Positive Personality J E M B A T A N R E F O R M A S I OLEH-OLEH DARI MEDAN hal. 4 Disiplin Tanpa Batas TC MEDIA EDISI 32 MARET 2011 1
action Oleh-oleh dari Seminar di Medan Hari Rabu tanggal 9 Maret 2011 di Medan, Sumatera Utara, penulis (Kepala Bagian Yurisprudensi dan Pengolahan Data, Sekretariat Pengadilan Pajak, Kementerian Keuangan) dan Bapak Winarto Suhendro (Wakil Sekretaris Pengadilan Pajak, Kementerian Keuangan) telah mengikuti kegiatan seminar tentang Kedudukan Peradilan Pajak Dalam Sistem Peradilan Di Indonesia yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan, Mahkamah Agung (MA). Penugasan penulis dan Bapak Winarto Suhendro ke Medan tersebut didasarkan pada Surat Ketua Pengadilan Pajak kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan MA, Nomor : S- 001/PP/2011 tanggal 4 Maret 2011 hal Penyampaian Nama Perwakilan dari Pengadilan Pajak Untuk Mengikuti Seminar Kedudukan Peradilan Pajak Dalam Sistem Peradilan di Indonesia. Sebagai informasi, peserta yang hadir dalam kegiatan seminar tersebut antara lain beberapa Hakim di lingkungan peradilan di Sumetera Utara, kalangan akademisi, dan perwakilan dari Pengadilan Pajak. Sedangkan pembicara yang menyampaikan makalah tertulisnya adalah Prof. Dr. H. Eman Suparman, S.H., M.H. (Ketua Komisi Yudisial), Dr. H. Imam Soebechi, S.H., M.H. (Hakim Agung MA), dan Dr. Hj. Dewi Kania Sugiharti, S.H., M.H. (Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung). Adapun intisari seminarnya antara lain terangkum dalam kutipan tulisan dibawah ini. Dalam makalahnya pada seminar tersebut di atas, Prof. Dr. H. Eman Suparman, S.H. M.H. (Ketua Komisi Yudisial) berpendapat antara lain sebagai berikut : 1. Dualisme Pengadilan Pajak ; 4 Sebagai sebuah institusi peradilan yang seharusnya independen dan tidak memihak. Pengadilan Pajak merupakan institusi di bawah dua atap, dimana pembinaan teknis peradilan menjadi tanggung-jawab TC MEDIA EDISI 32 MARET 2011 MA, sedangkan pembinaan organisasi, administrasi, dan Keuangan diselenggarakan oleh Kementerian Keuangan. Pengadilan Pajak dua atap menyiratkan ketidakmandirian dan bertentangan dengan prinsip pemisahan (separation of power) atau trias politica. 2. Bagaimana Proses Rekrutmen Hakim ; Pengangkatan Hakim Pengadialn pajak diusulkan oleh Menteri Keuangan setelah mendapat persetujuan Ketua MA. Berpotensi besar mengganggu independensi Hakim. Usul Menteri diartikan dengan inisiasi melakukan rekrutmen mandiri oleh Kementerian Keuangan, padahal Kementerian Keuangan berlaku sebagai pihak tergugat melalui Direktorat Jenderal Pajak dalam penyelesaian sengketa pajak yang masuk ke Pengadilan Pajak. Hakim harus bebas dari kekuasaan manapun dalam memeriksa dan memutus suatu perkara (independence of judiciary), sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan di masyarakat. Sepatutnya dalam rekrutmen, pemberhentian dan mutasi hakim sepenuhnya merupakan kewenangan MA dengan melibatkan KomisiYudisial dan bukan kewenangan Kementerian Keuangan. 3. Bagaimana Proses Pengawasan Hakim ; Rumusan idealnya peran pengawasan bagi Pengadilan Pajak adalah mengikuti Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang bertindak melakukan pengawasannya adalah Badan Pengawasan MA untuk pengawasan internal. Pengawasan eksternal berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial guna menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim pajak.
