BAB II PEMBELAJARAN INQUIRY DAN SCIENTIFIC INQUIRY LITERACY. atau pengetahuan. Secara alami, sebenarnya manusia telah sering melakukan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. eksperimen 1 yang menggunakan pembelajaran guided inquiry melalui tahap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. siswa sebagai pengalaman yang bermakna. Keterampilan ilmiah dan sikap ilmiah

BAB II LEVELS OF INQUIRY MODEL DAN KEMAMPUAN INKUIRI. guru dengan siswa dalam berinteraksi. Misalnya dalam model pembelajaran yang

BAB I PENDAHULUAN. melalui serangkaian proses ilmiah (Depdiknas, 2006). Pembelajaran IPA tidak

BAB I PENDAHULUA N A.

PENERAPAN LEVELS OF INQUIRY UNTUK MENINGKATKAN DOMAIN KOMPETENSI DAN PENGETAHUAN SAINS SISWA SMP PADA TEMA PENCEMARAN LINGKUNGAN

2015 PENERAPAN LEVELS OF INQUIRY UNTUK MENINGKATKAN LITERASI SAINS PESERTA DIDIK SMP PADA TEMA LIMBAH DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja

BAB I PENDAHULUAN. Untuk mengajarkan sains, guru harus memahami tentang sains. pengetahuan dan suatu proses. Batang tubuh adalah produk dari pemecahan

2015 PENGARUH PEMBELAJARAN DISCOVERY LEARNING TERHADAP PENGUASAAN KONSEP SISWA PADA POKOK BAHASAN ENZIM

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut kita untuk memiliki

2016 PENGEMBANGAN MODEL DIKLAT INKUIRI BERJENJANG UNTUK MENINGKATKAN KOMPETENSI PEDAGOGI INKUIRI GURU IPA SMP

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nur Yetty Wadissa, 2014

1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. kualitas sumber daya manusia dan sangat berpengaruh terhadap kemajuan suatu

PENGEMBANGAN LEMBAR KERJA SISWA PRAKTIKUM INKUIRI TERBIMBING PAD A TOPIK SEL ELEKTROLISIS

BAB I PENDAHULUAN. berorientasi pada kecakapan hidup (life skill oriented), kecakapan berpikir,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Yogi Musthapa Kamil, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Azza Nuzullah Putri, 2013

2015 PEMBELAJARAN LEVELS OF INQUIRY (LOI)

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian besar ilmu pengetahuan sekarang tidak hanya memberikan konsepkonsep

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Nokadela Basyari, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Usep Soepudin, 2014

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

2015 ANALISIS NILAI-NILAI KARAKTER, KETERAMPILAN PROSES SAINS DAN PENGUASAAN KONSEP SISWA PADA TOPIK KOLOID MELALUI PEMBELAJARAN INKUIRI TERBIMBING

Siti Solihah, Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gresi Gardini, 2013

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan pikiran dalam mempelajari rahasia gejala alam (Holil, 2009).

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

2015 PENGARUH PEMBELAJARAN BERBASIS INKUIRI PADA MATERI FOTOSINTESIS TERHADAP PENGUASAAN KONSEP DAN SIKAP SISWA SMP

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu masalah yang dihadapi dunia pendidikan kita adalah masih

BAB I PENDAHULUAN. menghasilkan generasi emas, yaitu generasi yang kreatif, inovatif, produktif,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rahmat Rizal, 2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Fisika dan sains secara umum terbentuk dari proses penyelidikan secara sistematis

BAB I PENDAHULUAN. Upaya peningkatan mutu pendidikan dalam ruang lingkup pendidikan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewi Murni Setiawati, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Denok Norhamidah, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan mata pelajaran yang berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. Sains atau Ilmu Pengetahuan Alam (selanjutnya disebut IPA) diartikan

ANALISIS KEMAMPUAN INKUIRI SISWA SMP, SMA DAN SMK DALAM PENERAPAN LEVELS OF INQUIRY PADA PEMBELAJARAN FISIKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing (Guided Inquiry) Inkuiri terbimbing (guided inquiry) merupakan model pembelajaran yang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Suryosubroto, 2009:2).

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. (Undang-undang No.20 Tahun 2003: 1). Pendidikan erat kaitannya dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. unggul dalam persaingan global. Pendidikan adalah tugas negara yang paling

BAB I PENDAHULUAN. Dalam lingkup global, setiap tahun pada bulan April diselenggarakan

I. PENDAHULUAN. Pada hakikatnya, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dibangun atas dasar produk

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perkembangan dalam berbagai cabang ilmu dan teknologi yang telah

INKUIRI DAN INVESTIGASI IPA

I. PENDAHULUAN. Keseluruhan dalam proses pendidikan di sekolah, pembelajaran merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang tersebut, tugas utama guru adalah mendidik, mengajar,

BAB I PENDAHULUAN. optimum hendaknya tetap memperhatikan tiga ranah kemampuan siswa yaitu

BAB I PENDAHULUAN. salah satu komponen penting dalam membentuk manusia yang memiliki

II. TINJAUAN PUSTAKA. kegiatan belajar yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa

MENINGKATKAN KETERAMPILAN PROSES SAINS SISWA KELAS VIII B SMP NEGERI 10 BANJARMASIN MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI TERBIMBING

