BAB III ANALISIS SWOT KEBIJAKAN DESENTRALISASI PENDIDIKAN DI INDONESIA

dokumen-dokumen yang mirip
KESIMPULAN HASIL PERBANDINGAN

KEBIJAKAN PEMBINAAN KEARSIPAN DAERAH

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan merupakan bagian terpadu dari pembangunan

MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Masalah. Salah satu upaya untuk mewujudkan sistem pemerintahan yang baik

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Selama pemerintahan orde baru sentralisasi kekuasaan sangat terasa dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

V. RANCANGAN PROGRAM

BAB I PENDAHULUAN. mencatat desentralisasi di Indonesia mengalami pasang naik dan surut seiring

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Seiring dengan dimulainya era reformasi pada tahun 1998, telah memberikan harapan bagi perubahan menuju perbaikan di

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

TARGET 20 % ANGGARAN UNTUK PENDIDIKAN:

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan, maupun kemasyarakatan maupun tugas-tugas pembantuan yang

BAB III METODE KAJIAN

B. Maksud dan Tujuan Maksud

Desentralisasi dan Otonomi Daerah:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, disahkan pada

BANGKITNYA INDONESIA. Prioritas Kebijakan untuk Tahun 2010 dan Selanjutnya

BAB 1 PENDAHULUAN. upaya-upaya secara maksimal untuk menciptakan rerangka kebijakan yang

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan ekonomi. Adanya ketimpangan ekonomi tersebut membawa. pemerintahan merupakan salah satu aspek reformasi yang dominan.

SAMBUTAN GUBERNUR KALIMANTAN BARAT PADA ACARA PEMBUKAAN RAPAT KERJA BIDANG PERTANAHAN PROVINSI KALIMANTAN BARAT TAHUN 2008 Hari/Tanggal : Selasa, 29

BAB I PENDAHULUAN. Melalui Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) yang telah

BAB 1 PENDAHULUAN. Sebagai awal dalam rangkaian penelitian ini, pada bab I menjelaskan latar

BAB 1 PENDAHULUAN Hal ini berdasarkan dikeluarkannya Undang Undang No. 22 tahun 1999

BAB I PENDAHULUAN. terwujudnya good governance di Indonesia semakin meningkat. Terdapat tiga

KORUPSI MENGHAMBAT PEMBANGUNAN NASIONAL. Oleh : Kolonel Chk Hidayat Manao, SH Kadilmil I-02 Medan

BAB 1 LATARBELAKANG. adanya era reformasi dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal.

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan, yang secara umum bertumpu pada dua paradigma baru yaitu

Perbandingan Kebijakan Pendidikan AS-INDONESIA BAB I PENDAHULUAN

BAB 12 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi di Indonesia setidaknya telah mengeluarkan dua undangundang

BAB I PENDAHULUAN. telah menjadi semacam new product dari sebuah industri bernama pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. Umum dan Tata Cara Perpajakan pasal 1 ayat 1 mendefinisikan pajak dengan

Pemekaran Wilayah. Tabel Pemekaran Daerah Tahun

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi negara serta masyarakatnya. Penerimaan pajak mempunyai peranan yang

PEMERINTAH KABUPATEN PARIGI MOUTONG

BAB 13 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Bangsa Indonesia saat ini sedang memasuki masa pemulihan akibat krisis

Grafik 1. Area Bencana

I. PENDAHULUAN. implementasi kurikulum di kelas, maka perlu mendapat perhatian serius. dilaksanakan oleh pelaku-pelaku yang profesional.

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat. Selain itu, pemerintah daerah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan di daerah akhir-akhir ini,

BAB V PENUTUP. a. Forum Informal; b. Studi Banding; c. Focus Group Discussion (FGD); d.

