RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

dokumen-dokumen yang mirip
RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 102/PUU-XIII/2015 Pemaknaan Permohonan Pra Peradilan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 37/PUU-X/2012 Tentang Peraturan Perundang-Undangan Yang Tepat Bagi Pengaturan Hak-Hak Hakim

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 42/PUU-XV/2017 Tafsir Frasa Tidak dapat Dimintakan Banding atas Putusan Praperadilan

I. PEMOHON Tomson Situmeang, S.H sebagai Pemohon I;

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 43/PUU-XI/2013 Tentang Pengajuan Kasasi Terhadap Putusan Bebas

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XI/2013 Tentang Frasa Pihak Ketiga Yang Berkepentingan

KUASA HUKUM Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc., dkk berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 20 Maret 2014.

KUASA HUKUM Adardam Achyar, S.H., M.H., dkk berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 7 Agustus 2014.

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 14/PUU-XII/2014 Tindak Pidana Dalam Kedokteran

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 55/PUU-IX/2011 Tentang Peringatan Kesehatan dalam Promosi Rokok

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 67/PUU-XIII/2015 Beban Penyidik untuk Mendatangkan Ahli dalam Pembuktian Perkara Pidana

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 99/PUU-XIII/2015 Tindak Pidana Kejahatan Yang Menggunakan Kekerasan Secara Bersama-Sama Terhadap Barang

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 66/PUU-XII/2014 Frasa Membuat Lambang untuk Perseorangan dan Menyerupai Lambang Negara

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 80/PUU-XII/2014 Ketiadaan Pengembalian Bea Masuk Akibat Adanya Gugatan Perdata

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 20/PUU-XIV/2016 Perekaman Pembicaraan Yang Dilakukan Secara Tidak Sah

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 138/PUU-XII/2014 Hak Warga Negara Untuk Memilih Penyelenggara Jaminan Sosial

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 99/PUU-XIV/2016 Korelasi Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tertentu dan Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tidak Tertentu

I. PEMOHON Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), diwakili oleh Kartika Wirjoatmodjo selaku Kepala Eksekutif

I. PEMOHON Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), diwakili oleh Kartika Wirjoatmodjo selaku Kepala Eksekutif

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 5/PUU-XII/2014 Tugas dan Wewenang Notaris dan Formasi Jabatan Notaris

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XVI/2018 Tindakan Advokat Merintangi Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 31/PUU-XIV/2016 Pengelolaan Pendidikan Tingkat Menengah Oleh Pemerintah Daerah Provinsi

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 108/PUU-XIV/2016 Peninjauan Kembali (PK) Lebih Satu Kali

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 123/PUU-XIII/2015 Hak Tersangka Untuk Diadili Dalam Persidangan

KUASA HUKUM Dra. Endang Susilowati, S.H., M.H., dan Ibrahim Sumantri, S.H., M.Kn., berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 26 September 2013.

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 129/PUU-XII/2014 Syarat Pengajuan Calon Kepala Daerah oleh Partai Politik dan Kedudukan Wakil Kepala Daerah

Kuasa Hukum Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc., dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 2 Maret 2015.

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 68/PUU-XII/2014 Syarat Sahnya Perkawinan (Agama)

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA : 33/PUU-X/2012

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 116/PUU-XIII/2015 Jangka Waktu Pengajuan Gugatan Atas Pemutusan Hubungan Kerja

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 5/PUU-XIII/2015 Pengecualian Pembina dalam Menerima Gaji, Upah, atau Honorarium Pengurus

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 56/PUU-X/2012 Tentang Kedudukan Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 85/PUU-XIV/2016 Kewajiban Yang Harus Ditaati Oleh Pelaku Usaha Dalam Melaksanakan Kerjasama Atas Suatu Pekerjaan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 19/PUU-XIII/2015 Batas Waktu Penyerahan/Pendaftaran Putusan Arbitrase Internasional

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 39/PUU-XII/2014 Hak Memilih

KUASA HUKUM Muhammad Sholeh, S.H., dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 20 Oktober 2014.

