ANALISIS DAN REFLEKSI ATAS POLITIK, KEAMANAN DAN PEMBANGUNAN PAPUA

dokumen-dokumen yang mirip
Refleksi Akhir Tahun Papua 2010: Meretas Jalan Damai Papua

BAB VI PENUTUP. perusakan dan pembakaran. Wilayah persebaran aksi perkelahian terkait konflik

Aliansi Demokrasi untuk Papua (Alliance of Democracy for Papua)

BAB 11 PENGHORMATAN, PENGAKUAN, DAN PENEGAKAN

BAB 4 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN SEPARATISME

BAB III PEMBANGUNAN BIDANG POLITIK

BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN SEPARATISME

BAB 4 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN SEPARATISME

INDEKS KINERJA PENEGAKAN HAM 2011

BAB IV PEMODELAN DAN REKOMENDASI PENYELESAIAN KONFLIK PAPUA. 4.1 Pemodelan Konflik Papua (Matrik Payoff Konflik)

Problem Papua dan Rapuhnya Relasi Kebangsaan

POLICY BRIEF BERSAMA-SAMA MEMBANGUN PAPUA DAMAI

BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN TERORISME

BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN TERORISME

yang berperan sebagai milisi dan non-milisi. Hal inilah yang menyebabkan skala kekerasan terus meningkat karena serangan-serangaan yang dilakukan

Penghormatan dan Penegakan Hukum dan Hak Asasi Manusia

SALINAN PERATURAN KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG PETA JALAN (ROAD MAP) SISTEM PEMBINAAN PRAKTIK KEDOKTERAN

BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN SEPARATISME

OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI PAPUA DAN PROVINSI PAPUA BARAT

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

BAB IV PENUTUP. tuntutan kemerdekaan rakyat Papua di Harian Cenderawasih Pos edisi Januari

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

Telah terjadi penembakan terhadap delapan TNI dan empat warga oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM). Bagaimana tanggapan Anda terkait hal ini?

BAB 6 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN TERORISME

CATATAN TANGGAPAN TERHADAP RUU KAMNAS

digunakan untuk mengenyampingkan dan atau mengabaikan hak-hak asasi lainnya yang harus dipenuhi negara, sebagaimana ketentuan hukum

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Sejak bergulirnya era reformasi di Indonesia yang dimulai pada tahun 1998,

BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN SEPARATISME

BAB 2 PENINGKATAN RASA PERCAYA DAN HARMONISASI ANTARKELOMPOK MASYARAKAT

Diadopsi oleh resolusi Majelis Umum 53/144 pada 9 Desember 1998 MUKADIMAH

BAB 14 PERWUJUDAN LEMBAGA DEMOKRASI YANG MAKIN KUKUH

Executive Summary. PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2011 TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN PROVINSI PAPUA DAN PROVINSI PAPUA BARAT

PROBLEM OTONOMI KHUSUS PAPUA Oleh: Muchamad Ali Safa at

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2011 TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN PROVINSI PAPUA DAN PROVINSI PAPUA BARAT

Partisipasi Masyarakat dalam Pencegahan Pelanggaram HAM dan Pengingkaran Kewajiban

BAB 10 PENGHORMATAN, PENGAKUAN, DAN PENEGAKAN ATAS HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

SAMBUTAN PADA ACARA SYUKURAN PERINGATAN HARI BHAYANGKARA KE-69 TAHUN 2015 DIRANGKAIKAN DENGAN BUKA PUASA BERSAMA TANGGAL 1 JULI

BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJASAMA INTERNASIONAL

CATATAN PENUTUP REFLEKSI AKHIR TAHUN PAPUA 2010 : MERETAS JALAN DAMAI PAPUA OLEH: LAKSAMANA MADYA TNI (PURN) FREDDY NUMBERI

KESEPAKATAN PEMUKA AGAMA INDONESIA

Sambutan Presiden RI pd Prasetya dan Pelantikan Perwira TNI dan Polri, 2 Juli 2013, di Surabaya Selasa, 02 Juli 2013

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

MENGHADIRKAN KOMISI KEBENARAN DI ACEH: SEBUAH TANTANGAN INDONESIA UNTUK BERPIHAK PADA KEBENARAN DAN KEADILAN

PEDOMAN PENYELENGGARAAN PERINGATAN HARI IBU (PHI) KE-89 TAHUN 2017

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. mengatasi konflik di Sampit, melalui analisis sejumlah data terkait hal tersebut,

INTELIJEN NEGARA DALAM NEGARA HUKUM YANG DEMOKRATIS 1. Oleh: Muchamad Ali Safa at 2

BAB V PENUTUP. 1. Konsep keamanan nasional dalam RUU Keamanan Nasional pada. dasarnya telah menerapkan konsep keamanan non tradisional.

