BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. mereka dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Siswa Sekolah Menengah

BAB I PENDAHULUAN. minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap

BAB I PENDAHULUAN. Salah satunya adalah krisis multidimensi yang diderita oleh siswa sebagai sumber

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah merupakan pendidikan kedua setelah lingkungan keluarga, manfaat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diah Rosmayanti, 2014

BAB II LANDASAN TEORITIS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja adalah periode perkembangan disaat individu mengalami

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. penuh dengan kenangan yang tidak mungkin akan terlupakan. Menurut. dari masa anak ke masa dewasa yang mengalami perkembangan semua

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Devi Eryanti, 2013

BAB I PENDAHULUAN. berperilaku asertif, dalam hal ini teknik yang digunakan adalah dengan Assertif

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu.

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan sekolah. Perkelahian tersebut sering kali menimbulkan

BAB I PENDAHULUAN. Proses timbulnya perilaku tersebut ialah ketika seseorang dalam suatu titik. perilaku yang dinamakan perilaku agresif.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan zaman yang semakin pesat ini membawa dampak ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi tidak

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mega Sri Purwanida, 2014

BAB I PENDAHULUAN. lain, saling memberikan pengaruh antara satu dengan yang lain dan ingin

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara yang tiap elemen bangsanya sulit

2016 EFEKTIVITAS STRATEGI PERMAINAN DALAM MENGEMBANGKAN SELF-CONTROL SISWA

BAB I PENDAHULUAN. sebagai bekal untuk hidup secara mandiri. Masa dewasa awal atau early health

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH DEMOKRATIS ORANG TUA DAN KEMANDIRIAN DENGAN KEMAMPUAN MENYELESAIKAN MASALAH PADA REMAJA SKRIPSI

I. PENDAHULUAN. lain. Menurut Supratiknya (1995:9) berkomunikasi merupakan suatu

I. PENDAHULUAN. Sebagai makhluk sosial kita tidak akan mampu mengenal dan dikenal tanpa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada masa remaja, hubungan sosial mengambil peran yang penting. Mereka

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN ASERTIVITAS PADA REMAJA DI SMA ISLAM SULTAN AGUNG 1 SEMARANG. Rheza Yustar Afif ABSTRAK

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

I. PENDAHULUAN. kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Perkembangan pendidikan tanpa

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. adalah bahwa aksi-aksi kekerasan baik individual maupun massal sudah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 2014

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sistriadini Alamsyah Sidik, 2014

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan emosi menurut Chaplin dalam suatu Kamus Psikologi. organisme mencakup perubahan-perubahan yang disadari, yang mendalam

BAB I PENDAHULUAN. kurang memahami apa yang sebenarnya diinginkan oleh dirinya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Remaja merupakan generasi penerus bangsa di masa depan, harapanya

BAB I PENDAHULUAN. agresif atau korban dari perilaku agresif orang lain tersebut.

I. PENDAHULUAN. Lingkungan keluarga seringkali disebut sebagai lingkungan pendidikan informal

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Salah satu tugas perkembangan siswa yaitu mencapai hubungan baru dan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Berbicara tentang siswa sangat menarik karena siswa berada dalam kategori

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS DIPONEGORO

BAB IV PELAKSANAAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. dan lain sebagainya yang semuanya menyebabkan tersingkirnya rasa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

I. PENDAHULUAN. Secara hakiki, manusia merupakan makhluk sosial yang selalu membutuhkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak dengan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan fase yang disebut Hall sebagai fase storm and stress

BAB I PENDAHULUAN. penggemarnya amat luas. Jika kita bicara di era globalisasi sepak bola,

BAB I PENDAHULUAN. dan berinteraksi dengan orang lain demi kelangsungan hidupnya. Karena pada

2016 HUBUNGAN SENSE OF HUMOR DENGAN STRES REMAJA SERTA IMPLIKASINYA BAGI LAYANAN BIMBINGAN DAN KONSELING

BAB I PENDAHULUAN. Manusia pada hakekatnya adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Manusia

BAB I PENDAHULUAN. Remaja dipandang sebagai periode perubahan baik dalam hal fisik, minat,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hasil proyeksi sensus penduduk 2011, jumlah penduduk Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Keluarga merupakan tempat utama dimana seorang anak tumbuh dan

