BAB I PENDAHULUAN. berbuat atau tidak berbuat di dalam masyarakat. 1 Dari sini dapat dipahami,

dokumen-dokumen yang mirip
RINGKASAN SKRIPSI. Sumber Hukum Acara di lingkungan Peradilan Agama juga menjelaskan tentang

BAB I PENDAHULUAN. perkara perdata islam tertentu, bagi orang-orang islam di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkawinan merupakan hal yang sangat penting dalam realita

I. PENDAHULUAN. sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18). Sejarah masa lalu Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. mengadili, memutuskan dan menyelesaikan perkara untuk menegakkan hukum

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia ada tata hukum yaitu tata tertib dalam pergaulan hidup

BAB I PENDAHULUAN. esensial, yaitu keadilan (gerechtigheit), kemanfaatan (zwachmatigheit) dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

IKHTISAR PERMUSYAWARAH MAJELIS HAKIM Oleh : Drs. H. Insyafli M.HI (Hakim Tinggi PTA Padang)

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak.

BAB I PENDAHULUAN. dan keadilan, Sehingga secara teoritis masih diandalkan sebagai badan yang

[DEVI SELVIYANA, SH] BAB I PENDAHULUAN. hak dan kewajiban yang harus dihargai dan dihormati oleh orang lain.

BAB I PENDAHULUAN. perceraian, tetapi bukan berarti Agama Islam menyukai terjadinya perceraian dari

dengan hukum atau yang tidak dapat dilaksanakan atau yang memuat iktidak tidak baik (Pasal 17 ayat 3).

EKSEKUSI TERHADAP KEPUTUSAN HAKIM YANG MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM TETAP DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Guna mendapatkan suatu putusan akhir dalam persidangan diperlukan adanya bahan-bahan mengenai

BAB I PENDAHULUAN. perdamaian dengan cara mediasi. Bagi orang yang beragama Islam akan

LAMPIRAN II : Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 600/PRT/M/2005 Tanggal : 23 Desember 2005

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. gamelan, maka dapat membeli dengan pengrajin atau penjual. gamelan tersebut dan kedua belah pihak sepakat untuk membuat surat

BAB I PENDAHULUAN. Sedangkan hukum perdata itu dibagi menjadi dua macam yaitu hukum perdata

BAB I PENDAHULUAN. keterangan, pertimbangan dan nasehat tentang hukum kepada instansi

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2002 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI OLEH MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

BAB IV. A. Analisa terhadap Prosedur Mediasi di Pengadilan Agama Bangkalan. cepat dan murah dibandingkan dengan proses litigasi, bila didasarkan pada

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. diharapkan untuk dilakukan dan apa yang dalam kenyataan dilakukan. 1

BAB IV. ANALISIS TERHADAP PUTUSAN NO. 0688/Pdt.G/2011/PA.Tbn TENTANG PENCABUTAN GUGATAN TANPA PERSETUJUAN TERGUGAT DALAM PERKARA CERAI GUGAT

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DI KPPU KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA

BAB IV. memutuskan dan mengadili perkara Nomor: 207/Pdt. G/2011/PA. Kdr. tentang

PANDANGAN HAKIM TENTANG PUTUSAN DAMAI ATAS UPAYA HUKUM VERZET

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 77/PMK.01/2008 TENTANG BANTUAN HUKUM DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN KEUANGAN

UPAYA PERLAWANAN HUKUM TERHADAP EKSEKUSI PEMBAYARAN UANG DALAM PERKARA PERDATA (Studi Kasus Pengadilan Negeri Surakarta)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

BAB II LANDASAN TEORI TENTANG CERAI TALAK

GUBERNUR KEPULAUAN RIAU

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk

PENERAPAN AZAS SEDERHANA, CEPAT DAN BIAYA RINGAN DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PERDATA MELALUI MEDIASI BERDASARKAN PERMA NO

BAB I PENDAHULUAN. Pengadilan Agama sebagai Badan Pelaksana Kekuasaan Kehakiman. memiliki tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

