BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

dokumen-dokumen yang mirip
II. TINJAUAN PUSTAKA

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

BAB III DASAR HUKUM PEMBERHENTIAN TIDAK TERHORMAT ANGGOTA KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT PERPRES NO 18 TAHUN 2011

BAB II TINJAUN PUSTAKA. Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering,

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

RANCANGAN PENJELASAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

ALUR PERADILAN PIDANA

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Keempat, Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4 Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEWENANGAN KEJAKSAAN SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA KORUPSI

TUMPANG TINDIH KEWENANGAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI. Oleh : Sulistyo Utomo, SH* *

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III PENUTUP. pada bab-bab sebelumnya maka dapat dijabarkan kesimpulan sebagai berikut:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyelidikan dan Penyidikan. Pengertian penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia merupakan salah satu Negara Hukum. Hal ini

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian

Fungsi Pra Penuntutan Terhadap Keberhasilan Pelaksanaan Penuntutan Perkara Pidana Oleh Penuntut Umum. Cakra Nur Budi Hartanto *

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN

Pemeriksaan Sebelum Persidangan

Peran PPNS Dalam Penyidikan Tindak Pidana Kehutanan. Oleh: Muhammad Karno dan Dahlia 1

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DI KPPU KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA

PRAPENUNTUTAN DALAM KUHAP DAN PENGARUH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA 1 Oleh: Angela A.

KEMUNGKINAN PENYIDIKAN DELIK ADUAN TANPA PENGADUAN 1. Oleh: Wempi Jh. Kumendong 2 Abstrack

Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN Oleh DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd Materi Ke-2 Mencermati Peradilan di Indonesia

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

HUKUM ACARA PIDANA Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tanggal 31 Desember 1981 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MENTER! HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BEKASI

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

I. PENDAHULUAN. Penanganan dan pemeriksaan suatu kasus atau perkara pidana baik itu pidana

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG TAHUN 2010 S A L I N A N

PEMERINTAH KOTA MAGELANG PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya

KAJIAN JURIDIS TERHADAP PEMERIKSAAN TAMBAHAN DEMI KEPENTINGAN PENYIDIKAN OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM

BUPATI TUBAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TUBAN NOMOR 18 TAHUN 2016 TENTANG

BAB II PROSES PENYIDIKAN BNN DAN POLRI TERHADAP TERSANGKA NARKOTIKA MENGACU PADA UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung

BUPATI CILACAP PERATURAN BUPATI CILACAP NOMOR 38 TAHUN 2014 TENTANG SEKRETARIAT PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 2 TAHUN 2013

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kelima, Penyidikan Oleh Badan Narkotika Nasional (BNN)

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TATA CARA PENYAMPAIAN LAPORAN DAN PENANGANAN DUGAAN PELANGGARAN TERHADAP UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 1999

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kesatu, Wewenang-Wewenang Khusus Dalam UU 8/2010

- 2 - BAB I KETENTUAN UMUM

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 86 TAHUN 1999 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 86 TAHUN 1999 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah jaksa adalah istilah Indonesia asli (Hindu-Jawa) yang telah dikenal sejak

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA)

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 1 TAHUN 2005 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PEMERINTAH PROVINSI RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR : 5 TAHUN 2009 TENTANG

Bagian Kedua Penyidikan

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

QANUN KABUPATEN ACEH TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER- 022 /A/JA/03/2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGAWASAN KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

Lex Crimen Vol. IV/No. 4/Juni/2015

Transkripsi:

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA 1. Wewenang Jaksa menurut KUHAP Terlepas dari apakah kedudukan dan fungsi Kejaksaan Republik Indonesia diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti adalah Kejaksaan Republik Indonesia menjadi subsistem dari sistem ketatanegaraan Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-undang Dasar 1945. Defenisi Jaksa dan Penuntut Umum, berdasarkan Undang-undang No. 08 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yaitu: 1. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatann hukum tetap. 2. Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Oleh karena kedudukannya tersebut maka dalam melakukan penuntutan, ia wajib mengambil langkah-langkah sebagai berikut : 1. Menerima dan memeriksa berkas 2. Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan segera mengembalikan berkas pada penyidik dengan memberikan petunjuk-petunjuk untuk kesempurnaan ;

3. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan, atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik ; 4. Membuat surat dakwaan ; 5. Melimpahkan perkara ke pengadilan ; 6. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan persidangan dengan disertai panggilan, kepada terdakwa maupun saksi-saksi ; 7. Melakukan penuntutan ; 8. Menutup perkara demi kepentingan hukum ; 9. Melakukan tindakan lain dalam ruang lingkup dan tanggung jawab sebagai penuntut umum; 10. Melaksanakan penetapan hakim. Pasal 284 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan : Dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi. Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang menyatakan : Penyidikan menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada Undang-undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dilaksanakan oleh penyidik, jaksa dan pejabat penyidik yang berwenang lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Maka berdasarkan ketentuan ini menjadi jelas kiranya bahwa dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana sendiri terdapat dasar hukum tentang kedudukan Jaksa sebagai penyidik untuk tindak pidana yang bersifat khusus (lex specialis). Ketentuan yang bersifat khusus ini sejalan dengan Pasal 26 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 sebagimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan : Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini. Berdasarkan uraian tersebut maka Kejaksaan berkedudukan sebagai penyelidik dan penyidik dalam tindak pidana korupsi dan penuntut umum sesuatu perkara di muka persidangan. Dalam KUHAP tidak memberi pengaturan yang lebih lanjut, mengenai kedudukan Kejaksaan apakah sebagai perpanjangan tangan penguasa atau tidak, hanya menjelaskan Jaksa yang melaksanakan fungsi yudikatif. 2. Wewenang Jaksa menurut Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia Jaksa menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia adalah

Pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, serta wewenang lain berdasarkan undang-undang. Mencermati isi Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No. 16 Tahun 2004 ini, maka jaksa mempunyai beberapa wewenang penting yaitu: 1. Sebagai penuntut umum 2. Sebagai pelaksana putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap 3. Serta adanya wewenang penting yang dijabarkan lebih lanjut di dalam Pasal 30 undang-undang tersebut. Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 mengatur secara tegas bahwa Kejaksaan memiliki kemerdekaan dan kemandirian dalam melakukan kekuasaan Negara dalam bidang penuntutan. Kedudukan Kejaksaan sebagai suatu lembaga pemerintahan yang melakukan kekusaan negara di bidang penuntutan, bila dilihat dari sudut kedudukan mengandung makna bahwa Kejaksaan merupakan suatu lembaga yang berada di bawah kekuasaan eksekutif. Sementara itu, bila dilihat dari sisi kewenangan kejaksaan dalam melakukan penuntutan berarti Kejaksaan menjalankan kekuasaan yudikatif. Sehubungan dengan makna kekuasaan Kejaksaan dalam melakukan kekuasaan Negara di bidang penuntutan secara merdeka. Kejaksaan dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, dan pengaruh kekuasaan lainnya. Hal ini berarti bahwa negara akan menjamin Jaksa di dalam

menjalankan profesinya tanpa intimidasi, gangguan, godaan, campur tangan yang tidak tepat atau pembeberan yang belum teruji kebenarannya, baik terhadap pertanggung jawaban perdata, pidana, maupun lainnya. Kedudukan Kejaksaan dalam peradilan pidana bersifat menentukan karena merupakan jembatan yang menghubungkan tahap penyidikan dengan tahap pemeriksaan di sidang pengadilan. Berdasarkan doktrin hukum yang berlaku suatu asas bahwa Penuntut Umum mempunyai monopoli penuntutan, artinya setiap orang baru bisa diadili jika ada tuntutan pidana dari Penuntut Umum, yaitu lembaga kejaksaan karena hanya Penuntut Umum yang berwenang mengajukan seseorang tersangka pelaku tindak pidana ke muka sidang pengadilan. 16 Pada tahun 2004 dengan keluarnya Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004, kedudukan jaksa semakin mempertegas posisi Jaksa sebagai pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk bertindak sebagai Penuntut Umum dan Pelaksana Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan wewenang lain berdasarkan Undang-undang. 3.Wewenang Jaksa dalam Tindak Pidana Korupsi Ketentuan dalam Pasal 30 Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia menyatakan bahwa: 16 Yudi Kristiana, Independensi Kejaksaan dalam Penyidikan Korupsi, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal. 52