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar merupakan pondasi awal dalam

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pendekatan Pembelajaran Multiple Representations. umum berdasarkan cakupan teoritik tertentu. Pendekatan pembelajaran

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Maimunah, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Adelia Alfama Zamista, 2015

II. TINJAUAN PUSTAKA. Konstruktivisme merupakan salah satu aliran filsafat pengetahuan yang menekankan

BAB I PENDAHULUAN. (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis,

BAB I PENDAHULUAN. masalah dalam memahami fakta-fakta alam dan lingkungan serta

PENERAPAN PENDEKATAN DEMONSTRASI INTERAKTIF UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN DASAR PROSES SAINS SISWA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. IPA itu suatu cara atau metode mengamati Alam (Nash, 1963) maksudnya, membentuk suatu perspektif baru tentang objek yang diamati.

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Metode Pembelajaran Inkuiri Terbimbing (Guided Inquiry)

BAB III METODE PENELITIAN. metode yang ditujukan untuk menggambarkan dan menginterpretasikan objek

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Stevida Sendi, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan pengalaman mengajar, permasalahan seperti siswa jarang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Meningkatkan Pemahaman Konsep Perubahan Wujud Benda Pada Siswa Kelas IV SDN 3 Siwalempu Melalui Pendekatan

BAB I Pendahuluan. Internasional pada hasil studi PISA oleh OECD (Organization for

PF-05: OPTIMALISASI PERANGKAT PEMBELAJARAN MENGGUNAKAN MODEL LEVEL OF INQUIRY

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

2008 PENDEKATAN INKUIRI mengenal masalah mengajukan pertanyaan mengemukakan langkah- langkah penelitian memberikan pemaparan yang ajeg

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia ISSN: e-issn: Vol. 2, No 8 Agustus 2017

BAB I PENDAHULUAN. tersedia tidak memadai, kurang dana, keterbatasan keterampilan guru dalam

BAB I PENDAHULUAN. mempelajari IPA tidak terbatas pada pemahaman konsep-konsep IPA, tetapi

BAB I PENDAHULUAN. pembenahan di segala bidang termasuk bidang pendidikan. Hal ini juga dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. Skor Maksimal Internasional

BAB I PENDAHULUAN. dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan. memanfaatkan semua komponen yang ada secara optimal.

2014 PENGEMBANGAN BUKU AJAR KIMIA SUB TOPIK PROTEIN MENGGUNAKAN KONTEKS TELUR UNTUK MEMBANGUN LITERASI SAINS SISWA SMA

I. PENDAHULUAN. sumber daya alam yang melimpah. Sumber daya manusia yang bermutu. lagi dalam rangka meningkatkan mutu sumber daya manusia bangsa

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan faktor yang penting dalam kehidupan. Negara

Jurnal Ilmiah Guru COPE, No. 01/Tahun XVII/Mei 2013 PENGEMBANGAN KETERAMPILAN PROSES MELALUI STRATEGI INQUIRI DALAM PEMBELAJARAN IPA SMP

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan yang penting dalam mempersiapkan

I. PENDAHULUAN. interaksi antara guru dan siswa (Johnson dan Smith di dalam Lie, 2004: 5).

2015 PENGEMBANGAN ASESMEN AUTENTIK UNTUK MENILAI KETERAMPILAN PROSES SAINS TERINTEGRASI PADA PEMBELAJARAN SISTEM EKSKRESI

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning)

I. PENDAHULUAN. diperoleh pengetahuan, keterampilan serta terwujudnya sikap dan tingkah laku

Penelitian dan Kajian Konseptual Mengenai Pembelajaran Sains Berbasis Kemandirian Bangsa

Transkripsi:

10 BAB II PEMBELAJARAN INQUIRY DAN SCIENTIFIC INQUIRY LITERACY A. Pembelajaran Berbasis Inquiry Inquiry didefinisikan sebagai upaya untuk mencari kebenaran, informasi atau pengetahuan. Secara alami, sebenarnya manusia telah sering melakukan inquiry. Hal ini didasari sifat manusia yang penuh rasa ingin tahu (curiousity). Tanpa disadari, mereka mengamati dan mempelajari suatu fenomena, membuat hipotesis, dan memberikan keterangan atas apa yang telah diamati. Setelah itu, hasil temuan mereka dikomunikasikan pada orang banyak. Dengan kata lain, orang tersebut telah melakukan inquiry secara ilmiah (NRC, 2000). Menurut Wu dan Hsieh (2007), inquiry adalah sebuah pertanyaan yang mendorong pada proses pembelajaran yang melibatkan pelaksanaan investigasi ilmiah, dokumentasi, interpretasi data kualitatif maupun kuantitatif, membuat kesimpulan, dan mengomunikasikan hasil temuan. Begitupun dalam National Science Education Standards (NRC, 2000) dijelaskan bahwa inquiry merupakan sebuah proses beragam yang melibatkan observasi, pengamatan, mengajukan pertanyaan, menelaah buku dan sumber lain untuk mengetahui apa yang sudah diketahui, merencanakan penyelidikan, mengkaji ulang apa yang sudah diketahui dari hasil eksperimen, menggunakan alat untuk mengumpulkan, menganalisis dan menginterpretasi data, mengajukan jawaban, penjelasan dan mengomunikasikan hasil.