action 4. Kesimpulan Ketua KomisiYudisial ; Melalui revisi Undang-undang Komisi Yudisial yang baru diharapkan kewenangan Komisi Yudisial terhadap Hakim di Pengadilan Pajak dapat diakomodir, agar supaya menghapus kesan yang selama ini melekat pada Pengadilan Pajak sebagai pengadilan liar. Melakukan revisi terhadap Undang-undang Pengadilan Pajak agar memberikan ruang pengawasan dan rekrutmen Hakim bagi KomisiYudisial. Selain itu, Dr. H. Imam Soebechi, S.H, M.H. (Hakim Agung MA) dalam makalahnya pada seminar tersebut di atas menyatakan antara lain sebagai berikut : 1. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU No. 48 Tahun 2009) merupakan ketentuan payung dari semua UU tentang badan-badan pengadilan di lingkungan peradilan. 2. Ketentuan Pasal 24 UUD NKRI 1945 dan ketentuan Pasal 18 serta Pasal 25 UU No. 48 Tahun 2009 menganut prinsip pemisahan pemisahan kekuasaan dan kewenangan mengadili (separation of jurisdictions) dari setiap lingkungan peradilan. 3. One Roof Sistem merupakan implementasi dari amanat reformasi untuk mewujudkan kekuasaan kehakiman yang bebas dan mandiri. 4. Dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, tidak ada ketentuan secara eksplisit Pengadilan Pajak sebagai pengadilan khusus atau peradilan yang berdiri sendiri. 5. Berdasarkan Penjelasan Pasal 15 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 dan dikuatkan dalam Penjelasan Pasal 27 UU Nomor 48 Tahun 2009, Pengadilan Pajak dipaksa menjadi pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan Tata Usaha Negara. 6. Integrasi Pengadilan Pajak dalam sistem peradilan di Indonesia : Pengintegrasian Pengadilan Pajak dalam sistem peradilan harus tetap mengacu pada norma dasar UUD NKRI Tahun 1945 dan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Penegasan pembinaan teknis serta organisasi, finansial, dan adminstrasi dibawah MA. Penguatan prinsip-prinsip dasar peradilan seperti peradilan cepat, sederhana, ringan, dll. Penguatan kedudukan Pengadilan Pajak sebagai pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan Tata Usaha Negara : Ÿ Hakim Pengadilan Pajak terdiri dari hakim karier dan Hakim ad hoc. Ÿ Hakim karier berasal dari Hakim di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. Ÿ Hakim ad hoc berasal dari nama yang diusulkan oleh Menteri Keuangan dan dari akademisi. Ÿ Majelis Hakim terdiri dari 3 (tiga) orang Hakim dengan komposisi terdiri dari seorang Hakim Ketua dari Hakim karier, dan 2 (dua) orang Hakim ad hoc yaitu 1 (satu) orang yang diusulkan Menteri Keuangan dan 1 (sat) dari akademisi. Tempat kedudukan ada 3 (tiga) pilihan : 1. Berkaitan dengan hukum acara, maka jika pemeriksaan secara bertingkat; Pertama, Banding, dan atau Kasasi, maka tempat kedudukan dan wilayah hukum Pengadilan Pajak di Pengadilan TUN. Pemeriksaan Banding dilakukan Pengadilan Tinggi TUN. Kasasi tunduk pada kewenangan MA dalam memeriksa kasasi. Peninjauan Kembali (PK) sebagai upaya hukum luar biasa tunduk pada kewenangan MA memeriksa PK. 2. Jika pemeriksaan mempertimbangkan pentingnya penyelesaian sengketa pajak maka perlu dipikirkan menghilangkan salah satu tingkatan pemeriksaan yaitu Banding. Dengan demikian terhadap putusan Pengadilan Pajak tidak dapat dilakukan upaya banding ; Dapat dilakukan upaya kasasi dengan memperhatiakn batasan ketentuan Pasal 45 A ayat 2 huruf c Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 ; Tempat kedudukan Pengadilan Pajak ada 2 (dua) opsi yaitu di Pengadilan TUN atau di Pengadilan Tinggi TUN dengan mempertimbangkan kerja Hakim karier. 3. Menggunakan mekanisme/proses seperti sekarang, yaitu putusan Pengadilan Pajak sebagai putusan terakhir dan final, maka tempat kedudukan Pengadilan Pajak ada 2 (dua) opsi yaitu di Pengadilan TUN atau di Pengadilan Tinggi TUN dengan mempertimbangkan masa kerja hakim karier. Selanjutnya Dr. Hj. Dewi Kania Sugiharti, S.H., M.H. (Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung) pada Penutup makalah di seminar tersebut di atas menulis sebagai berikut : 1. Eksistensi Pengadilan Pajak sangat diperlukan untuk menyelesaikan sengketa pajak yang timbul antara wajib pajak/penanggung pajak dengan pemerintah sebagai pemungut pajak. 2. Pengadilan Pajak memerlukan kedudukan yang jelas. Jika Pengadilan Pajak dijadikan lembaga peradilan di luar 4 lingkungan peradilan yang diatur dalam UUD 1945, maka harus terlebih dahulu dilakukan amandemen terhadap UUD tersebut. TC MEDIA EDISI 32 MARET 2011 5