BAB I PENDAHULUAN. yang telah didaftarkan di kepaniteraan pengadilan agama. Pencabutan gugatan

A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah C. Tujuan Penelitian D. Definisi Oprasional

BAB I PENDAHULUAN. mengadili, memutuskan dan menyelesaikan perkara untuk menegakkan hukum

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

KEKUATAN HUKUM AKTA PERDAMAIAN HASIL MEDIASI. (Studi di Pengadilan Agama Kabupaten Malang) SKRIPSI. Oleh: Lailatul Qomariyah NIM

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 1998 sampai sekarang perbankan syariah di Indonesia

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENYELESAIAN SENGKETA INFORMASI PUBLIK DI PENGADILAN

EFEKTIFITAS MEDIASI DALAM PERKARA PERDATA BERDASARKAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 01 TAHUN 2008 (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Boyolali) SKRIPSI

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. landasan konstitusional bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. Anak adalah makhluk sosial yang harus diakui keberadaanya, dalam membentuk keluarga, masyarakat dan negara. Anak juga merupakan

TERGUGAT DUA KALI DIPANGGIL SIDANG TIDAK HADIR APAKAH PERLU DIPANGGIL LAGI

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Perdata (Burgerlijkrecht) ialah rangkaian peraturan-peraturan

GANTI RUGI ATAS KESALAHAN PENANGKAPAN, PENAHANAN PASCA PUTUSAN PENGADILAN 1 Oleh: David Simbawa 2

2015, No tidaknya pembuktian sehingga untuk penyelesaian perkara sederhana memerlukan waktu yang lama; d. bahwa Rencana Pembangunan Jangka Mene

1 Abdul Manan, Penerapan, h R.Soesilo, RIB/HIR Dengan Penjelasan, (Bogor: Politea, 1995). h. 110.

TEHNIK PEMBUATAN PUTUSAN. Oleh Drs. H. Jojo Suharjo ( Wakil Ketua Pengadilan Agama Brebes Kelas I. A. ) KATA PENGANTAR

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) seperti

Bayyinah, yang artinya satu yang menjelaskan. Secara terminologis

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia adalah negara hukum (Rechstaat). Landasan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

P U T U S A N Nomor 23/Pdt.G/2014/PTA.Mks

Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB IV TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN. AGAMA MALANG PERKARA NO. 0380/Pdt.G/2012/PA.Mlg

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

ELIZA FITRIA

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA. Oleh: NY. BASANI SITUMORANG, SH., M.Hum. (Staf Ahli Direksi PT Jamsostek)

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi dengan sesamanya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, hal ini

BAB I PENDAHULUAN. oleh pihak ketiga dalam suatu perkara perdata. Derden verzet merupakan

A. Analisis Proses Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan Agama Purwodadi

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.

Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007), h Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan

BAB I PENDAHULUAN. kepada Hakim menjatuhkan putusan tanpa hadirnya Tergugat. Putusan verstek

BAB I PENDAHULUAN. mediasi dalam berbagai literatur ilmiah melalui riset dan studi akademik.

BAB I PENDAHULUAN. setelah melakukan musyawarah dengan para shahabatnya. pikiran, gagasan ataupun ide, termasuk saran-saran yang diajukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. hasil akhir putusan yang dijatuhkan. Tetapi harus dinilai sejak awal proses pemeriksaan

BAB I PENDAHULUAN. yang berperan selama ini. Keberadaan lembaga peradilan sebagai pelaksana

REKONVENSI YANG DIAJUKAN SECARA LISAN DALAM PERSIDANGAN

JAMINAN. Oleh : C

PENCABUTAN PERKARA DI PERADILAN AGAMA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. OLEH : Prof. Dr. H. Gunarto,SH,SE,Akt,M.Hum

BAB I PENDAHULUAN. mengatur agar kepentingan-kepentingan yang berbeda antara pribadi, masyarakat dan negara

BAB IV. A. Analisis Terhadap Penerapan Asas Ratio Decidendi Hakim Tentang Penolakan Eksepsi dalam Perkara Cerai Talak Talak

WALIKOTA SEMARANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN BANTUAN HUKUM