RINGKASAN PERBAIKAN Perkara Nomor 138/PUU-XII/2014 Hak Warga Negara Untuk Memilih Penyelenggara Jaminan Sosial

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XII/2014 Alasan Pemberatan Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 94/PUU-XII/2014 Pemilihan Pimpinan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 88/PUU-XII/2014 Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 6/PUU-XII/2014 Pemberian Manfaat Pasti Pensiun Bagi Peserta Dana Pensiun

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 84/PUU-XII/2014 Pembentukan Pengadilan Hubungan Industrial di Kabupaten/Kota

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 74/PUU-IX/2011 Tentang Pemberlakuan Sanksi Pidana Pada Pelaku Usaha

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 105/PUU-XIV/2016 Kewajiban Mematuhi Putusan Mahkamah Konstitusi

PERBAIKAN RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 26/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilihan Presiden & Wakil Presiden Calon Presiden Perseorangan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 38/PUU-XI/2013 Tentang Penyelenggaraan Rumah Sakit

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 98/PUU-XIII/2015 Izin Pemanfaatan Hutan

KUASA HUKUM Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc., dkk berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 20 Maret 2014.

KUASA HUKUM Fathul Hadie Ustman berdasarkan surat kuasa hukum tertanggal 20 Oktober 2014.

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 53/PUU-XIV/2016 Persyaratan Menjadi Hakim Agung dan Hakim Konstitusi

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 38/PUU-XI/2013 Tentang Penyelenggaraan Rumah Sakit

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 21/PUU-XIV/2016 Frasa Pemufakatan Jahat dalam Tindak Pidana Korupsi

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 63/PUU-XII/2014 Organisasi Notaris

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 5/PUU-XIII/2015 Pengecualian Pembina dalam Menerima Gaji, Upah, atau Honorarium Pengurus

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 69/PUU-XI/2013 Pemberian Hak-Hak Pekerja Disaat Terjadi Pengakhiran Hubungan Kerja

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 50/PUU-XI/2013 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 26/PUU-XV/2017 Pembatalan Putusan Arbitrase

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 84/PUU-XI/2013 Penyelenggaraan RUPS

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

Kuasa Hukum : - Fathul Hadie Utsman, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 20 Oktober 2014;

Kuasa Hukum: Fathul Hadie Utsman sebagai kuasa hukum para Pemohon, berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 20 Oktober 2012.

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 24/PUU-XII/2014 Pengumuman Hasil Penghitungan Cepat

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 27/PUU-XIV/2016

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 43/PUU-XV/2017

KUASA HUKUM Ir. Tonin Tachta Singarimbun, S.H., dkk berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 28 Februari 2013

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN KEDUA Perkara Nomor 79/PUU-XII/2014 Tugas dan Wewenang DPD Sebagai Pembentuk Undang-Undang

OBJEK PERMOHONAN Permohonan Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen terhadap Undang-Undang Dasar 1945.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 122/PUU-XIII/2015 Penggunaan Tanah Hak Ulayat untuk Usaha Perkebunan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 38/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 19/PUU-XII/2014 Penyelenggaraan Organisasi KONI dan Penyelesaian Sengketa Keolahragaan

KUASA HUKUM Heru Widodo, S.H., M.Hum., dkk berdasarkan surat kuasa hukum tertanggal 22 Januari 2015.

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 28/PUU-XI/2013 Tentang Bentuk Usaha, Kepengurusan serta Modal Penyertaan Koperasi

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 65/PUU-VIII/2010 Tentang Pengajuan Saksi Yang Meringankan Tersangka/Terdakwa ( UU Hukum Acara Pidana )

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan KPK Karena Ditetapkan Sebagai Tersangka

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor /PUU-VII/2009 Tentang UU Tindak Pidana Terorisme Tindak pidana terorisme

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 95/PUU-XII/2014 Penunjukan Kawasan Hutan Oleh Pemerintah

I. PEMOHON Imam Ghozali. Kuasa Pemohon: Iskandar Zulkarnaen, SH., MH., berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 15 Desember 2015.

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 34/PUU-XVI/2018 Langkah Hukum yang Diambil DPR terhadap Pihak yang Merendahkan Kehormatan DPR

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 31/PUU-XI/2013 Tentang Pemberhentian Oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 81/PUU-XIV/2016 Pengertian Keputusan Tata Usaha Negara

I. PEMOHON Bastian Lubis, S.E., M.M., selanjutnya disebut Pemohon.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 49/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas

Kuasa Hukum Antonius Sujata, S.H., M.H., dkk, berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 29 Mei 2017

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 4 / PUU-X / 2012 Tentang Penggunaan Lambang Negara

Kuasa Hukum Dwi Istiawan, S.H., dan Muhammad Umar, S.H., berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 29 Juli 2015

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 111/PUU-XIII/2015 Kekuasaan Negara terhadap Ketenagalistrikan

Transkripsi:

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara I. PEMOHON Bachtiar Abdul Fatah. KUASA HUKUM Dr. Maqdir Ismail, S.H., LL.M., dkk berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 6 Februari 2014. II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana terhadap UUD 1945. III. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI Pemohon menjelaskan, bahwa ketentuan yang mengatur kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang adalah: 1. Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. 2. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. 3. Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 4. Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: a) menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 5. Pasal 9 ayat (1) Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Dalam hal Undang-Undang diduga bertentangan dengan UUD 1945, maka pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah. 6. Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa dan mengadili permohonan Pemohon. IV. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON Pemohon adalah perseorangan warga negara Indonesia yang telah mengalami penahanan dalam kasus tindak pidana korupsi terhitung sejak tanggal 26 September 2012 s.d. 27 November 2012 dibebaskan berdasarkan putusan praperadilan, namun kemudian dipaksakan untuk ditahan lagi sejak tanggal 17 Mei 2013 s.d. saat ini dan dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor untuk diadili sejak tanggal 22 mei 2013 dan Pemohon ditahan sampai pengajuan Permohonan ini diajukan. Pemohon merasa dirugikan atau berpotensi dirugikan hak-hak konstitusionalnya dengan berlakunya Pasal 1 angka 2, Pasal 1 angka 14, Pasal 17, Pasal 21 ayat (1), Pasal 29, Pasal 77 huruf a, Pasal 156 ayat (2) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Kerugian konstitusional yang dimaksud adalah Pemohon telah kehilangan hak untuk bekerja serta melakukan berbagai kegiatan dan berkomunikasi secara layak dan manusiawi karena status Tersangka/Terdakwa tindak pidana korupsi yang disandang oleh Pemohon pada saat penahanan hingga saat ini.

V. NORMA-NORMA YANG DIAJUKAN UNTUK DI UJI A. NORMA MATERIIL Norma yang diujikan, yaitu: Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Pasal 17 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana. Pasal 29 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 1) Dikecualikan dari jangka waktu penahanan sebagaimana tersebut pada Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27 dan Pasal 28, guna kepentingan pemeriksaan, penahanan terhadap tersangka atau terdakwa dapat diperpanjang berdasar alasan yang patut dan tidak dapat dihindarkan karena: a. tersangka atau terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang berat, yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, atau b. perkara yang sedang diperiksa diancam dengan pidana penjara sembilan tahun atau lebih.

2) Perpanjangan tersebut pada ayat (1) diberikan untuk paling lama tiga puluh hari dan dalam hal penahanan tersebut masih diperlukan, dapat diperpanjang lagi untuk paling lama tiga puluh hari. 3) Perpanjangan penahanan tersebut atas dasar permintaan dan laporan pemeriksaan dalam tingkat : a. penyidikan dan penuntutan diberikan oleh ketua pengadilan negeri; b. pemeriksaan di pengadilan negari diberikan oleh ketua pengadilan tinggi; c. pemeriksaan banding-diberikan oleh Mahkamah Agung; d. pemeriksaan kasasi diberikan oleh Ketua Mahkamah Agung. 4) Penggunaan kewenangan perpanjangan penahanan oleh pejabat tersebut pada ayat (3) dilakukan secara bertahap dan dengan penuh tanggung jawab. 5) Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya tersangka atau terdakwa dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah dipenuhi. 6) Setelah waktu enam puluh hari, walaupun perkara tersebut belum selesai diperiksa atau belum diputus, tersangka atau terdakwa harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi hukum. 7) Terhadap perpanjangan penahanan tersebut pada ayat (2) tersangka atau terdakwa dapat mengajukan keberatan dalam tingkat: a. penyidikan dan penuntutan kepada ketua pengadilan tinggi; b. pemeriksaan pengadilan negeri dan pemeriksaan banding kepada Ketua Mahkamah Agung. Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang: a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;

Pasal 156 ayat (2) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 2) Jika hakim menyatakan keberatan tersebut diterima, maka perkara itu tidak diperiksa lebih lanjut, sebaiknya dalam hal tidak diterima atau hakim berpendapat hal tersebut baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan, maka sidang dilakukan. 4) Dalam hal perlawanan yang diajukan oleh terdakwa atau penasihat hukumnya diterima olah pengadilan tinggi, maka dalam waktu empat belas hari, pengadilan tinggi dengan surat penetapannya membatalkan putusan pengadilan negeri dan memerintahkan pengadilan negeri yang berwenang untuk memeriksa perkara itu. B. NORMA UNDANG-UNDANG DASAR 1945 Norma yang dijadikan sebagai dasar pengujian, yaitu : Pasal 1 ayat (3) Negara Indonesia adalah negara hukum. Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 2) Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Pasal 28C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dam memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.

