TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN YANG DINYATAKAN PAILIT TERHADAP PIHAK KETIGA 1 Oleh : Ardy Billy Lumowa 2

dokumen-dokumen yang mirip
B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN

BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP HARTA KEKAYAAN DEBITUR. 1. Akibat kepailitan terhadap harta kekayaan debitur pailit

disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Setelah perjanjian tersebut

BAB I PENDAHULUAN. kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara. elemen tidak dapat hidup sendiri-sendiri, tetapi

BAB I PENDAHULUAN. suatu barang maupun jasa agar menghasilkan keuntungan.

BAB IV PEMBAHASAN. A. Kedudukan Hukum Karyawan Pada Perusahaan Pailit. perusahaan. Hal ini dikarenakan peran dan fungsi karyawan dalam menghasilkan

I. PENDAHULUAN. perusahaan harus dijalankan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan perusahaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar

IMPLEMENTASI PENGATURAN JAKSA PENGACARA NEGARA DALAM PENANGANAN PERKARA KEPAILITAN DI KEJAKSAAN NEGERI BANJARMASIN. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. mengenai segala jenis usaha dan bentuk usaha. Rumusan pengertian

BAB I PENDAHULUAN. salah satu komponen pelaku untuk mencapai tujuan pembangunan itu. Dengan

PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Dalam rangka pembangunan nasional untuk mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. Setiap debitur yang berada dalam keadaan berhenti membayar dapat dijatuhi

BAB VIII KEPAILITAN. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. meminjam maupun utang piutang. Salah satu kewajiban dari debitur adalah

Karyawan Sebagai Pemohon Dalam Mempailitkan Perusahaan (Studi Kasus: Kasus PT. Kymco Lippo Motor Indonesia)

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar utangutangnya.

PENGURUSAN HARTA PAILIT PEMBERESAN HARTA PAILIT TUGAS KURATOR. Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS)

BAB I PENDAHULUAN. dapat memenuhi kebutuhannya sebagaimana tersebut di atas, harus. mempertimbangkan antara penghasilan dan pengeluaran.

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2007 tentang waralaba (selanjutnya disebut PP No. 42 Tahun 2007) dalam

BAB II KEWENANGAN KURATOR DALAM PROSES KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS. Kurator diangkat dan ditunjuk oleh Hakim Pengadilan Niaga (Pasal 15 ayat

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Istilah Kepailitan 9/4/2014

BAB III AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL APABILA ON GOING CONCERN GAGAL DALAM PELAKSANAANNYA. apabila proses On Going Concern ini gagal ataupun berhasil dalam

BAB I PENDAHULUAN. untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Dalam rangka. merata di segala bidang, salah satunya adalah bidang ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan uraian pada bab-bab terdahulu, berikut disajikan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU;

Lex Administratum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016

BAB I PENDAHULUAN. utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu:

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara yang berkembang, baik dari sumber alam,

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang TUJUAN KEPAILITAN TUJUAN KEPAILITAN. 22-Nov-17

KEDUDUKAN KREDITUR SEPARATIS DALAM HUKUM KEPAILITAN

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan

Lex et Societatis, Vol. V/No. 7/Sep/2017

Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004

BAB I PENDAHULUAN. Suatu perusahaan dalam rangka pengembangan usahanya dimungkinkan

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak

DAFTAR PUSTAKA. AbdulKadir Muhammad, 2006, Hukum Perusahaan Indonesia, Cetakan III, PT. Citra Aditua Bakti, Bandung.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

TANGGUNG JAWAB KURATOR PADA KEPAILITAN PT. ARTA GLORY BUANA TERHADAP PARA KREDITOR

BAB I PENDAHULUAN. dalam pasal 27 ayat (2) yang berbunyi: Tiap tiap warga Negara berhak atas. pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

IMPLEMENTASI PENGATURAN JAKSA PENGACARA NEGARA DALAM PENANGANAN PERKARA KEPAILITAN

Bab 1 PENDAHULUAN. merupakan suatu usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, salah satu

BAB I PENDAHULUAN. utama sekaligus menentukan maju mundurnya bank yang bersangkutan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Kepailitan merupakan suatu sitaan umum atas harta kekayaan debitor yang

BAB I PENDAHULUAN. kewajiban debitor untuk membayar kembali utang sesuai jangka waktu yang telah

BAB I PENDAHULUAN. bisnis baik dalam bentuk perorangan ( natural person ) ataupun dalam bentuk badan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang

kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. tidak dapat melakukan tindakan-tindakan keperdataan, dalam arti lain, debitor

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian pinjam meminjam uang. Akibat dari perjanjian pinjam meminjam uang

BAB I PENDAHULUAN. berarti adanya interaksi berlandaskan kebutuhan demi pemenuhan finansial.

Implementasi UU 13/2003 terhadap Pemutusan Hubungan Kerja Disebabkan Perusahaan Dinyatakan Pailit

HAK PEKERJA PADA PERUSAHAAN YANG PAILIT

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Terhadap kasus yang dihadapi oleh PT Metro Batavia dan International Lease

ORGANISASI PERUSAHAAN DAN KEPAILITAN WISHNU KURNIAWAN SEPTEMBER 2007

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia pada umumnya. tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Perbankan) Pasal 1 angka 11, menyebutkan : uang agar pengembalian kredit kepada debitur dapat dilunasi salah satunya

BAB III PEMBAHASAN. A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan.