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Stres senantiasa ada dalam kehidupan manusia yang terkadang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia sepanjang rentang kehidupannya memiliki tahap-tahap

BAB I PENDAHULUAN. Pengaruh Kelompok Teman Sebaya (Peer Group) Terhadap Perilaku Bullying Siswa Di Sekolah

BAB I PENDAHULUAN. etimologis, remaja berasal dari kata Latin adolensence yang berarti tumbuh atau

BAB I PENDAHULUAN. Berikutnya adalah sekolah, gereja, teman sebaya, dan televisi. Suatu survei di tahun

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. kepribadian dan dalam konteks sosial (Santrock, 2003). Menurut Mappiare ( Ali, 2012) mengatakan bahwa masa remaja

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang menghubungkan masa kanak-kanak dan masa dewasa (Santrock,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. remaja (Hurlock, 2003). Di dalam masa remaja juga terdapat tahapan perkembangan yang

BAB I PENDAHULUAN. banyak mengalami perubahan serta kesulitan yang harus dihadapi. Masa remaja. hubungan lebih matang dengan teman sebaya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekolah merupakan salah satu tempat bertumbuh dan berkembangnya

I. PENDAHULUAN. Pada hakekatnya setiap manusia membutuhkan orang lain. Naluri untuk hidup bersama orang

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. dari hubungan dengan lingkungan sekitarnya. individu dan memungkinkan munculnya agresi.

BAB I PENDAHULUAN. masing-masing orang selalu menginginkan harga diri yang tinggi.

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. alkohol, napza, seks bebas) berkembang selama masa remaja. (Sakdiyah, 2013). Bahwa masa remaja dianggap sebagai suatu masa dimana

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju masa

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. meluasnya lingkungan sosial. Anak-anak melepaskan diri dari keluarga dan

BAB I PENDAHULUAN. lainnya khususnya di lingkungannya sendiri. Manusia dalam beraktivitas selalu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang muncul pada saat atau sekitar suatu periode tertentu dari kehidupan individu

BAB I PENDAHULUAN. namun akan lebih nyata ketika individu memasuki usia remaja.

I. PENDAHULUAN. berkembang melalui masa bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa hingga. Hubungan sosial pada tingkat perkembangan remaja sangat tinggi

BAB I PENDAHULUAN. berupa ejekan atau cemoohan, persaingan tidak sehat, perebutan barang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia saling berinteraksi sosial dalam usaha mengkomunikasikan pikiran dan

BAB I PENDAHULUAN. Departemen Kesehatan RI pada tahun 2010 jumlah anak usia dini (0-4 tahun) di

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menimbulkan konflik, frustasi dan tekanan-tekanan, sehingga kemungkinan besar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. psikis, maupun secara sosial (Hurlock, 1973). Menurut Sarwono (2011),

BAB I PENDAHULUAN. tumbuh menjadi dewasa. Menurut Hurlock (2002:108) bahwa remaja. mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional.

BAB I PENDAHULUAN. pada masa awal periode akhir masa remaja (Hurlock, 1999). Buss dan Perry (1992) mendefinisikan perilaku agresif sebagai suatu

BAB I PENDAHULUAN. Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial (zoon politicon). Sebagai

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja adalah individu yang unik. Remaja bukan lagi anak-anak, namun

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. perubahan emosi, perubahan kognitif, tanggapan terhadap diri sendiri

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pada berbagai kalangan, baik orang dewasa, remaja maupun anak-anak.