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keinginan untuk mempunyai anak adalah naluri manusiawi dan

I. PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Kemandirian dan kemerdekaan dalam

BAB I PENDAHULUAN. berhak mendapatkan perlindungan fisik, mental dan spiritual maupun sosial

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 83 TAHUN 2008 TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA PEMBERIAN BANTUAN HUKUM SECARA CUMA-CUMA

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 83 TAHUN 2008 TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA PEMBERIAN BANTUAN HUKUM SECARA CUMA-CUMA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum materiil, baik yang tertulis sebagaimana tertuang dalam peraturan perundang-undangan atau bersifat tidak tertulis merupakan pedoman bagi setiap warga masyarakat bagaimana mereka selayaknya berbuat atau tidak berbuat di dalam masyarakat. 1 Dari sini dapat dipahami, bahwa hukum itu bukanlah sekedar untuk pedoman bacaan, dilihat ataupun diketahui, melainkan juga untuk ditaati dan dilaksanakan. Pada hakikatnya, pelaksanaan hukum materiil itu umumnya berada dalam kekuasaan masing-masing individu yang melakukan hubungan keperdataan tanpa melalui pejabat atau instansi yang berwenang. Akan 1 Bambang Sugeng dan Sujayadi, Hukum Acara Perdata Dokumen Litigasi Perkara Perdata, (Jakarta : Kencana, 2011), h. 7. 1

2 tetapi sesuatu yang sering terjadi adalah hukum materiil tersebut dilanggar. Sehingga dari sini ada pihak yang merasa dirugikan dan terjadilah gangguan keseimbangan kepentingan di dalam masyarakat. Melihat dari hal tersebut, maka hukum materiil yang telah dilanggar haruslah ditegakkan melalui sistem penegak hukum yang telah ditetapkan oleh hukum. Penegak hukum yang dimaksudkan adalah seluruh pejabat yang melakukan tugas untuk menegakkan hukum di suatu negara sesuai dengan peraturan perundang-undang yang berlaku, seperti halnya : kepolisian, kejaksaan serta badan peradilan, baik peradilan umum ataupun juga peradilan agama. Salah satu dari penegak hukum yang ada di negara indonesia ini adalah peradilan agama. Fungsi dari peradilan agama adalah untuk menegakkan hukum serta memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat. Ketentuan tentang Hukum Acara yang berlaku di lingkungan Pengadilan Agama baru disebut secara tegas sejak diterbitkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang susunan dan Kekuasaan Peradilan Agama, selain itu juga di dalamnya diatur tentang Hukum Acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Agama. 2 Kemudian dirubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 selanjutnya disempurnakan dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama. Penyempurnaan terhadap Undang-undang tentang Peradilan Agama ini memberikan penjelasan yang lebih detail mengenai Hukum 2 H. Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama (Jakarta: Kencana, 2006), h. 7.

3 Acara yang berlaku di Peradilan Agama. Dalam Pasal 54 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 3 dijelaskan bahwa Hukum Acara yang berlaku pada pengadilan yang berlaku di lingkup Peradilan Agama adalah Hukum Acara perdata yang berlaku pada pengadilan di lingkungan Peradilan Umum kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini. Dari penjelesan tersebut sudah sangat jelas bahwa Hukum Acara yang dipergunakan di dalam Peradilan Agama adalah seperti halnya Hukum Acara yang berlaku di Peradilan Umum, baik dari segi tahapan beracara atau dari segi pemeriksaan perkaranya, kecuali peraturan yang khusus diatur dalam Peradilan Agama. Adapun sumber Hukum Acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum diberlakukan juga untuk lingkungan Peradilan Agama, diantaranya, Het Herzience Indonesie Reglement (HIR), Burgerlijke Wetbook voor Indonesia (BW), Yurisprudensi tentang Hukum Acara, serta Doktrin-doktrin yang dikemukakan oleh para sarjana. Dalam sumber Hukum Acara di lingkungan Peradilan Agama tersebut juga disebut tentang prosedur-prosedur beracara di pengadilan yang di dalamnya terdapat beberapa tahapan. Tahapan-tahapan tersebut berawal dari masuknya surat gugatan atau permohonan di pengadilan yang telah diterima oleh Majelis Hakim, kemudian proses selanjutnya yaitu upaya damai oleh Majelis Hakim yang kemudian dilanjutkan dengan cara mediasi. Tahap berikutnya adalah proses pemeriksaan yang mencakup 3 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