PELAKSANAAN TUGAS KURATOR DALAM MENGURUS HARTA PAILIT BERDASARKAN PASAL 72 UNDANG UNDANG NO

BAB I PENDAHULUAN. Secara historis, istilah hukum perusahaan berasal dari hukum dagang dan

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu yang menjalankan usaha, senantiasa mencari jalan untuk selalu

TINJAUAN PUSTAKA. sebagai kata sifat. Istilah failliet sendiri berasal dari Perancis yaitu faillite yang

AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP KREDITOR PREFEREN DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIJAMINKAN DENGAN HAK TANGGUNGAN

BAB II PENGANGKATAN PENGURUS DALAM PKPU. Ada dua cara yang disediakan oleh UU Kepailitan dan PKPU agar debitur

BAB I PENDAHULUAN. selalu memperoleh sesuatu yang lebih menguntungkan dari sebelumnya.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari

DAMPAK PELAKSANAAN EKSEKUSI TERHADAP OBYEK JAMINAN FIDUSIA BERDASARKAN PASAL 29 UNDANG UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA

BAB I PENDAHULUAN. Kepailitan dapat terjadi dengan makin pesatnya perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya. Dalam memenuhi segala kebutuhan hidup, akal dan pikiran. Ia memerlukan tangan ataupun bantuan dari pihak lain.

BAB II PENETAPAN HAK MENDAHULUI PADA FISKUS ATAS WAJIB PAJAK YANG DINYATAKAN PAILIT. A. Kepailitan dan Akibat Hukum Yang Ditinggalkannya

HAK HAK KARYAWAN PADA PERUSAHAAN PAILIT (STUDI TENTANG PEMBERESAN HAK KARYAWAN PADA KASUS PERUSAHAAN PT. STARWIN) SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan perikatan yang lahir dari undang-undang yang. mewajibkan seseorang yang telah memenuhi syarat yang ditentukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. Koperasi menjadi salah satu pilar penting dalam mendorong dan. meningkatkan pembangunan serta perekonomian nasional.

SYARAT-SYARAT SAHNYA PENDIRIAN PERSEROAN TERBATAS (PT) DI INDONESIA 1 Oleh : Nicky Yitro Mario Rambing 2

ANALISA MENGENAI PUTUSAN PENGADILAN NIAGA NO.22/PAILIT/2003/PN

BAB I PENDAHULUAN. maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara. sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaaan.

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Proses perniagaan, apabila debitor tidak mampu ataupun tidak mau

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan

BAB I PENDAHULUAN. diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas

AKIBAT HUKUM PERNYATAAN PAILIT

I. PENDAHULUAN. melahirkan perkembangan usaha yang dapat menunjang perekonomian suatu

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan-perusahaan yang menyokong pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Kendatipun

BAB I PENDAHULUAN. sejahtera demi mewujudkan suatu keadilan sosial, dengan cara pemenuhan. layak bagi seluruh rakyat Indonesia. 1

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UU 37/2004, KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG *15705 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA (UU) NOMOR 37 TAHUN 2004 (37/2004)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERLINDUNGAN HUKUM KREDITOR BERDASARKAN UNDANG-UNDANG KEPAILITAN DEDY TRI HARTONO / D

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Jaminan atau agunan yang diajukan atau yang diberikan oleh debitur

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Transkripsi:

TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN YANG DINYATAKAN PAILIT TERHADAP PIHAK KETIGA 1 Oleh : Ardy Billy Lumowa 2 ABSTRAK Kegiatan usaha perusahaan merupakan kegiatan yang sah menurut hukum, bukan kegiatan yang melanggar hukum atau bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Perusahaan telah menjadi salah satu objek pengaturan hukum di Indonesia. Perusahaan sebagi pelaku ekonomi, dalam menjalankan kegiatannya dengan pihak ketiga, melahirkan sejumlah hak dan kewajiban yaitu berupa piutang dan utang. Sebuah perusahaan dinyatakan pailit atau bangkrut harus melalui putusan pengadilan. Dengan pailitnya perusahaan itu, berarti perusahaan menghentikan segala aktivitasnya dan dengan demikian tidak lagi dapat mengadakan transaksi dengan pihak lain, kecuali untuk likuidasi. Dengan demikian persoalan kepailitan adalah persoalan ketidakmampuan untuk membayar utang-utangnya. Dalam artian hukum, yang dimaksud dengan kepailitan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keadaan dimana siberutang mempunyai sedikitnya dua utang dan sudah jatuh tempo, dan dia tidak dapat membayar lunas salah satu dari utang itu. Yang menjadi permasalahannya yakni, bagaimana tanggung jawab perusahaan yang dinyatakan pailit terhadap pihak ketiga, serta bagaimana akibat hukum bagi perusahaan yang dinyatakan pailit terhadap pihak ketiga. Berdasarkan permasalahan yang timbul, maka dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif, melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mengumpulkan bahan hukum primer 1 Artikel Skripsi 2 NIM 090711594 seperti peraturan perundang-undangan dan bahan hukum sekunder yaitu literaturliteratur dan karya ilmiah hukum yang membahas tentang tanggung jawab dan akibat hukum bagi perusahaan yang dinyatakan pailit atas tuntutan ganti rugi dari pihak lain serta bahan hukum tersier untuk menjelaskan pengertian-pengertian yang relevan dengan pembahasan. Secara garis besar menurut hasil penelitian ini, tanggung jawab suatu perusahaan yang dinyatakan pailit terhadap pihak ketiga terwujud dalam kewajiban perusahaan untuk melakukan keterbukaan (disclosure) terhadap pihak ketiga atas setiap kegiatan perusahaan yang dianggap dapat mempengaruhi kekayaan perusahaan. Sedangkan Kepailitan mengakibatkan debitor yang dinyatakan pailit kehilangan segala hak perdata untuk menguasai dan mengurus harta kekayaan yang telah dimasukkan ke dalam harta pailit. Pembekuan hak perdata ini diberlakukan oleh Pasal 22 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang terhitung sejak saat keputusan pernyataan pailit diucapkan. Kata kunci: pailit A. PENDAHULUAN Perusahaan telah menjadi salah satu objek pengaturan hukum di Indonesia, sejak zaman kolonial. Dalam Pasal 1 huruf b UU Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan, pengertian perusahaan adalah setiap badan usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap dan terus menerus, didirikan bekerja dan berkedudukan di Wilayah Negara Republik Indonesia untuk tujuan mencari keuntungan dan atau laba. Dilihat dari segi aktivitasnya, perusahaan itu menjalankan suatu kegiatan usaha di bidang ekonomi (bedriif, business) yang bertujuan untuk mencari keuntungan atau laba, misalnya menjalankan kegiatan 18

pabrik, kegiatan distribusi, dan sebagainya, yang menunjuk pada kesatuan aktivitas perusahaan. Sebuah perusahaan dinyatakan pailit atau bangkrut harus melalui putusan pengadilan. Dengan pailitnya perusahaan itu, berarti perusahaan menghentikan segala aktivitasnya dan dengan demikian tidak lagi dapat mengadakan transaksi dengan pihak lain, kecuali untuk likuidasi. Satu-satunya kegiatan perusahaan adalah melakukan likuidasi atau pemberesan yaitu menagih piutang, menghitung seluruh asset perusahaan, kemudian menjualnya untuk seterusnya dijadikan pembayaran utangutang perusahaan. Suatu perusahaan yang dinyatakan pailit pada saat ini akan mempunyai imbas dan pengaruh buruk bukan hanya kepada perusahaan itu saja melainkan berakibat global. 3 Salah satunya, perusahaan bahkan mengalami kesulitan serius untuk memenuhi kewajiban pembayaran utang sehingga kreditor dirugikan secara ekonomis. Dalam kondisi seperti ini, hukum kepailitan diperlukan guna mengatur penyelesaian sengketa utang piutang antara debitor dan para kreditornya 4 B. RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimanakah tanggung jawab perusahaan yang dinyatakan pailit terhadap pihak ketiga? 2. Bagaimanakah akibat hukum bagi perusahaan yang dinyatakan pailit terhadap pihak ketiga? C. METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mengumpulkan bahan 3 Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan, Cetakan Pertama, Bayu Media, Semarang, 2003, hal. 3. 4 http://eprints.undip.ac.id/16835/1/bravika_bunga_ Ramadhani.pdf hukum primer seperti peraturan perundang-undangan dan bahan hukum sekunder yaitu literatur-literatur dan karya ilmiah hukum yang membahas tentang tanggung jawab dan akibat hukum bagi perusahaan yang dinyatakan pailit atas tuntutan ganti rugi dari pihak lain serta bahan hukum tersier untuk menjelaskan pengertian-pengertian yang relevan dengan pembahasan. Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang terkumpul kemudian diolah dengan suatu teknik pengolahan data secara deduksi dan induksi, sebagai berikut: 1. Secara deduksi, yaitu pembahasan yang bertitik tolak dari hal-hal yang bersifat umum, kemudian dibahas suatu kesimpulan yang bersifat khusus; 2. Secara induksi, yaitu pembahasan yang bertitik tolak dari hal-hal yang bersifat khusus, kemudian dibahas menjadi suatu kesimpulan yang bersifat umum. Setelah pengolahan data, maka dilanjutkan dengan menganalisis data baik dari bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder secara kualitatif dan disusun secara sistematis guna memperoleh kesimpulan yang sesuai dengan pembahasan. D. PEMBAHASAN 1. Tanggung Jawab Perusahaan Yang Dinyatakan Pailit Terhadap Pihak Ketiga Tanggung jawab suatu perusahaan yang dinyatakan pailit terhadap pihak ketiga terwujud dalam kewajiban perusahaan untuk melakukan keterbukaan (disclosure) terhadap pihak ketiga atas setiap kegiatan perusahaan yang dianggap dapat mempengaruhi kekayaan perusahaan. Sebuah perusahaan yang dinyatakan pailit atau bangkrut harus melalui putusan pengadilan. Dengan pailitnya perusahaan itu, berarti perusahaan menghentikan segala aktivitasnya dan dengan demikian tidak lagi dapat mengadakan transaksi dengan pihak lain, kecuali untuk likuidasi 19

