BAB I PENDAHULUAN. lainnya untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Oleh sebab itu manusia

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada

BAB I PENDAHULUAN. (Papalia, 2009). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 pasal 1

BAB I PENDAHULUAN. berubah dari perubahan kognitif, fisik, sosial dan identitas diri. Selain itu, terjadi pula

BAB I PENDAHULUAN. Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas

BAB I PENDAHULUAN. proses pembelajaran peserta didik yang dapat mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupannya, keberhasilan seseorang tidak hanya ditentukan oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. lain. Sejak lahir, manusia sudah bergantung pada orang lain, terutama orangtua

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kecerdasan Emosional pada Remaja Akhir. 1. Pengertian Kecerdasan Emosional Pada remaja Akhir

BAB I PENDAHULUAN. semakin menyadari pentingnya mendapatkan pendidikan setinggi mungkin. Salah

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan luar. Perubahan-perubahan tersebut menjadi tantangan besar bagi

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial, yang tidak dapat hidup tanpa berelasi dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. latin adolensence, diungkapkan oleh Santrock (2003) bahwa adolansence

BAB I PENDAHULUAN. masa beralihnya pandangan egosentrisme menjadi sikap yang empati. Menurut Havighurst

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Di masa sekarang ini, banyak perubahan-perubahan yang terjadi di dunia,

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa

BAB I PENDAHULUAN. asuhan, sebagai figur identifikasi, agen sosialisasi, menyediakan pengalaman dan

Henni Anggraini Universitas Kanjuruhan Malang

BAB I PENDAHULUAN. sendiri dan membutuhkan interaksi dengan sesama. Ketergantungan dengan

BAB I PENDAHULUAN. orang tua dengan anak. Orang tua merupakan makhluk sosial pertama yang

BAB I PENDAHULUAN. mental. Hal ini seringkali membuat orangtua merasa terpukul dan sulit untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyesuaian Sosial. Manusia adalah makhluk sosial.di dalam kehidupan sehari-hari manusia

LAMPIRAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB I LATAR BELAKANG MASALAH. kerja, mendorong perguruan tinggi untuk membekali lulusannya dengan kemampuan

BAB I PENDAHULUAN. dan pendidikan tinggi ( Mengenyam pendidikan pada

BAB I PENDAHULUAN. Setiap manusia diharapkan memiliki kemampuan untuk beradaptasi

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Istilah Kelekatan (attachment) untuk pertama kalinya. resiprokal antara bayi dan pengasuhnya, yang sama-sama memberikan

BAB I PENDAHULUAN. individu dengan individu yang lain merupakan usaha manusia dalam

BAB I PENDAHULUAN. Fakultas Psikologi merupakan salah satu fakultas unggulan di Universitas

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa kanak-kanak, relasi dengan orangtua sangat menentukan pola attachment dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial tidak lepas dari hubungan

BAB I PENDAHULUAN. maka diperlukan partisipasi penuh dari putra-putri bangsa Indonesia di berbagai

BAB I PENDAHULUAN. suatu interaksi dengan lingkungan sekitarnya. Proses interaksi salah satunya dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 2004, bencana demi bencana menimpa bangsa Indonesia. Mulai

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN. sosial yang harus hidup di tengah lingkungan sosial. Melalui proses sosialisasi. mengadakan interaksi sosial dalam pergaulannya.

BAB I PENDAHULUAN. Komisi Remaja adalah badan pelayanan bagi jemaat remaja berusia tahun. Komisi

BAB I PENDAHULUAN. tuntutan keahlian atau kompetensi tertentu yang harus dimiliki individu agar dapat

BAB I PENDAHULUAN. membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannya maupun mengenai diri mereka sendiri. dirinya sendiri dan pada late childhood semakin berkembang pesat.

ABSTRAK. vii. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. Masa bayi adalah periode dalam hidup yang dimulai setelah kelahiran dan

BAB II LANDASAN TEORITIK

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Attachment menurut Bowlby (dalam Mikulincer & Shaver, 2007) adalah

GAYA KELEKATAN ( ATTACHMENT STYLE

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. luas. Fenomena ini sudah ada sejak dulu hingga sekarang. Faktor yang mendorong

BAB I PENDAHULUAN. dengan baik di lingkungan tempat mereka berada. Demikian halnya ketika

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan

BAB I PENDAHULUAN. Pendukung Pendidikan Khusus untuk Siswa Cerdas/Berbakat Istimewa, terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka memasuki era globalisasi, remaja sebagai generasi penerus

BAB I PENDAHULUAN. dengan harapan. Masalah tersebut dapat berupa hambatan dari luar individu maupun

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial; mereka tidak dapat hidup sendiri dan

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah internasional adalah sekolah yang melayani siswa yang berasal dari sejumlah

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan lebih lanjut ke perguruan tinggi ( Perguruan tinggi

BAB I PENDAHULUAN. artinya ia akan tergantung pada orang tua dan orang-orang yang berada di

BAB 1 PENDAHULUAN. dan sosial-emosional. Masa remaja dimulai kira-kira usia 10 sampai 13 tahun

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Anak merupakan generasi penerus dan aset pembangunan. Anak menjadi

BAB I PENDAHULUAN. hukum suatu negara yang dibangun dengan tujuan untuk aktivitas religius. Gereja termasuk ke

Lampiran 1. Data Penunjang dan Kuesioner Self Esteem dan Jealousy. Frekuensi bertemu dengan pasangan : Sering ( setiap hari )

BAB II LANDASAN TEORI. Pada bab ini akan dibahas mengenai teori-teori yang menguraikan tahap

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan

BAB I PENDAHULUAN. Masa sekarang masyarakat dihadapkan pada masalah-masalah kehidupan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Manajemen Konflik. tindakan pihak lain. Apabila dua orang individu masing-masing berpegang pada

