INDEKS GEOMORFIK SEBAGAI MORFOINDIKATOR GEOLOGI DAS. GOBEH, KABUPATEN GUNUNGKIDUL - DIY

dokumen-dokumen yang mirip
Rahmadi Hidayat Mahasiswa Jurusan Teknik Geologi FT Universitas Gadjah Mada. Salahuddin Husein Dosen Jurusan Teknik Geologi FT Universitas Gadjah Mada

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ANALISIS KUANTITATIF AKTIVITAS TEKTONIK RELATIF DI PEGUNUNGAN BATURAGUNG JAWA TENGAH

BAB II GEOMORFOLOGI 2. 1 Fisiografi Regional Jawa Tengah

BAB V ANALISIS DAN DISKUSI

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN

DAFTAR ISI. Halaman ABSTRAK... ABSTRACT... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL... BAB I PENDAHULUAN... 1

Analisis Morfotektonik Daerah Garut Selatan dan Sekitarnya Berdasarkan Metode Geomorfologi Kuantitatif

Jurusan Teknik Pertambangan, Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta 2

BAB IV DATA DAN HASIL PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB III TEORI DASAR. 3.1 Neotektonik

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

DAFTAR ISI COVER HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERNYATAAN KATA PENGANTAR DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL BAB I PENDAHULUAN 1. I.1.

GEOLOGI DAERAH KLABANG

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta,

DAFTAR ISI. Halaman. viii

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

KARAKTERISTIK SESAR KALI PETIR DAN SEKITARNYA KECAMATAN PRAMBANAN, KABUPATEN SLEMAN, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8 Academia-Industry Linkage OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA

KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH

lajur Pegunungan Selatan Jawa yang berpotensi sebagai tempat pembentukan bahan galian mineral logam. Secara umum daerah Pegunungan Selatan ini

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB 2 METODOLOGI DAN KAJIAN PUSTAKA...

PENGARUH STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP MUNCULNYA REMBESAN MINYAK DAN GAS DI DAERAH BOTO, KECAMATAN BANCAK, KABUPATEN SEMARANG, PROVINSI JAWA TENGAH

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH CILEUNGSI DAN SEKITARNYA

BAB III GEOLOGI DAERAH NGAMPEL DAN SEKITARNYA

BAB I PENDAHULUAN. sebelah utara dan Lempeng India-Australia di bagian selatan. Daerah ini sangat

GEOLOGI DAN STUDI BATIMETRI FORMASI KEBOBUTAK DAERAH GEDANGSARI DAN SEKITARNYA KECAMATAN GEDANGSARI KABUPATEN GUNUNG KIDUL PROPINSI DIY

Struktur Geologi Daerah Jonggol Dan Jatiluhur Jawa Barat

ANALISIS KEKAR PADA BATUAN SEDIMEN KLASTIKA FORMASI CINAMBO DI SUNGAI CINAMBO SUMEDANG JAWA BARAT

03. Bentangalam Struktural

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. rumit yang bekerja sejak dahulu hingga sekarang. Proses-proses tersebut,

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB II GEOLOGI REGIONAL

3.2.3 Satuan lava basalt Gambar 3-2 Singkapan Lava Basalt di RCH-9

PERAN PERBUKITAN BOKO DALAM PEMBANGUNAN CANDI-CANDI DI DATARAN PRAMBANAN DAN SEKITARNYA, SUATU TINJAUAN GEOLOGIS. Oleh :

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Peta Geomorfologi Daerah Istimewa Yogyakarta

GEOLOGI DAERAH CIPEUNDEUY KABUPATEN SUBANG, JAWA BARAT. Oleh : Muhammad Abdurachman Ibrahim

BAB VI KESIMPULAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN - LAMPIRAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. yang terletak pada bagian utara gawir Pegunungan Selatan (lihat Gambar 1.1).

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

MORFOLOGI DAN KARAKTERISTIK SUNGAI SEBAGAI PENDUKUNG PANAS BUMI DI DAERAH LERENG SELATAN GUNUNG API UNGARAN

SKRIPSI FRANS HIDAYAT

Tinjauan Geomorfologi Pegunungan Selatan DIY/Jawa Tengah: telaah peran faktor endogenik dan eksogenik dalam proses pembentukan pegunungan.