Salah satu tugas dan kewenangan Kejaksaan di bidang pidana adalah melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang. Penjelasan Pasal ini menyatakan bahwa, kewenangan dalam ketentuan ini adalah kewenangan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 jo. Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Kewenangan Jaksa selaku penyidik tindak pidana korupsi dimaksudkan untuk menampung beberapa ketentuan Undang-undang tersebut. Rumusan mengenai kewenangan menyidik di dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-undang Kejaksaan Republik Indonesia tersebut menyebutkan bahwa penyidik untuk tindak pidana korupsi adalah Kejaksaan yang mempunyai hak privilege yakni hak khusus untuk dapat melakukan tindakan penyidikan terhadap Tindak Pidana Korupsi. Istilah penyidikan merupakan padanan kata yang berasal dari bahasa Belanda yakni opsporing, dari bahasa Inggris yakni investigation. 17 Menurut Pasal 1 angka 2 KUHAP, yang dimaksud dengan Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. 17 Ibid, hal. 55

Menurut Andi Hamzah, bagian-bagian hukum acara pidana yang berkaitan dengan penyidikan adalah : 18 1. Ketentuan tentang alat-alat penyidik. 2. Ketentuan tentang diketahui terjadinya delik. 3. Pemeriksaan di tempat kejadian. 4. Pemanggilan tersangka atau terdakwa. 5. Penahanan semantara. 6. Penggeledahan. 7. Pemeriksaan atau Interogasi. 8. Berita acara (Penggeledahan, interogasi dan pemeriksaan di tempat). 9. Penyitaan. 10. Penyampingan perkara. 11. Pelimpahan perkara kepada penuntut umum dan pengembaliannya kepada penyidik untuk disempurnakan. Terhadap tindak pidana korupsi, sebelum lahirnya Undang-undang No. 31 Tahun 1999, penyidikan terhadap tindak pidana korupsi dilakukan oleh Kejaksaan, tetapi setelah lahirnya Undang-undang No. 31 Tahun 1999, yaitu Pasca Agustus 1999, penanganan terhadap tindak pidana korupsi memiliki berbagai pemahaman. Ada pandangan yang mengatakan bahwa pihak kepolisian yang berhak melakukan 18 Andi Hamzah, Pengertian Hukum Acara Pidana, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, hal. 122

penyidikan terhadap tindak pidana korupsi, namun ada pandangan lain yang mengatakan dengan bertitik tolak dari ide bahwa materi tindak pidana korupsi sebagai bagian dari hukum pidana khusus (ius specia, ius singular/ bijzonder strafrecht), sebenarnya Kejaksaan berhak melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi. 19 Sehubungan dengan ketidakjelasan ini, muncullah argumen-argumen yang mendasari bahwa Kejaksaan berwenang menangani penyidikan tindak pidana korupsi yaitu : 20 a. Bahwa ketentuan hukum pidana dapat dikategorikan menjadi hukum pidana umum (ius commune) dan hukum pidana khusus (ius special, ius singular/ bijzonder strafrecht). Ketentuan hukum pidana umum dimaksudkan untuk berlaku secara umum, sedangkan yang dimaksud dengan ketentuan hukum pidana khusus diartikan sebagai ketentuan hukum pidana yang mengatur kekhususan subjek dan perbuatan yang khusus (bijzonder lijk feiten). Tindak pidana korupsi sebagai bagian dari tindak pidana khusus juga memiliki kekhususan dalam hukum acara. b. Berdasarkan Keppres Nomor 228 Tahun 1967 tanggal 2 Desember 1967 tentang Pembentukkan Tim Pemberantasan Korupsi yang menentukan bahwa ketua timnya adalah Jaksa Agung, sesuai dengan Pasal 5 yang berbunyi: 19 20 Yudi Kristiana, Opcit, hal. 80 Ibid, hal. 80-88