BAB I PENDAHULUAN. mempengaruhi perkembangan psikologis individu. Pengalaman-pengalaman

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial yang artinya manusia membutuhkan orang lain dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan elemen penting bagi pembangunan bangsa. Pendidikan menurut UU No. 20 tahun 2003, merupakan usaha sadar dan

BAB I PENDAHULUAN. emosi yang bervariatif dari waktu ke waktu, khususnya pada masa remaja yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Bullying. ketidaknyamanan fisik maupun psikologis terhadap orang lain. Olweus

BAB I PENDAHULUAN. latihan sehingga mereka belajar untuk mengembangkan segala potensi yang

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia yang berkualitas tinggi. Masyarakat semakin berkembang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi tidak

BAB I PENDAHULUAN. Santrock, 2000) yang menyatakan bahwa tugas perkembangan yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. hidup di zaman yang serba sulit masa kini. Pendidikan dapat dimulai dari

BAB I PENDAHULUAN. paling menarik dari percepatan perkembangan seorang remaja adalah

BAB I PENDAHULUAN. Kasus perceraian di Indonesia saat ini bukanlah menjadi suatu hal yang asing

Lampiran 1 Alat Ukur DATA PRIBADI. Jenis Kelamin : Pria / Wanita IPK :... Semester ke :...

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mengembangan berbagai potensi yang dimiliki anak. Usia 4-6 tahun adalah suatu tahap

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup tanpa keberadaan dan

BAB 2 LANDASAN TEORI

I. PENDAHULUAN. Peserta didik Sekolah Menengah Pertama (SMP ) berada dalam masa

KATA PENGANTAR KUESIONER. Dalam rangka memenuhi persyaratan pembuatan skripsi di Fakultas

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi. Terjadi pada usia kurang lebih lima

Selviana Elisa. Dibimbing Oleh : Drs. Amir Sjarif Bachtiar, M.Si.

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia, terdapat berbagai macam agama dan kepercayaan- kepercayaan

BAB I PENDAHULUAN. Dunia saat ini sedang memasuki era baru yaitu era globalisasi dimana hampir

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang tidak mungkin dapat hidup sendiri. Di sepanjang rentang kehidupan, setiap manusia membutuhkan manusia lainnya untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Oleh sebab itu manusia dikatakan sebagai makhluk sosial. Kebutuhan dalam diri seseorang untuk bergantung pada orang lain disekitarnya telah muncul semenjak manusia berada pada fase bayi. Saat masih bayi, seorang anak bergantung pada orang lain yang dirasakan dapat memberikan rasa aman dan nyaman baginya. Di usia yang sangat dini, kenyamanan yang dirasakan oleh seorang bayi berasal dari figur orangtua ataupun figur pengasuh. Umumnya, figur pengasuh signifikan lebih besar adalah Ibu, namun tidak menutup kemungkinan ada figur lain selain ibu. Ikatan antara bayi dengan figur tersebut ini adalah keterikatan yang bersifat primer. Keterikatan ini menjadi fasilitator aktivitas psikologis yang baru dimulai, yaitu seperti kemampuan bicara, mengatur indera-indera, tindakan fisik, berfikir dengan simbol, meniru dan belajar dari orang lain (Santrock, 2007). Responsivitas figur pengasuh yang signifikan dalam memenuhi kebutuhan bayi tersebut menanamkan pemahaman pada bayi bahwa figur tersebut adalah figur 1 Universitas Kristen Maranatha

yang dapat dipercaya untuk memperhatikan kebutuhannya dan dapat diandalkan bantuannya. Hal tersebut juga membuat bayi merasakan bahwa betapa aman dirinya dan betapa orang-orang disekitarnya dapat diandalkan ketika ia menghadapi situasi yang menekan. Berbagai pengalaman mengenai keterikatan seseorang pada masa bayi dengan figur signifikan akan terus berlanjut sampai masa remaja, dewasa, dan bahkan sampai tua (Hazan & Shaver, 1987), serta menjadi pola yang dimiliki individu ketika menjalin ikatan attachment dengan orang lain selain figur attachmentnya. Semakin bertambahnya usia seseorang, maka ia akan memasuki lingkungan sosial yang lebih luas dari pada lingkungan keluarga. Untuk dapat bertahan berada dalam suatu lingkungan sosial, seseorang harus mampu menjalin relasi dengan orang-orang yang berada dalam lingkungan tersebut. Salah satu lingkungan yang menuntut adanya relasi sosial adalah situasi pendidikan. Setiap jenjang pendidikan memiliki tuntutan yang berbeda-beda dan tingkat kesulitannya akan terus meningkat sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dari jenjang tersebut. Tuntutan yang sangat berbeda terasa pada peralihan antara sekolah menengah atas dan perguruan tinggi. Tuntutan yang lebih tinggi dan kesulitan yang dialami berada pada relasi yang harus terbangun dengan teman, dosen, dan warga kampus lainnya. Dalam situasi perkuliahan mahasiswa dituntut untuk menambah luas relasi yang dimiliki dan menambah jumlah teman. Relasi sosial yang dimiliki secara langsung akan membawa banyak manfaat dalam menjalani proses belajar sebagai mahasiswa. Dalam mengerjakan tugas yang bersifat kelompok, maka 2 Universitas Kristen Maranatha