ANALISIS KINEMATIKA KESTABILAN LERENG BATUPASIR FORMASI BUTAK

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB II GEOLOGI REGIONAL KOMPLEKS GUNUNG RAJABASA

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB II GEOLOGI REGIONAL

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit.

PEMETAAN GEOLOGI METODE LINTASAN SUNGAI. Norma Adriany Mahasiswa Magister teknik Geologi UPN Veteran Yogyakarta

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

Pemodelan Gravity Kecamatan Dlingo Kabupaten Bantul Provinsi D.I. Yogyakarta. Dian Novita Sari, M.Sc. Abstrak

LEMBAR PENGESAHAN. Semarang, 18 April 2014 NIM NIM

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Umur GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

GEOLOGI DAN KARAKTERISTIK REKAHAN PADA BATUGAMPING DI DAERAH NGLIPAR, KABUPATEN GUNUNG KIDUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

DAFTAR ISI. BAB II GEOLOGI REGIONAL... 8 II.1. Fisiografi Regional... 8 II.2. Stratigrafi Regional II.3. Struktur Geologi Regional...

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

GEOLOGI DAERAH RENDEH DAN SEKITARNYA KABUPATEN BANDUNG BARAT-JAWA BARAT TUGAS AKHIR A

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB 3 GEOLOGI SEMARANG

GEOLOGI DAN ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI DAERAH SITUMEKAR DAN SEKITARNYA, SUKABUMI, JAWA BARAT TUGAS AKHIR A

GEOLOGI DAN KARAKTERISTIK REKAHAN PADA BATUGAMPING DAN BATUPASIR, DAERAH GUNUNG KIDUL DAN SEKITARNYA, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

: GEOLOGI DAERAH CITATAH, KECAMATAN CIPATAT, KABUPATEN BANDUNG BARAT PROPINSI JAWA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. Kabupaten Gunungkidul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kecamatan

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-9 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT 6-7 OKTOBER 2016; GRHA SABHA PRAMANA

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Daerah penelitian ini secara fisiografi menurut van Bemmelen (1949)

BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Perbandingan Peta Topografi

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB II GEOLOGI REGIONAL

STUDI POTENSI GERAKANTANAH DAERAH TANJUNGSARI DAN SEKITARNYA KECAMATAN NGUNTORONADI KABUPATEN WONOGIRI PROPINSI JAWA TENGAH

Transkripsi:

INDEKS GEOMORFIK SEBAGAI MORFOINDIKATOR GEOLOGI DAS. GOBEH, KABUPATEN GUNUNGKIDUL - DIY Darmawan Arif Hakimi 1, Salahuddin Husein 2, dan Srijono 3 1 Mahasiswa Jurusan Teknik Geologi FT UGM 2&3 Staf Dosen di Lab. Geologi-Dinamik Jurusan Teknik Geologi FT UGM Sari Analisis geomorfologi secara kuantitatif dapat dilakukan melalui analisis morfometri menggunakan indeks geomorfik. Daerah Aliran Sungai Gobeh di Kecamatan Ngawen dan Semin, Kabupaten Gunungkidul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, merupakan bagian Pegunungan Selatan Jawa Timur bagian Barat. Secara fisiografi DAS Gobeh berada pada pertemuan tinggian morfologi Lajur Baturagung maupun Masif Panggung, serta rendahan Depresi Wonosari, Kompleksitas fisiografi tersebut melatarbelakangi penelitian ini. Tujuan penelitian adalah mengetahui peranan litologi dan struktur geologi berdasarkan indeks geomorfik. Metode penelitian menggunakan Transverse Topographic Symmetry Factor (T), Stream Length Gradient (SL), dan Hypsometric Curve. Hasil pengukuran indeks T untuk mendeteksi pengaruh tektonik yang tercermin pada arah pengangkatan yang dibatasi oleh bidang diskontinyuitas. Indeks SL digunakan mengidentifikasi perbedaan litologi dan kehadiran struktur. Kurva hipsometri digunakan untuk mengetahui perbedaan resistensi litologi. Pengukuran ketiga indeks di atas menggunakan peta topogafi DAS Gobeh dan sekitarnya dengan skala 1:25.000 sebagai peta dasar. Hasil pengukuran indeks T menunjukkan bidang diskontinyuitas antara utara selatan, hingga baratlaut tenggara, dan antara timur barat hingga timurlaut baratdaya. Hasil pengukuran indeks SL diperoleh nilai SL pada batuan vulkanik (Formasi Semilir, dan Formasi Nglanggran) sebesar 24,98 hingga 96,32; berbeda signifikan dibandingkan dengan batuan karbonat (Formasi Oyo) yang mempunyai indeks SL sebesar 2,10 hingga 16,77. Selain itu, perbedaan nilai SL dari satu formasi batuan yang sama, dipengaruhi oleh pembentukan struktur geologi. Berdasarkan kurva hipsometri yang dihasilkan, diidentifikasi adanya perbedaan kelengkungan kurva pada nilai kontur 250 m, sebagai pertanda dari batas litologi antara Formasi Semilir - Formasi Nglanggran terhadap Formasi Oyo. PENDAHULUAN Geologi Regional Fisiografi. Zona Pegunungan Selatan di bagian selatan Yogyakarta, merupakan pegunungan memanjang barat timur, disebut Pegunungan Selatan Jawa Timur bagian Barat (Van Bemmelen, 1970). Secara umum, fisiografi ini merupakan perbukitan yang terangkat dan miring ke arah selatan Batas utaranya adalah Lajur Baturagung (Baturagung Range) yang merupakan gawir memanjang barat-timur. Pegunungan Selatan Jawa Timur bagian Barat dibagi menjadi tiga (Gambar 1). Stratigrafi. Pegunungan Selatan Jawa Timur bagian Barat hampir seluruhnya tersusun oleh batuan hasil pengendapan gaya berat (Bothe, 1929; Surono dkk,1992). Batuan tertua adalah Formasi Kebo-Butak, diikuti kemudian oleh Formasi Semilir, Formasi Nglanggran, Formasi Sambipitu yang di bagian atasnya menjari terhadap Formasi Oyo, selanjutnya Formasi Wonosari dan Formasi Kepek (Gambar 2). Struktur geologi. Berdasarkan Sudarno (1997), pola struktur yang berkembang pada Pegunungan Selatan dapat dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu: berarah timurlaut baratdaya yang merupakan sesar geser sinistral, berarah utara selatan yang dominan merupakan sesar geser sinistral, berarah baratlaut tenggara yang merupakan sesar geser dekstral, dan berarah barat timur yang dominan merupakan sesar turun. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan peta dasar RBI lembar Semin berskala 1:25.000. Dari peta RBI tersebut kemudian hanya dipakai peta konturnya sebagai peta kerja penelitian, dan juga peta akses jalan untuk membantu penelitian. Selain itu penelitian ini juga mengacu pada peta geologi lembar Surakarta berskala 1:100.000 oleh Surono dkk (1992) yang dikeluarkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung. 38

