KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 52 TAHUN 2000 TENTANG JALUR KERETA API MENTERI PERHUBUNGAN,

dokumen-dokumen yang mirip
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1998 TENTANG PRASARANA DAN SARANA KERETA API PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1998 TENTANG PRASARANA DAN SARANA KERETA API PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2013, No Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara sebagaimana telah diubah terakhir deng

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 53 TAHUN 2000 TENTANG PERPOTONGAN DAN/ATAU PERSINGGUNGAN ANTARA JALUR KERETA API DENGAN BANGUNAN LAIN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*35899 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 69 TAHUN 1998 (69/1998) TENTANG PRASARANA DAN SARANA KERETA API PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1998 TENTANG PRASARANA DAN SARANA KERETA API PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2007 TENTANG PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2007 TENTANG PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : PM. 35 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA DAN STANDAR PEMBUATAN GRAFIK PERJALANAN KERETA API

BUPATI SIDOARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIDOARJO NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG PEMANFAATAN DAN PENGGUNAAN BAGIAN-BAGIAN JALAN KABUPATEN

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR: PM. 36 TAHUN 2011 TENTANG PERPOTONGAN DAN/ATAU PERSINGGUNGAN ANTARA JALUR KERETA API DENGAN BANGUNAN LAIN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2006 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BUPATI BANGKA TENGAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1990

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 110 TAHUN 2017 TENTANG

MENTERIPERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 5 TAHUN 2012

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2006 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2006 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2018, No Perumahan Rakyat (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 881) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Pekerjaan U

BUPATI SUKOHARJO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG GARIS SEMPADAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI BANDUNG BARAT PROVINSI JAWA BARAT

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 61 TAHUN 1993 TENTANG RAMBU-RAMBU LALU LINTAS DI JALAN MENTERI PERHUBUNGAN,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2006 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN TENTANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN PENYEBERANGAN MENTERI PERHUBUNGAN,

Walikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat

BUPATI JEPARA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 5 TAHUN 2017 TENTANG PEMANFAATAN BAGIAN JALAN DAERAH

BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR : 10 TAHUN TENTANG GARIS SEMPADAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR: 20/PRT/M/2010 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN DAN PENGGUNAAN BAGIAN-BAGIAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KABUPATEN TULUNGAGUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PEMANFAATAN BAGIAN JALAN

REKAYASA JALAN REL. MODUL 8 ketentuan umum jalan rel PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL

RANCANGAN PERATURAN MENTERI TENTANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN PENYEBERANGAN MENTERI PERHUBUNGAN,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 72 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN KERETA API DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 62 TAHUN 1993 T E N T A N G ALAT PEMBERI ISYARAT LALU LINTAS MENTERI PERHUBUNGAN,

BUPATI CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CILACAP,

BUPATI BANGKA PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

PETUNJUK TERTIB PEMANFAATAN JALAN NO. 004/T/BNKT/1990

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 63/PRT/1993 TENTANG GARIS SEMPADAN SUNGAI, DAERAH MANFAAT SUNGAI, DAERAH PENGUASAAN SUNGAI DAN BEKAS SUNGAI

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 23 TAHUN 2008

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB III LANDASAN TEORI

KEPUTUSAN MENTERI PERTAMBANGAN DAN ENERGI NOMOR 300.K/38/M.pe/1997 TENTANG KESELAMATAN KERJA PIPA PENYALUR MINYAK DAN GAS BUMI

2018, No Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5086), sebagaimana telah diubah dengan Perat

PEMERINTAH KABUPATEN KEDIRI

d. penyiapan bahan sertifikasi kecakapan personil serta penyiapan sertifikasi peralatan informasi dan peralatan pengamatan bandar udara.