akan lebih mudah diselesaikan apabila mahasiswa memiliki kemauan untuk menjalin relasi yang saling percaya dengan orang lain terutama dengan teman dalam kelompok belajarnya. Sebaliknya, jika mahasiswa kurang mampu menjalin relasi sosial maka akan menghambat proses penyelesaian tugas. Disamping harus memenuhi tugas perkembangan dalam aspek sosial, mahasiswa baru juga harus beradaptasi dengan situasi belajar yang berbeda. Situasi perkuliahan menuntut mahasiswa untuk lebih aktif dan dosen hanya berperan sebagai fasilitator dalam proses belajar mengajar. Tuntutan yang semakin kompleks untuk diselesaikan itu menjadi permasalahan tersendiri bagi mahasiswa. Masing-masing mahasiswa memiliki penghayatan berbeda mengenai kesulitan-kesulitan tersebut dan memunculkan respon yang berbeda-beda pula. Namun, apapun kondisi yang dialaminya dalam perkuliahan, mahasiswa dituntut untuk mampu mengatur emosinya agar tetap dapat menjalani proses belajar di perkuliahan dengan baik. Oleh karena itu, untuk dapat menjalaninya setiap mahasiswa harus memiliki kecerdasan emosional yang tinggi. Menurut Goleman (2007) kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk mengatur kehidupan emosinya dengan intelegensia; menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya melalui keterampilan personal atau personal competence dan keterampilan sosial atau social competence. Personal competence terdiri dari kemampuan (1) mengenali emosi diri; kemampuan untuk mengenali perasaan dalam diri sewaktu perasaan itu terjadi; (2) mengelola emosi, yaitu upaya yang dilakukan seseorang untuk menyeimbangkan keadaan emosi yang dirasakannya; 3 Universitas Kristen Maranatha

(3) memotivasi diri sendiri; kemampuan menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan dan memiliki kemampuan dalam memiliki pandangan yang positif dalam menilai segala sesuatu yang terjadi dalam dirinya. Pada keterampilan sosial atau social competence terdiri dari kemampuan (1) mengenali emosi orang lain, yaitu kemampuan untuk berempati, mampu menangkap sinyalsinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa yang dibutuhkan oleh orang lain sehingga lebih mampu menerima sudut pandang orang lain; (2) membina hubungan, yaitu meliputi keterampilan sosial yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antarpribadi. Menurut Goleman (2007), kecerdasan emosional ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah faktor keluarga. Kehidupan keluarga merupakan sekolah pertama dalam mempelajari emosi. Kecerdasan emosional dapat diajarkan pada saat masih bayi melalui ekspresi. Peristiwa emosional yang terjadi pada masa anak-anak akan melekat dan menetap secara permanen hingga dewasa. Kehidupan emosional yang dipupuk dalam keluarga sangat berguna bagi anak kelak dikemudian hari. Proses mempelajari emosi berawal dari figur-figur terdekat dengan anak saat awal kehidupan seorang anak misalnya ibu dan ayah sebagai orangtua, ataupun figur pengasuh yang memberikan rasa nyaman dan aman bagi anak. Sejalan dengan faktor keluarga yang dipaparkan oleh Goleman, fokus pada penelitian ini adalah pada attachment style merupakan suatu relasi antara seorang bayi dengan figur pengasuh signifikan baginya. Beberapa penelitian telah menemukan bahwa seorang yang memiliki secure attachment lebih mampu 4 Universitas Kristen Maranatha

menanggulangi emosi negatif dalam interaksi sosial dibandingkan dengan orang dengan insecure attachment (Kobak, & Sceery, 1988), memiliki lebih banyak emosi positif dalam berinteraksi secara sosial (Simpson, 1990), dan memiliki kemampuan regulasi emosi yang positif (Cooper et. Al., 1998). Faktor lain yang memengaruhi kecerdasan emosional seseorang adalah faktor non-keluarga (Goleman, 1997). Faktor non-keluarga adalah lingkungan dimana individu tumbuh, umumnya adalah lingkungan bermain dan sekolah. Lingkungan ini turut memengaruhi kemampuan individu dalam berempati terhadap orang lain. Untuk mengetahui gambaran mengenai fenomena yang terjadi pada mahasiswa baru, peneliti telah melakukan survey awal terhadap mahasiswa baru Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha Bandung. Berdasarkan hasil survey awal terhadap 30 responden, 40% (12 orang) diantaranya menghayati memiliki secure attachment style. Pada dasarnya mereka memiliki model of self yang positif. Mereka merasa nyaman pada dirinya sendiri saat ini dan merasa bahwa dirinya layak untuk diterima oleh teman-temannya kuliahnya. Selain itu, mereka memiliki model of other yang positif. Mereka merasa teman-teman kuliahnya ada untuk dirinya ketika dibutuhkan dan juga memberikan dukungan bagi dirinya. Ia menghayati bahwa mudah bagi dirinya untuk memiliki kedekatan secara emosional dengan orang lain. selain itu, mereka merasa nyaman bergantung pada orang lain di sekitarnya dan sebaliknya. Mereka tidak khawatir apabila harus sendiri dalam menjalani aktivitas sehari-hari dan juga tidak merasa khawatir bahwa orang lain akan menolak kehadirannya. Beberapa responden merasa cukup mampu mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri, 5 Universitas Kristen Maranatha

mengenali emosi orang lain dan membina hubungan. Responden lainnya menghayati bahwa dirinya merasa kurang mampu mengenali emosi orang lain, dimana hal tersebut dirasakannya ketika belajar dalam kelompok. Ia tidak menyadari kapan teman kelompok belajarnya itu merasa sedih, senang, bosan, jenuh dan lainnya. Sebagian lainnya menghayati bahwa dirinya kurang mampu mengelola emosi. Hal tersebut dirasakannya ketika mengerjakan tugas kelompok, ia merasa kurang mampu mengolah rasa jenuh sehingga saat rasa jenuh datang, ia tidak bisa fokus pada penyelesaian tugas kelompok. 30% (9 orang) diantaranya menghayati mereka memiliki preoccupied attachment style. Pada dasarnya, mereka memiliki model of self yang negatif. Mereka merasa tidak nyaman pada dirinya sendiri saat ini dan merasa dirinya kurang layak untuk diterima oleh teman-teman kuliahnya karena merasa memiliki kemampuan yang kurang dalam hal akademik. Selain itu, mereka memiliki model of other yang positif. Mereka merasa khawatir bahwa teman-teman kuliahnya tidak ada untuk dirinya ketika dibutuhkan dan juga memberikan dukungan bagi dirinya. Sebagian responden merasa dirinya kurang mampu mengenali emosi diri, sehingga saat suasan hati tidak menentu, dapat menghambatnya dalam belajar. Hal tersebut juga berkaitan dengan kemampuan memotivasi diri. Responden merasa bahwa ia hanya mampu mengerjakan tugas dengan baik ketika suasana hati sedang baik. Responden lainnya merasa kurang mampu mengelola emosi diri. Ia merasakan hilangnya minat untuk mengerjakan tugas kelompok ketika ia merasa kesal terhadap salah satu teman dalam kelompok belajarnya. Ia juga merasa kurang mampu memotivasi diri untuk menyelesaikan tugas secepatnya. 6 Universitas Kristen Maranatha