11 Penjelasan mengenai inquiry menjadi salah satu pertimbangan dalam pelaksanaan pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), sebagaimana Cain & Evans (Depdiknas, 2008: 22) menjelaskan bahwa IPA mengandung empat hal penting, yaitu konten atau produk, proses atau metode, sikap, dan teknologi. Oleh karena itu, seperti dijelaskan sebelumnya bahwa pendidikan IPA menekankan pada pemberian pengalaman langsung dan diarahkan untuk mencari tahu dan berbuat sehingga dapat mengembangkan kompetensi siswa untuk mampu menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah. Pembelajaran IPA sebaiknya dilaksanakan dengan pendekatan inquiry ilmiah untuk mengembangkan aspek kecakapan hidup yang meliputi kemampuan berpikir, bekerja dan bersikap ilmiah (BSNP, 2006). Untuk membantu siswa dalam mempelajari IPA melalui inquiry, dikembangkan suatu framework yang terdiri dari tiga dimensi, yaitu 1) mengedepankan pembelajaran yang berbasis inquiry, 2) tahapan dalam proses inquiry, 3) kemampuan intelektual yang dibutuhkan dalam pembelajaran inquiry (Wu & Hsieh, 2007). Terdapat beberapa pengelompokkan mengenai tipe dan tahapan pembelajaran berbasis inquiry. Colburn (2000) menjelaskan beberapa jenis tahapan pembelajaran berbasis inquiry sebagaimana tercantum pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Tahap Pembelajaran berbasis Inquiry Structured Inquiry Guided Inquiry Free Inquiry

12 Siswa mengikuti dengan tepat instruksi guru untuk menyelesaikan kegiatan hands-on dengan sempurna Siswa mengembangkan cara kerja untuk menyelidiki pertanyaan yang dipilih/diberikan guru Siswa menurunkan pertanyaan tentang topik yang dipilih guru dan merencanakan sendiri penyelidikannya Dalam kegiatan structured inquiry, siswa diberikan hands-on untuk menyelidiki permasalahan. Guru mengajukan masalah atau pertanyaan serta alat dan bahan yang digunakan. Selain itu, guru juga memberikan langkah-langkah kerja yang harus dilakukan. Siswa hanya tinggal mencari kesimpulan dari pertanyaan atau masalah. Jenis inquiry ini banyak dilakukan di sekolah-sekolah pada kegiatan praktikum tradisional yang masih berpusat pada guru. Berbeda dengan kegiatan guided inquiry, siswa hanya diberikan masalah untuk diinvestigasi serta alat bahan yang akan digunakan. Guided inquiry adalah jenis inquiry pertengahan, dimana untuk menentukan langkah-langkah percobaan dan penyelesaiannya siswa melakukannya sendiri, tidak lagi diberikan oleh guru. Oleh karena itu, jenis inquiry ini telah berpusat pada siswa karena guru hanya bertindak sebagai pembimbing dalam proses belajar. Guru tetap memberikan pengarahan dan bimbingan kepada siswa dalam melakukan kegiatan-kegiatan sehingga siswa yang berpikir lambat atau siswa yang mempunyai kemampuan berpikir rendah tetap mampu mengikuti kegiatan yang sedang dilaksanakan dan siswa yang mempunyai intelegensi tinggi tidak memonopoli kegiatan. Sedangkan pada kegiatan free inquiry atau biasa disebut juga open inquiry merupakan tingkatan inquiry tinggi karena baik pertanyaan, masalah, alat dan bahan, prosedur langkah kerja hingga kesimpulan dibuat sendiri oleh siswa. Jenis inquiry ini hampir sama dengan melakukan sains yang sebenarnya.

13 Selain dari ketiga jenis inquiry diatas, Martin (2002: 35) menambahkan satu jenis pembelajaran inquiry, yaitu coupled inquiry. Jenis inquiry ini merupakan gabungan guided inquiry dengan open inquiry. Pembelajaran dimulai dengan guided inquiry yang dilanjutkan pada pendekatan yang berpusat pada siswa dengan open inquiry. Tahapan dalam pembelajaran coupled inquiry meliputi empat tahap kegiatan, yaitu 1) undangan untuk ber-inquiry, 2) inisiasi guru guided inquiry, 3) inisiasi siswa open inquiry, 4) resolusi atau pemecahan inquiry, 5) penilaian. Perbedaan jenis dan tahapan dalam pembelajaran berbasis inquiry didasarkan pada pendekatan, hasil, serta prosedur didalam kegiatannya (Wolfwikis, 2010). Trowbridge, et al (NSTA, 2003: 18) mengajukan tiga tahap pembelajaran berbasis inquiry. Tahap pertama adalah discovery learning dimana guru menyusun masalah dan proses tetapi memberi kesempatan siswa untuk mengidentifikasi hasil alternatif. Tahap kedua adalah guided inquiry dimana guru mengajukan masalah dan siswa menentukan penyelesaian dan prosesnya. Tahap ketiga open inquiry dimana guru hanya memberikan konteks masalah sedangkan siswa mengindentifikasi dan memecahkannya. Tahapan lain dalam pembelajaran berbasis inquiry dijelaskan oleh Wenning (2005b) dalam lima tahap (dapat dilihat pada Tabel 2.2) yang didasarkan pada tingkat pengalaman intelektual serta frekuensi keterlibatan guru dan siswa dalam kegiatan pembelajarannya, yaitu discovery learning, interactive demostration, inquiry lesson, inquiry lab, dan hypothetical inquiry. Tahap pembelajaran ini disusun berdasarkan kendala yang banyak ditemukan di lapangan, karena tidak