BUPATI BOGOR PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOGOR

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM. 90 TAHUN 2002 TENTANG

b. bahwa dalam rangka kebutuhan transportasi dan penanggulangan muatan lebihdi pulau Jawa, diperlukan penetapan kelas jalan;

INPRES 3/2004, KOORDINASI PENYELENGGARAAN ANGKUTAN LEBARAN TERPADU *52350 INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (INPRES) NOMOR 3 TAHUN 2004 (3/2004)

Keputusan Bersama Direktur Jenderal Perhubungan Darat, Direktur Jenderal Anggaran dan Deputi Kepala Bappenas Bidang Prasarana

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1990 TENTANG JALAN TOL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT NOMOR : SK 113/HK.207/DRJD/2010 TENTANG

BUPATI BADUNG PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG JARINGAN UTILITAS TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

P E N J E L A S A N ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 72 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN KERETA API

PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TENGAH NOMOR 11 TAHUN 2004 TENTANG GARIS SEMPADAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 04/PRT/M/2012 TENTANG TATA CARA PENGAWASAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM,

PEMERINTAH KABUPATEN PEKALONGAN

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 5 TAHUN 1995 TENTANG PENYELENGGARAAN PENIMBANGAN KENDARAAN BERMOTOR DI JALAN MENTERI PERHUBUNGAN,

MENTERIPERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR: KM. 43 TAHUN 2010

BERITA DAERAH KOTA BEKASI

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR 31 TAHUN 1995 TENTANG TERMINAL TRANSPORTASI JALAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 79 TAHUN 2013 TENTANG JARINGAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI KOTABARU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN DAN PENGGUNAAN BAGIAN-BAGIAN JALAN

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR

BUPATI SEMARANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 /PRT/M/2011 TENTANG PEDOMAN PENETAPAN GARIS SEMPADAN JARINGAN IRIGASI

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 3 TAHUN 2009 TENTANG GARIS SEMPADAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT,

2017, No Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Kereta Api (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009

2012, No.71 2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Kebandarudaraan adalah segala sesuatu yang berkaita

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR : 15 TAHUN 2012

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 65 TAHUN 1993 T E N T A N G FASILITAS PENDUKUNG KEGIATAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN MENTERI PERHUBUNGAN,

WALIKOTA BANJARMASIN

a. bahwa dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 1992 tentang Perkeretaapian telah diatur ketentuan-ketentuan mengenai lalu lintas dan angkutan kereta api;

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28/PRT/M/2015 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 79 TAHUN 2013 TENTANG JARINGAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah ser

KEPUTUSAN GUBERNUR PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 84 TAHUN 2004 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 2001 TENTANG KEPELABUHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERENCANAAN JALUR GANDA KERETA API DARI STASIUN PEKALONGAN KE STASIUN TEGAL

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Rancangan Tata Letak Jalur Stasiun Lahat

WALIKOTA PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 7 TAHUN 2012 TENTANG GARIS SEMPADAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PEKALONGAN,

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT NOMOR : SK.603/AJ 401/DRJD/2007 TENTANG

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR: 63/PRT/1993 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT NOMOR : SK.276/AJ-401/DRJD/10 TENTANG

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM Nomor : 11 /PRT/M/2011 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN JALAN KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 81 TAHUN 1998 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN KERETA API PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 1996 TENTANG KEPELABUHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III LANDASAN TEORI. Tujuan utama dilakukannya analisis interaksi sistem ini oleh para

BAB III LANDASAN TEORI. A. Jenis jenis dan bentuk Tata Letak Jalur pada Stasiun

AKSESIBILITAS BAGI PENYANDANG CACAT DAN ORANG SAKIT PADA SARANA DAN PRASARANA PERHUBUNGAN

PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PEMBATASAN ANGKUTAN BARANG PADA RUAS JALAN PROVINSI RUAS JALAN SAKETI-MALINGPING-SIMPANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS

Transkripsi:

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 52 TAHUN 2000 TENTANG JALUR KERETA API MENTERI PERHUBUNGAN, Menimbang: a. bahwa dalam Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1998 tentang Prasarana dan Sarana Kereta Api, telah diatur ketentuan mengenai jalur kereta api; b. bahwa untuk menjabarkan lebih lanjut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu ditetapkan Keputusan Menteri Perhubungan tentang Jalur Kereta Api; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 13 Tahun 1992 tentang Perkeretaapian (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3479); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1998 tentang Prasarana dan Sarana Kereta Api (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3777); 3. Keputusan Presiden Nomor 136 Tahun 1999 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 175 Tahun 1999; 4. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM.91/OT.002/PHB-80 dan KM.164/OT.002/PHB-80 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Perhubungan, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 4 Tahun 2000; M E M U T U S K A N : Menetapkan: KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN TENTANG JALUR KERETA API. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan :

1. Kereta api adalah kendaraan dengan tenaga gerak, baik berjalan sendiri maupun dirangkaikan dengan kendaraan lainnya yang akan atau sedang bergerak di jalan rel; 2. Angkutan kereta api adalah pemindahan orang dan/atau barang dari satu tempat ke tempat yang lain dengan menggunakan kereta api; 3. Jalur kereta api adalah daerah yang meliputi daerah manfaat jalan kereta api, daerah milik jalan kereta api, dan daerah pengawasan jalan kereta api termasuk bagian bawahnya serta ruang bebas di atasnya, yang diperuntukkan bagi lalu lintas kereta api; 4. Daerah manfaat jalan kereta api adalah jalan rel beserta bidang tanah atau bidang lain di kiri dan kanannya yang dipergunakan untuk konstruksi jalan rel yang selanjutnya disingkat Damaja; 5. Daerah milik jalan kereta api adalah daerah yang diperuntukkan bagi daerah manfaat jalan kereta api dan pelebaran jalan rel maupun penambahan jalur dikemudian hari serta kebutuhan ruangan untuk pengamanan konstruksi jalan rel yang selanjutnya disingkat Damija; 6. Daerah pengawasan jalan kereta api adalah ruang sepanjang jalan rel di luar daerah milik jalan kereta api yang dibatasi oleh lebar dan tinggi tertentu dan diperuntukan bagi pengamanan dan kelancaran operasional kereta api yang selanjutnya disingkat Dawasja; 7. Ruang bebas adalah ruang tertentu yang senantiasa bebas dan tidak mengganggu gerakan kereta api sehingga kereta api dapat berjalan dengan aman; 8. Jalan rel adalah satu kesatuan konstruksi yang terbuat dari baja, beton atau konstruksi lain yang terletak di permukaan, di bawah dan di atas tanah atau bergantung beserta perangkatnya yang mengarahkan jalannya kereta api; 9. Jembatan kereta api adalah satu kesatuan konstruksi yang terbuat dari baja, beton atau konstruksi lain yang menghubungkan tepi sungai, jurang dan lain-lain untuk keperluan lalu lintas kereta api; 10. Terowongan kereta api adalah jalur terobosan di bawah tanah atau di bawah air yang dibuat dan digunakan untuk lalu lintas kereta api; Lintas adalah bagian dari jalur kereta api terdiri dari rangkaian beberapa petak jalan; 11. Badan Penyelenggara adalah badan usaha milik negara yang melaksanakan penyelenggaraan angkutan kereta api; 12. Badan Usaha adalah badan hukum Indonesia; 13. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang perkeretaapian; 14. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Perhubungan Darat.

BAB II RENCANA UMUM JARINGAN JALUR Pasal 2 (1) Prasarana kereta api yang berupa jalur, stasiun dan fasilitas operasional kereta api harus disusun dalam Rencana Umum Jaringan Jalur Kereta Api. (2) Rencana Umum Jaringan Jalur Kereta Api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dalam satu sistem terpadu dengan moda transportasi lainnya dengan mempertimbangkan : a. Rencana Umum Tata Ruang; b. keterpaduan intra dan antar moda transportasi; c. keterpaduan dengan sektor pembangunan lainnya; d. keselamatan dan kelancaran operasi kereta api; e. pertumbuhan ekonomi dan analisa efisiensi; f. kelestarian lingkungan. Pasal 3 (1) Rencana umum jaringan jalur kereta api terdiri dari : a. jaringan jalur kereta api antar kota; b. jaringan jalur kereta api kota. (2) Jaringan jalur kereta api antar kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri dari : a. lintas utama; b. lintas cabang. (3) Penyusunan jaringan jalur kereta api antar kota untuk lintas utama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, harus mempertimbangkan ciri-ciri sebagai berikut: a. melayani jarak jauh atau sedang; b. menghubungkan antar stasiun yang berfungsi sebagai pengumpul, yang ditetapkan untuk melayani lintas utama. (4) Penyusunan jaringan jalur kereta api antar kota untuk lintas cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, harus mempertimbangkan ciri-ciri sebagai berikut :

