I. PENDAHULUAN Kebijakan otonomi daerah yang bersifat desentralisasi telah merubah

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia.

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, STRATEGI, DAN KEBIJAKAN

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan daerah pada hakekatnya merupakan bagian integral dan

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Perkembangan Koperasi tahun Jumlah

Peran dan fungsi pemerintah pada era otonomi daerah adalah. berupa pelayanan dan pengaturan (fasilitator, regulator dan dinamisator)

I. PENDAHULUAN. Otonomi Daerah telah ditindaklanjuti dengan ditetapkannya Undang-undang

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

BAB I PENDAHULUAN. beli masyarakat. Sapi potong merupakan komoditas unggulan di sektor

I. PENDAHULUAN. Sumber : BPS (2009)

I. PENDAHULUAN. Prioritas pembangunan di Indonesia diletakkan pada pembangunan bidang

I. PENDAHULUAN. untuk memenuhi kebutuhan protein hewani adalah sapi perah dengan produk

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi perdagangan memberikan peluang. peluang karena pasar komoditas akan semakin luas sejalan dengan

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PETERNAKAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian di Indonesia merupakan bagian integral dari

Pembangunan merupakan suatu proses yang dilakukan secara. terus menerus ke arah yang lebih baik dari keadaan semula. Dalam kurun

BAB I PENDAHULUAN. Potensi usaha peternakan di Indonesia sangat besar. Dengan kondisi geografis

I. PENDAHULUAN. serta dalam menunjang pembangunan nasional. Salah satu tujuan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. penyedia protein, energi, vitamin, dan mineral semakin meningkat seiring

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Tahun (juta orang)

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian, pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN. 2.1 Uraian Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sub sektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan

I. PENDAHULUAN. Otonomi Daerah dengan sistem desentralisasi diimplementasikan di

BAB II. PERJANJIAN KINERJA

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

RINGKASAN EKSEKUTIF HENNY NURLIANI SETIADI DJOHAR IDQAN FAHMI

BAB I PENDAHULUAN. Potensi usaha peternakan di Indonesia sangat besar. Kondisi geografis

PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN. 2,89 2,60 2,98 3,35 5,91 6,20 Makanan Tanaman Perkebunan 0,40 2,48 3,79 4,40 3,84 4,03. Peternakan 3,35 3,13 3,35 3,36 3,89 4,08

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Jumlah Tenaga Kerja Usia 15 Tahun ke Atas Menurut Lapangan Pekerjaan Tahun 2011

1.1. VISI DAN MISI DINAS PERTANIAN, PERIKANAN DAN KEHUTANAN KOTA PRABUMULIH. pedoman dan tolak ukur kinerja dalam pelaksanaan setiap program dan

LAPORAN KINERJA 2014 BAB I. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik

I PENDAHULUAN. sektor peternakan merupakan salah satu bagian dari sektor pertanian yang perlu

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA 2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mendapatkan keuntungan dari kegiatan tersebut (Muhammad Rasyaf. 2002).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Dalarn rangka pernbangunan bidang ekonomi, sektor pertanian sangat

PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

PRODUKSI PANGAN INDONESIA

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Kota Depok telah resmi menjadi suatu daerah otonom yang. memiliki pemerintahan sendiri dengan kewenangan otonomi daerah

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. industri dan sektor pertanian saling berkaitan sebab bahan baku dalam proses

I. PENDAHULUAN. dalam pembangunan sektor pertanian. Pada tahun 1997, sumbangan Produk

3.1 Penilaian Terhadap Sistem Perekonomian / Agribisnis

Krisis ekonomi yang melanda lndonesia sejak pertengahan bulan. Sektor pertanian di lndonesia dalam masa krisis ekonomi tumbuh positif,

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

Ayam Ras Pedaging , Itik ,06 12 Entok ,58 13 Angsa ,33 14 Puyuh ,54 15 Kelinci 5.

diperoleh melalui sistem pendataan pengunjung. dilihat pada tabel

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian di Indonesia merupakan sektor yang terus. dikembangkan dan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumber daya melimpah