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia segala sesuatu atau seluruh aspek kehidupan diselenggarakan

FAKTOR-FAKTOR KUNCI KEBERHASILAN DIALOG JAKARTA JAYAPURA 1

-1- RANCANGAN QANUN ACEH NOMOR TAHUN 2015 TENTANG BADAN REINTEGRASI ACEH

Sambutan Pengantar Presiden RI pada Sidang Kabinet Paripruna, Jakarta, 27 Oktober 2011 Kamis, 27 Oktober 2011

POKOK PIKIRAN TANWIR MUHAMMADIYAH 2012

BAB I PENDAHULUAN. Sumarto, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2009, hal. 1-2

BAB I PENDAHULUAN. Anak sebagai generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan

Pidato Presiden RI mengenai Dinamika Hubungan Indonesia - Malaysia, 1 September 2010 Rabu, 01 September 2010

KEBIJAKAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN PERDAMAIAN DAN PENANGANAN KONFLIK 1

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

Pidato Presiden Tentang Proses Hukum Bibit-Chandra

SEJUTA RELAWAN GERAKAN PENGAWAS PEMILU POKJANAS GERAKAN SEJUTA RELAWAN PENGAWAS PEMILU BADAN PENGAWAS PEMILU REPUBLIK INDONESIA

I. PENDAHULUAN. Pemberantasan penyalahgunaan narkotika merupakan masalah yang sangat penting,

BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJA SAMA INTERNASIONAL

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENATAAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

POLITICS AND GOVERNANCE IN INDONESIA:

3. Mewujudkan kesejahteraan, penghargaan, pengayoman dan perlindungan hukum untuk meningkatkan harkat dan martabat anggota 4.

BAB 1 PENINGKATAN RASA SALING PERCAYA DAN HARMONISASI ANTARKELOMPOK MASYARAKAT

RENCANA STRATEGIS (RENSTRA)

BAB III PEMBANGUNAN HUKUM

keterangan Pers Presiden RI pada Pertemuan dengan Pimpinan Lembaga Negara, Jakarta, 4 Agustus 2011 Kamis, 04 Agustus 2011

BAB I PENDAHULUAN. informasi dan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi.

BAGIAN I AGENDA MENCIPTAKAN INDONESIA YANG AMAN DAN DAMAI

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA DI BIDANG PERIKANAN

MENEGAKKAN KEDAULATAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN MENUJU NEGARA MARITIM YANG BERMARTABAT (KOMISI KEAMANAN) (Forum Rektor Indonesia 2015)

MEWUJUDKAN DPR RI SEBAGAI LEMBAGA PERWAKILAN YANG KREDIBEL 1 Oleh: Muchamad Ali Safa at 2

2016, No Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

Pengantar Presiden RI pada Sidang Kabinet Paripurna, di Kantor Presiden, tanggal 1 April 2014 Selasa, 01 April 2014

ANGGARAN DASAR KOMNAS PEREMPUAN PENGESAHAN: 11 FEBRUARI 2014

LAPORAN SINGKAT RAPAT KERJA KOMISI II DPR RI

Demokrasi Sebagai Kerangka Kerja Hak Asasi Manusia

DEKLARASI PEMBELA HAK ASASI MANUSIA

BAB 9 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN

BAB I PENDAHULUAN. peran penting dalam negara hukum. Karena dalam perspektif fungsi maupun

Revisi UU KPK Antara Melemahkan Dan Memperkuat Kinerja KPK Oleh : Ahmad Jazuli *

Rancangan Peraturan Presiden tentang Komisi Nasional Disabilitas POKJA IMPLEMENTASI UU PENYANDANG DISABILITAS 8 NOVEMBER 2016