Indeks Geomorfik Analisa morfometri untuk mengetahui kondisi geologi suatu daerah, termasuk di dalamnya adalah DAS, dilakukan dengan analisa menggunakan indeks-indeks geomorfik yang ada. Indeks geomorfik (Gambar 3) yang digunakan pada penelitian ini adalah Transverse Topographic Symmetry Factor (Indeks T, Stream Length Gradient (Gradien Panjang Sungai / Gradien SL), dan Hypsometric Curve (Kurva Hipsometri). 1) Indeks T, dirumuskan: T = Da Dd Da = jarak garis tengah DAS dengan garis sungai dan Dd = jarak garis tengah DAS dengan garis batas tepi DAS Perhitungan T digunakan untuk mendeteksi adanya pengangkatan berdasar ketidaksimetrisan suatu DAS. Untuk DAS yang benar-benar simetri T=0, dan nilainya semakin besar hingga T=1 sesuai dengan semakin tidak simetrisnya suatu DAS (Keller & Pinter,1996). 2) Gradien SL (Hack, 1973), rumus: ΔH SL = L ΔL H = beda tinggi jangkauan titik pengukuran, L = panjang jangkauan titik pengukuran, dan L = panjang total sungai, dari titik atas hingga titik bawah pengukuran. Nilai SL dipengaruhi oleh resistensi batuan (Hack, 1973). Semakin resisten batuan, besaran SL akan cenderung semakin besar. Selain itu, nilai SL juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi adanya pengaruh struktur geologi, dengan melihat anomali nilai SL pada batuan yang sama (Keller & Pinter,1996). Sebagai contoh, sepanjang lembah yang terbentuk oleh sesar, nilai SL akan rendah karena batuan yang ada di lembah akan hancur akibat pergerakan sesar, dan aliran sungai yang melewati lembah tersebut seharusnya akan memiliki nilai kemiringan lereng yang rendah. 3) Kurva hipsometri (Strahler, 1952) merupakan perbandingan antara beda tinggi relatif dan luasan relatif DAS. Total luas (A) adalah luas total permukaan horizontal dari DAS tersebut. Sedangkan nilai luas (a) adalah luas permukaan DAS yang dibatasi oleh kontur datum (elevasi h tertentu). Sedangkan H adalah nilai selisih tinggi antara titik tertinggi dan titik terendah pada DAS tersebut. Nilai luas relatif (a/a) selalu 1 pada titik terendah DAS dan pada nilai tinggi relatif (h/h) = 0. Dan nilai a/a selalu 0 pada nilai h/h = 1. Perhitungan hipsometri tersebut mencerminkan stadia erosi suatu daerah yang juga dipengaruhi resistensi litologinya. Sehingga dapat digunakan juga untuk mengidentifikasi adanya perbedaan litologi pada suatu DAS. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Geomorfologi DAS Gobeh Secara morfologi, DAS Gobeh terdapat pada 2 morfologi yang berbeda, yaitu pada morfologi ceusta dan morfologi dataran bergelombang. Perbedaan morfologi ini dapat teramati langsung dengan mudah di lapangan maupun pada peta topografi. Morfologi cuesta merupakan morfologi perbukitan dengan relief kuat yang berada pada bagian utara DAS Gobeh (bagian hulu) yang ditunjukkan dengan kontur yang rapat pada peta topografi. Morfologi ini tersusun oleh litologi Formasi Semilir dan Formasi Nglanggran yang kedudukan perlapisannya miring relatif ke selatan. Sedangkan morfologi dataran bergelombang berada pada bagian selatan DAS Gobeh, atau pada daerah tengah hingga hilir dari DAS Gobeh, yang memiliki morfologi hampir seluruhnya datar (kontur yang jarang pada peta topografi). Morfologi ini tersusun oleh litologi Formasi Semilir, Formasi Oyo, dan Formasi Wonosari. B. Indeks Geomorfik 1. Indeks T (Transverse Topographic Symmetry Factor) Berdasarkan penelitian Garrote dkk (2006), analisis indeks T ini baik dilakukan pada sungai orde 2 dan dapat memberikan interpretasi bidang diskontinyuitas yang terbentuk, baik teramati di permukaan atau bawah permukaan. Dari pengukuran indeks T, didapatkan peta blok tektonik yang 39