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kemampuan untuk menyesuaikan tingkah

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Perilaku agresif seringkali menjadi tajuk utama dalam pemberitaan media baik media cetak maupun media elektronik. Dari berbagai pemberitaan tersebut, perilaku agresif ini dilakukan oleh berbagai usia baik itu anak-anak, remaja, maupun dewasa, bahkan oleh lansia. Perilaku agresif ini pula dilakukan oleh perseorangan maupun kelompok. Selain berdasarkan informasi dari media, tidak jarang kita melihat sendiri perilaku agresif tersebut. Bahkan mungkin kita sendiri yang menjadi pelaku perilaku agresif atau korban dari perilaku agresif orang lain tersebut. Dalam bukunya Emotional Behavior, Berkowitz (2006: 1) mempertanyakan masalah agresi tersebut dalam bab pertamanya: Adakah orang yang tidak menyadari adanya tindak kekerasan di masyarakat? Hampir setiap hari Koran memberitakan tentang penembakan, perampokan, penusukan dan penyerangan, tentang manusia yang berkelahi dan saling membunuh. Tindak kekerasan terjadi di seluruh dunia dan di seluruh segmen masyarakat. Kita mendengar dan membaca tentang perang antar geng di lingkungan termiskin di Los Angeles, umat Kristen dan islam berperang di Beirut, dan perang saudara melanda Afrika. Kelihatannya berbagai tindakan kekerasan terjadi hampir dimana-mana. Terus menerus, dari hari ke hari. Berbagai cerita tersebut hanyalah contoh paling ekstrim agresi yang terjadi setiap hari. Ini bukanlah hal yang sepele, dan bukan hanya karena penderitaan yang disebabkan oleh agresi. Bahkan seringkali sulit mencegah agar tindak kekerasan tidak menyebar. Setiap agresi cenderung berlanjut. Jika Berkowitz memberikan contoh tindak kekerasan maupun perilaku agresif yang terjadi di Amerika Serikat dan negara-negara lainnya, maka pemberitaan mengenai perilaku agresif di Indonesia pun tidak kalah menyeramkannya. Selain mengenai perilaku agresif yang diungkapkan diatas, kita juga sering melihat atau membaca berita mengenai perilaku agresif seperti dahulu sempat maraknya ulah beringas genk motor di Bandung, genk Nero di daerah Jawa Timur, genk Bringka yang terjadi di daerah Tasik, dan juga ada berita seorang anak ditusuk temannya hanya karena menolak bermain sepak bola, dan berita-berita mengenai perilaku

agresif lainnya. Bahkan terkadang terjadi perkelahian di tengah jalan hanya karena hal sepele yang terjadi di jalan yang jika pengguna jalan dapat tenang dan berpikiran jernih maka perkelahian tersebut tidak akan terjadi. Sarwono dkk. (2012: 146) menanggapi terhadap maraknya pemberitaan mengenai perilaku agresif tersebut menunjukkan bahwa perilaku agresif yang terjadi saat ini menunjukkan adanya peningkatan kualitas, tak hanya sekadar menyakiti atau melukai tetapi juga menghilangkan nyawa korbannya. Penyebabnya pun kadang-kadang sangat sepele; misal, gara-gara tidak diberi rokok, seorang pemuda tega manganiaya temannya sampai meninggal. Penelitian mengenai perilaku agresif beberapa tahun terakhir menunjukkan adanya perilaku agresif di sekolah yang tidak sedikit meskipun tidak bisa dikatakan banyak. Fadhillah (2011: 78) dalam penelitiannya terhadap siswa kelas XI di salah satu SMA swasta di kota Bandung memperoleh data perilaku agresif siswa yang berada pada kategori tinggi sebanyak 33,62% atau 39 orang dari 113 orang siswa. Kursin (2005: 64-65) dalam penelitiannya terhadap siswa panti di salah satu panti di Semarang memperoleh data dari 57 orang siswa terdapat 80,09% siswa yang berada pada kategori tinggi pada perilaku agresif fisik dan 88,35% siswa yang berada pada kategori tinggi pada perilaku agresif verbal. Sekolah yang menjadi lokasi penelitian pun tidak terlepas dari fenomena perilaku agresif di dalamnya. Studi pendahuluan yang dilakukan di SMK Negeri 3 Cimahi dalam bentuk wawancara terhadap guru pembimbing, beberapa guru dan sejumlah siswa, memperoleh hasil yaitu terdapat beberapa siswa yang dianggap berperilaku agresif baik itu siswa laki-laki maupun siswa perempuan dan dari kelas X sampai kelas XII. Dan berdasarkan hasil penyebaran instrumen perilaku agresif siswa di kelas X di SMK Negeri 3 Cimahi Tahun Ajaran 2012/2013 yang diwakili oleh 304 peserta didik yaitu sebagai berikut; sebanyak 128 siswa (42%) berada pada kategori rendah sekali, 139 siswa (46%) berada pada kategori rendah, 28 siswa (9%) berada pada kategori sedang, 9 siswa (3%) berada pada kategori tinggi, dan tidak ada peserta didik (0%) yang berada pada kategori tinggi sekali.