BAB I. Dalam kehidupan bernegara yang semakin komplek baik mengenai. masalah ekonomi, budaya, politik, keamanan dan terlebih lagi masalah


PERATURAN MENTERI PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2015

KEWENANGAN PENYIDIK DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) BAG OPS POLRES PARIAMAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

DESAIN PEMBENTUKAN TIM KOORDINASI PEMBANGUNAN PERDAMAIAN (TKPP) DI INDONESIA

BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN SEPARATISME

Pelanggaran Hak-Hak Tersangka 2013 Wednesday, 01 January :00 - Last Updated Wednesday, 22 January :36

Transkripsi:

ANALISIS DAN REFLEKSI ATAS POLITIK, KEAMANAN DAN PEMBANGUNAN PAPUA 2012 1 Oleh: Tim Kajian Papua LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA Selama 2012 Pemerintah menghadapi dinamika politik dan gangguan keamanan dari kelompok non-negara yang semakin beragam motif dan pelakunya. Pertama, berbagai kelompok masyarakat sipil menggunakan ruang publik demokrasi tidak hanya untuk menuntut hak-hak demokrasinya, tetapi juga pemisahan diri dari NKRI. Kedua, berbagai kelompok sipil bersenjata TPN/OPM atau sejenisnya semakin aktif mengembangkan kekuatannya dan menunjukkan eksistensinya. Ketiga, kelompok Orang Tak Dikenal (OTK) memberi warna cukup menonjol dalam praktik kekerasan di Papua. Keempat, Pemerintah juga menghadapi perilaku aparat negara Polri/TNI yang tidak profesional, persaingan antarunit di dalam Polri/TNI, pelanggaran SOP dalam penegakan hukum bahkan penyalahgunaan wewenang terhadap warga sipil sehingga berpotensi terjadi kekerasan yang mengarah pada pelanggaran HAM. Dibandingkan dengan 2011 (38 kasus, 52 tewas, 573 luka), pada 2012 jumlah kasus kekerasan lebih tinggi (67 kasus, 45 tewas, 120 luka) namun jumlah korbannya lebih rendah karena pada 2011 terjadi 3 kasus kekerasan pemilukada di Puncak dengan korban sangat tinggi yakni 35 tewas dan 500an luka. Pada 2012 jenis, motif dan pelaku kekerasannya lebih beragam. Aparat beberapa kali gagal mengidentifikasi pelaku yang disebut Orang Tak Dikenal (OTK). Pemerintah belum berhasil memberikan pesan tegas kepada para pelaku gangguan keamanan dan masyarakat luas bahwa negara hadir dan hukum ditegakkan secara adil. Sebaliknya, pemerintah menunjukkan kelemahannya dengan menyalahgunakan kondisi geografis, keterbatasan personel dan peralatan sebagai alasan untuk menutupi kegagalan. Meskipun tantangan dan kompleksitasnya lebih tinggi, kebijakan keamanan pemerintah 2012 di Papua memiliki pola yang kurang lebih sama dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Sejalan dengan kebijakan keamanan, kebijakan pengelolaan politik di Papua selama 2012 terasa stagnan, tenang di permukaan dan belum menunjukkan perubahan signfikan. Kebijakan politiknya abu-abu dan cenderung tertutup, bergerak di bawah permukaan radar publik dan masyarakat sipil. Pernyataan politik terkait Papua lebih bersifat normatif dan reaktif pada kasus-kasus tertentu. Dalam situasi ini unit-unit intelijen/politik/pemerintahan baik yang organik di dalam tubuh TNI/Polri dan pemerintah, maupun lembaga intelijen 1 Disampaikan dalam acara Seminar Akhir Tahun Tim Kajian Papua LIPI: Dinamika Politik dan Pembangunan Papua, Senin 17 Desember 2012, di Hotel Harris, Tebet, Jakarta Selatan Page1