14 mudah bagi guru untuk dapat menerapkan pembelajaran yang berbasis inquiry tertentu secara langsung sehingga diperlukan sebuah hierarki atau tahapan dalam penerapan proses inquiry tersebut. Tabel 2.2 Hierarki Pembelajaran Berbasis Inquiry Discovery Learning Interactive Demonstration Inquiry Lesson Inquiry Lab Hypothetical Inquiry Rendah Kecerdasan Intelektual Tinggi Guru Keterlibatan Siswa (Wenning, 2005b) Frekuensi keterlibatan guru bergeser ke arah siswa dari arah kiri ke kanan. Pada discovery learning, hampir sepenuhnya berada dalam kontrol guru sedangkan pada hypothetical inquiry kegiatan inquiry sepenuhnya diserahkan kepada siswa. Begitupun dalam tingkat pengalaman intelektual dibutuhkan secara kontinyu dari discovery learning hingga hypothetical inquiry karena proses berpikir dibutuhkan untuk mngontrol sebuah eksperimen. 1. Pembelajaran inquiry berbasis discovery learning Discovery learning merupakan pembelajaran berbasis inquiry yang paling mendasar. Discovery learning tidaklah berfokus pada menemukan aplikasi untuk pengetahuan tetapi berfokus pada membangun pengetahuan dari sebuah pengalaman, dengan kata lain, discovery learning menggunakan refleksi sebagai kunci untuk memahami (Wenning, 2005b). Dalam pembahasan lainnya Wenning (2011a) menjelaskan bahwa discovery learning mengarah pada pengembangan pemahaman konseptual yang didasarkan pada pengalaman.

15 Sedangkan dijelaskan oleh Bruner (Dahar, 1989: ) bahwa discovery learning merupakan salah satu model instruksional kognitif dimana discovery learning dilakukan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia dengan disertai usahanya dalam mencari pemecahan masalah dan menghasilkan pengetahuan yang bermakna. Norman dan Svinicki (Wilke & Straits, 2001) menjelaskan pengalaman bermakna yang diperoleh sebagai hasil dari discovery learning akan memungkinkan siswa lebih baik dalam mempelajari dan me-recall informasi yang didapatkannya. Tidak hanya melibatkan aspek kognitif saja, dengan discovery learning, siswa akan terlibat dalam proses mentalnya untuk menemukan beberapa konsep atau prinsip (Amien, 1979). Menurut Bruner (Dahar, 1989), tujuan dari discovery learning tidak hanya untuk memperoleh pengetahuan saja tetapi juga suatu cara yang dapat merangsang keingintahuan siswa dan memotivasi kemampuan mereka untuk menemukan sesuatu. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan hasil penelitian Balim (2009) bahwa pembelajaran dengan menggunakan metode discovery learning dapat menunjang siswa dengan bimbingan dari guru untuk lebih aktif dan meningkatkan keterampilan mereka dalam ber-inquiry. Wenning (2011b) mengemukakan tahapan kegiatan dalam discovery learning yang digunakan untuk mengembangkan konsep pada tingkatan inquiry yang terdiri dari tahapan berikut: a) Guru mengenalkan dan menunjukkan kepada siswa contoh-contoh sebuah fenomena yang akan dipelajari sehingga siswa tertarik dengan fenomena yang ditunjukkan.

16 b) Guru meminta siswa untuk mendeskripsikan apa yang mereka lihat. c) Guru meminta siswa untuk mengidentifikasi dan mendeskripsikan contohcontoh lainnya. d) Guru meminta siswa untuk membentuk kelompok kecil kemudian membahas contoh-contoh lain yang diberikan serta melibatkan siswa dalam mengubah sebuah variabel. e) Guru meminta siswa untuk mengemukakan ide hasil diskusi, mengidentifikasi berbagai hubungan dan membuat kesimpulan. f) Guru memberikan penguatan pada konsep yang akan dikembangkan. 2. Pembelajaran inquiry berbasis interactive demonstration Kegiatan pembelajaran interactive demonstration secara umum terdiri dari kegiatan demonstrasi sains yang dilakukan oleh guru dilanjutkan dengan mengajukan pertanyaan yang mengarahkan siswa untuk dapat membuat prediksi. Selain itu, guru harus dapat memunculkan tanggapan dari siswa dan meminta penjelasannya lebih lanjut serta membantu siswa untuk mencapai kesimpulan yang didasarkan pada bukti (Wenning, 2005b). Orientasi pembelajaran interactive demonstration hampir sama dengan discovery learning yang berorientasi pada pemahaman konsep. Perbedaannya terletak pada proses yang dilakukan dalam pengembangan konsepnya. Pada pembelajaran interactive demonstration, siswa diarahkan melalui prediksi siswa untuk dapat membangun konsepnya, sedangkan pada discovery learning siswa diarahkan melalui penemuan sendiri mengenai konsep-konsep dengan arahan pertanyaan yang diajukan oleh guru.