atau pemberesan, yaitu menagih utang, menghitung seluruh asset perusahaan, kemudian menjualnya untuk seterusnya dijadikan pembayaran utang-utang perusahaan. Di dalam operasionalnya, perusahaan tidak selalu menunjukkan perkembangan dan peningkatan laba (profit), ada banyak resiko dari bisnis baik itu resiko investasi, resiko pembiayaan dan resiko operasi. Dimana semua hal itu bisa mengancam kesinambungan dari keuangan perusahaan tersebut dan yang paling fatal perusahaan bisa mengalami bangkrut (pailit) karena tidak bisa membayar semua kewajiban utang perusahaannya. 5 Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Pasal 22, harta debitur pailit yang sudah ada pada saat Debitur dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga maupun yang akan diperoleh selama kepailitan berlangsung digunakan untuk membayar semua krediturnya secara adil dan merata yang dilakukan seorang Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas. Untuk lebih memahami wewenang dan tanggung jawab kurator dalam rangka pengurusan harta boedel pailit sesuai Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yaitu : 1) Pada pengertian secara umum tugas dari Kurator dalam Hal pernyataan Pailit Debitor adalah mengurus dan membereskan harta Debitor Pailit dibawah pengawasan Hakim Pengawas sesuai dengan Pasal 1 angka 5 dan Pasal 69 ayat 1 UU Kepailitan dan PKPU. 5 http://hukum.kompasiana.com/2012/05/13/perlind ungan-hak-normatif-pekerjaburuh-padaperusahaan-pailit-457042.html 2) Dalam hal melaksanakan tugasnya, Kurator tidak diharuskan memperoleh persetujuan dari atau menyampaikan pemberitahuan terlebih dahulu kepada Debitor atau salah satu Debitor, meskipun dalam keadaan diluar kepailitan persetujuan atau pemberitahuan demikian dipersyaratkan (Pasal 69 ayat 2 huruf a). 3) Pada saat melaksanakan tugasnya kurator dapat melakukan pinjaman dari pihak ketiga, hanya dalam meningkatkan nilai harta pailit dengan persetujuan lebih dahulu Hakim Pengawas (Pasal 69 ayat 3 dan 4). 4) Dalam hal melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit diucapkan, tetap berwenang meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi dan atau peninjauan kembali (Pasal 16 ayat 1). 5) Jika dalam putusan pernyataan pailit dibatalkan sebagai akibat adanya kasasi atau peninjauan kembali, segala perbuatan yang dilakukan oleh kurator sebelum atau pada tanggal Kurator menerima pemberitahuan tentang putusan pembatalan sebagaimana dimaksud Pasal 17 tetap sah dan mengikat Debitur (Uit voor baar bij voor raad Pasal 16 ayat 2). 6) Dalam melaksanakan tugasnya Kurator bertanggung jawab terhadap kesalhan atau kelalaiannya dalam melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan yang menyebabkan kerugian terhadap harta pailit (Pasal 72). 7) Sejak mulai pengangkatannya, Kurator harus melaksanakan semua upaya untuk mengamankan harta pailit dan menyimpan semua surat, dokumen, uang perhiasan, efek, dan surat berharga lainnnya dengan memberikan tanda terima (Pasal 98). 20

Merujuk kepada Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan Pasal 95 ayat (4) dinyatakan Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan Perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya. Dalam ketentuan Pasal 165 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur bahwa Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan pailit, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 kali ketentuan Pasal 156 ayat 3, dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat 4. Ketentuan didalam pasal tersebut juga dinyatakan dalam Pasal 39 ayat 1 Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang: Pekerja yang bekerja pada Debitor dapat memutuskan hubungan kerja, dan sebaliknya Kurator dapat memberhentikannya dengan mengindahkan jangka waktu menurut persetujuan atau ketentuan perundangundangan yang berlaku, dengan pengertian bahwa hubungan kerja tersebut dapat diputuskan dengan pemberitahuan paling singkat 45 (empat puluh lima) hari sebelumnya. Ketika terjadi Pailit pembayaran upah pekerja/buruh dilakukan oleh Kurator yang dalam hal ini menggantikan posisi Perusahaan. Sehingga hak buruh dalam hal ini upah dan tunjangan lainnya menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan akan berubah menjadi utang yang didahulukan pembayarannya dan penjelasannya menyebutkan yang dimaksud didahulukan pembayarannya adalah upah pekerja/buruh harus dibayar lebih dahulu daripada utang-utang lainnya. Dalam pasal 39 ayat (2) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang telah ditentukan bahwa upah buruh untuk waktu sebelum dan sesudah pailit termasuk utang harta pailit artinya upah buruh harus dibayar lebih dahulu daripada utang-utang lainnya. Melihat kenyataan ini, antara perlindungan hak pekerja dalam Undang- Undang Kepailitan dan UU Ketenagakerjaan terdapat perbedaan yang signifikan, di dalam Undang-Undang Kepailitan upah buruh untuk waktu sebelum dan sesudah pailit termasuk utang harta pailit artinya upah buruh harus dibayar lebih dahulu daripada utang-utang lainnya tetapi tidak jelas diatur utang yang lainnya ini utang yang mana dan bagaimana proses penyelesaiannya. Sementara dalam UU Ketenagakerjaan juga menyatakan hal yang sama yaitu Pasal 95 ayat (4), secara jelas dan gamblang menekankan bahwa upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya untuk melindungi dan menjamin keberlangsungan hidup dan keluarganya. Dalam hal ini upah buruh menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan menjadi prioritas pertama yang harus dibayarkan tanpa syarat apapun karena hal ini langsung berhubungan dengan nasib dan hidup dari pekerja/buruh dan keluarga, sedangkan menurut Undang-Undang Kepailitan hal ini tidak berlaku mutlak dikarenakan adanya penggolongan kreditor berdasarkan Pasal 1131 sampai dengan Pasal 1138 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP); dan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, yang membagi golongan kreditur menjadi : 21