masing-masing blok dibatasi oleh bidang diskontinyuitas. Batas dari dua blok atau bidang diskontinyuitas didapatkan dari perbedaan arah azimuth pengangkatan yang teridentifikasi berdasarkan pengukuran indeks T. Berdasarkan hal tersebut, didapatkan hasil interpretasi pembentukan bidang diskontinyuitas berarah utara selatan hingga baratlaut tenggara, dan antara barat timur hingga timurlaut baratdaya (Gambar 4). Hasil pengamatan lapangan menunnjukkan ada kecocokannya dengan hasil interpretasi. Seperti pada koordinat 463215;9132995 dan koordinat 463499;9133030, kekar yang berkembang berarah N 60 0 E hingga N 80 0 E. Arah-arah tersebut identik dengan bidang diskontinyuitas hasil interpretasi yang membatasi antara blok A dengan blok H. Pada koordinat 464553;9132882, dijumpai kekar berarah N 320 0 E hingga N 340 0 E. Ini identik dengan bidang diskontinyuitas hasil interpretasi yang membatasi antara blok G dengan blok H. Kemudian pada koordinat 464553;9132882, intensif terbentuk kekar berarah N 320 0 E hingga N 340 0 E. Hal tersebut identik dengan bidang diskontinyuitas hasil interpretasi yang membatasi antara blok G dengan blok H. 2. Gradien SL Nilai SL pada bagian utara baratlaut relatif lebih tinggi dibandingkan dengan nilai SL pada bagian selatan DAS Gobeh. Nilai SL yang tinggi tersebut (antara 24,98 96,32) berada pada Formasi Semilir dan Formasi Nglanggran, sedangkan nilai SL yang rendah (antara 2,10 16,77) berada pada Formasi Oyo dan Formasi Semilir pada bagian selatan. Berdasarkan nilai SL ini dan pengamatan lapangan, untuk Formasi Semilir hasil penelitian Surono dkk (2008, komunikasi pribadi) dipisahkan menjadi Formasi Semilir A dan Formasi Semilir B. Formasi Semilir A memiliki litologi breksi batuapung, tuf dan batupasir vulkanik, tanpa dijumpai batuan karbonat dan memiliki nilai SL yang lebih tinggi. Pada Formasi Semilir B dengan litologi perselingan batupasir non-karbonat dengan tuf dan batupasir karbonat, memiliki nilai SL lebih rendah. Hal ini membuktikan bahwa perbedaan nilai SL juga mencerminkan perbedaan litologi (Gambar 5). Selain itu, perbedaan nilai SL pada formasi yang sama, dapat mengidentifikasi adanya kehadiran struktur. Anomali nilai SL yang lebih rendah (antara 24,96 58,93) pada Formasi Semilir A, dapat mengidentifikasi adanya struktur yang membentuk lembah tersebut. Ini ditunjukkan dengan data lapangan berupa batuan yang relatif hancur dan pola struktur yang memanjang searah lembah. Hal ini juga didukung hasil penelitian sebelumnya oleh Surono dkk (1992). Demikian juga dengan anomali SL yang rendah dengan nilai 13,25 (koordinat 465469; 9134410) pada Formasi Nglanggran yang juga dapat dihubungkan dengan sesar berarah relatif baratdaya timurlaut pada daerah penelitian (Gambar 5). Indeks T dan SL Hasil pertampalan antara kedua indeks tersebut (Gambar 6) memberikan hubungan yang logis. Pada daerah yang dilewati bidang diskontinyuitas, nilai SL cenderung/relatif lebih rendah. Hal ini dapat dijelaskan dengan bahwa pada daerah yang dilewati suatu struktur (bidang diskontinyuitas), maka tingkat erosinya akan relatif lebih intensif dibandingkan dengan daerah yang tidak dilewati struktur. Erosi yang relatif lebih intensif tersebut akan mengakibatkan gradien suatu daerah akan lebih landai, sehingga memberikan nilai SL yang rendah. Hubungan ini saling memperkuat interpretasi pada kedua indeks tersebut. 3. Kurva Hipsometri Dari kurva hipsometrik DAS Gobeh, didapatkan titik pembelokan (break point) dimana pada titik itu kelengkungan hipsometri berubah. Titik tersebut terdapat pada pengukuran nilai kontur 250 m. Hal ini menandakan bahwa pada titik/nilai kontur tersebut terdapat perbedaan stadia erosi sehingga kurva hipsometri tersebut berubah kelengkungannya. Perubahan pada nilai kontur tersebut identik dengan perubahan formasi pada daerah penelitian, yaitu dari Formasi Semilir A dan Formasi Nglanggran berubah menjadi Formasi Oyo dan Formasi Semilir B (Gambar 7). Kurva hipsometri yang dihasilkan dari sungai orde 2 pada DAS Gobeh memberikan hasil yang identik. Sungai orde 2 yang melewati lebih dari satu formasi batuan, dengan masing-masing cakupan sebaran formasi yang signifikan, menghasilkan titik pembelokan kurva hipsometri pada perhitungan nilai kontur datum yang identik dengan batas dua formasi batuan (Tabel 1, Gambar 8). Bahkan pada sungai orde 2 yang hanya melewati Formasi Semilir A menghasilkan kurva hipsometri yang dapat dijadikan panduan untuk membedakan satuan batuan pada formasi tersebut (Surono & Adhiani, 2007). 40