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian merupakan salah satu pilihan strategis untuk

I. PENDAHULUAN. Indonesia selama ini dikenal sebagai negara yang memiliki sumber daya alam

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA 2013

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan ekonomi dalam wilayah tersebut. Masalah pokok dalam pembangunan

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

MATRIK RENSTRA DINAS PETERNAKAN PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat besar (mega biodiversity) berupa sumber

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di era otonomi daerah menghadapi berbagai

PENDAHULUAN. memegang peranan penting dalam pembangunan ekonomi secara keseluruhan.

pertanian pada hakekatnya, adalah semua upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tani menuju kehidupan yang lebih

BAB I PENDAHULUAN. Isu strategis yang kini sedang dihadapi dunia adalah perubahan iklim

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor peternakan merupakan bagian integral dari. pembangunan pertanian dan pembangunan nasional. Sektor peternakan di

BAB I. PENDAHULUAN. [Januari, 2010] Jumlah Penduduk Indonesia 2009.

I. PENDAHULUAN. pasokan sumber protein hewani terutama daging masih belum dapat mengimbangi

I. PENDAHULUAN. Arah kebijakan pembangunan pertanian yang dituangkan dalam rencana

I. PENDAHULUAN. Indonesia menurut lapangan usaha pada tahun 2010 menunjukkan bahwa sektor

BAB V RENCANA PROGRAM DAN KEGIATAN, INDIKATOR KINERJA DAN PENDANAAN INDIKATIF

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA 2013

PENETAPAN KINERJA DINAS PETERNAKAN DAN PERIKANAN KABUPATEN JOMBANG TAHUN ANGGARAN 2015

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Salah satu sasaran dari adanya suatu pembangunan adalah menciptakan

BAB VI INDIKATOR KINERJA YANG MENGACU PADA TUJUAN DAN SASARAN RPJMD

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peternakan merupakan salah satu sub sektor pertanian yang memiliki peranan cukup penting dalam memberikan

1 PENDAHULUAN. Sumber : Direktorat Jendral Peternakan 2010

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar

BAB III. AKUNTABILITAS KINERJA. Berikut ini merupakan gambaran umum pencapaian kinerja Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur :

PENDAHULUAN Latar belakang

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi perdagangan memberikan peluang sekaligus

PENGANTAR. Latar Belakang. Tujuan pembangunan sub sektor peternakan Jawa Tengah adalah untuk

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU

PENDAHULUAN. yang sangat penting untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Permintaan pangan hewani terutama daging sapi meningkat cukup besar

I. PENDAHULUAN. Kontribusi sektor pertanian cukup besar bagi masyarakat Indonesia, karena

Transkripsi:

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebijakan otonomi daerah yang bersifat desentralisasi telah merubah pendekatan orientasi pembangunan yang tadinya dari atas ke bawah (top-down) menjadi pembangunan dari bawah ke atas (bottom-up). Perubahan ini membawa dampak nyata pada proses pembangunan di tingkat daerah, jika di masa lalu terjadi pengaburan terhadap pembangunan yang berorientasi pada pengembangan keunggulan komparatif lokal akibat adanya sentralisasi program yang secara langsung mengabaikan pengembangan pertanian, maka saat ini telah terjadi perubahan drastis dan sangat kontras dikarenakan pemerintah daerah dituntut untuk menggali dan merencanakan program sumber pendapatan di daerahnya. Akibatnya ketidaksiapan daerah menjadi faktor penghambat utama dalam menentukan prioritas pembangunan yang akan dilakukan. Selain itu krisis moneter dan ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 telah mengakibatkan terpuruknya struktur perekonomian yang parah dan berkepanjangan. Hal ini tidak terlepas dari kelemahan atau kekeliruan yang mendasar dari pemerintah terdahulu yang coba diperbaiki oleh pemerintah sekarang melalui GBHN tahun 1999-2004. Pertama, membangun perekonomian yang berkeunggulan kompetitif berdasarkan keunggulan komparatif. Kedun, mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan. Ketiga, mempercepat pembangunan ekonomi daerah yang efektif dan kuat dengan memberdayakan pelaku dan potensi ekonomi daerah.