Sedangkan sejumlah responden lainnya merasa bahwa mereka kurang mampu mengenali emosi diri. Mereka seringkali tidak memahami emosi yang mereka rasakan, sehingga berdampak pada suasana hati yang tidak menentu. Ketika dituntut untuk tetap menyelesaikan tugas, mereka merasa tidak bersemangat. Sebanyak 20% (6 orang) memiliki dismissing attachment style. Pada dasarnya mereka memiliki model of self yang positif. Mereka memandang dirinya merasa nyaman walaupun tidak memiliki relasi yang dekat dengan orang lain. Ia juga merasa bahwa dirinya mampu mandiri. Selain itu, mereka memiliki model of other yang negatif. Ia merasa mampu memenuhi kebutuhannya sendiri sehingga memilih untuk tidak bergantung kepada orang lain dan tidak membiarkan orang lain bergantung padanya. Sebagian responden merasa kesulitan dalam membina hubungan karena ia merasa gugup ketika harus berkenalan terlebih dahulu dengan orang lain. Hal tersebut mempengaruhi kinerjanya dalam kelompok. Ia merasa kurang mampu menyampaikan pendapat-pendapatnya karena merasa pendapatnya tidak akan didengarkan oleh teman dalam kelompok belajar. Sejumlah responden lainnya merasa bahwa dirinya kurang mampu mengenali penyebab emosi yang dirasakannya, sehingga seringkali dikuasai oleh perasaannya, misalnya ketika suasana hatinya sedang gembira maka ia akan semangat dalam mengerjakan tugas dan beraktivitas. Sebaliknya, ketika suasana hatinya sedang tidak menentu tanpa sebab yang jelas, ia merasa malas dalam beraktivitas dan tidak bersemangat. Sebanyak 10% (3 orang) memiliki fearful attachment style. Mereka memiliki model of self dan model of other yang negatif. Tidak merasa nyaman dengan dirinya apa adanya karena alasan bahwa dirinya memiliki sifat pemalu dan 7 Universitas Kristen Maranatha

sulit menjalin hubungan dengan orang lain. Sebagian responden merasa minder karena menurutnya dia tidak pintar dan tidak ada yang bisa diunggulkan. Akibatnya mereka hanya berbicara ketika ditanya dan tidak berani untuk bertanya lebih dulu. Selain itu, ia juga memandang bahwa orang lain tidak mampu memenuhi kebutuhannya akan pertemanan. Ia merasa orang lain enggan untuk mengajaknya berbicara. Responden seringkali tidak mengetahui emosi yang muncul dalam dirinya. Suasana hatinya seringkali tidak menentu tanpa penyebab yang jelas. Hal tersebut berdampak pada aktivitas kuliahnya sehari-hari, dimana mereka larut dalam suasana emosi tersebut dan tidak bersemangat dalam menjalani kuliah. Dalam kelompok belajar, ia merasa pasif dan tidak peduli dengan teman anggota kelompok yang lain. Mereka merasa bahwa sulit baginya untuk membina hubungan pertemanan yang akrab. Mereka merasa lebih cocok dengan proses belajar yang tidak menuntut kerjasama dalam tim. Adult attachment style dan kecerdasan emosional masing-masing memiliki dua komponen yang mengarah pada diri individu yang bersangkutan dan mengarah pada orang lain atau lingkungan sosial. Peneliti memiliki asumsi bahwa model of self pada adult attachment style akan sejalan dengan personal competence pada kecerdasan emosional. Apabila individu memiliki model of self yang positif maka ia juga akan memiliki kemampuan yang tinggi dalam komponen personal competence dalam kecerdasan emosional. Apabila individu memiliki model of others yang positif maka ia akan memiliki kemampuan yang tinggi dalam komponen social competence. 8 Universitas Kristen Maranatha

Oleh karena itu, berdasarkan fenomena diatas ingin diketahui apakah terdapat hubungan antara adult attachment style dengan kecerdasan emosional pada mahasiswa baru di fakultas psikologi universitas X di kota Bandung. 1.2 Identifikasi Masalah Penelitian ini ingin mengetahui apakah terdapat hubungan antara adult attachment style dengan derajat kecerdasan emosional pada mahasiswa baru angkatan 2014 di Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha di Kota Bandung. 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian 1. Untuk memeroleh gambaran mengenai attachment style pada mahasiswa baru angkatan 2014 Fakultas Psikologi Universitas X di Kota Bandung 2. Untuk memeroleh gambaran mengenai kecerdasan emosional pada mahasiswa baru angkatan 2014 Fakultas Psikologi Universitas X di Kota Bandung 1.3.2 Tujuan Penelitian Untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara adult attachment style terhadap kecerdasan emosional pada mahasiswa baru angkatan 2014 Fakultas Psikologi Universitas X di kota Bandung. 1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Praktis 9 Universitas Kristen Maranatha

