BAB V PROFIL SATWALIAR GUNUNG PARAKASAK

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V PROFIL SATWALIAR GUNUNG ASEUPAN

BAB V PROFIL SATWALIAR GUNUNG PULOSARI

PENYUSUN : TIM KONSULTAN PT ECOSITROP 1. Dr. Yaya Rayadin 2. Adi Nugraha, SP.

PENYUSUN : TIM KONSULTAN PT. DUTA POLINDO CIPTA 1. M. Sugihono Hanggito, S.Hut. 2. Miftah Ayatussurur, S.Hut.

BAB V PROFIL SATWALIAR GUNUNG KARANG

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998).

PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PULOSARI PEGUNUNGAN AKARSARI

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan

BAB I PENDAHULUAN. memiliki luas sekitar Ha yang ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

STUDI KEANEKARAGAMAN MAMALIA PADA BEBERAPA TIPE HABITAT DI STASIUN PENELITIAN PONDOK AMBUNG TAMAN NASIONAL TANJUNG PUTING KALIMANTAN TENGAH

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Satwa dalam mencari makan tidak selalu memilih sumberdaya yang

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 19/Menhut-II/2010 TENTANG PENGGOLONGAN DAN TATA CARA PENETAPAN JUMLAH SATWA BURU

II. TINJAUAN PUSTAKA

2 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik I

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

JENIS_JENIS TIKUS HAMA

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Sokokembang bagian dari Hutan Lindung Petungkriyono yang relatif masih

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai disetiap tempat dan mempunyai posisi penting sebagai salah satu

I. PENDAHULUAN. liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun

PENYUSUN : TIM KONSULTAN PT. TODO CONSULT 1. Hendra Masrun, M.P. 2. Djarot Effendi, S.Hut.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHALUAN. dan kehutanan. Dalam bidang kehutanan, luas kawasan hutannya mencapai. (Badan Pusat Statistik Lampung, 2008).

BIOLOGI KONSERVASI EKOSISTEM PASCA TAMBANG

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Arthropoda merupakan filum terbesar dalam dunia Animalia yang mencakup serangga, laba-laba, udang,

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way

TINJAUAN PUSTAKA. makanan (top predator) di hutan tropis. Peranannya sebagai top predator,

2015 LUWAK. Direktorat Pengembangan Usaha dan Investasi Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian

Profil Keanekaragaman Hayati (KEHATI) Gunung Parakasak 2014

BAB I PENDAHULUAN. Semut (Hymenoptera: Formicidae) memiliki jumlah jenis dan

Profil Keanekaragaman Hayati dan Perubahan Tutupan Lahan Gunung Aseupan Banten BAB II METODE

Inventarisasi Jenis-jenis Mamalia di Hutan Pendidikan dan Penelitian Biologi (HPPB) Universitas Andalas dengan Menggunakan Camera Trap

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Gambar 1 Bange (Macaca tonkeana) (Sumber: Rowe 1996)

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung adalah salah satu pengguna ruang yang cukup baik, dilihat dari

Inventarisasi Mamalia di Hutan Harapan Sumatera Selatan. An inventory of mammalian species at The Harapan Rainforest, South Sumatera

Tatang Mitra Setia Fakultas Biologi Universitas Nasional ABSTRAK

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan di Indonesia dan 24 spesies diantaranya endemik di Indonesia (Unggar,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. paling tinggi di dunia. Menurut World Wildlife Fund (2007), keanekaragaman

BAB I PENDAHULUAN. kekayaaan sumber daya dan keanekaragaman hayati berupa jenis-jenis satwa maupun

I. PENDAHULUAN. Semua lahan basah diperkirakan menutupi lebih dari 20% luas daratan Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. dan kuat yang sebarannya hanya terdapat di pulau-pulau kecil dalam kawasan

STUDI JENIS TUMBUHAN PAKAN KELASI (Presbitis rubicunda) PADA KAWASAN HUTAN WISATA BANING KABUPATEN SINTANG

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

I. PENDAHULUAN. rawa, hutan rawa, danau, dan sungai, serta berbagai ekosistem pesisir seperti hutan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODE PENELITIAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli

Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan. Ujicoba Pembibitan Ceriops tagal

BAB I PENDAHULUAN. asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. rapat dan menutup areal yang cukup luas. Sesuai dengan UU No. 41 Tahun

HARNIOS ARIEF 1. Diterima 29 Juli 2010/Disetujui 7 Oktober 2010 ABSTRACT

I. PENDAHULUAN. Distribusi dan status populasi -- Owa (Hylobates albibarbis) merupakan

I. PENDAHULUAN. menguntungkan antara tumbuhan dan hewan herbivora umumnya terjadi di hutan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Artiodactyla, Anak Bangsa (Subordo) Ruminansia dan Suku (Family)