negara seperti BIN dan BAIS menjadi dominan tetapi bergerak sendiri-sendiri. Paradigma mempertahankan NKRI di Papua belum diterjemahkan dalam desain kebijakan politik yang jelas, tetap reaktif dan ad-hoc. Pola umum yang selama ini berkembang antara agen intelijen/keamanan yang mewakili negara dengan informan/agen di kalangan masyarakat menjadi pola relasi politik proksi. Pejabat institusi negara berperan sebagai majikan, membangun jaringan informan/agen yang menghubungkannya dengan internal kelompok/organisasi sosial tertentu yang dicurigai separatis. Diusahakan ada informan/agen penghubung yang secara teratur memasok informasi kepada majikan. Setelah terjalin erat, relasi berkembang menjadi transaksi material saling menguntungkan. Relasinya tidak selalu linear dan monoloyal. Seringkali agen/informan memiliki lebih dari satu majikan dan majikan juga memiliki sejumlah agen di berbagai kelompok/organisasi lain. Konstruksi jaringan relasi politik yang tertutup semacam ini mempersubur saling curiga antarkelompok/antartokoh. Rumor tentang praktik menjadi agen/informan merupakan salah satu alat efektif untuk mengadu domba. Selain sebagai penghubung, sebagian informan/agen yang berasal kalangan terdidik Papua ini juga berfungsi sebagai juru bicara dan pembuat opini di seminar atau media massa. Mereka juga dimanfaatkan untuk persaingan politik lokal di tingkat kabupaten dan provinsi. Di tataran publik dibangun opini bahwa akar konflik Papua adalah kesejahteraan oleh karena itu percepatan pembangunan menjadi satu-satunya penyelesaian. Dalam konstruksi pikiran ini dikatakan bahwa kegagalan pembangunan dan kesejahteraan di Papua terutama bukan kesalahan pemerintah pusat tetapi kesalahan pejabat pemerintah daerah yang sudah dikuasai oleh orang asli Papua yang korup dan tidak kompeten. Dibangun pula citra melalui agen/informan Papua bahwa isu politik dan HAM di Papua hanya dimanfaatkan oleh tokohtokoh tertentu yang dibiayai oleh pihak asing. Pola kebijakan politik yang tertutup dan kooptatif menunjukkan bertahannya pelaku politik di dalam birokrasi negara yang bersikap otoriter, superior dan memandang rendah rakyat Papua. Kenyataan ini dipersubur oleh situasi ketidakpercayaan timbal balik yang mendalam antara pemerintah dan rakyat Papua. Rangkaian praktik kebijakan politik tersebut di atas menghasilkan konstruksi peta politik yang penuh dengan intrik, suap, rumor dan diwarnai kecurigaan perselingkuhan di antara aktivis faksi politik, aktivis LSM, jurnalis, agen intelijen, aparat keamanan, anggota TPN/OPM, dan pegawai negeri sipil. Di antara mereka berkembang saling tuduh melalui rumor yang berakhir pada pembunuhan karakter atau bahkan tindak kekerasan. Dari sini suasana ketidakpercayaan dan ketakutan satu sama lain yang sudah mendalam semakin memburuk. Kelompok-kelompok gerakan politik sipil yang bergerak di daerah perkotaan juga mengalami kemunduran. Selama 2012 demo-demo di jalanan didominasi oleh Komite Nasional Papua Barat (KNPB) yang mengusung agenda referendum. Sementara itu kelompok Kongres Rakyat Papua III meredup seiring dengan dipenjarakannya semua pimpinannya dan lemahnya dukungan dari rakyat Papua sendiri. Praktis sepanjang paruh pertama 2012 politik jalanan dan publikasi didominasi oleh KNPB hingga pemimpinnya Mako Tabuni ditembak mati oleh Tim Khusus. Beberapa kali KNPB berusaha bangkit tetapi polisi telah menemukan alasan Page2