1. Memberikan informasi bagaimana keterkaitan antara variabel adult attachment style dan kecerdasan emosional dapat memengaruhi proses belajar yang responden jalani dalam perkuliahan 2. Menjadi bahan evaluasi untuk fakultas psikologi dalam memfasilitasi masing-masing mahasiswa agar lebih mampu mengenai dirinya sendiri dengan lebih baik 1.4.2 Kegunaan Teoritis 1. Memberikan sumbangsih informasi dan ilmu pengetahuan terhadap pengembangan bidang kadian psikologi pendidikan dan psikologi perkembangan. 1.5 Kerangka Pikir Individu yang menjadi seorang mahasiswa baru akan megalami banyak perubahan dan pengalaman baru. Pada masa ini, individu tersebut mengalami perubahan dalam aktivitas yang mereka alami saat kegiatan belajar di kampus dan juga dari relasi sosial yang dijalin. Tuntutan yang diberikan kepada mereka lebih berat jika dibandingkan dengan ketika mereka berada di sekolah menengah atas. Mereka harus beradaptasi kembali dengan teman-teman baru dan model pembelajaran yang baru. Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang diterapkan kepada mahasiswa di fakultas psikologi universitas X di kota Bandung menjadi tuntutan tersendiri. Dalam kurikulum KBK, mereka harus menjalankan sejumlah model pembelajaran yang dihayati cukup berat oleh mereka karena mahasiswa memiliki peran yang lebih aktif dibandingkan dengan dosen. Proses belajar seperti 10 Universitas Kristen Maranatha

itu merupakan Student Centered Learning (SCL), dimana iklim pembelajaran yang dikembangkan adalah kolaboratif, suportif dan kooperatif. Tidak semua mahasiswa merasa mampu belajar secara efektif bila berada dalam kelompok belajar. Dalam kelompok belajar akan melibatkan interaksi setiap anggota kelompok untuk menyelesaikan permasalahan dan kesulitan yang dialami dalam proses belajar. Dalam proses belajar, mahasiswa mengalami perbedaan pendapat antara anggota-anggota dalam kelompoknya sehingga memicu adanya konflik. Dalam menghadapi situasi menekan tersebut dibutuhkan adanya kecerdasan emosional agar emosi yang dirasakan oleh masing-masing anggota kelompok tidak menggangu relasi yang terjalin dalam anggota kelompok dan iklim bekerja sama dalam kelompok tetap terbentuk. Kecerdasan emosional adalah derajat kemampuan seseorang dalam mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati), dan kemampuan untuk membina hubungan (kerjasama) dengan orang lain (Goleman, 2007). Goleman (1995) mengelompokan kelima aspek tersebut menjadi dua komponen besar besar yaitu komponen personal competence yang terdiri dari kemampuan mengenali emosi diri, mengelola emosi dan memotivasi diri dan komponen social competence yang terdiri dari kemampuan empati dan kemampuan membina hubungan. Aspek pertama dari kecerdasan emosional adalah mengenali emosi diri. Pengenalan emosi diri merupakan kesadaran diri (self-awareness) untuk mengenali perasaan sewaktu perasaan itu muncul (Goleman, 1999). Kemampuan ini merupakan dasar dari kecerdasan emosional. Kesadaran diri adalah 11 Universitas Kristen Maranatha

kewaspadaan terhadap suasana hati maupun pikiran tentang suasana hati, karena bila kurang waspada individu akan mudah larut dalam arus emosinya dan dikuasai emosinya sendiri. self-awareness merupakan prasyarat untuk mengendalikan emosi sehingga individu mudah menguasai emosi. Kemampuan menilai diri sendiri secara teliti menunjukan seberapa luas pengetahuan individu tentang kekuatan dan batas-batas diri sendiri (Goleman, 2004 dalam Baskara). Mahasiswa dalam aspek ini mampu mengenali emosi yang dirasakannya dan tidak larut dalam emosi tersebut. Selain itu, ia memiliki penilaian yang akurat terhadap dirinya sendiri dan merasa percaya diri (Goleman, Boyatzis, 2000, dalam Hamarta et. al 2009). Sebaliknya, mahasiswa yang yang rendah dalam aspek ini tidak memahami emosi dan penyebab munculnya emosi dalam dirinya sendiri. Ia mudah larut dalam emosi yang dirasakannya. Aspek kedua dari kecerdasan emosional adalah mengelola emosi. Mengelola emosi adalah kemampuan untuk mengendalikan emosi yang sedang dirasakannya dan mampu mengungkapkan emosi secara tepat untuk menimbang dan menyelesaikan masalah serta meraih tujuan yang ingin dicapai (Goleman, 1999). Selain itu, mengelola emosi artinya mampu menangani emosi sedemikian rupa sehingga berdampak positif kepada pelaksanaan tugas (Goleman, 1999). Mahasiswa yang tinggi dalam aspek ini mampu mengendalikan emosi yang dirasakannya saat bekerja dalam kelompok belajar. Ia mampu menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu tujuan. Ia juga mengungkapkan emosinya melalui cara yang tepat dan dapat diterima oleh orang lain, sehingga relasi yang terjalin dan proses belajar dalam kelompok tidak terganggu. Sebaliknya, 12 Universitas Kristen Maranatha