4 jawaban dari tergugat, replik dan duplik oleh Penggugat dan Tergugat atau Pemohon dan Termohon, setelah itu dilanjutkan dengan kesimpulan dari kedua pihak dan terakhir putusan hakim. Tahapan-tahapan ini sesuai dengan yang tertuang dalam HIR (Het Herzience Indonesie Reglement) yang terkait dengan Hukum Acara yang berlaku di Peradilan Agama. 4 Oleh sebab itu, sesuai dengan ketentuan Pasal 178 HIR, apabila pemeriksaaan telah selesai, maka Majelis Hakim melakukan musyawarah untuk mengambil putusan yang akan dijatuhkan. Proses pemeriksaan dianggap selesai apabila telah menempuh beberapa tahapan, diantaranya tahap jawaban dari tergugat sesuai Pasal 121 HIR yang kemudian dibarengi dengan replik dari penggugat maupun duplik dari tergugat dan setelah itu dilanjutkan dengan proses pembuktian dan konklusi. 5 Disamping itu, menurut Pasal 20 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, menyatakan bahwa semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Sebelum putusan diambil majelis hakim secara rahasia melakukan sidang permusyawaratan dan setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan. Apabila dalam sidang permusyawaratan hakim yang rahasia 4 Pasal 132a, 164 dan 178 HIR tentang Gugatan Penggugat/Pemohon, Macam-Macam Alat Bukti dan Putusan Pengadilan. 5 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2008), h. 797.

5 itu tidak tercapai mufakat bulat, maka pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan. 6 Tahapan dalam proses beracara yang telah tertulis dalam Undangundang yang mengatur tentang Hukum Acara di Peradilan Agama tersebut harus ditempuh sesuai dengan urutan tahapannya dari awal hingga akhir pemeriksaan. Jika ada salah satu tahapan yang terlewati, maka akibat hukum dari proses tersebut, karena tidak memenuhi prosedur yang telah berlaku dalam Hukum Acara di lingkup Peradilan. Namun, kenyataan yang terjadi di lapangan itu sangatlah berbeda. Ada beberapa Peradilan dalam melaksanakan proses beracara di persidangan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang telah mengaturnya, yaitu tidak terpenuhinya tahapan dalam beracara. Fenomena seperti itulah yang menjadikan pertanyaan besar dikalangan masyarakat, khususnya dikalangan akademisi yang mengetahui tentang prosedur beracara di lingkup Peradilan. Dari sinilah yang menjadikan dasar oleh peneliti dengan menempatkan proses beracara di penradilan khususnya di Pengadilan Agama dalam kerangka berfikir penelitian ini adalah karena Pengadilan Agama juga tidak luput dari kekurangan-kekurangan dalam melaksanakan Hukum Acara yang berlaku di pengadilan. Akan tetapi, dalam hal ini yang menjadi permasalahan adalah apabila proses beracara di Pengadilan Agama tidak sesuai dengan Undang-undang Hukum Acara Peradilan 6 Ahmad Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2012), h. 227.