a. melayani jarak sedang atau dekat; b. menghubungkan antara stasiun yang berfungsi sebagai pengumpan dengan stasiun yang berfungsi sebagai pengumpul atau antar stasiun yang berfungsi sebagai pengumpan, yang ditetapkan untuk melayani lintas cabang. (5) Jaringan jalur kereta api kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, merupakan lintas utama yang tersusun dalam sistem angkutan kota. (6) Jaringan jalur kereta api kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dapat menggunakan jaringan jalur kereta api antar kota. (7) Rencana umum jaringan jalur kereta api ditetapkan oleh Menteri dengan memperhatikan pertimbangan dari instansi terkait lainnya. Pasal 4 (1) Rencana umum jaringan jalur kereta api disusun untuk kurun waktu 25 (dua puluh lima) tahun mendatang. (2) Rencana umum jaringan jalur kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditinjau kembali sekurang-kurangnya sekali dalam 5 (lima) tahun. (3) Dalam keadaan tertentu, peninjauan kembali dan/atau penyempurnaan rencana umum jaringan jalur kereta api dapat dilakukan sewaktu-waktu. (4) Peninjauan kembali rencana umum jaringan jalur kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dilakukan oleh Direktur Jenderal atas usul dari Kepala Kantor Wilayah Departemen Perhubungan dan/atau Gubernur Kepala Daerah Propinsi yang bersangkutan maupun atas dasar proses yang dilakukan sendiri oleh Direktur Jenderal. Pasal 5 Rencana perwujudan mengenai rencana umum jaringan jalur kereta api diatur dengan Keputusan Direktur Jenderal. BAB III DAERAH MANFAAT JALAN, DAERAH MILIK JALAN DAN DAERAH PENGAWASAN JALAN KERETA API Bagian Pertama Daerah Manfaat Jalan Kereta Api

Pasal 6 (1) Damaja merupakan jalan rel beserta bidang tanah atau bidang lain di kiri dan kanannya yang dipergunakan untuk konstruksi jalan rel serta bagi penempatan fasilitas operasional sarana kereta api dan/atau saluran air dan/atau bangunan pelengkap lainnya. (2) Bidang tanah atau bidang lain di kiri dan kanannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipergunakan untuk : a. kontruksi jalan rel; b. peralatan persinyalan; c. peralatan telekomunikasi; d. instalasi listrik; e. saluran air; f. bangunan pelengkap lainnya, berupa : 1) menara dan bangunan pelengkapnya; 2) gardu listrik; atau 3) bangunan pengendalian operasi kereta api terpusat. (3) Damaja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk tanah bagian bawahnya dan ruang bebas di atasnya. (4) Batas damaja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dari sisi terluar bidang tanah atau bidang lain yang digunakan untuk penempatan konstruksi jalan rel, peralatan persinyalan, peralatan telekomunikasi, instalasi listrik, saluran air dan bangunan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (5) Batas damaja untuk jalan rel yang berada di permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau terowongan dan jembatan, sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I Keputusan ini. Pasal 7 (1) Bidang tanah di luar damaja yang dipergunakan untuk membangun bangunan pelengkap lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf f diperlakukan sebagai Damaja. (2) Bidang tanah di luar damaja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan daerah tertutup untuk umum.