kuat untuk memburu para aktivisnya. KNPB yang memanfaatkan ruang ekspresi politik demokrasi tidak berhasil menjaga prinsip dasar anti-kekerasan. Di lapangan, pemimpin dan massanya menunjukkan sikap bermusuhan terhadap warga di luar kelompoknya, mengancam dan bahkan melakukan kekerasan dan tindak kriminal. Akibatnya, selain menghadapi penindakan hukum, KNPB juga kehilangan sebagian legitimasi dan dukungan publik terhadapnya. Kelompok bersenjata pro-papua Merdeka yang lazim disebut TPN/OPM juga masih menunjukkan pola pergerakan lama namun semakin dinamis dan sebarannya semakin luas. Titik-titik perlawanan yang sudah ada sebelumnya semakin dinamis, yakni Paniai dan Puncak Jaya. Sementara itu Kerom sedang krisis karena Lambert Pkikir sedang ditekan oleh operasi. Aksi di Jayapura meredup karena Danny Kogoya sudah ditangkap. Titik-titik perlawanan baru mulai muncul di Lanny Jaya (Tiom). Kecenderungan mutakhir, lokus aksi dan pelaku dominannya terkonsentrasi di kalangan penduduk dan daerah pegunungan seperti Puncak Jaya, Lanny Jaya, Jayawijaya dan Paniai. Untuk memperkuat pasukannya, TPN/OPM menggunakan cara lama yakni perampasan senjata aparat Polri/ TNI. Keberadaan pos-pos dan kehadiran satuan-satuan baru Polri/TNI dimanfaatkan sebaliknya menjadi obyek penyerangan dan konsolidasi kelompok ini untuk menaikkan eksistensi dan kekuatan kelompoknya. Kemampuan Polda Papua yang kadang-kadang dibantu oleh TNI semakin berkembang seiring dengan pengalaman dalam menghadapi berbagai kasus di Papua. Meskipun demikian berbagai tindakan untuk menjaga ketertiban dan keamanan serta penegakan hukum belum memperoleh pengawasan obyektif untuk memastikan bahwa di dalam pelaksanaannya aparat tidak melakukan pelanggaran prosedur dan aturan yang ditetapkan. Penegakan nilai HAM di internal Polri belum nampak ke publik. Lebih penting dari itu, lemahnya pengawasan oleh lembaga negara yang bergerak di bidang HAM dan lembaga masyarakat sipil membuat berbagai laporan-laporan penyelidikan berbagai pihak atas terjadinya pelanggaran HAM oleh aparat Polri/TNI belum didukung bukti atau data materiil yang kredibel. Situasi tersebut di atas juga menjelaskan rendahnya komitmen pemerintah pada penegakan HAM pada satu sisi dan masih terbatasnya kapasitas lembaga negara semacam Komnas HAM dan lembaga-lembaga masyarakat sipil yang bekerja di bidang HAM pada sisi lainnya. Lembaga-lembaga non-pemerintah telah bekerja keras menghasilkan laporan dugaan terjadinya pelanggaran dalam berbagai kasus di Papua. Namun demikian substansi dan kualitas dokumen yang dihasilkan belum mencapai tahap dimungkinkannya tindakan pro yusitisia. Diperlukan suatu dokumen penyelidikan yang mempermudah lembaga penegak hukum lainnya untuk melakukan penyidikan lebih lanjut agar kasus-kasus yang dituduhkan dapat dibawa ke pengadilan. Sementara ini, kekhawatiran dan kecurigaan publik terkait pelanggaran HAM tidak terjawab tuntas dan mengambang menjadi busa-busa politik di dalam konflik Papua. Pendekatan dialogis yang bermartabat oleh pemerintah terhadap Papua diharapkan mampu membuka kebuntuan politik akut dan sistemik seperti tergambar di atas. Wacana dialog tentang Papua yang disampaikan oleh Presiden SBY pada 9 November 2011 dan diulangi Page3