Perubahan kebijaksanaan pembangunan dan kondisi perekonomian yang memburuk ini telah memaksa para pengambil keputusan untuk lebih kreatif dalam menggali potensi yang ada di daerahnya. Mengingat sektor pertanian masih melibatkan hampir seluruh wilayah atau daerah di Jawa Barat (termasuk daerah perkotaan), yang merupakan sektor pilihan hampir 75% penduduk, maka pembangunan sistem ekonomi kerakyatan di Jawa Barat hanya dapat diwujudkan melalui pembangunan pertanian yang terarah, terencana dan berkesinambungan. Begitu pula tatanan kesisteman yang dapat mengoptimalkan pemanfaatan keunggulan komparatif mengarah pada sistem agribisnis sebagai pilihan yang tepat untuk diterapkan, karena dapat meraih nilai tambah dari on-farm dan offfarm secara optimal, sehingga akan meningkatkan pendapatan para pelaku utama agribisnis baik petani maupun mitra usahanya. Sejalan dengan perubahan paradigma pembangunan pertanian ke sistem agribisnis, maka pada hakekatnya berbagai kendala yang pada awalnya menjadi kelemahan dari daerah dapat berubah menjadi peluang yang mampu mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah. Hal ini terjadi karena pengembangan sistem agribisnis di daerah mencakup empat prinsip yaitu prinsip kerakyatan, berdaya saing, berkelanjutan, dan terdesentralisasi (Saragih, 2000). Kabupaten Garut sebagai salah satu Kabupaten di Propinsi Jawa Barat yang secara geografis berada di wilayah Jawa Barat bagian selatan, dan termasuk dalam kawasan agribisnis unggulan Priangan Timur, memiliki potensi daerah yang belum sepenuhnya dimanfaatkan untuk meningkatkan perekonomiannya. Hal ini disebabkan karena letak wilayahnya yang berpegunungan dengan sifat tanah yang kurang memungkinkan untuk dilakukan usaha tani secara intensif,

sehingga menimbulkan kendala dalam pengembangannya. Kondisi ini menyebabkan pertumbuhan Kabupaten Garut sebagaimana wilayah Jawa Barat bagian selatan lainnya relatif tertinggal dibandingkan dengan kabupaten yang berada di wilayah Jawa Barat bagian utara dan tengah. Ketertinggalan Kabupaten Garut tercermin dari kecilnya kontribusi PDRB atas dasar harga berlaku yang hanya 3,04% dari nilai PDRB Jawa Barat, sementara pertumbuhan ekonominya pada tahun 2000 hanya sebesar 3,89%. Artinya perturnbullan ekonomi Kabupaten Garut berada di bawah tingkat pertumbuhan ekonomi Jawa Barat (4,90%). Salah satu kebijaksanaan pembangunan ekonomi yang dilakukan pemerintah daerah Kabupaten Garut dalam mendongkrak perekonomiannya adalah melalui pengembangan agribisnis, terutama agribisnis peternakan (BPS Propinsi Jawa Barat, 2000). Dipilihnya subsektor peternakan oleh pemerintah daerah Kabupaten Garut sebagai salah satu subsektor yang perlu dikembangkan dalam rangka: (1) menjalankan program diversifikasi komoditas, (2) produk akhir subsektor peternakan, yaitu daging dan susu tidak mengenal batas wilayah, karena merupakan substitusi impor sehingga memiliki peluang pasar baik lokal maupun ekspor. Di tingkat Propinsi Jawa Barat peluang pasar untuk daging sebesar 19,27%, sedangkan untuk susu masih sebesar 31,22%, (3) produk yang dihasilkan subsektor ini merupakan komoditas strategis, karena tingkat permintaan yang terus meningkat seiring dengan bertambahnya jurnlah penduduk dan industri yang bahan bakunya berasal dari produk akhir subsektor peternakan, (4) harga produk akhir subsektor peternakan cenderung terus meningkat, dan tidak mengalami fluktuatif seperti subsektor tanaman pangan yang pada saat