Meskipun siswa yang berperilaku agresif di sekolah yang menjadi penelitian ini sedikit dan bisa jadi bukan merupakan permasalahan yang besar dan krusial di sekolah tersebut. Tapi peneliti berpendapat bahwa tidak ada salahnya untuk membantu mereduksi perilaku agresif dari sembilan orang siswa yang berada pada kategori tinggi tersebut. Karena meskipun hanya sedikit siswa yang perilaku agresifnya tinggi, tapi dirasa dapat mengganggu kenyamanan bagi siswa lainnya di sekolah, ditakutkan akan memberi pengaruh kurang baik bagi siswa lainnya, dan ditakutkan pula perilaku agresifnya meningkat. Hal tersebut berdasarkan pandangan teoritikus sosial kognitif seperti Albert Bandura yaitu agresi dapat dipelajari melalui observai atau imitasi, dan semakin sering mendapatkan penguatan, semakin besar kemungkinan untuk terjadi (Atkinson dkk., 1983: 62). Lebih lanjut menurut Albert Bandura dalam Nevid dkk. (2003: 207): Agresi merupakan perilaku yang dipelajari, dimunculkan melalui cara yang sama seperti perilaku-perilaku lain. Peran dari modeling (melihat dan meniru) dan reinforcement digaris bawahi pada pembelajaran perilaku agresif. Anak-anak dapat belajar meniru tindak kekerasan yang diamati di rumah, di halaman sekolah, di televisi, atau di media lain. Bila kemudian mereka direinforced untuk bertindak agresif, misalnya dengan memperoleh keinginannya atau memperoleh persetujuan dan rasa hormat dari sebaya, kecenderungan untuk melakukan agresi menjadi lebih kuat sejalan dengan waktu. Siswa yang direduksi perilaku agresifnya dalam penelitian ini adalah siswa kelas X. Berdasarkan usianya, kelas X ini merupakan usia remaja. Remaja adalah seorang anak yang bisa dibilang berada pada usia tanggung, mereka bukanlah anak kecil yang tidak mengerti apa-apa, tapi juga bukan orang dewasa yang bisa dengan mudah akan membedakan hal mana yang baik dan mana yang berakibat buruk (Hurlock, 1997: 206). Pada fase remaja ini pula para remaja lebih banyak menghabiskan waktu dengan teman sebaya. Salah satu perubahan besar yang dialami remaja terjadi pula pada hubungan sosialnya, dimana para remaja memiliki minat yang semakin besar untuk terlibat dalam pergaulan dengan teman sebayanya. Bahkan persetujuan atau ketidak setujuan kelompok dapat menjadi pengaruh kuat dalam perkembangan perilaku remaja. Laursen (2005: 137) menegaskan, bahwa teman sebaya merupakan faktor yang