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

TINJAUAN PUSTAKA. Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km 2 atau ± 9,67% dari total

I. PENDAHULUAN. Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah

J U R N A L M E T A M O R F O S A Journal of Biological Sciences ISSN:

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara tropis memiliki keanekaragaman jenis satwa,

IPA SD Kelas IV 1

I. PENDAHULUAN. Macaca endemik Sulawesi yang dapat dijumpai di Sulawesi Utara, antara lain di

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia yang ada di Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat. Distribusi yang

BAB I PENDAHULUAN. migran. World Conservation Monitoring Centre (1994) menyebutkan

I. PENDAHULUAN. di beberapa tipe habitat. Bermacam-macam jenis satwa liar ini merupakan. salah satu diantaranya adalah kepentingan ekologis.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KEANEKARAGAMAN JENIS MAMALIA KECIL PADA TIGA HABITAT YANG BERBEDA DI LHOKSEUMAWE PROVINSI ACEH

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN

BRIEF Volume 11 No. 05 Tahun 2017

BAB I PENDAHULUAN. Perburuan satwa liar merupakan salah satu bentuk pemanfaatan sumber

BAB I PENDAHULUAN. Sementara Pasal 2, Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati (Convention

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan

I. PENDAHULUAN. berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di

Profil Keanekaragaman Hayati dan Perubahan Tutupan Lahan Gunung Karang Banten BAB II METODE

I. PENDAHULUAN. (MacKinnon, 1997). Hakim (2010) menyebutkan, hutan tropis Pulau Kalimantan

Evaluasi Rehabilitasi Merak Hijau (Pavo muticus) Dari Hasil Sitaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di Seksi Karangtekok

Transkripsi:

BAB V PROFIL SATWALIAR GUNUNG PARAKASAK A. Kehadiran Satwaliar Kelompok Mamalia Kawasan Gunung Parakasak memiliki luas mencapai 1.252 ha, namun areal yang berhutan hanya tersisa < 1%. Areal hutan di Gunung Parakasak telah berubah fungsi menjadi lahan pertanian dan perkebunan. Kondisi ini sangat memprihatinkan karena bukaan tajuk yang berlebihan dapat menimbulkan masalah regenerasi, terutama pada kondisi yang sangat terbuka sehingga tanah cepat mengering dan unsur hara hilang karena aliran permukaan yang deras (Meijaard dkk, 2006). Keanekaragaman satwaliar sangat erat kaitannya dengan kondisi hutan. Rayadin dkk, (2010) mengatakan dalam teori satwaliar bahwa setiap jenis mamalia memiliki daerah penyebaran tertentu berdasarkan kondisi geografis dan ekologis. Penyebaran jenis mamalia berdasarkan faktor ekologi sangat dipengaruhi oleh komposisi vegetasi suatu tipe habitat. Namun, kondisi kawasan hutan yang bagus dengan komposisi vegetasi yang cenderung beragam belum cukup untuk mengundang satwaliar hadir di kawasan tersebut. Untuk mengetahui penyebaran satwaliar khususnya kelompok mamalia pada kawasan Gunung Parakasak perlu dilakukan pengamatan terhadap satwaliar. Tabel V.1 menunjukkan hasil pengamatan yang telah dilakukan dengan menggunakan beberapa metode. Tabel V-1. Kehadiran satwaliar kelompok mamalia di kawasan Gunung Parakasak. No Nama Jenis Nama Lokal Nama Ilmiah Family Metode pengamatan 1 Monyet ekor panjang Macaca fascicularis Cercopithecidae Pengamatan, Suara 2 Kijang muntjak Muntiacus muntjak Cervidae Jejak 3 Pelanduk Tragulus sp Tragulidae Jejak 4 Babi hutan Sus barbatus Suidae Pengamatan, Sarang 5 Tenggalung Malaya Viverra tangalunga Viverridae Pengamatan 6 Musang galling Paguma larvata Viverridae Pengamatan 7 Landak raya Hystrix brachyura Hystricidae Sisa Pakan 8 Bajing Callosciurus sp Sciuridae Pengamatan 9 Tikus Rattus sp Muridae Pengamatan, BLHD Propinsi Banten V. 1