pada Februari 2012 sempat membuat pejabat di Papua dan Jakarta yang terkait dengan politik/intelijen/keamanan mengadopsi wacana dialog dalam berbagai pernyataan publik mereka. Kalangan masyarakat sipil di Papua dan Jakarta juga sempat memiliki harapan tinggi. Namun wacana dialog berhenti sebagai wacana. Langkah-langkah politik yang dibuat oleh Presiden SBY sejak 2010 hingga 2012 terkait dengan dukungan terhadap dialog belum diterjemahkan menjadi kebijakan politik yang nyata di Papua. Oleh karena itu sepanjang 2012 belum terlihat kemajuan dalam kebijakan politik yang mendukung dialog-dialog pembangunan dan politik di berbagai tingkatan secara damai dan bermartabat. Di dalam buku Papua Road Map (LIPI, 2009) telah disimpulkan bahwa kegagalan pembangunan Papua dan Papua Barat merupakan salah satu akar masalah dalam konflik Papua. Pemerintah pusat menyadari hal tersebut dan memberikan perhatian yang sangat besar untuk terus membangun Papua. Sejak 2002-2012, dana Otonomi Khusus (Otsus) Papua berjumlah Rp 28,4 triliun. Sementara sejak 2009-2012, dana Otsus untuk Provinsi Papua Barat sebesar Rp 5,2 triliun. Khusus untuk pembangunan infrastruktur, dana untuk Provinsi Papua ditambah Rp 2,5 triliun dan Rp 2,2 triliun untuk Provinsi Papua Barat. Untuk RAPBN 2013, dana Otsus Papua ditingkatkan untuk Provinsi Papua Rp 4,3 triliun dan Papua Barat Rp 1,8 triliun. Namun pelaksanaan pembangunannya dihadang oleh kapasitas pemerintah daerah yang rendah dan praktik korup yang meluas. Problem utamanya ada pada sektor pendidikan dasar, pelayanan kesehatan (puskesmas dan pustu), serta pemberdayaan ekonomi rakyat. Perbaikan signifikan telah nampak di beberapa kabupaten/kota dalam pembangunan fisik sarana pendidikan dan kesehatan namun belum diimbangi dengan kehadiran petugas yang memadai sehingga kualitas pelayanan masih bermasalah. Di tengah situasi ini pemerintah menghadirkan Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B). UP4B yang mulai operasional sejak awal 2012 menjadi denyut baru dalam pembangunan sosial-ekonomi, mengisi kekosongan koordinasi antarlembaga pelaku pembangunan terutama program pembangunan yang bersumber dari APBN. Dengan fasilitasi dan mediasi UP4B, sebagian kemacetan-kemacetan pengambilan keputusan serta implementasi pembangunan dapat diatasi. Sepanjang 2012 sejumlah kebijakan afirmatif dan percepatan pembangunan infrastruktur dapat dijalankan. Meskipun demikian keberhasilan implementasinya tetap ditentukan oleh konsistensi kinerja kementerian dan lembaga serta pemerintah daerah yang terkait. Jika kelemahan kementerian dan lembaga terkait tidak diatasi serta kapasitas pemerintah daerah tetap rendah maka fasilitasi dan mediasi yang dilakukan oleh UP4B menjadi tidak maksimal. Rekomendasi Jajaran Kemenko Polhukkam RI (termasuk Kemdagri, Kemlu, BIN dan BAIS) dan instansi negara terkait sebaiknya menjalankan kebijakan politik yang kondusif bagi tumbuhnya suasana demokratis yang mengarah penguatan kepercayaan rakyat Papua dengan pendekatan inklusif, mengakhiri stigma, dan tidak menciptakan tokoh dan organisasi tandingan baru yang cenderung mengadudomba. Pola operasi intelijen yang intimidatif dan meningkatkan rasa Page4