Pasal 8 (1) Apabila akan dilakukan pemasangan, pembangunan, perbaikan, penggantian baru, pemindahan dan relokasi bangunan utilitas perkeretaapian pada damaja yang terletak di permukaan tanah dan bergantung, di bawah permukaan tanah dan di atas permukaan tanah pada jalur kereta api, harus memenuhi persyaratan : a. tidak mengganggu pengoperasian kereta api; b. mengutamakan keselamatan konstruksi jalan rel; c. memperhatikan pengembangan jalan rel; d. memperhatikan kelestarian lingkungan; e. memperhatikan utilitas yang ada; f. keselamatan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan prosedur pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Keputusan Direktur Jenderal. Pasal 9 (1) Apabila terjadi gangguan dan hambatan tertentu dalam penggunaan damaja, Menteri melakukan upaya perbaikan dan/atau pengembalian ke dalam kondisi semula. (2) Gangguan dan hambatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa : a. banjir; b. gempa bumi; c. longsor; d. kebakaran. Pasal 10 (1) Penggunaan ruang dan/atau bidang tanah di atas dan di bawah daerah manfaat jalan kereta api dapat dilakukan oleh pihak lain dengan memperhatikan ketentuan sebagai berikut :

a. tidak membahayakan konstruksi jalan rel; b. tidak mengganggu fasilitas operasional; c. tidak mengganggu saluran air; d. tidak mengganggu bangunan perlengkapan lain; e. tidak mengganggu operasional kereta api. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan ruang dan/atau tanah oleh pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Keputusan Direktur Jenderal. Bagian Kedua Daerah Milik Jalan Kereta Api Pasal 11 Damija terdiri dari damaja beserta bidang tanah atau bidang lain di kiri dan kanannya yang dipergunakan untuk pengamanan konstruksi jalan rel dan operasional sarana kereta api. Pasal 12 (1) Batas damija untuk jalan rel yang terletak di permukaan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5), adalah batas paling luar sisi kiri dan kanan daerah manfaat jalan kereta api, masing-masing sebesar 6 (enam) meter. (2) Batas damija untuk jalan rel yang terletak di bawah permukaan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5), adalah batas paling luar sisi kiri dan kanan serta bagian bawah daerah manfaat jalan kereta api, masing-masing 2 (dua) meter, serta bagian atas hingga permukaan tanah. (3) Batas damija untuk jalan rel yang terletak di atas permukaan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5), adalah batas paling luar sisi kiri dan kanan daerah manfaaat jalan kereta api, masing-masing sebesar 2 (dua) meter. Pasal 13 (1) Penggunaan lahan pada damija di luar damaja untuk keperluan lain selain kepentingan operasi kereta api, dapat dilakukan atas izin Menteri. (2) Penggunaan lahan pada damija sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan persyaratan sebagai berikut : a. tidak membahayakan konstruksi jalan kereta api;

b. tidak mengganggu fasilitas operasional; c. tidak mengganggu saluran air; d. tidak mengganggu operasional kereta api; e. tidak mengganggu bangunan pelengkap lainnya. (3) Kegiatan yang dapat membahayakan konstruksi dan operasi berupa kegiatan yang dapat merubah kinerja prasarana kereta api antara lain : a. pemasangan utilitas; b. pekerjaan galian dan/atau penimbunan; c. pekerjaan pemancangan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan penggunaan damija sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan prosedur pengawasan diatur dengan Keputusan Direktur Jenderal. Bagian Ketiga Daerah Pengawasan Jalan Kereta Api Pasal 14 (1) Dawasja di luar damaja merupakan bidang tanah di kiri kanan selebar 9 (sembilan) meter dari daerah milik jalan kereta api yang berfungsi sebagai pengamanan dan kelancaran operasi kereta api. (2) Dawasja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan untuk kepentingan lain selain pengamanan operasi kereta api dengan ketentuan tidak mengganggu operasional kereta api. Pasal 15 (1) Batas dawasja di luar damaja harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : a. pada perlintasan dan lengkung, harus daerah bebas pandang; b. pada jalur kereta api yang terletak di bawah permukaan tanah/terowongan, batas dawasja berhimpit dengan damija; c. pada jembatan, batas dawasja berhimpit dengan damija.