1. Kreditor yang kedudukannya di atas kreditur saham jaminan kebendaan (contohnya utang pajak) dimana dasar hukum mengenai kreditur ini terdapat dalam Pasal 21 UU KUP jo Pasal 1137 KUH Perdata; 2. Kreditur pemegang jaminan kebendaan yang dianut sebagai Kreditur Separatis (dasar hukumnya adalah Pasal 1134 ayat 2 KUHPer). Hingga hari ini jaminan kebendaan yang diatur di Indonesia meliputi : a. Gadai; b. Fidusia; c. Hak Tanggungan; d. Hipotik Kapal. 3. Utang harta pailit, yang termasuk utang harta pailit antara lain sebagai berikut : a. Biaya kepailitan dan fee Kurator; b. Upah buruh, baik untuk waktu sebelum Debitur pailit maupun sesudah Debitur pailit (Pasal 39 (2) Undang-Undang Kepailitan, dan c. Sewa gedung sesudah Debitur pailit dan seterusnya (Pasal 38 ayat (4) Undang-Undang Kepailitan. 4. Kreditur preferen khusus, sebagaimana terdapat di dalam Pasal 1139 KUHPer, dan Kreditur preferen umum, sebagaimana terdapat di dalam Pasal 1149 KUHPer; dan 5. Kreditur konkuren. Kreditur golongan ini adalah semua kreditur yang tidak termasuk Kreditur separatis dan tidak termasuk Kreditur preferan khusus maupun umum (Pasal 1131 jo Pasal 1132 KUHPer) Dari lima golongan kreditur yang telah disebutkan diatas, berdasarkan Pasal 1134 ayat 2 jo.pasal 1137 KUHPer dan Pasal 21 UU KUP, kreditur piutang pajak mempunyai kedudukan di atas kreditur separatis. Sehingga posisi upah buruh berada dibawah biaya kepailitan dan fee kurator, yang berarti buruh harus lebih sabar dna berada dibelakang setelah harta boedel pailit dipakai untuk membayar pajak, kreditur pemegang jaminan kebendaan (Kreditur separatis), biaya kepailitan dan fee Kurator. Sehingga dengan posisi seperti ini, seringkali harta boedel pailit tidak cukup untuk membayar hak atau upah buruh. Disinilah letak permasalahannya ketika suatu perusahaan mengalami pailit dan Kurator bertugas melakukan pemberesan harta pailit lebih menekankan pembagian boedel pailit setelah pembayaran pajak kepada kreditur separatis, biaya kepailitan dan fee untuk dirinya sendiri. Sehingga jika harta boedel pailit dalam jumlah yang terbatas seringkali hak-hak buruh tidak bisa diakomodir oleh si Kurator itu sendiri. Dalam kondisi seperti ini, Kurator seringkali mengenyampingkan hakhak/utang gaji pekerja/buruh tersebut dikarenakan Kurator hanya bertindak menurut aturan dalam Undang-Undang Kepailitan tanpa memperhatikan aturan yang ada pada Undang-Undang Ketenagakerjaan. Padahal posisi Kurator tesebut sebenarnya hanya sementara untuk menggatikan posisi Perusahan karena dalam keadaan pailit. Artinya Kurator juga harus bertindak sebagai Perusahaan yang wajib melindungi dan mengakomodir hak-hak Pekerja/buruh seperti yang diamanatkan Undang-Undang Ketenagakerjaan. Permasalahan seperti ini seringkali menimpa buruh-buruh yang notabene hanya mengandalkan hidupnya dari upah yang diterimanya dari pekerjaan tersebut. Sehingga hal ini harus menjadi perhatian Pemerintah bagaimana caranya menyikapi perlindungan hak-hak buruh pasca putusan pailit dan memastikan kepentingan dan hak-hakpekerja/buruh tetap terlindungi. Untuk itulah Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dipandang sebagai salah satu solusi bagi perusahaan yang berkedudukan sebagai debitor dari berbagai permasalahan 22