berpengaruh terhadap kehidupan pada masa-masa remaja. Dengan demikian, kelompok teman sebaya berpengaruh besar terhadap perkembangan perilaku remaja. Lebih lanjut Hurlock (1997: 214-216) menjelaskan bahwa proses pencapaian kematangan emosional bagi remaja dipengaruhi oleh kondisi sosio-emosional lingkungannya, dalam hal ini terutama lingkungan keluarga dan kelompok teman sebaya. Artinya, apabila lingkungan tersebut bersifat kondusif maka remaja akan cenderung mencapai kematangannya. Akan tetapi apabila kurang dipersiapkan perannya atau kurang mendapat perhatian dan kasih sayang orang tua, maka mereka cenderung akan mengalami kecemasan dan tertekannya perasaan, serta akan mengalami ketidaknyamanan emosional. Apabila rasa ketidaknyamanan emosional tersebut muncul, maka seorang remaja akan mereaksikannya secara offensive maupun defensive, hal ini dilakukan sebagai upaya untuk melindungi kelemahan dirinya. Reaksi defensive cenderung akan membuat remaja menjadi pendiam dan menarik diri dari hubungan sosialnya. Sedangkan reaksi offensive tersebut akan tampil dalam tingkah laku seperti agresif. Perilaku agresif menurut Bandura (dalam Sarwono, dkk. 2012: 146) merupakan hasil dari proses belajar sosial melalui pengamatan terhadap dunia sosial. Pemicu yang umum dari agresi adalah ketika seseorang mengalami satu kondisi emosi tertentu, yang sering terlihat adalah emosi marah. Perasaan marah berlanjut pada keinginan untuk melampiaskannya dalam satu bentuk tertentu pada objek tertentu. Marah adalah sebuah pernyataan yang disimpulkan dari perasaan yang ditunjukkan yang sering disertai dengan konflik atau frustasi (Segall, dkk 1999 dalam Sarwono, dkk. 2012: 147). Menurut Koeswara (1988: 4) Istilah agresi seringkali di sama artikan dengan agresif. Agresif adalah merupakan kata sifat dari agresi. Istilah agresif seringkali digunakan secara luas untuk menerangkan sejumlah besar tingkah laku yang memiliki dasar motivasional yang berbeda-beda dan sama sekali tidak mempresentasikan agresi atau tidak dapat disebut agresi dalam pengertian yang sesungguhnya. Dengan penggunaan istilah agresif yang simpang siur atau tidak konsisten, penguraian tingkah laku khususnya tingkah laku yang termasuk ke dalam kategori agresi menjadi

kabur, dan karenanya menjadi sulit untuk memahami apa dan bagaimana sesungguhnya yang disebut tingkah laku agresif atau agresi itu. Sedangkan menurut para ahli, agresif adalah luapan emosi sebagai reaksi terhadap kegagalan individu yang ditampakkan dalam bentuk pengrusakan terhadap orang atau benda dengan unsur kesengajaan yang diekspresikan dengan kata-kata (verbal) dan perilaku (non verbal) (Scheneider, 1955). Perilaku agresif menurut Sears (1994) adalah setiap perilaku yang bertujuan menyakiti orang lain, dapat juga ditujukan kepada perasaan ingin menyakiti orang lain dalam diri seseorang. Agresif menurut Baron dalam Koeswara (1988: 5) adalah tingkah laku yang ditunjukkan untuk melukai dan mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya tingkah laku tersebut. Agresif menurut Moore dan Fine dalam Koeswara (1988: 5) perilaku agresif adalah tingkah laku kekerasan secara fisik ataupun secara verbal terhadap individu lain atau objek-objek lain. Dan Berkowitz (2006:4) mendefinisikan agresif sebagai segala bentuk perilaku yang yang dimaksudkan untuk menyakiti seseorang baik secara fisik maupun mental. Pemaparan sebelumya menjelaskan bahwa pada usia remaja ini merupakan saat-saat pengaruh teman sebaya ini sangat berpengaruh terhadap diri remaja. Dan perilaku agresif ini cenderung dapat ditularkan melalui proses belajar sosial. Berdasarkan hal tersebutlah maka diperlukan peran seorang guru Bimbingan dan Konseling karena perilaku agresif yang terjadi di lingkungan sekolah jika tidak ditangani, di samping dapat mengganggu proses pembelajaran, juga akan menyebabkan siswa cenderung untuk beradaptasi pada kebiasaan buruk tersebut (Wrightsman & Deaux, 1981). Situasi demikian akan membentuk siswa untuk meniru dan berperilaku agresif pula, sehingga perilaku agresif siswa di sekolah dianggap biasa dan akan semakin meluas. Perilaku agresif bisa direduksi, sesuai dengan pandangan behaviorisme yaitu ketika dilahirkan, pada dasarnya manusia tidak membawa bakat apa-apa. Manusia berkembang berdasar stimulus yang diterimanya dari lingkungan sekitar. Lingkungan yang buruk akan menghasilkan manusia yang buruk, lingkungan yang baik akan menghasilkan manusia baik. Kepribadian manusia dapat dibentuk melalui