6 Agama yang berlaku. Maka akan berdampak pada akibat hukum dari proses tersebut, yaitu putusan yang telah diputus tanpa melewati tahapan yang telah ditetapkan oleh Peraturan Perundang-undangan. Karena pada hakikatnya, proses beracara di persidangan tersebut haruslah mengacu pada Undang-undang yang sedang berlaku di Indonesia. Dari beberapa Pengadilan Agama yang melaksanakan proses tersebut, salah satunya adalah di Pengadilan Agama Mojokerto yang melaksanakan proses beracara tidak sesuai dengan undang-undang yang sedang berlaku, yakni seperti halnya rangkapnya antara Pembuktian dan Putusan Hakim menjadi satu waktu sidang. Pada semestinya, sesuai dengan peraturan yang ada yaitu antara proses pembuktian dan putusan tidak bersamaan dalam satu waktu. Akan tetapi, proses penggabungan kedua tahapan tersebut dilakukan di Pengadilan Agama Mojokerto. Dari fenomena tersebut yang menjadi kejanggalan oleh peneliti terhadap proses beracara di persidangan yang sebenarnya dan membuat peneliti merasa perlu meneliti lebih dalam adalah mengenai Hukum Acara di lingkup Peradilan Agama serta ingin mengetahui bagaimana pandangan para hakim terhadap fenomena yang sedang terjadi di lingkup Peradilan Agama tentang proses beracara di persidangan, dengan judul penelitian yaitu Pandangan Hakim Terhadap Penggabungan Tahap Pembuktian dan Tahap Putusan Sidang Dalam Satu Waktu Sidang (Studi di Pengadilan Agama Mojokerto).

7 B. Rumusan Masalah Dari apa yang telah dikemukakan pada latar belakang masalah, maka dapat dirumuskan sebagai pokok kajian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pandangan hakim terhadap penggabungan tahap pembuktian dan tahap putusan sidang dalam satu waktu sidang? 2. Apa sanksi bagi hakim melaksanakan proses penggabungan tahap pembuktian dan tahap putusan sidang dalam satu waktu sidang? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui pandangan hakim terhadap penggabungan tahap pembuktian dan tahap putusan sidang dalam satu waktu sidang. 2. Untuk mengetahui sanksi bagi hakim melaksanakan proses penggabungan tahap pembuktian dan putusan sidang dalam satu waktu sidang. D. Manfaat Penelitian Dengan diadakannya penelitian ini, diharapkan hasil yang diperoleh peneliti nantinya dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi masyarakat pada umumnya. 1. Manfaat Teoritis Secara teoritik penelitian ini diharapkan dapat ikut memperkaya khazanah pengetahuan dalam mengembangkan ilmu-ilmu hukum acara,

8 khususnya yang terkait dengan masalah hukum acara di Pengadilan Agama, sebagai bahan wacana, sumbangan teori bagi masyarakat, pemerintah, akademisi, lembaga swadaya masyarakat, instansi yang terkait, dan pihak-pihak yang bersangkutan. 2. Manfaat Praktis a. Bagi Peneliti Untuk menambah wawasan tentang hukum acara di pengadilan terutama masalah sistem rangkap antara pembuktian dan putusan di Pengadilan Agama dan aspek hukum yang ada di instansi Pengadilan Agama Mojokerto. b. Bagi Masyarakat Sebagai bahan informasi agar masyarakat lebih mengetahui terhadap proses beracara dan mengetahui hukum acara yang berlaku di Pengadilan Agama. c. Bagi Instansi terkait Sebagai bahan acuan guna pengadaan penyuluhan sistem hukum acara dalam proses beracara di Pengadilan Agama.

9 E. Definisi Operasional Demi menghindari persepsi lain mengenai istilah-istilah yang ada, maka perlu adanya penjelasan mengenai definisi istilah dan batasanbatasannya. Ini bertujuan dalam skripsi lebih terfokus pada permasalahan yang akan dibahas. Adapun definisi dan batasan istilah yang berkaitan dengan judul dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut : 1. Pandangan Hakim : asumsi hakim dalam menanggapi sesuatu keadaan sesuai dengan keilmuan serta pengalaman yang telah beliau alami khususnya dalam masalah menangani perkara. 2. Penggabungan Tahapan: Proses pelaksanaan pemeriksaan perkara dalam beracara di muka persidangan yang dilakukan dalam waktu yang bersamaan. 3. Pembuktian : Salah satu tahapan dalam beracara di persidangan yang fungsinya adalah untuk menentukan proses perkara, serta untuk meyakinkan tentang dalil-dalil yang telah dikemukakan dalam suatu perkara. 4. Putusan Sidang : Suatu pernyataan yang diucapkan oleh hakim dalam persidangan bertujuan untuk mengakhiri persidangan, sekaligus untuk menyelesaikan suatu perkara atau sengketa oleh para pihak.