(2) Hal-hal yang mengganggu kelancaran dan operasi kereta api di daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a untuk jari- jari lengkungan minimum, berupa : a. bangunan dan tanaman dengan tinggi tidak lebih dari 2 (dua) meter dari kepala rel; b. jarak 15 (lima belas) meter dari sisi terluar jalan rel. (3) Tata cara pengamanan batas dawasja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikoordinasikan dengan Pemerintah Daerah setempat. BAB IV JALAN REL Pasal 16 (1) Jalan rel merupakan satu kesatuan konstruksi yang terbuat dari baja, beton atau kontruksi lain yang terletak di permukaan, di bawah dan di atas tanah atau bergantung beserta perangkatnya yang berfungsi sebagai penyangga dan pengarah jalannya kereta api. (2) Jalan rel yang berfungsi sebagai penyangga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa : a. tubuh jalan rel; b. viaduct/jembatan. c. terowongan; d. tiang. (3) Jalan rel yang berfungsi sebagai pengarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa : a. rel; b. wesel; c. kabel; d. beton. Pasal 17 (1) Jalan rel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 harus memenuhi standar teknis penyangga dan pengarah.

(2) Standar teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan : a. tekanan gandar; b. kecepatan. Pasal 18 (1) Konstruksi jalan rel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 harus dapat berfungsi sesuai dengan letak jalan rel. (2) Bentuk dan ukuran konstruksi jalan rel yang sesuai dengan letak jalan rel, secara rinci sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Keputusan ini. Pasal 19 (1) Berdasarkan rencana umum jaringan jalur kereta api disusun rencana pembangunan jalan rel. (2) Rencana pembangunan jalan rel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan prioritas pentahapan dan study kelayakan yang memuat analisis sekurang-kurangnya tentang : a. kebutuhan pelayanan jasa angkutan kereta api; b. kebutuhan prasarana dan sarana; c. ketersediaan jasa angkutan moda lainnya; d. kelestarian lingkungan; e. finansial dan ekonomi. Pasal 20 (1) Pembangunan jalan rel menjadi tanggung jawab Pemerintah. (2) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : a. rancang bangun; b. rencana operasi; c. analisis dampak lingkungan; d. pendanaan dan pembiayaan untuk jalan rel yang dimiliki oleh Pemerintah.

(3) Rancang bangun sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, disusun berdasarkan standar teknis konstruksi jalan rel sesuai rencana kecepatan dan beban gandar. (4) Rancang bangun sebagaimana dimaksud pada ayat (3), untuk jalan rel yang terletak dipermukaan tanah, di bawah dan di atas tanah, meliputi : a. konstruksi jalan rel; b. ruang bebas dan ruang bangun; c. perlintasan sebidang; d. lebar jalan rel; e. lengkung vertikal dan horisontal; f. kelandaian. Pasal 21 Pembangunan jalan rel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut : a. sesuai dengan rencana umum jaringan jalur kereta api; b. mendukung pengamanan penggunaan jalur kereta api dan kelancaran pelayanan angkutan; c. sesuai dengan standar teknis dan rancang bangun yang ditetapkan. Pasal 22 (1) Penyediaan jalan rel, jembatan, dan terowongan kereta api untuk umum dilaksanakan oleh Pemerintah dan pelaksanaannya dapat dilimpahkan kepada Badan Penyelenggara. (2) Pelimpahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa : a. anggaran yang disediakan oleh Pemerintah; b. anggaran yang disediakan oleh Badan Penyelenggara. (3) Dalam hal penyediaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibiayai dari anggaran Pemerintah, pelaksanaan pelimpahan dilakukan oleh Menteri setelah mendapat persetujuan Menteri yang bertanggung jawab di bidang keuangan negara. (4) Badan Penyelenggara dapat menyediakan jalan rel, jembatan dan terowongan berdasarkan pelimpahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dengan