yang mungkin timbul sebagai akibat ketidakmampuan membayar utangutangnya itu. Dalam pemahaman ini sebuah perusahaan yang secara keuangan dan manajemen dinilai tidak mampu lagi melanjutkan kegiatannya, kepailitan adalah jalan terbaik sehingga perusahaan tidak menimbulkan kerugian yang lebih luas lagi, termasuk kepada iklim berusaha dan kondisi perekonomian nasional secara umum. Apabila masih ada harapan, penundaan kewajiban pembayaran utang dapat menjadi solusi. 6 Penetapan syarat kepailitan yaitu jika perusahaan sebagai debitor mempunyai sedikitnya dua utang yang sudah jatuh tempo dan sekurang-kurangnya satu di antaranya tidak terbayar, dengan ketentuan cukup dibuktikan dengan pembuktian yang sederhana saja, dapat menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi ketentuan ini dapat dimanfaatkan oleh mitra pesaing untuk mengeliminir perusahaan bersangkutan dari pasar, sebab dengan dinyatakan pailit perusahaan itu pasti akan tutup atau berhenti melakukan kegiatan usahanya. 7 Di sisi lain ketentuan itu dapat juga dimanfaatkan oleh perusahaan debitor yang nakal yang tidak ingin membayar utang-utangnya dan lebih beruntung jika membuka perusahaan baru. Dalam kedua hal itu, selain menimbulkan kerugian kepada kedua belah pihak, pihak ketiga yaitu buruh atau tenaga kerja menjadi korban yang paling menderita sebab mereka kehilangan pekerjaan dan dengan demikian otomatis kehilangan mata pencaharian. 8 Karena itu penetapan perusahaan debitor pailit harus ditempuh dengan hatihati untuk tidak menimbulkan dampak besar. Pegangan pokok dalam memutuskan perusahaan pailit atau tidak adalah tujuan 6 Janus Sidabalok, Op.Cit., hal. 246. 7 Ibid. 8 Ibid, hal.246-247. pengaturan kepailitan itu sendiri yaitu memberi keadilan kepada semua pihak yang terkait serta menjamin iklim usaha yang sehat. 9 2. Akibat Hukum Bagi Perusahaan Yang Dinyatakan Pailit Terhadap Pihak Ketiga Kepailitan mengakibatkan debitor yang dinyatakan pailit kehilangan segala hak perdata untuk menguasai dan mengurus harta kekayaan yang telah dimasukkan ke dalam harta pailit. Pembekuan hak perdata ini diberlakukan oleh Pasal 22 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang terhitung sejak saat keputusan pernyataan pailit diucapkan. Sebagai konsekuensi dari ketentuan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, maka semua perikatan antara debitor yang dinyatakan pailit dengan pihak ketiga yang dilakukan sesudah pernyataan pailit, tidak akan dan tidak dapat dibayar dari harta pailit, kecuali bila perikatan-perikatan tersebut mendatangkan keuntungan bagi harta pailit. Tanggal putusan tersebut dihitung sejak pukul 00.00 waktu setempat. Sejak tanggal putusan pernyataan pailit tersebut diucapkan, debiitur pailit demi hukum tidak mempunyai kewenangan lagi untuk menguasai dan mengurus harta kekayaannya. Namun harus diperhatikan bahwa debitur pailit tetap cakap dan berwenang untuk melakukan perbuatan hukum sepanjang perbuatan hukum tersebut tidak berkaitan baik langsung ataupun tidak langsung dengan harta kekayaannya. 10 Dalam arti, debitur hanya kehilangan haknya dalam lapangan hukum harta kekayaan. Seperti debitur pailit masih 9 Ibid. 10 Jono, Hukum Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hal. 107-108. 23