17 3. Pembelajaran inquiry berbasis inquiry lesson Pada tahap pembelajaran ini, guru mulai menunjukkan proses ilmiah secara eksplisit kepada siswa dengan menekankan penjelasan yang dapat membantu siswa untuk memahami bagaimanakah cara memformulasikan eksperimen, mengindentifikasi, mengontrol variabel dan lainnya. Siswa sudah diarahkan pada kegiatan percobaan ilmiah namun masih dengan bimbingan secara langsung dari guru (Wenning, 2005b). 4. Pembelajaran inquiry berbasis inquiry lab Pembelajaran inquiry lab merupakan tingkatan berikutnya dari praktik inquiry. Secara umum, pada pembelajaran ini, siswa kurang lebih secara independen mulai mengembangkan dan melaksanakan rencana eksperimen dan mengumpulkan data yang sesuai. Data tersebut kemudian dianalisis untuk menemukan konsep dan penjelasan yang tepat antara variabel-variabel yang digunakan (Wenning, 2005b). Pembelajaran ini lebih sering menggunakan metode eksperimen. Dalam proses pembelajaran dengan metode eksperimen siswa diberi kesempatan untuk mengalami atau melakukan percobaan sendiri baik secara individual maupun kelompok kecil. Terdapat dua istilah yang sering digunakan berkaitan dengan metode eksperimen ini, yaitu praktikum (practical work), yang lebih cenderung untuk membangun keterampilan menggunakan alat-alat di bidang IPA atau mempraktikkan suatu teknik/prosedur tertentu. Istilah lainnya adalah eksperimen, yang bertujuan untuk mengetahui/menyelidiki sesuatu yang baru menggunakan

18 alat-alat sains tertentu. Baik praktikum maupun eksperimen, keduanya memegang peranan yang penting dalam pendidikan sains, karena dapat mengembangkan sikap ilmiah siswa (Depdiknas, 2008: 30). Walaupun dinamakan dengan inquiry lab bukan berarti kegiatan pembelajaran ini harus selalu dilaksanakan dalam laboratorium. Laboratorium yang dimaksud tidak hanya sebatas ruangan khusus yang dibatasi dinding, tetapi dapat lebih luas, yaitu mencakup laboratorium terbuka berupa alam semesta (Depdiknas, 2008: 29). Wenning (2005b) membagi jenis pembelajaran inquiry lab menjadi tiga tipe, yaitu guided inquiry lab, bounded inquiry, dan free inquiry. Perbedaan karakter dari ketiga jenis inquiry lab tercantum dalam Tabel 2.3. Tabel 2.3. Perbedaan Karakter Jenis Inquiry Lab Jenis Inquiry Lab Guided Inquiry Pertanyaan/ Sumber Masalah Guru memberikan masalah untuk diteliti Bounded Inquiry Guru memberikan masalah untuk diteliti Free Inquiry Siswa mengidentifikasi masalah untuk diteliti Prosedur Terdapat prelab atau kegiatan diskusi di awal pembelajaran dan multiple leading questioning (pertanyaan yang menuntun) dari guru untuk membuat prosedur Terdapat prelab atau kegiatan diskusi di awal pembelajaran dan single teacher leading questioning dimana pertanyaan yang diberikan guru tidak secara langsung menuntun siswa untuk membuat prosedur Tidak terdapat prelab dan single teacher leading questioning dimana siswa membuat panduannya sendiri untuk membuat prosedur (Wenning, 2005b)

19 Kegiatan prelab yang dilaksanakan pada pembelajaran guided inquiry dimaksudkan untuk mengaktifkan pengetahuan awal siswa dan membantu siswa untuk memahami konsep dan tujuan pembelajaran serta proses ilmiah untuk melakukan investigasi, sedangkan kegiatan prelab pada pembelajaran bounded inquiry difokuskan pada kegitan non-experimental seperti keselamatan kerja dan keamanan penggunaan alat laboratorium (Wenning, 2005b). Kegiatan leading questioning merupakan kegiatan yang membedakan tiga jenis inquiry diatas. Leading questioning pada pembelajaran guided inquiry adalah pertanyaan yang menuntun siswa dalam menyusun langkah kerja percobaan yang akan dilakukan. Peran guru dalam memberikan pertanyaan harus didasari dengan kemampuan bertanya yang baik, misalnya dengan memberikan waktu tunggu yang cukup banyak untuk siswa memformulasikan, memproses dan menjawab berbagai pertanyaan (Intel Teach Program, 2007). Hal tersebut sejalan dengan yang dijelaskan Domin (Wolfwikis, 2010) bahwa guided inquiry menuntut guru untuk mengarahkan siswa pada pelaksanaan desain percobaan. Sedangkan pada pembelajaran bounded inquiry, siswa diharapkan dapat merancang langkah kerja percobaan tanpa leading question yang dilakukan oleh guru. Pada kegiatan free inquiry tidak terdapat lagi kegiatan prelab maupun leading question dari guru. Pembelajaran free inquiry sepenuhnya telah melibatkan siswa. Kegiatan pembelajaran guided inquiry dijelaskan Geiger (2007) dalam emapat tahap pembelajaran berikut: a) Introduction (Pendahuluan). Siswa diberi pertanyaan atau diajukan masalah. Pertanyaan tersebut tidak berisi konsep secara langsung, karena