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 79 TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA PENCAPAIAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL

BAB I PENDAHULUAN. kepada daerah. Di samping sebagai strategi untuk menghadapi era globalisasi,

Penanggungjawab : Koordinator Tim Pelaksana

BAB 6 PENUTUP. 122 Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi

MODEL PENGAWASAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH TERHADAP PEMERINTAH DAERAH DALAM MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE (STUDI DI KOTA SALATIGA) PERIODE

BAB III ISU ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI

INUNG ISMI SETYOWATI B

BAB I PENDAHULUAN. birokrasi dalam berbagai sektor demi tercapainya good government. Salah

RENCANA KERJA TAHUN ANGGARAN 2015 BAGIAN UMUM. Padang yang dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Kota Padang No. 15 tahun 2008.

B A B III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penanganan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) bermasalah yang tidak

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam kemajuan teknologi yang tinggi pada masa kini dan masa yang

BABl PENDAHULUAN. Pelaksanaan Otonomi Daerah yang telah digulirkan sejak tahun 2001

ANCAMAN RUU PEMDA KEPADA DEMOKRATISASI LOKAL DAN DESENTRALISASI

Bab i PENDAHULUAN. Tingkat II yaitu Kabupaten dan Kota dimulai dengan adanya penyerahan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. oleh setiap daerah di Indonesia, terutama Kabupaten dan Kota sebagai unit pelaksana

Pendelegasian Wewenang

I. PENDAHULUAN. Kebijakan Otonomi Daerah yang saat ini sangat santer dibicarakan dimana-mana

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

TERBATAS (Untuk Kalangan Sendiri)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SANGGAU,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk

BAB V KESIMPULAN. Bab ini merupakan kesimpulan dari penulisan skripsi yang berjudul MILITER

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

BAB 12 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH

PEMERINTAH KABUPATEN BLITAR PROFIL BAGIAN PEMERINTAHAN SEKRETARIAT DAERAH KABUPATEN BLITAR

BAB I PENDAHULUAN. demokrasi, desentralisasi dan globalisasi. Jawaban yang tepat untuk menjawab

Rencana Strategis BAB 1 PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN. perubahan dengan tujuan utama memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup

BAB I PENDAHULUAN. maupun kinerja manajerial hingga kini masih menjadi issue yang menarik diteliti,

BAB I PENDAHULUAN. Keinginan untuk mewujudkan good governance merupakan salah satu

PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGADA NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN NGADA

BAB I PENDAHULUAN. dengan ditetapkannya UU No. 22 Tahun 1999 (revisi menjadi UU No. 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. yang semakin meningkat serta perusahaan-perusahaan yang semakin besar,

BAB I PENDAHULUAN. setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi dasar dalam

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah sebuah negara yang wilayahnya terbagi atas daerah-daerah

BAB I PENDAHULUAN. manajemen pemerintah pusat dan daerah (propinsi, kabupaten, kota). Hal tersebut

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu faktor yang menghambat penyediaan sumber daya manusia

I. PENDAHULUAN. kehidupan baru yang penuh harapan akan terjadinya berbagai langkah-langkah

BAB 14 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan salah satu rangkaian dasar

SEJARAH PERKEMBANGAN OTONOMI DAERAH DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan pada tahun Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan

BAB I PENDAHULUAN. Tuntutan pelaksanaan akuntabilitas sektor publik terhadap terwujudnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Awal diterapkannya otonomi daerah di Indonesia ditandai dengan

BAB I PENDAHULUAN. Wujud otonomi daerah yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor

PERATURAN DAERAH KABUPATEN POLEWALI MANDAR NOMOR 11 TAHUN 2009 ORGANISASI DAN TATA KERJA KECAMATAN DAN KELURAHAN DI KABUPATEN POLEWALI MANDAR

BAB I PENDAHULUAN. sangat mendasar terhadap hubungan Pemerintah Daerah (eksekutif) dengan

BAB I PENDAHULUAN. tersebut mengatur pelimpahan kewenangan yang semakin luas kepada

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Negara Republik Indonesia saat ini sedang giat-giatnya melaksanakan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pemerintah daerah sekarang ini dihadapkan oleh banyaknya tuntutan baik dari

Transkripsi:

ANALISIS SWOT KEBIJAKAN DESENTRALISASI PENDIDIKAN DI INDONESIA A. PERMASALAHAN Jika dibandingkan dengan kebijakan desentralisasi pendidikan di Amerika Serikat, maka ebijakan desentralisasi pendidikan yang diterapkan di Indonesia tergolong masih sangat baru dan belum memiliki pengalaman. Jelas hal ini sangat masuk akal jika pada saat kebijakan ini diimplementasikan di lapangan muncul berbagai permasalahan. Di AS, meskipun desentralisasi pendidikan sudah sangat lama diimplementasikan dan sudah banyak pengalaman birokrasi menangani kasus-kasus pendidikan, namun ternyata muncul juga permasalahan besar yang terjadi secara nasional, yaitu pada akhir 1980-an dan awal 1990-an, sehingga AS melakukan reformasi kebijakan pendidikan secara besar-besaran pada tahun 1990. Begitulah kira-kira reasening yang bisa dikemukakan untuk menyikapi munculnya berbagai permasalahan berkaitan dengan implementasi kebijakan desentralisasi pendidikan di Indonesia. Permasalahan yang muncul di sekitar implementasi kebijakan desentralisasi pendidikan di Indonesia antara lain adalah; bahwa pendelegasian urusan pendidikan wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah cenderung masih dimaknai sebagai penyerahan kekuasaan daripada penyerahan aspek pelayanan. Akibatnya Pemerintah 1

Daerah (khususnya Kabupaten/Kota) berpotensi menjadi penguasa tanpa batas jika tidak diimbangi dengan pengembangan institusi dan SDM daerah. Hal ini diakui dan ditegaskan sendiri oleh Dr. H. Ace Suryadi, Staf Ahli Mendiknas Bidang Desentralisasi Pendidikan (Pikiran Rakyat, Pendelegasian Makin Rumit, 19 Februari 2004). Menurut Ace, masalah tersebut akan makin rumit kalau dalam melaksanakan fungsi pelayanan, pemkab/pemkot tidak mamiliki standar pelayanan minimum (SPM) yang memadai sebagai sarana kontrol. Jika tidak dibenahi sejak dini, maka masalah tersebut akan menjadi hambatan serius terhadap misi utama desentralisasi, termasuk desentralisasi pendidikan. Implementasi kebijakan desentralisasi pendidikan di daerah ternyata banyak yang tidak sesuai dengan semangat (ruh) kebijakan itu sendiri. Banyak ditemukan daerah malah memperpanjang meja birokrasi hingga tidak mustahil memunculkan resiko kebocoran anggaran. Contoh konkritnya adalah tentang Biaya Operasional Sekolah. Sebelum ada UU No.22/1999 tentang otonomi daerah, sekolah secara langsung dapat menggunakan anggaran rutinnya untuk kepentingan sekolah. Namun dengan diberlakukannya otonomi daerah, biaya operasional itu menjadi kewenangan Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, sehingga sekolah harus melalui meja-meja birokrasi yang panjang untuk mendapatkan biaya operasionalnya. Pemkab/Pemkot bahkan cenderung lebih hegemonik dalam membirokrasikan desentrasliasi pendidikan, ketika kekuasaan dan kewenangan Pemprov dibatasi oleh UU untuk mengintervensi Pemkab/Pemkot. Pelayanan Pemprov yang lintas kabupaten/kota menjadi terabaikan. Meskipun demikian, kebijakan desentralisasi pendidikan tidak harus disimpulkan gagal untuk dilaksnakan. Ada hal-hal yang merupakan kekuatan dan peluang bagi keberhasilan implementasi berikutnya. Berikut 2