menghasilkan produksi maksimal harganya cenderung jatuh, dan (5) untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dan PDRB Kabupaten Garut. Kebijaksanaan pengembangan agribisnis petemakan didukung kenyataan dimana PDRB Kabupaten Garut selama periode 1996-2000 menunjukkan bahwa sektor pertanian termasuk peternakan, kehutanan dan perikanan, memberikan kontribusi terbesar (40,56%) dalarn pembentukan ekonomi wilayah Kabupaten Garut (BPS Kabupaten Garut, 2000). Mengingat adanya kendala lingkungan, maka untuk menunjang pengembangan peternakan di daerahnya, pemerintah daerah Kabupaten Garut membuat kebijaksanaan pemanfaatan ruang untuk kawasan peternakan yaitu: (1) pengembangan kawasan peternakan secara intensif, (2) pengendalian upaya pemanfaatan lahan pada kawasan petemakan sehingga kelestarian sumber makanan bagi temak ruminansia tetap terjaga (Bappeka Kabupaten Garut, 2001a). Untuk mendukung kebijaksanaan pemanfaatan ruang tersebut, maka komoditas ternak yang akan dikembangkan adalah temak ruminansia yang benarbenar memiliki keunggulan komparatif maupun kompetitif, sehingga selain dapat menghasilkan surplus ekonomi bagi Kabupaten Garut sekaligus optimalisasi potensi sumberdaya wilayah dapat direalisasikan secara efisien. Penekanan kepada temak ruminansia dikarenakan faktor kesesuaian lingkungan baik secara fisik, maupun agroklimat serta didukung dengan adanya lahan pertanian di. dataran tinggi yang cukup luas dengan ekosistem pertanian tanarnan palawija dan sayuran, menjadikan wilayah Kabupaten Garut cocok bagi pengembangan temak ruminansia karena limbah pertanian tersebut dapat dimanfaatkan sebagai pakan hijauan ternak.

Menurut Dinas Peternakan Propinsi Jawa Barat (2001a), kontribusi produksi daging dan susu Propinsi Jawa Barat terhadap Nasional pada tahun 2000 sebesar 16,94% untuk produksi daging, dan 34,83% untuk produksi susu. Pada kenyataannya produksi susu yang dihasilkan Jawa Barat belum marnpu memenuhi permintaan masyarakatnya, karena sebagian produksinya didistribusikan keseluruh propinsi melalui industri pengolahan susu (IPS). Padahal penduduk Jawa Barat yang pada tahun 2000 rnencapai 35,5 juta jiwa lebih, memerlukan suplai susu sekitar 257.686 tonlth, sehingga tingkat konsumsi tersebut masih dipenuhi dari susu irnpor sebesar 28,42% (Dinas Peternakan Propinsi Jawa Barat, 2001b). Perkembangan produksi daging dan susu di Jawa Barat tahun 2000 dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Produksi Daging dan Susu di Jawa Barat Tahun 2000 Kerbau Domba Kambing Babi Kuda Ayam Buras Ayam Ras. Itik 1.831 14.516 3.187 795 3 24.938 130.587 2.181 3. Produksi Susu Perah 184.445 Sumber:Dinas Peternakan Propinsi Jawa Barat, 2001a. Keterangan: " surplus. 4.358 14.429 3.082 1.617 6 26.502 113.622 2.051 268.149 42,OO 100,60 103,41 49,16 49,14 94,lO 114,93 106,34 68,78 58,OO *0,60 3,41 50,84 50,86 5,90 ')14,93 "6,34 3 1,22 Selarna kurun waktu lirna tahun terakhir (1996-2000), terjadi penurunan konsumsi daging rata-rata 0,88% per tahun sebagai dampak dari krisis moneter I yang melanda Indonesia, sedangkan untuk susu walaupun sempat terjadi