20 konsep akan dieksplor ketika kegiatan telah selesai. Pendahuluan yang jelas akan mempengaruhi hubungan antara proses dengan tujuan praktikum. Dalam kegiatan ini, siswa mulai membuat hipotesis atas masalah yang diajukan. b) Materials. Guru mengemukakan alat dan bahan yang akan digunakan oleh siswa. c) Procedure. Diberikan panduan dalam merencanakan prosedur praktikum. Kegiatan praktikum harus mengandung keterampilan dalam menentukan variabel, mengontrol variabel, dan mengumpulkan data. Oleh karena itu, penentuan variabel dilakukan oleh siswa. d) Discussion. Siswa menganalisis data dan menarik kesimpulan secara berkelompok. Diskusi bertujuan agar siswa dapat meninjau kembali analisis dan kesimpulannya. 5. Pembelajaran inquiry berbasis hypothetical inquiry Pembelajaran ini menempatkan siswa untuk berperan aktif dalam seluruh kegiatan pembelajaran. Pembelajaran hypothetical inquiry dibagi menjadi dua kelompok, yaitu pure hypothetical inquiry dan applied hypothetical inquiry. Perbedaan dari keduanya terletak pada tujuan yang diharapkan. Tujuan yang diharapkan dari pembelajaran pure hypothetical inquiry adalah hasil penelitian yang tidak menuntut pada aplikasi nyata, namun semata-mata hanya untuk memperluas pemahaman tentang hukum alam. Sedangkan pembelajaran applied

21 hypothetical inquiry diarahkan untuk menemukan aplikasi dari pengetahuan yang telah diperoleh (Wenning, 2005b). Pembelajaran berbasis inquiry merupakan salah satu model pembelajaran yang dapat mendukung kegiatan siswa dalam mempelajari proses sains. Siswa yang belajar melalui inquiry akan mendapatkan pemahaman yang lebih dalam mengenai konsep-konsep dibandingkan ketika mereka menerima konsep yang sama dengan cara ceramah. Kondisi tersebut akan mengarahkan pada pemahaman siswa dalam jangkan panjang dan meningkatkan kemampuan siswa dalam berinquiry dan bersikap ilmiah sesuai standar yang diinginkan serta mendapatkan pengetahuan lebih mengenai penelitian ilmiah yang sebenarnya (National Science Teacher Association, 2003: 19). Dalam mengimplementasikan pembelajaran berbasis inquiry, sering ditemukan kendala-kendala yang mengakibatkan tidak efektifnya pembelajaran tersebut. Beberapa kendala tersebut dijelaskan Wenning (2005a) sebagai berikut: a) Waktu dan Energi. Diperlukan waktu dan energi yang tidak sedikit untuk dapat melaksanakan pembelajaran berbasis inquiry yang sempurna, namun keadaan tersebut dapat menghambat target selesainya suatu materi pelajaran yang sudah disesuaikan dengan kurikulum. Hal tersebut senada dengan yang dikemukakan oleh Bruner (Dahar, 1989) bahwa penerapan belajar penemuan atau penyeldikan yang murni sangat memerlukan waktu. b) Jumlah siswa. Pengaturan kelas terkadang tidak mendukung pembelajaran inquiry yang sudah direncanakan karena jumlah siswa yang terlalu banyak sehingga kegiatan pembelajaran tidak efektif.

22 c) Kedewasaan siswa. Masih banyak siswa yang belum terlalu matang untuk mengikuti pembelajaran berbasis inquiry sehingga mereka hanya membuang waktu saja ketika pembelajaran berlangsung. d) Pemahaman guru dalam pengetahuan inquiry ilmiah. e) Kebiasaan Mengajar. Pembelajaran yang biasanya dilakukan sebagian besar guru adalah dengan metode ceramah dalam waktu lama sehingga dibutuhkan persiapan dan pembiasaan dalam menerapkan pembelajaran berbasis inquiry. Dalam pembelajaran inquiry dibutuhkan perubahan kebiasaan cara belajar siswa yang menerima informasi dari guru apa adanya ke arah membiasakan belajar mandiri dan berkelompok dengan mencari dan mengolah informasi sendiri (Amien, 1979). B. Scientific Inquiry Literacy Scientific Literacy atau literasi ilmiah bersifat multidimensional dan memiliki definisi yang sangat luas (NRC, 2000). Pengertian lain dari scientific literacy adalah usaha yang dilakukan seorang guru untuk membuat siswanya mencapai apa yang dimaksudkan dalam National Science Education Standards bahwa yang mengindikasikan seseorang telah ber-literate secara ilmiah adalah orang yang memiliki pemahaman dalam enam elemen scientific literacy yang terdiri dari: (1) sains sebagai inquiry, (2) konten sains, (3) sains dan teknologi, (4) sains dalam perspektif personal dan sosial, (5) sejarah dan sifat ilmu pengetahuan, dan (6) gabungan konsep dan proses (Wenning, 2007). Elemen pertama mengenai sains sebagai inquiry dibahas lanjut dalam kajian scientific inquiry. NRC dalam National Science Education Standards menjelaskan