rangsangan-rangsangan tertentu (Sobur, 2006: 121). Perilaku agresif dihasilkan dari lingkungan yang salah memberikan stimulus. Berdasarkan hal tersebut, perilaku agresif dapat direduksi dengan melalui konseling kelompok yaitu konseling kelompok teman sebaya karena dalam konseling kelompok tersebut terdapat beberapa metode dan teori seperti menguatkan diri secara positif, memanipulasi kondisi emosional, melakukan respon-respon lain dan mengubah kondisi stimulus (Sukardi, 1996: 491). Dalam konseling kelompok teman sebaya terdapat dinamika kelompok yang dapat digunakan untuk mengurangi perilaku agresif yaitu, mereka dapat mengembangkan berbagai keterampilan yang pada intinya meningkatkan kepercayaan diri dan kepercayaan orang lain seperti berani mengemukakan atau percaya diri dalam berperilaku terhadap orang lain, cinta diri yang dapat dilihat dari dalam berperilaku dan gaya hidupnya untuk memelihara diri, memiliki pemahaman yang tinggi terhadap segala kekurangan dan kemampuan dan belajar memahami orang lain ketegasan dan menerima kritik dan memberi kritik dan ketrampilan diri dalam penampilan dirinya serta dapat mengendalikan perasaan dengan baik. Menurut Whiston dan Sexton dalam Rusmana (2009: 1-2): Konseling kelompok berguna untuk membantu siswa. Pertama, konseling kelompok merupakan bentuk intervensi yang lebih efisien bila dibandingkan dengan konseling individual, karena konselor dapat bertemu dengan banyak siswa sekaligus. Kedua, bila dipandang dari perspektif perkembangan dan pedagogik, seringkali cara terbaik bagi siswa dalam belajar adalah dengan belajar dari satu sama lain. Konseling kelompok memberikan forum yang tepat bagi pembelajaran siswa ke siswa semacam ini. Berhubungan dengan hal ini, kekuatan dari kelompok sebaya dapat meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan yang positif dibawah kepemimpinan yang terampil dari konselor. Akhirnya, kelompok merupakan suatu komunitas mikrokosmos dan dapat memberikan suatu setting kehidupan nyata dimana siswa dapat mencari jalan keluar dari persoalan-persoalan dan masalahmasalah. Sedangkan konseling teman sebaya menurut Tindall dan Gray (1985: 5) adalah ragam tingkah laku membantu secara interpersonal yang dilakukan oleh individu non professional yang berusaha membantu orang lain. Konseling teman sebaya mencakup hubungan membantu yang dilakukan secara individual (one-to-one

helping relationship), kepemimpinan kelompok, kepemimpinan diskusi, pemberian pertimbangan, tutorial, dan semua aktivitas interpersonal manusia untuk membantu atau menolong. Menurut Carr dalam Hunainah (2011: 81) konseling teman sebaya pada dasarnya merupakan suatu cara bagi para siswa belajar memperhatikan dan membantu siswa lain, serta menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. dan menurut Varenhorst dalam Hunainah (2011: 81) konseling teman sebaya merupakan suatu upaya mempengaruhi perubahan (intervention) sikap dan perilaku yang cukup efektif untuk membantu siswa yang mengikuti pembekalan dalam menyelesaikan masalah diri mereka sendiri. Fokus permasalahan perilaku agresif pada penelitian ini adalah permasalahan perilaku agresif yang terjadi pada siswa usia remaja di lingkungan sekolah dan pemanfaatan pengaruh teman sebaya dalam perubahan siswa. Dengan diketahuinya tingkat dan permasalahan perilaku agresif yang dialami siswa maka hal tersebut dapat dijadikan landasan dalam pengembangan program intervensi yang dapat membantu siswa mereduksi perilaku agresifnya melalui konseling kelompok teman sebaya. B. Identifikasi dan Perumusan Masalah Berdasarkan pemaparan pada pembahasan sebelumnya, remaja khususnya siswa SMA/SMK diharapkan dapat bergaul dengan teman sebayanya dengan baik. Pergaulan remaja atau siswa adalah kontak sosial diantara remaja atau dalam kelompok teman sebaya. Teman sebaya atau peer adalah anak-anak dengan tingkat kematangan atau usia yang kurang lebih sama. Sesuai dengan usia perkembangannya, pada masa ini, ketertarikan dan komitmen serta ikatan terhadap teman sebaya menjadi sangat kuat. Hal ini antara lain karena remaja merasa bahwa orang dewasa tidak dapat memahami mereka. Keadaan ini sering menjadikan remaja sebagai suatu kelompok yang eksklusif karena hanya sesama merekalah dapat saling memahami. Sebagian (besar) siswa lebih sering membicarakan masalah-masalah serius mereka dengan teman sebaya, dibandingkan dengan orang tua dan guru pembimbing. Untuk masalah yang sangat serius pun mereka bicarakan dengan teman, bukan dengan orang tua atau guru mereka.