10 F. Sistematika Pembahasan Untuk memperoleh sebuah karya ilmiah yang terarah dan sistematis, maka perlu disusun sistematika pembahasan. Dalam penelitian ini, ada lima sistematika, yaitu: Bab I yang merupakan awal dari penyusunan penelitian, dalam bab ini memuat tentang latar belakang masalah yang diambil, yaitu sebuah rangkuman yang mengupas tentang faktor-faktor yang melatarbelakangi bahwa masalah ini perlu dan penting untuk diadakan penelitian. Dari latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, akan memunculkan beberapa pertanyaan yang terkait hal tersebut, maka peneliti mencantumkan beberapa pertanyaan tersebut dalam poin rumusan masalah. Dari rumusan masalah yang akan peneliti bahas, memiliki tujuan yang tercantum dalam tujuan penelitian. Selain itu, juga memiliki manfaat yang tercantum dalam manfaat penelitian yang memuat tentang manfaat penelitian bagi peneliti khususnya dan bagi masyarakat pada umumnya serta definisi operasional yang menjelaskan secara singkat mengenai hal-hal yang diteliti oleh peneliti dan sistematika pembahasa yang menjadikan gambaran dasar dan alur penelitian yang akan dapat dipahami dengan jelas. Selanjutnya, dalam bab II juga memaparkan tentang kajian pustaka yang berisi tentang penelitian terdahulu, yang berfungsi sebagai tolak ukur perbedaan masalah yang dikaji supaya peneliti tidak dianggap menjiplak peneliti orang lain. Dalam bab ini, juga terdapat kerangka teori yang membahas secara sekilas tentang teori-teori penelitian yang akan

11 dilakukan. Dalam kerangka teori ini peneliti memasukan tentang pengertian pembuktian dan putusan, manfaat dan tujuan pembuktian tujuan, dan lain sebagainya. Kerangka teori tersebut nantinya dipergunakan untuk rujukan penelitian dalam menganalisa permasalahan yang sedang diteliti. Pada bab III, memaparkan tentang metode penelitian. Metode penelitian ini bertujuan untuk memudahkan peneliti untuk mengkaji dan menganilis data yang diperoleh. Dalam metode penelitian ini mencakup beberapa point penting, yaitu jenis penelitian, pendekatan penelitian, lokasi penelitian, jenis dan sumber data, metode pengumpulan data, dan metode pengolahan data. Manfaat dari bab ini adalah unuk mengetahui metode yang digunakan dalam proses penelitian tersebut. Pada bab IV, menjelaskan atau menjawab tentang hasil penelitian dan pembahasan dengan mengacu pada teori-teori yang sudah dipaparkan, yang mana dalam penelitian tersebut adalah mengenai tahap pembuktian dan tahap putusan hakim yang digabung dalam satu waktu sidang serta menguraikan data-data lapangan yang diperolah selama penelitian yaitu dengan teknik wawancara serta memaparkan dan analisis data yang berisi tentang penyajian hasil analisis, yang mana hasil dari analisis disesuaikan dengan rumusan masalah, yang bertujuan untuk mengetahui pandangan para hakim terkait penggabungan tahap pembuktian dan tahap putusan sidang.

12 Bab V, merupakan bab terakhir yang berisi Kesimpulan dan Saran. Dalam kesimpulan menegaskan kembali mengenai penelitian ini dengan memahaminya secara konkrit dan utuh. Oleh sebab itu, dalam kesimpulan ini penulis mencoba memperjelas dengan sesingkat mungkin jawaban dari rumusan masalah. Sehingga lebih memudahkan pembaca untuk memahami isi dari penelitian ini tanpa harus membaca keseluruhannya. Sedangkan saran memuat beberapa anjuran bagi akademik baik bagi masyarakat maupun bagi peneliti selanjutnya, guna untuk memberi masukan kepada orang-orang yang bersangkutan.