Tabel 1. Tabel Titik Pembelokan Kurva Hipsometri sungai orde 2 DAS Gobeh Sub-DAS pengukuran Nilai kontur break point Perbedaan litologi Sub-DAS 1 212,5 m F. Oyo dengan F. Semilir B Sub-DAS 4 400 m F. Semilir A dengan F. Nglanggran Sub-DAS 5 250 m F. Nglanggran dengan F. Oyo Sub-DAS 6 300 m F. Semilir A dengan F. Nglanggran Sub-DAS 7 500 m Satuan Batupasir vulkanik-tuf dengan Satuan Breksi batuapung Sub-DAS 8 250 m F. Semilir A dengan F. Oyo KESIMPULAN 1. Perbedaan jenis dan atau intensitas dari faktor litologi, proses eksogenik dan proses endogenik akan menghasilkan sifat dan karakteristik morfologi permukaan yang berbeda pula, yang juga tercermin dari sifat morfometrinya yang dapat dihitung dengan indeks geomorfik. 2. Dari hasil pengukuran indeks T didapatkan bahwa bidang diskontinyuitas yang berkembang pada daerah penelitian adalah antara utara selatan hingga baratlaut tenggara dan antara timur barat hingga timurlaut baratdaya.. 3. Hasil perhitungan SL dapat digunakan untuk mengidentifikasi adanya perbedaan satuan litologi, dalam penelitian kali ini terutama adalah batuan asal vulkanik dengan batuan yang mengandung material karbonat (Formasi Semilir A dan Formasi Nglanggran yang bernilai SL 24,98 96,32; dengan Formasi Oyo dan Formasi Semilir B yang bernilai SL 2,10 16,77). 4. Perbedaan nilai SL pada formasi yang sama, dapat digunakan untuk mengetahui kontrol struktur suatu lembah secara cukup signifikan (hasilnya didukung dengan data primer dan sekunder). 5. Dari kurva hipsometri yang dihasilkan pada DAS Gobeh dan masing-masing sub-das, dihasilkan titik perubahan kelengkungan kurva (break point) pada nilai kontur yang identik dengan perubahan litologi/formasi pada daerah penelitian. UCAPAN TERIMA KASIH Keberhasilan penelitian di DAS Gobeh ini tidak terlepas dari bantuan dan diskusi dengan beberapa pihak. Oleh karena itu penulis perlu menghaturkan rasa terima kasih kepada Komite PHK- A3 Jurusan Teknik Geologi FT UGM yang telah membantu mendanai penelitian. Kepada rekan-rekan Mahasiswa: Jangkung Wibowo, Bonaventura Hari Wibowo dan Rahmadi Hidayat (ketiganya dari Jurusan Teknik Geologi FT UGM), dan Reza beserta Devina (keduanya dari Jurusan Teknik Geologi FT UNDIP Semarang), yang telah saling mendukung dan mendiskusikan pemanfaatan Analisis Morfometri di DAS besar Oyo. Terlebih terima kasih dihaturkan kepada Bapak Dr. Ir. Ev. Budiadi, M.S. (STT Nasional Yogyakarta) dan Bapak Ir. Prakosa Rachwibowo, M.S. (Jurusan Teknik Geologi UNDIP Semarang), keduanya telah berkenan memberi masukan konsep-konsep analisis geomorfologi pada umumnya. DAFTAR PUSTAKA Bloom, A.L., 1978, Geomorphology, A Systematic Analysis Of Late Cenozoic Landform, Prentice Hall Inc., Englewood Cliffs New Jersey. Bothé, A.Ch.D (1929) Jiwo Hills and Southern Range Excursion Guide. IV th Pacific Science Congress, Java, Bandung, pp. 1-14. Garrote, J., Cox, R.T., Swann, C., and Ellis, M., 2006, Tectonic Geomorphology of The Southern Mississippi Embayment in Northern Mississippi, USA, dalam Geological Society of America Bulletin; September/Oktober 2006; v. 118; no.9/10; p. 1160-1170, USA. Hack, J.T., 1973, Stream Profile Analysis and Stream-Gradient Index, dalam U.S. Geological Survey Journal of Research, v.1, p.421-429. Husein, S. & Srijono, 2007, Tinjauan Geomorfologi Pegunungan Selatan DIY/Jawa Tengah: Telaah Peran Faktor Endogenik Dan Eksogenik Dalam Proses Pembentukan Pegunungan, dalam 41