ketentuan gambar dan standar teknis prasarana telah mendapat persetujuan Menteri. (5) Dalam hal Badan Penyelenggara menyediakan jalan rel, jembatan dan terowongan yang dananya bukan berasal dari Pemerintah, dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan dari Menteri. (6) Badan Penyelenggara dengan izin Menteri dan setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan, dapat menyediakan prasarana yang dibutuhkan melalui kerja sama operasi dengan pihak ketiga, dengan memenuhi semua standar teknis prasarana yang bersangkutan serta perundang-undangan yang berlaku tentang kerjasama. Pasal 23 (1) Menurut kemampuan daya angkut lintasnya, jalur kereta api dibagi dalam 5 (lima) kelas. (2) Pembagian kelas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan : a. frekuensi lalu lintas kereta api; b. kecepatan maksimum yang diizinkan; c. beban gandar yang dapat didukung jalan rel. Pasal 24 (1) Jalur kereta api dibagi dalam beberapa kelas jalur. (2) Kelas jalur kereta api sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1), meliputi : a. jalur kereta api kelas I memiliki frekuensi minimum 105 kereta api per satu jalur/hari atau memiliki daya angkut lintas > 20.000.000 ton/tahun dan/atau kecepatan maksimum 120 (seratus dua puluh) km/jam serta beban gandar minimum 18 (delapan belas) ton; b. jalur kereta api kelas II memiliki frekuensi antara 55 s/d 104 kereta api per satu jalur/hari atau memiliki daya angkut lintas 10.000.000-20.000.000 ton/tahun dan/atau kecepatan maksimum 110 (seratus sepuluh) km/jam serta beban gandar minimum 18 (delapan belas) ton; c. jalur kereta api kelas III memiliki frekuensi antara 26 s/d 54 kereta api per satu jalur/hari atau memiliki daya angkut lintas 5.000.000-10.000.000 ton/tahun dan/atau kecepatan maksimum 110 (seratus sepuluh) km/jam serta beban gandar maksimum 18 (delapan belas) ton; d. jalur kereta api kelas IV memiliki frekuensi antara 13 s/d 25 kereta api per satu jalur/hari atau memilki daya angkut lintas 2.500.000-5.000.000

ton/tahun dan/atau kecepatan maksimum 90 (sembilan puluh) km/jam serta beban gandar maksimum 18 (delapan belas) ton. e. jalur kereta api kelas V memiliki frekuensi maksimal 12 kereta api per satu jalur/hari atau memiliki daya angkut lintas < 2.500.000 ton/tahun, kecepatan maksimum 80 (delapan puluh) km/jam, beban gandar maksimum 18 (delapan) ton. (3) Jalur kereta api yang tidak termasuk dalam kelas-kelas jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur tersendiri dengan Keputusan Menteri. Pasal 25 (1) Untuk mempertahankan jalur kereta api tetap dapat berfungsi sesuai dengan kelasnya dan tetap laik operasi harus dilakukan perawatan. (2) Perawatan jalur kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan memperhatikan keselamatan dan kebutuhan operasional kereta api serta kelestarian lingkungan, sesuai dengan standar perawatan jalur kereta api. (3) Standar perawatan jalur kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (2), didasarkan pada : a. ketentuan umum perawatan; b. geometri jalan rel; c. kelas jalur sesuai dengan lintas. (4) Ketentuan umum perawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, meliputi : a. perencanaan konstruksi jalan rel; b. kecepatan dan beban gandar; c. kelas jalur kereta api; d. ruang bebas dan ruang bangun; e. perlintasan sebidang; f. lingkungan jalur kereta api. (5) Geometri jalan rel sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, meliputi : a. umum; b. lebar jalan rel; c. lengkung vertikal dan horisontal;