curiga serta permusuhan warga sipil terhadap pemerintah perlu diubah dengan cara yang lebih ramah dan tidak provokatif. Kebijakan baru tersebut dapat ditempuh melalui dua jalur. Pertama, pendekatan tertutup terus dilakukan untuk membangun kesepahaman dengan pemimpin utama yang arahnya kepada penyelesaian politik akar-akar konflik Papua. Kedua, forum-forum dialog dan rekonsiliasi terbuka antara pemerintah dengan komunitas sipil dan antarkomunitas di berbagai kabupaten/kota difasilitasi agar salingpercaya antara masyarakat sipil (pendatang-papua) dapat terbangun dan secara kualitatif menjadi fondasi bagi dialogdialog menuju Papua Tanah Damai. Jajaran lembaga keamanan terutama Polri (didukung oleh TNI) dapat menetapkan definisi operasional yang tegas membedakan antara tindakan politik warga sipil sebagai perwujudan aspirasi dalam rangka demokrasi secara damai yang dilindungi oleh UU tentang HAM dan UUD 1945 dengan tindakan politik yang menggunakan kekerasan baik terhadap aparat negara maupun warga sipil apa pun alasannya. Definisi yang jelas dan tegas dapat digunakan sebagai instrumen untuk menghindari kriminalisasi ekspresi politik warga oleh aparat keamanan atau sebaliknya politisasi tindakan kriminal baik oleh warga sipil maupun oleh aparat negara. Pertama, Polri diharapkan tetap menjaga aksi-aksi demokrasi yang damai agar ekspresi politik warga sipil tetap terjamin pelaksanaannya secara tertib dan aman. Kedua, Polri tetap didukung untuk menindak tegas jika aksi-aksi politik yang terjadi diikuti oleh tindak kekerasan dengan alasan apa pun. Yang terpenting di dalam proses penegakan hukum (misalnya pengejaran, penahanan hingga penyidikan) aparat Polri tetap mematuhi secara profesional SOP yang berlaku dan menghargai hak-hak warga sipil. Jika ada dugaan terjadi pelanggaran HAM oleh aparat, Polri sebaiknya membuka diri untuk dilakukan penyelidikan bersama dengan melibatkan pihak luar agar lebih obyektif. Hal ini penting untuk mengakhiri kecurigaan dan rumor yang bersifat fitnah terhadap Polri yang dapat berkembang menjadi kegaduhan politik nasional dan internasional. Lembaga masyarakat sipil yang bergerak di bidang demokrasi dan HAM, baik yang independen maupun yang bernaung di bawah Gereja, perlu meningkatkan profesionalismenya dalam hal kapasitas kelembagaan terutama kemampuan pendampingan hukum dan litigasi yang menyangkut investigasi dan penulisan laporan dugaan pelanggaran HAM. Pertama, kerjasama antarlembaga perlu ditingkatkan dan segregasi aktivis Papua-non Papua harus dapat diatasi. Kedua, perilaku profesional perlu ditunjukkan dengan menarik garis batas tegas antara aktivisme HAM dan demokrasi dengan aktivisme gerakan politik Papua Merdeka. Hal ini penting untuk menjaga kepercayaan dan integritas lembaga HAM Papua di mata pemerintah, publik nasional maupun internasional. Ketiga, dalam menjalankan program pendampingan dan advokasi, komunikasi terbuka dengan pemerintah dan lembaga keamanan secara konstruktif perlu diperkuat agar terjadi sinergi dalam penegakan HAM. Bagi kelompok-kelompok gerakan politik di perkotaan dengan berbagai aspirasinya diharapkan dapat menyampaikan aspirasinya dengan cara damai dan tanpa kekerasan baik yang bersifat verbal maupun fisik. Kebiasaan memaksa pihak-pihak di luar kelompoknya untuk bergabung dalam aksi demo atau pun menyampaikan ancaman verbal di depan publik Page5

hendaknya diakhiri untuk menjaga suasana demokrasi yang mengutamakan dialog dan perdamaian. Perbedaan pandangan dan aspirasi politik di antara kelompok seharusnya dapat diatasi dengan cara dialogis dan mencari common ground. Dengan demikian setiap aksi politik yang dilakukan oleh berbagai kelompok dengan aspirasinya yang beragam dapat dihargai dan diletakkan dalam kerangka demokrasi di mana kebebasan berkumpul dan berekspresi dijamin oleh UU. Pembangunan Tanah Papua memiliki problem struktural dan kultural yang kompleks yang paradigmanya harus didesain untuk jangka pendek dan panjang berdasarkan kajian mendalam mengenai kapasitas budaya dan kondisi alamnya. Untuk jangka pendek, pemerintah daerah perlu semakin membuka diri untuk berkoordinasi dengan UP4B tidak hanya yang menyangkut realisasi dana yang bersumber dari APBN, tetapi juga dana yang dikelola oleh APBD. Upaya memperbaiki regulasi yang sudah nampak hasilnya dalam rangka kebijakan afirmatif perlu ditingkatkan tidak hanya pada soal pemberdayaan pengusaha asli Papua, tetapi juga regulasi yang melindungi hak-hak sosial ekonomi budaya penduduk asli Papua. Mengingat kapasitas UP4B yang terbatas pada koordinasi, untuk menjamin keberhasilan program yang sudah dimulai, dibutuhkan kesungguhan kementerian/lembaga serta pemerintah daerah untuk melanjutkannya. Jakarta, 17 Desember 2012 Page6