Ketua Tim Pemberantasan Korupsi adalah Jaksa Agung, yang dalam melakukan tugasnya bertanggung jawab kepada Presiden. Sedangkan tugas dan fungsinya sebagai koordinator penyidik diatur dalam Pasal 3, yang berbunyi : Tim Pemberantasan Korupsi mempunyai fungsi memimpin, mengordinir dan mengawasi semua alat-alat penegak hukum yang berwenang, baik sipil maupun Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan perkara-perkara korupsi, baik yang dilakukan oleh oknum sipil maupun Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. c. Berdasarkan ketentuan Pasal 284 ayat (2) yang berbunyi : Dalam waktu 2 tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana disebutkan pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Penjelasan dari Pasal 284 ini terdapat dalam Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP yang berbunyi : Penyidikan menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 ayat (2) KUHAP dilaksanakan oleh penyidik, jaksa dan pejabat penyidik yang berwenang lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan. Ketentuan yang menyatakan bahwa jaksa dapat menyidik tindak pidana tertentu, terdapat dalam Pasal 32 huruf b Undang-undang No. 5 Tahun 1991, yang menyatakan bahwa : Jaksa Agung mengordinasikan penanganan perkara pidana tertentu dengan instansi terkait berdasarkan undang-undang yang pelaksanaan koordinasinya ditetapkan oleh Presiden. d. Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 1983 dan Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 1991 yang menyatakan bahwa dalam pedoman pelaksanaan pengawasan,

para menteri / pemimpin lembaga pemerintah non departemen/pemimpin instansi lainnya setelah menerima laporan adanya suatu perbuatan tindak pidana, maka pemimpin melakukan pengaduan tindak pidana dengan menyerahkan kepada Kepala Kejaksaan Republik Indonesia dalam hal terdapat indikasi tindak pidana khusus yakni tindak pidana korupsi. e. Ketentuan pasal 39 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa : Jaksa Agung mengordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan umum dan peradilan militer. f. Keppres Nomor 86 Tahun 1999 tentang susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia, dalam Pasal 16 menyebutkan bahwa: Jaksa Agung Tindak Pidana Khusus adalah unsur pembantu pimpinan dalam melaksanakan sebagian tugas dan wewenang serta fungsi kejaksaan di bidang yustisial mengenai tindak pidana khusus yang bertanggung jawab langsung kepada jaksa agung. g. Undang-undang Kejaksaan Nomor 5 Tahun 1991 jo. Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004. Di dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 diatur tidak secara tegas mengenai kewenangan Kejaksaan dalam penyidikan tindak pidana korupsi. Namun demikian, terdapat ketentuan yang secara tidak langsung mengakui eksistensi kejaksaan untuk menyidik tindak pidana korupsi. Pasal 29 menyatakan bahwa disamping tugas dan wewenang melakukan penyidikan dalam Undang-undang Kejaksaan, Kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain yang berkaitan dengan KUHAP Pasal 284 ayat (2), Undang-

undang No. 03 Tahun 1971 jo. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, dan Undang-undang lain. Dalam berkembangnya Undang-undang Kejaksaan yang baru yakni Undangundang Nomor 16 Tahun Tahun 2004 diatur secara jelas mengenai penyidikan yakni dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d yang menyebutkan : Dibidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang. h. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dalam Pasal 33 dinyatakan bahwa : Dalam hal tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya. Dan ketentuan dalam Pasal 34 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juga menyatakan : Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas berita acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya. B. Perbandingan Kewenangan Jaksa sebagai Pengacara Negara dan Jaksa sebagai Penuntut Umum Kedudukan Kejaksaan dalam peradilan pidana di Indonesia mengalami pergeseran sejalan dengan pergeseran tugas dan kewenangan yang dimilikinya.