d. kelandaian. Pasal 26 (1) Perawatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1), merupakan seluruh kegiatan yang bertujuan untuk memulihkan dan/atau mempertahankan kondisi jalur pada tingkat tertentu sesuai dengan kelas yang ditetapkan. (2) Perawatan jalur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan agar kereta api dapat beroperasi sesuai dengan tingkat kualitas pelayanan yang ditetapkan berdasarkan standar teknis atau petunjuk teknis perawatan. (3) Kegiatan perawatan jalur kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (2), merupakan kegiatan perawatan dan perbaikan yang pelaksanaannya dijabarkan dalam kegiatan setiap tahun. (4) Kegiatan perawatan jalur sebagaimana dimaksud pada ayat (3), meliputi perawatan : a. jalan rel, yang terdiri dari : 1) perbaikan rel; 2) perbaikan bantalan; 3) penambahan ballast; 4) pemecokan; 5) lingkungan. b. jembatan; c. wesel; d. persinyalan; e. instalasi listrik aliran atas; f. telekomunikasi; g. terowongan. Pasal 27 (1) Kegiatan perawatan bangunan utilitas yang menggunakan atau mengganggu daerah manfaat jalan, daerah milik jalan dan daerah pengawasan jalan kereta api, harus dilakukan tanpa menimbulkan gangguan terhadap kelancaran, keamanan, dan ketertiban lalu lintas.

(2) Tata cara perawatan di daerah manfaat jalan, daerah milik jalan dan daerah pengawasan jalan kereta api guna memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi : a. jadwal perawatan; b. persyaratan teknis perawatan; c. persyaratan perawatan perlintasan; d. persyaratan perawatan lengkungan. BAB V JEMBATAN DAN TEROWONGAN KERETA API Pasal 28 (1) Pembangunan dan perawatan jembatan kereta api harus memenuhi standar teknis jembatan kereta api. (2) Standar teknis jembatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : a. tipe dan jenis jembatan; b. ruang bebas; c. rencana muatan. (3) Standar teknis jembatan kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tercantum dalam Lampiran III Keputusan ini. Pasal 29 (1) Pembangunan dan perawatan terowongan kereta api harus memenuhi standar teknis terowongan kereta api. (2) Standar teknis terowongan kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : a. jenis konstruksi; b. utilitas. (3) Standar teknis terowongan kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tercantum dalam Lampiran IV Keputusan ini. Pasal 30

(1) Ruang bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) huruf b, mempunyai ukuran yang dibedakan berdasarkan kondisi jalur yaitu : a. untuk jalur tunggal, pada bagian lintas lurus maupun melengkung; b. untuk jalur ganda, pada bagian lintas lurus maupun melengkung. (3) Gambar ruang bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tercantum dalam Lampiran V Keputusan ini. BAB VI KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 31 Direktur Jenderal melaksanakan pengawasan teknis terhadap pelaksanaan Keputusan ini. BAB VII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 32 Kelas jalur kereta api yang telah ada sebelum Keputusan ini ditetapkan, harus disesuaikan dengan kelas jalur kereta api dalam Keputusan ini selambat-lambatnya dalam waktu 5 (lima) tahun sejak Keputusan ini ditetapkan. Pasal 33 (1) Tanah milik Pemerintah yang dipergunakan untuk kepentingan perkeretaapian di sepanjang jalur kereta api sebelum Keputusan ini ditetapkan tetap menjadi milik Pemerintah. (2) Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tanah yang dipergunakan sebagai jalur sesuai dengan Keputusan ini dan tanah yang tidak menjadi jalur namun menjadi satu kesatuan dengan jalur yang bersangkutan.

BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 34 Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di : JAKARTA Pada tanggal : 18 JULI 2000 MENTERI PERHUBUNGAN ttd AGUM GUMELAR, M.Sc. Salinan Keputusan ini disampaikan kepada : 1. Menteri Koordinator Bidang EKUIN; 2. Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan; 3. Menteri Dalam Negeri; 4. Menteri Hukum dan Perundang-undangan; 5. Menteri Pertahanan; 6. Menteri Keuangan; 7. Sekretaris Negara; 8. KAPOLRI; 9. Gubernur Kepala Daerah Propinsi di Pulau Sumatera dan Pulau Jawa; 10. Sekjen, Irjen, Dirjen Perhubungan Darat, Kabadan Litbang Perhubungan; 11. Para Kepala Kantor Wilayah Departemen Perhubungan; 12. Direksi PT. (Persero) Kereta Api Indonesia.