penunman konsumsi pada tahun 1997-1998 ternyata mengalami peningkatan sebesar 10,67% pada tahun 2000. Untuk memenuhi konsumsi daging dan susu, maka pemerintah pada tahun 2000 mengimpor daging sebesar 4,76% dari kebutuhan nasional dan susu diimpor sebesar 68,40%. Perkembangan konsumsi daging dan susu di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Konsumsi Daging dan Susu di Indonesia Tahun 1996-2000 3. 4. 5. 1998 1999 2000 1.228.500 1.195.700 1.445.200 14.100 22.900 72.300 1.242.600 1.218.600 1.517.500 316.400 367.500 417.800 522.000 679.900 904.300 Sumber: Departemen Pertanian Dirjen Bina Produksi Peternakan, 2000. 838.400 1.047.400 1.322.100 Untuk konsumsi daging pada tahun 2000 Jawa Barat menempati peringkat kedua dari total konsumsi daging nasional yaitu sebesar 13,07%, sedangkan konsumsi susu sebesar 21,77%. Konsumsi daging Jawa Barat baru mencapai 4,30 kgkapitdtahun atau baru 42,57% dari standar norma gizi 10,lO kgkapitdtahun. Pada tahun yang sama konsumsi susu sudah mencapai 6,61 kgkapitaftahun atau 108,36% dari standar norma gizi 6,10 kgkapitdtahun merupakan konsumsi tertinggi di Indonesia (Dinas Peternakan Propinsi Jawa Barat, 2001b). Melihat tingginya kontribusi dan besarnya peluang pasar Jawa Barat untuk produksi daging dan susu di tingkat nasional, maka sangatlah tepat apabila Kabupaten Garut turut berperan dalarn mengisi peluang yang ada. Kenyataannya hingga saat ini kontribusi Kabupaten Garut terhadap agribisnis peternakan

di Jawa Barat masih terbilang rendah. Dapat dikatakan subsektor petemakan belum berhasil secara signifikan meningkatkan perekonomian Kabupaten Garut. Hal ini diduga karena belum ditemukannya strategi yang tepat dalam pengembangannya. Rendahnya kontribusi subsektor petemakan di Kabupaten Garut ditunjukkan denganproduksi daging yang hanya sebesar 3,62%, sedangkan produksi susu mencapai 24,21%, yakni peringkat kedua setelah Kabupaten Bandung yang menguasai 48,46% produksi susu Jawa Barat (Lampiran 1 dan 2). Rendahnya tingkat produksi agribisnis petemakan Kabupaten Garut dibandingkan dengan daerah lainnya di Jawa Barat selain dikarenakan rendahnya tingkat populasi temak juga tidak terlepas dari rendahnya produktivitas yang dihasilkan baik secara kualitas maupun kuantitas sebagai akibat terbatasnya penerapan teknologi, serta belum memadainya SDM peternak dalam pengelolaan usaha dan pencegahan terhadap penyakit. Selain itu ancaman seperti adanya persaingan produk dari luar, keadaan politik dan keamanan yang belum membaik, terjadinya alih fungsi lahan yang mengakibatkan berkurangnya lahan sumber pakan, ketersediaan pakan konsentrat serta wabah penyakit yang menyebabkan turunnya populasi dan produksi temak, telah menempatkan komoditas petemakan di Kabupaten Garut pada posisi yang sulit untuk dapat mengungguli produk dari para pesaingnya. Akan tetapi keadaan ini dapat diperbaiki mengingat adanya beberapa kelebihan yang dimiliki Kabupaten Garut dalam mengembangkan agribisnis petemakan seperti, komitmen pimpinan yang tinggi, adanya pelaksanaan pembinaan secara kontinyu, daya dukung lingkungan, ketersediaan pakan hijauan yang diperoleh baik dari