Dalam kaitannya dengan peradilan pidana, tugas dan kewenangan Kejaksaan diatur dalam hukum acara pidana, yaitu Undang-undang No. 08 Tahun 1981 yag kita kenal sebagai KUHAP sementara dalam kaitannya dengan kelembagaannya sendiri diatur dalam Undang-undang No. 05 Tahun 1991 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 16 Tahun 2004. 21 Fungsi utama Kejaksaan dalam peradilan pidana adalah sebagai Penuntut Umum dan Pelaksana Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, sebagaimana disebut dalam Pasal 1 butir 1, 2, 3 juga Pasal 2 ayat (1), dan (2) Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Dalam Pasal 1 ayat (6) huruf A Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) juga menyatakan bahwa : Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Dan Pasal 1 ayat (6) huruf B KUHAP tersebut juga menyebutkan bahwa : Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. 22 Bila kita uraikan wewenang Kejaksaan sebagai Penuntut Umum, yang terdapat dalam KUHAP adalah sebagai berikut ini : 1. Menerima pemberitahuan dari penyidik dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana (Pasal 21 Ibid, hal. 51 22 M. Karjadi dan R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dengan Penjelasan Resmi dan Komentar, Politeia, Bogor, 1988, hal. 3.

109 ayat (1)) dan pemberitahuan baik dari penyidik maupun penyidik PNS yang dimaksudkan oleh Pasal 6 ayat (1) huruf b mengenai penyidikan dihentikan demi hukum; 2. Menerima berkas perkara dari penyidik dalam tahap pertama dan kedua sebagaimana dimaksud oleh Pasal 8 ayat (3) huruf a dan b dalam hal acara pemeriksaan singkat menerima berkas perkara langsung dari penyidik pembantu (Pasal 12); 3. Mengadakan pra penuntutan (Pasal 14 huruf b) dengan memperhatikan ketentuan materi Pasal 110 ayat (3) dan (4) dan Pasal 138 ayat (1) dan (2) 4. Memberikan perpanjangan penahanan (Pasal 124 ayat (20)), melakukan penahanan dan penahanan lanjutan (Pasal 20 ayat (2)), Pasal 21 ayat (2), Pasal 25 dan Pasal 26), melakukan penahanan rumah (Pasal 22 ayat (2), penahanan kota (Pasal 22 ayat (3)), serta mengalihkan jenis penahanan. 5. Atas permintaan tersangka atau terdakwa mengadakan penangguhan penahanan serta dapat mencabut penangguhan penahanan dalam hal tersangka atau terdakwa melanggar syarat yang ditentukan (Pasal 31). 6. Mengadakan penjualan lelang benda sitaan yang lekas rusak atau membahayakan karena tidak mungkin disimpan sampai putusan pengadilan pada perkara tersebut untuk memperoleh putusan pengadilan yang tetap atau mengamankannya dengan disaksikan tersangka atau kuasanya (Pasal 45 ayat (1)).

7. Melarang atau membatasi kebebasan hubungan antara Penasehat Hukum dengan tersangka akibat disalahgunakan haknya (Pasal 70 ayat (4)), mengawasi hubungan antara penasehat hukum dengan tersangka tanpa mendengar isi pembicaraan antara mereka (Pasal 71 ayat (1)), dan dalam kejahatan terhadap keamanan negara maka Jaksa dapat ikut mendengarkan isi pembicaraan penasehat hukum dengan tersangka (Pasal 71 ayat (2). Pengurangan kebebasan hubungan antara penasehat hukum dengan tersangka tersebut dilarang apabila perkara telah dilimpahkan Penuntut Umum ke Pengadilan Negeri untuk disidangkan (Pasal 74). 8. Meminta dilakukan pra peradilan kepada ketua pengadilan negeri untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan oleh penyidik (Pasal 80). Maksud Pasal 80 ini adalah untuk menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran melalui sarana pengawasan secara horizontal. 9. Dalam perkara koneksitas, karena perkara pidana itu harus diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, maka penuntut umum menerima penyerahan perkara dari oditur militer dan selanjutnya dijadikan dasar untuk mengajukan perkara tersebut kepada pengadilan yang berwenang (Pasal 91 ayat (1)). 10. Menentukan sikap apakah suatu berkas perkara telah memenuhi persyaratan atau tidak dilimpahkan ke pengadilan (Pasal 139). 11. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab selaku Penuntut Umum (Pasal 14 huruf (i)).