Teman sebaya ini dapat berdampak positif dan negatif. Konformitas terhadap teman sebaya mengandung keinginan untuk terlibat dalam dunia kelompok sebaya seperti berpakaian sama dengan teman, dan menghabiskan sebagian waktunya bersama anggota kelompok. Tingkah laku konformitas yang positif terhadap teman sebaya antara lain bersama-sama teman sebaya mengumpulkan dana untuk kepentingan kemanusiaan (Santrock, 2004 : 415). Namun demikian, ada juga konformitas terhadap kelompok sebaya berisi tingkah laku negatif. Salah satunya adalah perilaku agresif. Munculnya perilaku agresif terkait dengan kemampuan siswa mengatur emosi dan perilakunya untuk menjalin interaksi yang efektif dengan orang lain atau lingkungannya. Siswa cenderung menunjukkan prasangka permusuhan saat berhadapan dengan stimulus sosial yang ambigu siswa sering mengartikannya sebagai tanda permusuhan sehingga menghadapinya dengan tindakan agresif. Berdasarkan pandangan behavioral, agresif adalah respon dari perangsangan yang disampaikan oleh organisme lain. Perilaku agresif pada pandangan behavioral harus membatasi perilaku sebagai fungsi interaksi antara pembawaan dengan lingkungan siswa tersebut. Konsep behavioral, perilaku manusia merupakan hasil belajar sehingga dapat diubah dengan memanipulasi dan mengkreasi kondisi-kondisi belajar (Surya, 2003: 25). Perilaku agresif yang terjadi di lingkungan sekolah jika tidak ditangani dapat menggangu proses pembelajaran dan perkembangan sosialnya. Siswa cenderung untuk beradaptasi pada kebiasaan buruk. Situasi dan kebiasaan buruk yang terjadi di lingkungan sekolah akan membentuk siswa lain meniru dan berperilaku agresif pula. Perilaku agresif siswa di sekolah dianggap biasa dan akan semakin meluas. Oleh karena itu dirasa pentingnya pemanfaatan teman sebaya untuk mereduksi atau mengarahkan perilaku agresif siswa tersebut. Laursen (2005 : 138) menyatakan bahwa kelompok teman sebaya yang positif memungkinkan remaja merasa diterima, memungkinkan remaja melakukan katarsis, serta memungkinkan remaja menguji nilai-nilai baru dan pandangan-pandangan baru. Lebih lanjut Laursen menegaskan bahwa kelompok teman sebaya yang positif memberikan kesempatan kepada remaja