mahasiswa yang yang rendah dalam aspek ini kurang mampu mengendalikan emosinya, sehingga emosi yang dirasakan tidak terungkap dengan seharusnya. Hal tersebut akan berdampak pada relasi yang terjalin dengan teman-teman dalam kelompok serta menghambat pencapaian tujuan kelompok belajar. Aspek ketiga dari kecerdasan emosional adalah memotivasi diri. Kemampuan memotivasi diri adalah kemampuan untuk meregulasi emosi secara sadar untuk dapat melibatkan diri dalam upaya mencapai tujuan serta memiliki rasa optimis bahwa dirinya mampu mencapai tujuan. Kemampuan ini juga mengarahkan seseorang untuk bertindak inisiatif dan efektif serta bertahan ketika menghadapi kegagalan dan frustasi (Goleman, 1999). Mahasiswa yang tinggi dalam aspek ini mampu membuat emosi yang dirasakannya mengarah kepada tujuan. Ia mengetahui cara yang paling efektif untuk menyelesaikan masalah dan kesulitan yang dialami dalam proses belajar. Ia memiliki dorongan untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya dalam hal prestasi belajar dan berusaha memenuhi standar keberhasilan yang telah ditetapkan. Ketika berada dalam kelompok, ia mampu menyesuaikan diri dengan tujuan kelompok. Sikap inisiatif yang dimilikinya terlihat dari kesiapannya dalam memanfaatkan kesempatan yang ada. Disamping itu, rasa optimis yang akan terlihat dari perilaku memperjuangkan tujuan walaupun ada halangan dan kegagalan. Sebaliknya, mahasiswa yang rendah dalam aspek ini tidak memiliki inisiatif sehingga ketika bertemu dengan hambatan, ia akan cenderung diam dan bertahan, serta tidak berupaya melakukan perlawanan. Ketika berada dalam kelompok, ia akan cenderung pasif. Ia hanya akan menjadi pengikut dari teman-teman anggota kelompoknya. Ia Merasa 13 Universitas Kristen Maranatha

pesimis tidak memiliki daya juang untuk menghadapi masalah yang dihadapi sehingga sulit untuk meraih tujuan. Selain itu, ia tidak memiliki keinginan untuk meningkatkan prestasi dalam belajar dan merasa cepat puas. Aspek keempat dari kecerdasan emosional adalah mengenali emosi orang lain atau empati. Empati adalah kemampuan untuk peka terhadap perasaan orang lain disekitar kita (Goleman, 1999). Mahasiswa yang tinggi dalam aspek ini memiliki kemampuan untuk memahami orang lain, memahami perspektif orang lain dan menghormati adanya perbedaan pendapat. Ia akan berusaha untuk menunjukan kepada teman-teman di kelompoknya bahwa ia memiliki minat untuk aktif dalam mencapai kepentingan bersama. Selain itu, ia juga akan berusaha memahami cara berpikir orang lain yang berguna dalam proses menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh kelompok. Sebaliknya, apabila mahasiswa yang rendah dalam aspek ini, ia tidak peduli dengan perasaan teman-teman dalam kelompok belajarnya. Ia juga tidak berusaha untuk memahami orang lain dan pendapat-pendapat orang lain. Selalu ingin didengarkan namun sulit untuk menjadi pendengar yang baik. Akhirnya merasa kecewa ketika pendapatnya tidak dapat dilaksanakan oleh kelompok. Dampaknya, ia akan merasa tidak tertarik untuk berelasi dalam kelompok belajar. Aspek kelima dari kecerdasan emosional adalah membina hubungan. Kemampuan membina hubungan adalah kemampuan untuk menangani emosi dalam diri ketika membina dan mempertahankan hubungan dengan orang lain di lingkungan sekitar. Kemampuan ini akan menunjang kualitas dari relasi yang terjalin dan kemampuan komunikasi yang baik (Goleman, 1999). Mahasiswa yang 14 Universitas Kristen Maranatha

tinggi dalam aspek ini akan mampu menjadi pengaruh bagi orang lain. Artinya, ia mampu mempersuasi orang lain khususnya teman dalam kelompoknya karena ditunjang oleh kemampuan berkomunikasi secara efektif. Ia mampu menyampaikan saran, pendapat serta keluhannya dengan tepat dan dapat dimengerti. Mampu berkolaborasi dan kooperatif ketika bekerjasama dalam kelompok belajar. Hal tersebut membawa dampak pada sinergi antar anggota dalam mencapai tujuan kelompok. Sebaliknya, mahasiswa yang rendah dalam aspek ini, kurang mampu berkomunikasi dengan baik. emosi yang dirasakannya tidak mampu dikelola sehingga menghambat kemampuan komunikasi dan pesan tidak dapat tersampaikan dengan baik. Tidak mampu berkolaborasi dan kooperatif saat proses belajar dalam kelompok berlangsung serta tidak bersinergi dengan kelompok untuk mencapai tujuan kelompok. Kecerdasan emosional pada individu dipengaruhi oleh dua faktor yaitu, faktor keluarga dan faktor non-keluarga (Goleman, 2007). Faktor keluarga, yang menjadi fokus pada penelitian ini, didasari hubungan antara orangtua dengan bayi yang berperan sebagai agen pembelajaran emosi yang pertama pada masa bayi (Goleman, 2007). Pengalaman masa bayi memiliki efek yang kuat terhadap kecerdasan emosional. Disamping itu, kecerdasan emosional adalah sesuatu yang bisa dikembangkan dan tidak bisa ditolak (Bar-on, 2006; Titcrk, 2007; Yesilyaprak, 2001). Artinya, ikatan antara peran figur pengasuh dengan bayi dalam proses perkembangan kecerdasan emosional sangat penting. Dengan mengaplikasikan kecerdasan emosional dalam pengasuhan akan berdampak positif bagi anak baik dalam kesehatan fisik, keberhasilan akademis, kemudahan 15 Universitas Kristen Maranatha