rumput budidaya, rumput lapang maupun limbah pertanian, serta yang tidak kalah penting adalah adanya kebijakan pemerintah daerah. Mengingat berbagai kendala maupun kelebihan baik intemal maupun eksternal yang ditemui, maka dalam pengembangan agribisnis komoditas peternakan di Kabupaten Garut diperlukan suatu strategi yang tepat dan mampu mengantisipasi permasalahan yang ada serta sepenuhnya mendukung pengembangan komoditas ternak ruminansia unggulan di daerahnya. Untuk itu sebelum strategi pengembangan ditentukan terlebih dahulu perlu dianalisis komoditas ternak ruminansia yang bagaimana yang berpotensi untuk diunggulkan kemudian baru ditentukan strategi prioritas pengembangannya. Dengan iinplementasi yang tepat maka pengembangan komoditas temak rurninansia unggulan di Kabupaten Garut dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. B. Identifikasi Masalah 1. Potensi komoditas ternak ruminansia di Kabupaten Garut belum dikembangkan secara maksimal menjadi komoditas unggulan. 2. Belum teranalisisnya komoditas temak ruminansia unggulan di Kabupaten Garut. 3. Belum diketahuinya faktor-faktor intemal dan ekstemal yang mempengaruhi penentuan pilihan strategi pengembangan komoditas temak ruminansia unggulan di Kabupaten Garut. 4. Belum diketahuinya prioritas strategi apa yang sebaiknya diterapkan oleh Dinas Pertanian Kabupaten Garut dalam mengembangkan komoditas ternak ruminansia unggulan di daerahnya.

C. Perurnusan Masalah 1. Pilihan komoditas temak ruminansia apa yang dimiliki Kabupaten Garut? 2. Apa komoditas ternak ruminansia unggulan di Kabupaten Garut? 3. Faktor-faktor internal dan eksternal apa yang mempengaruhi penentuan pilihan strategi pengembangan komoditas ternak ruminansia unggulan di Kabupaten Garut? 4. Prioritas strategi apa yang sebaiknya diterapkan oleh Dinas Pertanian Kabupaten Garut dalam mengembangkan komoditas temak ruminansia unggulan? D. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Menentukan pilihan komoditas dan menetapkan komoditas temak ruminansia unggulan di Kabupaten Garut. 2. Mengidentifikasi faktor-faktor internal dm eksternal yang mempengaruhi strategi pengembangan komoditas temak rurninansia unggulan di Kabupaten Garut. 3. Menganalisis dan menyusun pilihan strategi pengembangan yang dapat diterapkan oleh Dinas Pertanian Kabupaten Garut dalam mengembangkan komoditas ternak ruminansia unggulan. 4. Menentukan prioritas strategi pengembangan komoditas temak ruminansia unggulan di Kabupaten Garut.

E. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai berikut. 1. Penentu kebijakan, khususnya Dinas Pertanian Kabupaten Garut dalam menyusun perencanaan dan strategi pengembangan komoditas temak ruminansia unggulan di daerahnya. 2. Penulis, sebagai sarana pengembangan wawasan dalam menganalisis suatu masalah terutama dalam ha1 strategi pengembangan komoditas ternak ruminansia unggulan. 3. Sebagai referensi bagi yang berminat melakukan penelitian dalam penyusunan perencanaan dan strategi pengembangan komoditas temak ruminansia unggulan. F. Ruang Lingkup Penelitian Pelaksanaan penelitian ini dibatasi pada ruang lingkup penentuan komoditas temak ruminansia unggulan dan strategi pengembangannya di Kabupaten Garut, yang meliputi penentuan pilihan komoditas, penetapan komoditas temak ruminansia unggulan, pengidentifikasian faktor-faktor internal dan eksternal yang berpengaruh, penentuan pilihan strategi, serta penentuan prioritas strategi pengembangan komoditas ternak ruminansia unggulan. Untuk tahap implementasi selanjutnya diserahkan sepenuhnya kepada Dinas Pertanian Kabupaten Garut yang diberi tugas, wewenang dan tanggung jawab mengembangkan dan mengelola agribisnis peternakan.