untuk membantu orang lain, dan mendorong remaja untuk mengembangkan jaringan kerja untuk saling memberikan dorongan positif. Interaksi di antara teman sebaya dapat digunakan untuk membentuk makna dan persepsi serta solusi-solusi baru. Budaya teman sebaya yang positif memberikan kesempatan kepada remaja untuk menguji keefektivan komunikasi, tingkah laku, persepsi, dan nilai-nilai yang mereka miliki. Budaya teman sebaya yang positif sangat membantu remaja untuk memahami bahwa dia tidak sendirian dalam menghadapi berbagai tantangan. Budaya teman sebaya yang positif dapat digunakan untuk membantu mengubah tingkah laku dan nilai-nilai remaja (Laursen, 2005 : 138). Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk membangun lingkungan teman sebaya yang positif adalah dengan mengembangkan konseling oleh teman sebaya dalam hal ini adalah konseling kelompok teman sebaya. Sehingga upaya yang harus dilakukan untuk membantu permasalahan perilaku agresif siswa adalah penelitian yang dapat menghasilkan intervensi konseling kelompok teman sebaya yang efektif untuk mereduksi perilaku agresif siswa. Masalah utama yang harus segera dijawab melalui penelitian ini adalah intervensi seperti apa yang efektif dapat mereduksi perilaku agresif siswa? Masalah pokok tersebut secara rinci dijabarkan dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana profil perilaku agresif siswa kelas X SMK Negeri 3 Cimahi Tahun Ajaran 2012/2013? 2. Bagaimana rumusan program intervensi konseling kelompok teman sebaya dalam mereduksi perilaku agresif siswa? 3. Bagaimana gambaran efektivitas program konseling kelompok teman sebaya dalam mereduksi perilaku agresif siswa SMK Negeri 3 Cimahi Tahun Ajaran 2012/2013? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini secara umum bertujuan untuk memperoleh gambaran empirik mengenai efektivitas konseling kelompok teman sebaya dalam mereduksi perilaku

agresif siswa kelas X SMK Negeri 3 Cimahi Tahun Ajaran 2012/2013. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan data empirik mengenai: 1. Profil perilaku agresif siswa kelas X SMK Negeri 3 Cimahi Tahun Ajaran 2012/2013 2. Rumusan program intervensi konseling kelompok teman sebaya dalam mereduksi perilaku agresif siswa 3. Efektivitas program konseling kelompok teman sebaya dalam mereduksi perilaku agresif siswa SMK Negeri 3 Cimahi Tahun Ajaran 2012/2013 D. Manfaat Penelitian Secara teoritis, bagi pribadi, manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini yaitu untuk sedikit tambahan wawasan dalam bidang bimbingan dan konseling mengenai konseling kelompok teman sebaya dalam mereduksi perilaku agresif siswa, untuk bahan acuan kegiatan yang lainnya dan penelitian selanjutnya. Secara praktis, penelitian ini bermanfaat bagi guru bimbingan dan konseling, penelitian selanjutnya, dan siswa. Bagi guru bimbingan dan konseling SMK Negeri 3 Cimahi, penelitian ini menghasilkan layanan konseling kelompok teman sebaya dalam mereduksi perilaku agresif sembilan orang siswa yang berada pada kategori tinggi tersebut sehingga semoga bermanfaat sebagai masukan untuk merumuskan program bimbingan dan konseling pribadi-sosial. Juga konselor sebaya yang telah dilatih dapat bermanfaat dan membantu guru bimbingan dan konseling. Bagi penelitian selanjutnya, dapat mengembangkan pengungkapan profil perilaku agresif yang masih terbatas pada empat aspek yaitu aspek keagresifan, melawan perintah, merusak, dan permusuhan. Dan dapat mengembangkan penelitian dengan tema yang sama, namun pada populasi dan sampel yang berbeda. Bagi siswa, terutama sembilan orang siswa yang berada pada kategori tinggi dapat membantu mereduksi perilaku agresifnya. Dan bagi siswa yang menjadi konselor sebaya dapat bermanfaat bagi dirinya dan teman sebayanya.

E. Struktur Organisasi Skripsi Penelitian disusun dalam lima bab, dengan sistematika sebagai berikut: Bab I pendahuluan memaparkan latar belakang penelitian, identifikasi dan perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan stuktur organisasi penelitian. Bab II memaparkan kajian pustaka, kerangka pemikiran, dan penelitian terdahulu. Bab III metode penelitian memaparkan lokasi dan subjek penelitian, pendekatan dan metode penelitian, definisi operasional, instrumen penelitian, teknik pengumpulan data, analisis data, dan pengembangan dan pelaksanaan program Bab IV hasil penelitian dan pembahasan, terdiri dari hasil penelitian dan pembahasan penelitian. Bab V kesimpulan dan rekomendasi, menyajikan penafsiran dan pemaknaan terhadap hasil analisis temuan penelitian serta saran penelitian bagi konselor, pihak sekolah dan peneliti selanjutnya.