23 bahwa scientific inquiry mengarah pada beberapa jalan yang ditempuh ilmuwan dalam mempelajari alam dan usaha untuk mendapatkan penjelasan yang didasarkan pada bukti yang telah mereka dapatkan. Kemampuan scientific inquiry adalah kemampuan dimana siswa dapat melakukan sebuah investigasi atau eksperimen, mengumpulkan data untuk menemukan bukti dari sumber yang bervariasi, mengembangkan sebuah penjelasan dari data yang sudah diperoleh, serta mengomunikasikan dan mempertahankan kesimpulan yang telah mereka dapatkan (Wenning, 2007). Ketika siswa membangun suatu penjelasan ilmiah, mereka diharapkan dapat menunjukkan kemampuannya dalam mengidentifikasi sebab akibat yang berhubungan, menjelaskan alasan-alasan yang terjadi selama proses investigasi, menggunakan data untuk dijadikan bukti, dan mengevaluasi penjelasan-penjelasan yang telah diberikan (Wu & Hsieh, 2007). Scientific inquiry akan merefleksikan kepada siswa bagaimana seorang ilmuwan memahami alam. Dimulai dari mereka berinteraksi dengan lingkungannya, mengajukan pertanyaan, dan berusaha menjawab pertanyaanpertanyaan tersebut (NSTA, 2012). Berdasarkan pada pendekatan scientific inquiry, NSTA mengarahkan seorang guru untuk dapat melakukan kegiatan berikut: 1) Merencanakan pembelajaran yang berbasis inquiry yang tepat. 2) Menerapkan pembelajaran sains yang dapat merangsang siswa untuk bertanya dan menyelidiki serta menggunakan pengalamannya untuk dapat menjawab pertanyaan-peranyaan mengenai alam.

24 3) Membimbing dan memfasilitasi pembelajaran inquiry dengan strategi pembelajaran yang tepat. 4) Merancang dan mengatur lingkungan pembelajaran yang memadai untuk keberlangsungan kegiatan belajar siswa. 5) Mengatur alokasi waktu pelaksanaan pembelajaran dengan efektif. 6) Memiliki bekal pengalaman mengenai science as inquiry sebagai persiapan untuk mengajar. Hal tersebut meliputi kemampuan untuk dapat mengembangkan strategi questioning, penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang mengarahan siswa pada kemampuan dan pemahamannya tentang scientific inquiry, serta menganalisis bahan-bahan ajar yang akan disampaikan. Sedangkan bagi kepentingan siswa, untuk dapat melakukan scientific inquiry, NSTA mengemukakan tujuan yang harus dicapai oleh siswa ketika pembelajaran adalah sebagai berikut: 1) Mempelajari bagaimana mengidentifikasi dan mengajukan pertanyaan yang tepat untuk dapat diinvestigasi. 2) Merancang dan melakukan investigasi untuk mendapatkan data dan bukti yang akan digunakan untuk menjawab pertanyaan. 3) Mempelajari bagaimana cara membuat kesimpulan dengan berpikir kritis dan logis. 4) Menggunakan alat tepat untuk menginterpretasi dan menganalisis data. 5) Mengomunikasikan hasil eksperimen yang dilakukan.

25 Selain itu, NSTA menyarankan bahwa guru harus dapat membantu siswa dalam memahami hal-hal berikut, bahwa: 1) Sains melibatkan sebuah pengajuan pertanyaan tentang alam dan pengembangan investiasi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. 2) Tidak ada urutan yang tetap dalam investigasi ilmiah, tergantung pada jenis pertanyaan yang diajukan. 3) Scientific inquiry merupakan pusat dalam mempelajari sains dan refleksi bagaimana sains dapat dilakukan. 4) Pentingnya suatu alat dan instrumen yang tepat untuk mengumpulkan data empiris. 5) Bukti yang diperoleh dapat mengubah suatu persepsi tentang alam dan mengembangkan pengetahuan ilmiah. 6) Pentingnya bersikap skeptis ketika mereka mengevaluasi hasil pekerjaan mereka sendiri maupun pekerjaan yang lain. 7) Komunitas ilmiah membutuhkan penjelasan secara empiris yang logis dan konsisten. Pembelajaran berbasis inquiry merupakan salah satu model dan metode yang disarankan NSTA untuk menuju scientific inquiry literacy. Scientific literacy tidak hanya fokus pada pemahaman suatu fakta, namun juga mengenai nature of science. Roth (Carlson, 2008) menjelaskan untuk membantu siswa menuju pada pemahaman tersebut diperlukan metode yang bervariasi didalam kelas, termasuk pembelajaran berbasis inquiry, Science-Technology-Society (STS), dan pendekatan perubahan konsep. Lebih lanjut, NRC mengemukakan bahwa