Jumlah Jenis Profil Keanekaragaman Hayati dan Perubahan Tutupan Lahan Berdasarkan data pada Tabel V-1 menunjukkan bahwa terdapat 9 jenis satwaliar kelompok mamalia yang berhasil teridentifikasi. Pada dasarnya satwaliar mamalia dapat dibedakan melalui berat tubuh yaitu mamalia besar dan mamalia kecil. Menurut batasan International Biological Program, yang dimaksud mamalia kecil adalah jenis mamalia yang memiliki berat badan dewasa yang kurang dari lima kilogram, sedangkan selebihnya termasuk ke dalam kelompok mamalia besar (Amir, 1978). Kehadiran satwaliar kelompok mamalia di kawasan Gunung Parakasak didominansi oleh kelompok mamalia besar. Kelompok mamalia kecil yang berhasil teridentifikasi yaitu jenis Callosciurus sp dan Rattus sp. Kondisi ini dikarenakan luasnya lahan yang terbuka dan aktivitas manusia cukup intensif sehingga dapat mengurangi kemampuan mamalia kecil dalam melarikan diri dari pemangsa akibatnya jenis-jenis mamalia kecil menjadi mangsa utama bagi predatornya. Mamalia dapat dibedakan berdasarkan familinya (suku). Secara umum, pengelompokkan jenis-jenis mamalia dilakukan berdasarkan kriteria yang sama misalnya berdasarkan makanan, perilaku aktif, susunan gigi, dan kriteria-kriteria lainnya. Apabila dilihat dari jumlah famili (suku) terdapat 7 famili satwa kelompok mamalia yang dapat dilihat pada Gambar V.1 berikut. 5 4 3 2 1 0 Famili Gambar V.1. Keragaman satwaliar kelompok mamalia berdasarkan famili di kawasan Gunung Parakasak. BLHD Propinsi Banten V. 2

Berdasarkan data pada Gambar V.1 dapat dilihat bahwa terdapat 8 famili mamalia. Komposisi jenis terbanyak dalam satu famili yaitu famili Viverridae. Kondisi ini sangat beralasan karena satwa-satwa famili Viverridae merupakan satwa yang bersifat generalis atau mamalia yang mampu bertahan hidup pada kondisi habitat yang terdegradasi. Seiring berjalannya waktu, pembukaan areal hutan dapat menyebabkan ledakan populasi. Kondisi ini dapat terlihat dari kehadiran jenis musang-musangan (famili Viverridae). Secara umum, jenis jenis musang-musangan (famili Viverridae) merupakan pemangsa oportunis yang meskipun status taksonominya adalah karnivora, namun beberapa jenis musangmusangan ini secara eksklusif memakan buah, umumnya buah yang berkadar gula tinggi dan berdaging lembut (Meijaard dkk. 2006). Selain perilaku jenis musang-musangan, perilaku satwaliar lainnya juga dapat diamati pada Tabel V-2 berikut ini. Tabel V-2. Klasifikasi jenis mamalia berdasarkan kelas makan, waktu aktif dan stratifikasi ekologi. No Nama Ilmiah Family Kelas Makan Waktu aktif Stratifikasi Car Her Omn Diu Noc Met Arb Ter 1 Macaca fascicularis Cercopithecidae 2 Muntiacus muntjak Cervidae 3 Tragulus sp Tragulidae 4 Sus barbatus Suidae 5 Viverra tangalunga Viverridae 6 Paguma larvata Viverridae 7 Hystrix brachyura Hystricidae 8 Callosciurus sp Sciuridae 9 Rattus sp Muridae *keterangan : Car = Carnivora, Her = Herbivora, Omn = Omnivora, Diu = Diurnal, Noc = Nocturnal, Met = Metaturnal, Arb = Arboreal, Ter = Terresterial Berdasarkan data pada Tabel V-2 menunjukkan bahwa terdapat berbagai perilaku satwaliar seperti perilaku makan, waktu aktif dan stratifikasi ekologi. Mamalia umumnya merupakan obyek utama pengamatan perilaku dalam dunia satwa. Alikodra (1990) menyatakan bahwa perilaku ialah kebiasaan-kebiasaan satwaliar dalam aktifitas hidupnya, seperti sifat mengelompok, waktu aktif, wilayah pergerakan, cara mencari makan,cara dan aktivitas-aktivitas lainnya. BLHD Propinsi Banten V. 3

(a) (b) (c) Gambar V.2. (a) Kehadiran satwa berdasarkan kelas makan, (b) Kehadiran satwa berdasarkan waktu aktif, dan (c) Kehadiran satwa berdasarkan stratifikasi ekologi. BLHD Propinsi Banten V. 4