Kumpulan Makalah Potensi Geologi Pegunungan Selatan Dalam Pengembangan Wilayah, Pusat Survey Geologi, Bandung. Keller E.A., 1986, Investigation of Active Tectonics: Use of Surficial Earth Processes, http://www.nap.edu/openbook.php?record_id=624&page=146 Keller E.A. & Pinter N. 1996, Geomorphic Indices of Active Tectonics, dalam Active tectonics: Earthquakes, Uplift and Landscapes. Prentice Hall, New Jersey. Keller E.A. & Pinter N. 1996, Landforms, Tectonic, Geomorphology, and Quternary Chronology, dalam Active tectonics: Earthquakes, Uplift and Landscapes. Prentice Hall, New Jersey. Strahler, A.N., 1952, Hypsometric (area-altitude) Analysis of Erosional Topography, dalam Geological Society of America Bulletin, v. 63, p. 1117-1142. Sudarno, Ign. (1997) Petunjuk Adanya Reaktifasi Sesar di Sekitar Aliran Sungai Opak, Perbukitan Jiwo dan Sisi Utara Kaki Pegunungan Selatan. Media Teknik, no. 1, Tahun XIX. Surono & Adhiani, M.P., 2007, Semilir Formation, Sorthern Mountain As A Result of Huge-Miocene Explosion, dalam Kumpulan Makalah Potensi Geologi Pegunungan Selatan Dalam Pengembangan Wilayah, Pusat Survey Geologi, Bandung. Surono, B. Toha, dan Ign. Sudarno (1992) Peta Geologi Lembar Surakarta-Giritontro, Jawa. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung. Van Bemmelen, R.W., 1970, The Geology of Indonesia, vol. 1A, General Geology of Indonesia and Adjacent Archipelagoes, 2 nd ed., Matinus Nijhoff, The Haque. 42

Gambar 1. Fisiografi Pegunungan Selatan Jawa Timur bagian barat (modifikasi van Bemmelen, 1970; dalam Husein dan Srijono, 2007) Gambar 2. Urutan Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan Jawa Timur bagian barat (Surono dkk, 1992) Gambar 3. Indeks Geomorfik Yang Digunakan Dalam Penelitian 43

(1. Indeks T; 2. Indeks S L; 3. Kurva hipsometri) Gambar 4. Peta Blok Tektonik DAS Gobeh 44

Gambar 4. Peta Blok Tektonik DAS Gobeh Gambar 5. Pertampalan Peta Geologi dengan Peta Nilai SL DAS Gobeh 45

Gambar 5. Pertampalan Peta Geologi dengan Peta Nilai SL DAS Gobeh Gambar 6. Pertampalan Peta Nilai SL dan Peta Blok Tektonik DAS Gobeh 46

Gambar 7. Perbandingan Peta Litologi dan Break Point Hipsometri DAS Gobeh 47

Gambar 7. Perbandingan Peta Litologi dan Break Point Hipsometri DAS Gobeh Gambar 8. Perbandingan Peta Litologi dan Break Point Hipsometri Tiap Sub-DAS 48