beroperasi secara efektif dan efisien, dan menjadi satu kesatuan yang terintegrasi secara nasional dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Khusus untuk komoditas daging, dengan visi terintegrasi secara lokal ini diharapkan akan mendorong terwujudnya ketahanan dan kedaulatan komoditas daging sapi nasional yang ditandai dengan tercapainya swasembada daging sapi. Sedangkan, terhubung secara global (globally connected) diartikan bahwa pada tahun 2025, Sistem Logistik Nasional akan terhubung dengan sistem logistik regional (ASEAN) dan global melalui Pelabuhan Hub Internasional. Dalam hal ini termasuk fasilitasi kepabeanan dan fasilitasi perdagangan, jaringan informasi, serta jaringan keuangan sehingga pelaku dan penyedia jasa logistik nasional, termasuk komoditas daging sapi, dapat bersaing di pasar global. Integrasi secara lokal dan keterhubungan secara global dilakukan melalui integrasi dan efisiensi jaringan logistik yang terdiri atas jaringan distribusi, jaringan transportasi, jaringan informasi, dan jaringan keuangan yang didukung oleh pelaku dan penyedia jasa logistik. Jaringan sistem logistik domestik dan keterhubungannya dengan jaringan logistik global secara baik akan menjadi kunci sukses ketersediaan pasokan berbagai komoditas, termasuk daging sapi, baik  dari aspek kuantitas, kualitas, maupun harga. Kondisi ini sangat diperlukan mengingat persaingan tidak hanya antar produk, antar perusahaan, namun juga antar jaringan logistik dan rantai pasok bahkan antar negara. Pengembangan sistem logistik nasional, khususnya di sektor daging sapi, bukanlah perkara mudah seperti membalik telapak tangan. Diperlukan dukungan peran aktif berbagai sektor terkait untuk mewujudkannya.  Pelibatan Perum BULOG dalam impor daging sapi merupakan salah satu upaya yang ditempuh untuk memperbaiki distribusi dan mendorong peningkatan konsumsi daging sapi di seluruh tanah air.â Penugasan iniâ berimplikasi pada penataan infrastruktur logistic, termasuk di dalamnya sarana transportasi hingga sarana penyimpan daging beku (cold storage) yang dikelola oleh BULOG. Untuk mengurangi lamanya waktu tempuh pengangkutan sapi hidup maupun daging beku dari wilayah pemasok (Sulawesi Selatan, Jateng, Jatim, NTT, NTB) perlu adanya kerjasama aktif Kementerian Perhubungan, Kementerian Pekerjaan Umum, PT PELNI dan Pemerintah Daerah dalam melakukan pembenahan sarana transportasi laut untuk angkutan ternak,â perbaikan jalan darat untuk kelancaran truk, dan penyederhanaan sistem administrasi terkait retribusi.â Sementara itu, untuk menjamin tersedianya pasokan dari dalam negeri diperlukan sinergi yang solid antara Kementerian Pertanian, Kementerian BUMN, Pemerintah Daerah Perguruan Tinggi danâ pihak Swasta. Banyak pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan di berbagai bidang secara bertahap namun serentak dan sinergis dalam jangka panjang yang secara menyeluruh melibatkan peran aktif Pemerintah, Pemerintah Daerah dan pemangku kepentingan lainnya. Oleh karena itu, diperlukan kesadaran, optimisme, kerja sama, dan kerja keras dari semua pemangku kepentingan guna menciptakan sinergi untuk mencapainya.  Oleh: Dr. Harianto, MS.

SKP Bidang Pangan dan EnergiÂ