dalam membina hubungan dengan orang lain, dan meningkatkan resiliensi, sehingga anak lebih sehat secara emosional, dengan kata lain memiliki kecerdasan emosional yang lebih baik (Gottman, 1997 dalam Marina 2007) Ikatan antara bayi dan ibu sebagai figur pengasuh signifikan bagi bayi pertama kali diungkapkan oleh Bowlby (1973). Bowlby menyebut ikatan antara bayi dengan figur yang memberikan rasa aman adalah attachment. Menurut Bowlby (1982), pengalaman pengasuhan saat masa bayi diinternalisasi sebagai working model yang tidak hanya menghasilkan kecenderungan saat menjalin relasi dengan orang lain di masa yang akan datang, tetapi juga membentuk bagaimana seseorang merasakan, berekspresi dan menanggulangi emosi yang tidak menyenangkan. Bowlby (1982) menambahkan bahwa attachment adalah suatu ikatan emosional. Berdasarkan kualitas hubungan anak dengan pengasuh, maka anak akan mengembangkan konstruksi mental atau internal working model mengenai diri (model of self) dan orang lain (model of other) yang akan akan menjadi mekanisme penilaian terhadap penerimaan lingkungan (Bowlby dalam Pramana 1996). Peneliti mengasumsikan bahwa model of self pada adult attachment style akan sejalan dengan personal competence pada kecerdasan emosional. Apabila individu memiliki model of self yang positif maka ia juga akan memiliki kemampuan yang tinggi dalam komponen personal competence dalam kecerdasan emosional. Apabila individu memiliki model of others yang positif maka ia akan memiliki kemampuan yang tinggi dalam komponen social competence. 16 Universitas Kristen Maranatha

Penelitian ini difokuskan pada empat dimensi adult attachment dari Bartholomew (1990). Empat tipe tersebut didasarkan pada kualitas positif dan negatif dari dimensi self dan other. Tipe pertama dari adult attachment style adalah secure attachment style. Individu yang menghayati memiliki secure attachment style memiliki kemampuan untuk menyadari, memikirkan, dan memahami keadaan mentalnya sendiri (Bartholomew, 1990). Interaksi yang terjalin dengan figur attachment yang suportif memungkinkan seseorang mampu memahami dan mengartikan pengalaman emosional yang dimilikinya dan mengintegrasikannya terhadap self concept. Ia membangun kemampuan meregulasi emosi sebagai hasil dari interaksi yang terbentuk secara berulang dengan figur attachment yang sensitif dan responsif dalam memberikan proteksi dan dukungan (Bartholomew, 1990). Individu dengan secure attachment style diharapkan memiliki kemampuan yang tinggi dalam seluruh aspek kecerdasan emosional yaitu kemampuan mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri, empati dan kemampuan membina hubungan. Individu diharapkan mampu terbuka, mengekspresikan dan mengomunikasikan perasaannya secara bebas dan akurat terhadap orang lain, dan mampu merasakan emosi itu sepenuhnya tanpa distorsi. Misalnya ketika merasa marah terhadap teman kelompok belajar, Ia mampu merasakan dan memahami rasa marah sebagai tanda bahwa tingkah laku temannya itu seharusnya dipertimbangkan kembali dan diubah. Rasa marah tersebut mampu diekspresikan dalam cara yang sesuai, dengan cara orang tersebut fokus pada upaya untuk 17 Universitas Kristen Maranatha

memperbaiki kesalahan daripada mencoba menghukum atau menyakiti temannya yang telah melakukan kesalahan. Tipe kedua adalah preoccupied attachment style. Pada mahasiswa baru yang memiliki tipe ini memiliki model of self yang negatif. Mahasiswa merasa kurang nyaman dengan dirinya apa adanya. Ia menilai bahwa dirinya kurang layak sehingga sulit untuk diterima dalam lingkungan pergaulannya. Walaupun begitu, ia tetap membutuhkan intimacy yang ekstrem dengan orang lain disekitarnya. Sebaliknya, mahasiswa baru yang memiliki tipe ini memiliki model of others yang positif. Individu dengan tipe ini diharapkan memiliki kemampuan yang tinggi dalam aspek empati dan kemampuan membina hubungan dan memiliki kemampuan yang rendah dalam mengenali emosi diri, mengelola emosi dan memotivasi diri. Individu dengan tipe ini memiliki harapan bahwa teman-teman kuliahnya akan bertindak secara responsif terhadap dirinya dan kebutuhannya dalam proses belajar, serta membuatnya merasa nyaman ketika belajar di kelas. Ia memandang bahwa orang lain disekitarnya adalah orang-orang yang dapat dipercaya dan diandalkan untuk memenuhi kebutuhannya akan rasa aman dan kasih sayang. Secara umum, mahasiswa baru dengan preoccupied akan cenderung takut akan penolakan dan ditinggalkan, serta akan menghabiskan waktunya dengan mencemaskan hubungan yang dimilikinya dengan teman dalam kelompok belajar. Tipe attachment yang ketiga adalah dissmising. Pada mahasiswa baru fakultas psikologi Universitas X di kota Bandung yang memiliki tipe ini memiliki model of self yang positif. Ia merasa nyaman dengan dirinya dan 18 Universitas Kristen Maranatha

memiliki penilaian yang tinggi akan diri sendiri. Ia mampu mengenali emosi yang muncul pada dirinya, mampu mengolah emosi yang muncul dan mampu memotivasi diri dalam belajar bersama dengan kelompoknya. Selain itu, mahasiswa baru fakultas psikologi Universitas X di kota Bandung yang memiliki tipe ini memiliki model of others yang negatif. Individu dengan tipe ini akan memiliki kemampuan yang tinggi dalam mengenali emosi diri, mengelola emosi dan memotivasi diri dan akan memiliki kemampuan yang rendah dalam empati dan kemampuan membina hubungan. Ia merasa bahwa teman-teman kuliahnya tidak responsif terhadap dirinya dan kebutuhannya dalam proses belajar, serta membuatnya merasa tidak nyaman ketika belajar bersama-sama dalam kelompok. Hal tersebut berdampak pada keengganan dalam menjalin hubungan mendalam dengan teman dalam kelompok belajar untuk mencapai tujuan kelompok. Mahasiswa dengan tipe ini cenderung memiliki prasangka terhadap motivasi teman yang ingin dekat dengannya. Mereka akan cenderung untuk mempertahankan jarak sosial yang dimilikinya dan mencegah orang lain untuk memiliki kedekatan dengan dirinya dalam upaya mempertahan self-worth. Tipe attachment yang keempat ini adalah fearful. Para mahasiswa baru yang memiliki tipe ini memiliki model of self yang negatif. Mahasiswa ini merasa kurang nyaman dengan dirinya apa adanya. Ia menilai bahwa dirinya kurang layak sehingga sulit untuk diterima dalam lingkungan pergaulannya. Mahasiswa ini merasa kurang nyaman dengan dirinya apa adanya, sehingga menngarahkan pada keengganannya untuk menjalin relasi sosial dengan teman dalam kelompok 19 Universitas Kristen Maranatha