ini disajikan hasil analisis SWOT terhadap implementasi kebijakan desentralisasi pendidikan di Indonesia. Analisis SWOT ini dibuat berdasarkan kajian kualitatif, bukan kuantitatif. Analisis ini dibuat dengan merujuk hasil-hasil kajian dan referensi tentang desentralisasi pendidikan yang sudah ada, termasuk buku dan publikasi yang relevan. Berikut ini hasil identifikasinya: B. STRENGTH (KEKUATAN) Jika digunakan analisis SWOT terhadap implementasi ebijakan desentralisasi pendidikan ini, maka ada beberapa hal yang dapat diidentifikasikan sebagai faktor kekuatan, yaitu: 1. Secara politis kebijakan desentralisasi pendidikan telah dikenal luas oleh masyarakat dan merupakan kebijakan yang populis. 2. Proses kelahirannya dikawal sedemikian rupa oleh para pakar pendidikan dan digiring sedemikian rupa menjadi agenda pemerintah oleh kalangan politisi, baik yang ada di parlemen maupun yang ada di partai politik. 3. Jiwa dan ruh kebijakan desentralisasi pendidikan telah lama diidamkan oleh masyarakat, khususnya dalam menghadapi era persaingan bebas yang mengharuskan masyarakat kita memiliki kompetensi dan daya kompetitif yang tinggi. 4. Adanya dukungan anggaran yang cukup besar bagi pengembangan sektor pendidikan, sebagaimana dicerminkan dalam APBN sejak tahun 2003. Yaitu bahwa anggaran untuk sektor pendidikan secara nasional adalah 20% dari total pengeluaran pemerintah pada APBN 2003. 5. Kebijakan ini merupakan bentuk nyata dari diakuinya eksistensi pemerintah daerah dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan bidang pendidikan di daerah masing-masing. 3

C. WEAKNESS (KELEMAHAN) Disamping adanya kekuatan-kekuatan sebagaimana dikemukakan di atas, kebijakan ini juga memiliki sisi kelemahannya, antara lain adalah: 1. Tidak meratanya kemampuan dan kesiapan pemerintah daerah untuk menjalankan kebijakan desentralisasi pendidikan, khususnya pemerintah daerah di wilayah terpencil. Bahkan untuk wilayah tertentu implementasi kebijakan desentralisasi pendidikan secara penuh justru cenderung menjadi masalah tersendiri di daerah tersebut. 2. Tidak meratanya kemampuan keuangan daerah (Pendapatan Asli Daerah) dalam menopang pembiayaan pendidikan di daerahnya masing-masing, terutama daerah-daerah miskin. 3. Belum adanya pengalaman dari masing-masing pemerintah daerah untuk mengatur sendiri pembangunan pendidikan di daerahnya sesuai dengan semangat daerah yang bersangkutan. Sehingga dikhawatirkan implementasi kebijakan desentralisasi pendidikan akan dijadikan komoditas bagi pemerintah daerah tertentu untuk tujuan-tujuan jangka pendek. 4. Belum bersihnya aparat birokrasi dari mentalitas dan budaya korupsi. 5. Belum jelasnya pos-pos anggaran untuk pendidikan. D. OPPORTUNITY (PELUANG) Berikut ini diinventarisir sejumlah faktor yang diduga kuat dapat menjadi faktor peluang bagi keberhasilan pelaksanaan kebijakan desentralisasi pendidikan, yaitu: 4

1. Adanya semangat yang kuat dari masyarakat untuk menjadikan implementasi kebijakan ini (harus) berhasil, karena munculnya kebijakan ini disadari bersama sebagai keinginan masyarakat banyak. 2. Adanya semangat dari kalangan masyarakat untuk turut serta mengawasi pelaksanaan kebijakan desentralisasi pendidikan di daerah masing-masing. Bahkan muncul banyak LSM atau lembaga non-pemerintah yang merelakan diri memonitor dan mengawasi pelaksanaan kebijakan ini. E. THREAT (ANCAMAN/TANTANGAN) Selanjutnya adalah faktor ancaman. Ada beberapa faktor yang diduga menjadi faktor ancaman bagi implementasi kebijakan desentralisasi pendidikan. Yaitu 1. Tidak meratanya hasil prestasi pendidikan dilihat secara nasional karena sangat dimungkinkan munculnya variasi kualitas di masing-masing lembaga pendidikan, baik di dalam satu wilayah daerah, maupun dibandingkan dengan daerah yang lain. 2. Faktor tidak meratanya kualitas guru di masing-masing daerah juga diduga sebagai ancaman. BERSAMBUNG KE BAB IV Surabaya, Oktober 2005 Ulul Albab, Drs., MS 5