cakap untuk melakukan pernikahan. Pokoknya cakap untuk melakukan perbuatan hukum lain sepanjang tidak menyentuh harta kekayaannya, karena harta kekayaan sudah berada di bawah sitaan umum. 11 Semua perikatan debitur yang terbit sesudah putusan pernyataan pailit, tidak lagi dapat dibayar dari harta pailit, kecuali perikatan tersebut menguntungkan harta pailit. Tuntutan mengenai hak atau kewajiban yang menyangkut harta pailit harus diajukan oleh atau terhadap kurator. 12 Dalam hal tuntutan tersebut diajukan atau diteruskan oleh atau terhadap debitur pailit maka apabila tuntutan tersebut mengakibatkan suatu penghukuman terhadap debitur pailit, penghukuman tersebut tidak mempunyai akibat hukum terhadap harta pailit. 13 Dari ketentuan Pasal 41 dan 42 UU Kepailitan, dapat diketahui bahwa sistem pembuktian yang dapat dipakai adalah sistem pembuktian terbalik, artinya beban pembuktian terhadap perbuatan hukum debitur (sebelum putusan pernyataan pailit) tersebut adalah berada pada pundak debitur pailit dan pihak ketiga yang melakukan perbuatan hukum dengan debitur apabila perbuatan hukum debitur tersebut dilakukan dalam jangka waktu 1 tahun sebelum putusan pernyataan pailit yang membawa kerugian bagi kepentingan kreditor. Jadi, apabila kurator menilai bahwa ada perbuatan hukum tertentu dari debitur dengan pihak ketiga dalam jangka waktu 1 tahun (sebelum putusan pernyataan pailit) merugikan kepentingan kreditor, maka debitur dan pihak ketiga wajib membuktikan bahwa perbuatan hukum tersebut wajib dilakukan oleh mereka dan perbuatan hukum tersebut tidak merugikan harta pailit. 11 Ibid, hal.108. 12 Ibid. 13 Ibid. Berbeda, apabila perbuatan hukum yang dilakukan debitur dengan pihak ketiga dalam jangka waktu lebih dari 1 tahun sebelum putusan pernyataan pailit, dimana kurator menilai bahwa perbuatan hukum tersebut merugikan kepentingan kreditor atau harta pailit, maka yang wajib membuktikan adalah kurator. Ini berarti pada prinsipnya Undang- Undang Kepailitan memberikan hak secara adil, baik kepada kurator maupun kreditor untuk membatalkan perjanjian dan atau perbuatan hukum debitor pailit yang dilakukan sebelum pernyataan pailit diputuskan, namun belum sepenuhnya diselesaikan pada saat pernyataan pailit dikeluarkan. 14 Selain itu, dalam hal-hal tertentu, baik kurator maupun tiap-tiap kreditor yang berkepentingan berhak meminta pembatalan atas suatu perbuatan hukum yang telah selesai dilakukan sebelum pernyataan pailit diucapkan. Ketentuan tersebut sangat berarti dalam melindungi kepentingan kreditor secara keseluruhan dan terutama untuk menghindari akalakalan debitor yang nakal dengan pihakpihak tertentu yang bertujuan untuk merugikan kepentingan dari satu atau lebih kreditor yang beritikad baik, maupun kepentingan harta pailit secara keseluruhan. 15 Untuk dapat membatalkan suatu perbuatan hukum yang telah dilakukan oleh debitor pailit dengan pihak ketiga sebelum pernyataan pailit diucapkan yang merugikan harta pailit, Undang-Undang Kepailitan mensyaratkan bahwa pembatalan terhadap perbuatan hukum tersebut hanya dimungkinkan jika dapat dibuktikan pada saat perbuatan hukum (yang merugikan) tersebut dilakukan debitor dan pihak dengan siapa perbuatan 14 Gunawan Widjaja, Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 90. 15 Ibid. 24

hukum itu dilakukan mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditor, kecuali perbuatan tersebut merupakan suatu perbuatan hukum yang wajib dilakukannya berdasarkan perjanjian dan/atau undang-undang. 16 Ini berarti bahwa hanya perbuatan hukum yang tidak wajib atau yang secara finansial merugikan kepentingan keuangan debitor yang dinyatakan pailit yang dapat dibatalkan. Selanjutnya, untuk menciptakan juga kepastian hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan tidak hanya kreditor, melainkan juga pihak penerima kebendaan yang diberikan oleh debitor, Undang- Undang Kepailitan menegaskan bahwa selama perbuatan hukum yang merugikan para kreditor tersebut dilakukan dalam jangka waktu satu tahun sebelum putusan pernyataan pailit ditetapkan dan perbuatan tersebut tidak wajib dilakukan debitor atau yang secara finansial merugikan kepentingan keuangan debitor yang dinyatakan pailit, maka kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, debitor dan pihak dengan siapa perbuatan tersebut dilakukan dianggap mengetahui atau sepatutnya mengetahui perbuatan tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditor. 17 Dengan demikian, berarti menjadi tugas pihak ketiga dan debitor pailit tersebut untuk membuktikan bahwa perbuatan hukum yang dilakukan olehnya tersebut dengan debitor pailit (sebelum ia dinyatakan pailit) merupakan perbuatan hukum yang wajib dilakukan oleh debitor pailit (sebelum dinyatakan pailit) dan bahwa perbuatan hukum tersebut secara finansial tidak merugikan harta pailit (kreditor). 18 Apabila seorang debitor telah secara resmi dinyatakan pailit maka secara yuridis akan menimbulkan akibat-akibat sebagai berikut: 19 1. Debitor kehilangan segala haknya untuk menguasai dan mengurus atas kekayaan harta bendanya ( asetnya ), baik menjual, menggadai, dan lain sebagainya, serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan; 2. Utang-utang baru tidak lagi dijamin oleh kekayaannya; 3. Untuk melindungi kepentingan kreditor, selama putusan atas permohonan pernyataan pailit belum diucapkan, kreditor dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk: a) Meletakkan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh kekayaan debitor; b) Menunjuk kurator sementara untuk mengawasi pengelolaan usaha debitor, menerima pembayaran kepada kreditor, pengalihan atau penggunaan kekayaan debitor (pasal 10) 4. Harus diumumkan di 2 ( dua ) surat kabar ( pasal 15 ayat ( 4 ). Dengan demikian jelaslah, bahwa akibat hukum bagi debitur setelah dinyatakan pailit adalah bahwa ia tidak boleh lagi mengurus harta kekayaannya yang dinyatakan pailit, dan selanjutnya yang akan mengurus harta kekayaan atau perusahaan debitur pailit tersebut adalah Kurator. Untuk menjaga dan mengawasi tugas seorang kurator, pengadilan menunjuk seorang Hakim Pengawas, yang mengawasi perjalan proses kepailitan (pengurusan dan pemberesan harta pailit). E. PENUTUP 1. Kesimpulan 16 Ibid, hal.90-91. 17 Ibid. 18 Ibid. 19 http://asma1981.blogspot.com/2011/12/tanggungjawab-direksi-dalam-perseroan.html 25