Berdasarkan data pada Gambar V.2 (a) menunjukkan bahwa terdapat mamalia pemakan tumbuuhan (heerbivora). Bila dibandingkan dengan kelas makan omnivora, jumlah kelas makan herbivora lebih sedikit. Kondisi dapat disebabkan oleh berkurangnya sumber pakan bagi beberapa jenis tertentu, sehingga hanya satwa-satwa tertentu yang mampu bertahan hidup pada habitat yang terganggu seperti jenis Tragulus sp. Secara umum, jenis tersebut merupakan jenis yang dapat ditemukan diberbagai tipe hutan seperti hutan dataran tinggi, hutan sekunder dan terkadang ditemukan di kebun-kebun. Jenis Tragulus sp sangat bergantung terhadap buah-buahan yang jatuh. Makanan utamanya meliputi buah-buahan yang jatuh, tunas daun dan vegetasi lainnya (Charles, 2008). Berdasarkan Gambar V.2 (b) terdapat mamalia yang cenderung aktif pada siang hari dan malam hari (metaturnal). Salah satu jenis yang termasuk metaturnal adalah jenis Muntiacus muntjac. Makanan Muntiacus muntjac diperkirakan mengandung sejumlah besar tumbuhan hijau. Kondisi tersebut dapat menjelaskan mengapa jenis tersebut mampu bertahan di kawasan hutan yang terdegradasi (Meijaard dkk, 2006). Secara umum, perubahan kelimpahan spesies ungulata (jenis Tragulus sp dan Muntiacus muntjac) ditentukan oleh perburuan. Selain pembukaan lahan yang menyebabkan habitat satwa terganggu, ancaman terhadap jenis ini sangat besar terutama ancaman perburuan karena areal di sekitar kawasan Gunung Parakasak sudah berubah fungsi menjadi pemukiman masyarakat sehingga baik kebutuhan ekonomi maupun kebutuhan protein hewani semakin hari semakin meningkat. Selain itu, meskipun pada beberapa areal terbuka dapat memberikan makanan bagi jenis-jenis tersebut peningkatan aksesibilitas akibat adanya aktivitas perkebunan juga dapat menyebabkan tingginya tekanan perburuan (Meijaard dkk, 2006). BLHD Propinsi Banten V. 5

Beberapa mamalia agak mirip dengan tipe binatang lain dan mungkin membingungkan. Misalnya jenis Hystrix brachyura agak mirip reptilia karena bersisik dan lidahnya panjang, tetapi sisiknya sebenarnya dibentuk dari rambutrambut yang mengumpul (Payne dkk,2000). Secara umum, mamalia jenis Hystrix brachyura merupakan salah satu jenis satwa yang bersifat generalis. Meskipun secara Nasional jenis tersebut dilindungi namun, pada beberapa penelitian yang dilakukan oleh Rayadin dkk (2013 dan ) menunjukkan bahwa satwa tersebut mampu bertahan hidup pada kondisi habitat yang terdegradasi. Satwa tersebut dapat ditemukan pada kawasan hutan alam atauhutan sekunder, perkebunan sawit bahkan di wilayah pertambangan di Kalimantan Timur. Sumber pakannya meliputi buah-buahan yang jatuh termasuk kelapa sawit, kulit pohon, akarakaran hingga umbi-umbian (Charles, 2008). Gambar V.3. Sisa pakan jenis Hystrix brachyura ditemukan di kawasan Gunung Parakasak. BLHD Propinsi Banten V. 6

Sedangkan jenis Paguma larvata dapat dijumpai pada malam hari dan siang hari, pada umumnya jenis ini merupakan satwa yang hidup di atas permukaan tanah (terrestrial), tetapi kadang memanjat ke atas pohon. Jenis ini memakan beberapa jenis buah-buahan dan berbagai invertebrata dan vertebrata kecil yang diperoleh terutama dari lantai hutan (Rayadin dkk, 2013). Gambar V.4. Bekas jejak dan sisa pakan jenis Sus barbatus ditemukan di kawasan Gunung Parakasak. Jenis ungulata yang lebih bersifat generalis dan opportunis, yaitu Sus barbatus, terdapat di seluruh lokasi pengamatan. Frekuensi pemanfaatan kawasan perkebunan sebagai tempat mencari makanan ditunjukkan dari temuan jejak kaki dan bekas-bekas tempat mencari makan berupa akar-akar tumbuhan dan hewanhewan tanah (rooting sign). Sus barbatus sering pula ditemukan dalam kelompok dan berkeliaran di jalan-jalan kebun (Rayadin dkk, 2013). BLHD Propinsi Banten V. 7