belajar karena merasa takut akan ditolak. Selain itu, mereka juga memiliki model of others yang negatif. Ia merasa bahwa teman-teman kuliahnya tidak responsif terhadap dirinya dan kebutuhannya dalam proses belajar, serta membuatnya merasa tidak nyaman ketika belajar bersama-sama dalam kelompok. Sama halnya seperti tipe dismissing, mahasiswa dengan tipe ini memiliki prasangka terhadap motivasi teman kelompok belajar untuk mendekatinya. Oleh karena itu, perilaku menghindar menjadi cara yang dilakukannya agar ia tidak merasakan penolakan dari lingkungan. Individu dengan tipe ini akan memiliki kemampuan yang rendah dalam seluruh aspek kecerdasan emosional yaitu mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri, kemampuan empati dan kemampuan membina hubungan. Beberapa penelitian telah menemukan bahwa individu dengan tipe secure attachment mampu menanggulangi emosi negatif dengan lebih baik dalam interaksi sosialnya jika dibandingkan dengan orang dengan tipe insecure attachment (Kobak, & Sceery, 1988 dalam Hamarta et. al 2009), memiliki emosi yang lebih positif dalam berinteraksi (Simpson, 1990 dalam Hamarta et. al 2009), dan memiliki kemampuan regulasi emosi yang lebih positif (Cooper et al., 1998 dalam Hamarta et. al 2009). Goleman (1995) mengatakan selain faktor keluarga, terdapat juga faktor non-keluarga yang dapat memengaruhi kecerdasan emosional seseorang. Faktor non keluarga berkaitan dengan lingkungan masyarakat dan lingkungan pendidikan dimana individu tinggal. Kecerdasan emosional ini berkembang sejalan dengan perkembangan mental dan fisik individu. Pembelajaran ini biasanya diajarkan dalam suatu aktivitas bermain peran sebagai seseorang diluar dirinya dengan 20 Universitas Kristen Maranatha

emosi yang menyertai keadaan orang lain (Goleman, 2001). Kemampuan berempati merupakan salah satu cara pembelajaran kecerdasan emosional yang diajarkan oleh lingkungan non-keluarga. Attachment style pada mahasiswa baru fakultas psikologi universitas X di Kota Bandung bervariatif yang dapat digolongkan kedalam 4 tipe yaitu Secure, preoccupational, dismissing dan fearful. Begitu pula dengan derajat kecerdasan emosional, yang dapat dikategorikan dengan derajat tinggi dan rendah, berdasarkan dari 5 aspek kecerdasan emosional menurut Goleman (1999). Uraian tersebut dapat digambarkan dalam bagan kerangka pikir seperti berikut ini: 21 Universitas Kristen Maranatha

Aspek-aspek Kecerdasan Emosional: Dimensi Adult Attachment Style : Model of Self Model of Other Komponen Personal Competence 1. Mengenali emosi diri 2. Mengelola Emosi 3. Memotivasi diri Komponen Social Competence 4. Mengenali emosi orang lain (empati) 5. Membina hubungan Adult Attachment Style Mahasiswa baru fakultas psikologi universitas X di Kota Bandung Adult Attachment Style Adult Attachment Style Derajat Kecerdasan Emosional Adult Attachment Style Faktor yang memengaruhi adult attachment style: 1. Attachment style mahasiswa dengan orang tua. 2. Penghayatan mahasiswa mengenai relasinya dengan teman dalam kelompok belajar. Bagan 1.5 Kerangka Pikir Faktor yang memengaruhi Kecerdasan Emosional: 1. Faktor keluarga 2. Faktor non-keluarga 22 Universitas Kristen Maranatha

1.6 Asumsi Penelitian Masing-masing mahasiswa baru Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha di Kota Bandung memiliki adult attachment style dan derajat kecerdasan emosional yang berbeda. Derajat kecerdasan emosional pada mahasiswa baru Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha di Kota Bandung dipengaruhi oleh faktor keluarga dan faktor non-keluarga. Adult attachment style pada mahasiswa baru angkatan 2014 Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha dipengaruhi oleh attachment style yang dimilikinya oleh dengan orangtua dan penghayatan mahasiswa mengenai kepuasan relasinya dengan teman dalam kelompok belajar. Derajat kecerdasan emosional pada mahasiswa baru Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha di Kota Bandung dapat dilihat dari kemampuan mengenali emosi, mengelola emosi, memotivasi diri, empati dan kemampuan membina hubungan sosial. Adult attachment style pada mahasiswa baru angkatan 2014 Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha di Kota Bandung dapat dilihat dari kombinasi dimensi model of self dan dimensi model of other. 1.7 Hipotesis Penelitian 1. Terdapat hubungan yang signifikan antara Secure attachment style dengan kecerdasan emosional pada mahasiswa baru Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha kota Bandung. 24 Universitas Kristen Maranatha

2. Terdapat hubungan yang signifikan antara dismissing attachment style dengan kecerdasan emosional pada mahasiswa baru Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha kota Bandung. 3. Terdapat hubungan yang signifikan antara Preoccupied attachment style dengan kecerdasan emosional pada mahasiswa baru Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha kota Bandung. 4. Terdapat hubungan yang signifikan antara fearful attachment style dengan kecerdasan emosional pada mahasiswa baru Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha kota Bandung. 25 Universitas Kristen Maranatha

26 Universitas Kristen Maranatha