12. Apabila Penuntut Umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, maka dalam waktu secepatnya ia membuat surat dakwaan (pasal 140 ayat(1)). 13. Membuat surat penetapan penghentian penuntutan (Pasal 140 ayat (2) huruf a), dikarenakan : a. Tidak terdapat cukup bukti b. Peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana c. Perkara ditutup demi kepentingan umum 14. Melakukan penuntutan terhadap tersangka yang dihentikan penuntutan dikarenakan adanya alasan baru (Pasal 140 ayat (2) huruf d). 15. Mengadakan penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu surat dakwaan (Pasal 141). 16. Mengadakan pemecahan penuntutan terhadap satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan beberapa orang tersangka (Pasal 142). 17. Melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan disertai surat dakwaan (Pasal 143) 18. Membuat surat dakwaan (Pasal 143 ayat (2)) 19. Untuk maksud penyempurnaan atau untuk tidak melanjutkan penuntutan, Penuntut Umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan hari sidang atau selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum sidang dimulai (Pasal 144).

Yang menjadi perhatian kita atau yang menjadi sorotan kita dalam perbandingan Kejaksaan sebagai Penuntut Umum dan Kejaksaan sebagai Pengacara Negara adalah bahwa Kejaksaan itu adalah een en ondeelbaar. 23 Asas ini terlihat dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, bahwa Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam Undang-undang ini disebut Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat (3) Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tersebut lebih dipertegas bahwa Kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah satu dan terpisahkan. Hal tersebut juga diperkuat dengan Pasal 8 ayat (2) yaitu dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Jaksa bertindak untuk dan atas nama negara serta bertanggung jawab menurut saluran hierarki. Sehingga bila kita perhatikan betapa sulitnya dipisahkan kewenangan Kejaksaan sebagai Penuntut Umum dan Kejaksaan sebagai Pengacara Negara. Karena seorang Jaksa sebagai Pengacara Negara tidak terlepas dari fungsinya sebagai Penuntut Umum. Kedudukan seorang Jaksa yang pertanggung jawabannya secara hierarkis juga menyulitkan Jaksa dalam bertindak sebagai Pengacara Negara. Dalam hal ini bisa saja Jaksa mempunyai pandangan yang berbeda dengan atasannya mengenai kedudukan suatu perkara dimana ia bertindak sebagai Pengacara Negara. Jaksa sebagai Pengacara Negara tersebut akan sulit mengambil tindakan yang berbeda 23 Asas pengorganisasian kejaksaan yang menjadi dasar pelaksanaan tugas di bidang penuntutan, yaitu kejaksaan adalah satu dan tidak terpisah-pisahkan dalam melakukan penuntutan.

karena bagaimanapun juga ia harus mempertanggungjawabkan secara hierarkis ke atasannya. Dari hal tersebut dapat kita ketahui bahwa sulit untuk seorang Jaksa untuk bisa independen dalam bertindak sebagai Pengacara Negara. 24 Belum lagi ditambah bagi Kejaksaan dihadapkan pada satu sisi sebagai Pengacara Negara, misalnya sebagai Pengacara Negara dari suatu bank milik pemerintah yang digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara, disisi lain Kejaksaan juga bertindak pada subjek yang sama, yaitu Pejabat Bank Milik Negara yang digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagai Penuntut Umum dalam tindak pidana korupsi. Tentu sulit bagi Kejaksaan, karena di satu sisi sebagai Pengacara Negara Kejaksaan melakukan pembelaan pada satu pihak tetapi di sisi lain Kejaksaan bertindak sebagai Penuntut Umum yang sama. 25 24 http://www.kejari-jaksel.go.id/staticpage.php?page=organisasi-datun, diakses tanggal 01 Desember 2010. 25 http://www.kejari-jaksel.go.id/staticpage.php?page=organisasi-datun, diakses tanggal 01 Desember 2010.