26 pembelajaran inquiry berbasis guided inquiry adalah salah satu metode yang tepat yang dapat membantu siswa untuk mengembangkan keterampilan dan proses yang dibutuhkan dalam berinkuiri. Begitupun dibahas oleh Process Oriented Guided Inquiry Learning (POGIL) bahwa pembelajaran guided inquiry dapat mengarahkan siswa pada pengalaman terstruktur tentang scientific inquiry (Geiger, 2007). Beberapa penelitian sebelumnya membuktikan bahwa pembelajaran guided inquiry berhasil dalam mempromosikan dan mendukung scientific literacy. Nwagbo (2006) dalam penelitiannya di High Level Nigerian Biology menunjukkan bahwa pembelajaran guided inquiry lebih efektif dibandingkan dengan tipe ekspositori dalam pencapaian aspek kognitif yang mendukung pada kemampuan scientific literacy siswa. Penelitian lain yang dilakukan oleh Brickman et al (2009) menunjukkan bahwa pembelajaran inquiry lab dapat lebih meningkatkan keterampilan literasi sains siswa dibandingkan dengan pembelajaran traditional lab. Sedangkan penilitian yang dilakukan oleh Carlson (2008) untuk mengetahui pengaruh pembelajaran guided inquiry terhadap kemampuan literasi sains siswa menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kemampuan literasi sains siswa di kelas guided inquiry dan kelas tradisonal. Ia menjelaskan bahwa hal tersebut dikarenakan penerapan pembelajaran guided inquiry yang relatif sebentar sehingga kemampuan inquiry siswa belum sepenuhnya tertanam. Selain dari model ataupun metode pembelajaran yang harus dipilih secara tepat, peran guru merupakan salah satu faktor penting yang dapat mendukung

27 keberhasilan dalam mencapai tujuan scientific literacy. Wenning (2011a) menekankan bahwa seorang guru tidak akan dapat mengajar jika ia tidak tahu. Kemampuannya dalam inquiry adalah komponen paling esensial yang harus dimiliki oleh guru sains. Tanpa pemahaman yang mendalam mengenai inquiry, jenis model, metode, atau pendekatan apapun yang berorientasi inquiry tidak akan mampu mencapai tujuannya. Berikut dijelaskan kembali lebih rinci dalam National Science Education Standards (Wenning, 2011a) apa yang dimaksud dengan mengajar inquiry yang harus diperhatikan oleh seorang guru. 1) Menyajikan pembelajaran yang berpusat pada siswa (student-centered). 2) Fokus pada satu atau lebih pertanyaan yang dapat menuntun siswa. 3) Melibatkan siswa dalam kegiatan berpikir dan bertanya. 4) Memunculkan debat dan diskusi diantara siswa. 5) Menyediakan bahan investigasi yang beragam. 6) Sebagai pembimbing, sebaiknya guru hanya memberikan sedikit arahan. 7) Membuat siswa tertarik dan antusias dalam memberikan pertanyaan. 8) Tidak menunjukan sikap otoriter. 9) Mengatur kelas agar tetap kondusif untuk kegiatan inquiry. 10) Menekankan pada pertanyaan Bagaimana cara saya mengerti materi pelajaran ini dibandingkan dengan pertanyaan Apa yang harus saya tahu dari materi pelajaran ini?. 11) Menggunakan keterampilan bertanya yang baik, seperti waktu tunggu, distribusi, dan formulasi pertanyaan. 12) Merespon dengan baik apa yang dikatakan siswa ketika berpendapat.

28 C. Tinjauan Materi Materi Pencemaran merupakan salah satu materi yang diajarkan pada siswa kelas X SMA semester genap. Materi ini tercakup dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tahun 2006. Materi ini dijelaskan dalam standar kompetensi dan kompetensi dasar. Standar Kompetensi yang harus dicapai adalah menganalisis hubungan antara komponen ekosistem, perubahan materi dan energi serta peranan manusia dalam keseimbangan ekosistem. Sedangkan kompetensi dasar yang harus dicapainya adalah menjelaskan keterkaitan antara kegiatan manusia dengan masalah perusakan/pencemaran lingkungan dan pelestarian lingkungan. Karakteristik dan deskripsi materi pencemaran lingkungan disajikan pada Tabel 2.4 dan Tabel 2.5. Tabel 2.4 Karakteristik Materi Pencemaran No. Sub Materi Karakteristik Materi 1 Definisi pencemaran tanah 2 Penyebab dan sumber pencemaran tanah 3 Dampak negatif dari adanya pencemaran tanah 4 Penanggulangan pencemaran pencemaran tanah Materi ini merupakan awal untuk mempelajari lebih lanjut mengenai pencemaran tanah. Materi ini tidak hanya menuntut siswa untuk mengetahui tetapi juga melakukan analisis terhadap sumber atau penyebab yang sudah diketahui. Materi ini merupakan materi yang membutuhkan suatu percobaan yang dapat dilakukan oleh siswa sehingga proses sains pun dapat terjadi. Materi ini bersifat pengaplikasian dan berisi materi yang dapat meningkatkan kesadaran siswa akan lingkungan. (Kwan, 2006:295)

29 Tabel 2.5. Deskripsi Materi Pencemaran No. Sub Materi Deskripsi Materi 1. Definisi pencemaran tanah 2. Penyebab dan sumber pencemaran tanah 3. Dampak pencemaran tanah 4. Penanggulangan pencemaran tanah Bahan pencemar yang masuk ke dalam tanah dan mengubah kondisi habitatnya Beberapa penyebab dan sumber pencemaran tanah adalah pembungan kotoran (limbah), sisa-sisa bahan inorganik, penggunaan berlebihan pupuk kimia, pestisida, insektisisa, herbisida, dan lainnya. Tanah sebagai tempat hidup organisme akan mempengaruhi keberadaan tanaman yang mempunyai peran penting dalam ekosistem. Beberapa upaya penanggulangan pencemaran tanah yang dapat dilakukan adalah dengan adanya pengolahan limbah, pengawasan terhadap lingkungan, penyuluhan dan lokalisasi daerah industri. (Kwan, 2006:297)