a) Tanggung jawab suatu perusahaan yang dinyatakan pailit terhadap pihak ketiga terwujud dalam kewajiban perusahaan untuk melakukan keterbukaan (disclosure) terhadap pihak ketiga atas setiap kegiatan perusahaan yang dianggap dapat mempengaruhi kekayaan perusahaan. Sebuah perusahaan yang dinyatakan pailit atau bangkrut harus melalui putusan pengadilan. Dengan pailitnya perusahaan itu, berarti perusahaan menghentikan segala aktivitasnya dan dengan demikian tidak lagi dapat mengadakan transaksi dengan pihak lain, kecuali untuk likuidasi atau pemberesan, yaitu menagih utang, menghitung seluruh asset perusahaan, kemudian menjualnya untuk seterusnya dijadikan pembayaran utang-utang perusahaan. b) Akibat hukum bagi perusahaan yang dinyatakan pailit mengakibatkan perusahaan yang dinyatakan pailit tersebut kehilangan segala hak perdata untuk menguasai dan mengurus harta kekayaan yang telah dimasukkan ke dalam harta pailit. Pembekuan hak perdata ini diberlakukan oleh Pasal 22 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang terhitung sejak saat keputusan pernyataan pailit diucapkan. 2. Saran a) Tanggung jawab suatu perusahaan yang dinyatakan pailit terhadap pihak ketiga terwujud dalam kewajiban perusahaan untuk melakukan keterbukaan (disclosure) terhadap pihak ketiga atas setiap kegiatan perusahaan yang dianggap dapat mempengaruhi kekayaan perusahaan. Namun seringkali banyak perusahaan yang telah dinyatakan pailit tidak bertanggung jawab terhadap pihak ketiga. Hal ini disebabkan karena Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tidak mengatur secara tegas tentang kewajiban dan tanggung jawab perusahaan yang dinyatakan pailit terhadap pihak ketiga. Untuk itu perlu adanya revisi Undangundang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang mengatur secara khusus tentang kewajiban dan tanggung jawab perusahaan yang dinyatakan pailit terhadap pihak ketiga. b) Kepailitan mengakibatkan seluruh kekayaan perusahaan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan berada dalam sitaan umum sejak saat putusan pernyataan pailit diucapkan. Penetapan syarat kepailitan yaitu jika perusahaan sebagai debitor mempunyai sedikitnya dua utang yang sudah jatuh tempo dan sekurangkurangnya satu diantaranya tidak terbayar, dengan ketentuan cukup dibuktikan dengan pembuktian yang sederhana saja. Ketentuan ini dapat dimanfaatkan oleh perusahaan debitor yang nakal yang tidak ingin membayar utang-utangnya dan lebih beruntung jika membuka perusahaan baru. Hal ini akan menimbulkan kerugian bagi pihak ketiga yaitu buruh atau tenaga kerja menjadi korban yang paling menderita sebab mereka kehilangan pekerjaan dan dengan demikian otomatis kehilangan mata pencaharian. Karena itu penetapan perusahaan debitor pailit harus ditempuh dengan hati-hati untuk tidak menimbulkan dampak besar khususnya bagi pihak ketiga. DAFTAR PUSTAKA Fuady Munir, hukum Pailit 1998 Dalam Teori dan Praktek, Cetakan 1, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999. 26

Hartini Rahayu, Hukum Kepailitan, Cetakan Pertama, Bayu Media, Semarang, 2003. Huizink J.B., Insolventie, Cetakan 1, (Jakarta : Pusat Studi Hukum dan Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004. Kansil C.S.T. dan Christine S.T. Kansil, Seluk Beluk Perseroan Terbatas Menurut Undang-Undang No.40 Tahun 2007, Rineka Cipta, Jakarta, 2009. Kartono, Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran, Cetakan Ketiga, Jakarta, Pradnya Paramita, 1985. Marwan, M. SH, Drs,. & Jimmy p. SH., Kamus Hukum, Cetakan 1, Reality Publisher, Surabaya, 2009 Nating Imran, Edisi Revisi : Peranan dan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Sutantya R., P. Hadikusuma dan Sumantoro, Pengertian Pokok Hukum Perusahaan, Rajawali Pers, Jakarta,1995. Widjaya I.G. Ray, Berbagai Peraturan dan Pelaksanaan Undang-undang di Bidang Hukum Perusahaan, Pemakaian Nama PT, Tata Cara Mendirikan PT, Tata Cara Pendaftaran Perusahaan, TDUP & SIUP, Cetakan ke 3, Jakarta, 2003. Widjaja Gunawan, Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004. 27