2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya. Pasal 28G ayat (1), ayat (2), ayat (4), dan ayat (5) UUD 1945 1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. 2) Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. 4) Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. 5) Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip begara hukum yang demokratis, maka pelaksanaa hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan peundang-undangan. Pasal 28I ayat (2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. VI. ALASAN-ALASAN PEMOHON UNDANG-UNDANG A QUO BERTENTANGAN DENGAN UUD 1945 1. Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 melanggar Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena menimbulkan

kesewenang-wenangan yang bertentangan dengan prinsip due process of law serta pelanggaran terhadap hak atas kepastian hukum yang adil. 2. Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 dapat diinterpretasikan dan diberi makna bahwa seseorang dapat ditetapkan terlebih dahulu sebagai tersangka sebelum adanya penyidikan. Menurut Pemohon penyidikan bukan merupakan proses pidana yang mengharuskan lahirnya tersangka pada proses akhir. Penyidikan secara tegas memberikan syarat bahwa penetapan tersangka merupakan tahapan lanjutan yang syaratnya hanya dapat dilakukan setelah penyidik berhasil mengumpulkan bukti-bukti yang cukup. 3. Bahwa Pasal 1 angka14 juncto Pasal 17 juncto Pasal 21 ayat (1) Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 melanggar Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2), ayat (4), ayat (5) UUD 1945 karena terdapat makna multitafsir sehingga dalam penegakannya menimbulkan ketidakpastian hukum. 4. Frasa bukti permulaan Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tidak hanya sebatas dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tetapi juga meliputi barang bukti dalam pembuktian universal atau physical evidence/real evidence. 5. Frasa bukti permulaan yang cukup Pasal 17 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 menimbulkan perdebatan terkait dua alat bukti, yaitu secara kualitatif atau kuantitatif. Secara kualitatif adalah dua dari lima alat bukti yang ada dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981. Secara kuantitatif, dua orang saksi sudah dihitung sebagai dua alat bukti. 6. Frasa bukti yang cukup Pasal 21 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 mengenai harus ada dua alat bukti secara kualitatif, kecuali perihal keterangan saksi. Artinya, bukti yang cukup juga merujuk pada minimum dua alat bukti atas kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti atau mengulangi tindak pidana. 7. Pasal 1 angka 14 juncto Pasal 17 juncto Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 harus diberi makna dan dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat sepanjang frasa bukti permulaan, bukti permulaan yang

cukup, dan bukti yang cukup harus dimaknai sebagai minimum dua alat bukti secara kualitatif, kecuali dalam hal keterangan saksi. 8. Pasal 21 ayat (1) juncto 29 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 melanggar Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2), ayat (4), ayat (5) UUD 1945 karena karena ada pemaknaan atau interpretasi yang sangat longgar untuk melakukan perpanjangan penahanan bahkan penahanan oleh hakim, tidak ada mekanisme koreksi selain keberatan meskipun penahanan tersebut dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang. 9. Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 melanggar Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 karena konsep praperadilan yang terbatas pada memberikan penilaian terhadap sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, jelas tidak sepenuhnya memberikan perlindungan yang cukup bagi Tersangka sehingga menimbulkan pelanggaran terhadap hak asasi manusia 10. Bahwa Pasal 156 ayat (2) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 melanggar Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena dapat diinterpretasikan tanpa batasan yang jelas oleh hakim yang memeriksa perkara setelah memberikan putusan sela. 11. Pasal 156 ayat (2) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 bertentangan dengan asas legalitas dan asas peradilan yang cepat. Perlawanan atas penolakan terhadap keberatan terdakwa atau penasehat hukum tidak boleh ditafsirkan harus dilakukan secara bersama-sama dengan banding. Saat berkas perkara dikirimkan kepada Pengadilan Tinggi, maka persidangan harus dihentikan dan hakim wajib mengabulkan perlawanan yang dilakukan oleh terdakwa atau penasehat hukumnya. VII. PETITUM 1. menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya; 2. menyatakan Mahkamah berwenang untuk memeriksa permohonan a quo dan PEMOHON mempunyai keduukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo;

3. Menyatakan pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional), yaitu inkonstitusional secara bersyarat sepanjang frasa dan guna tersangkanya tidak dimaknai sebagai untuk kemudian dapat menemukan tersangkanya sehingga ketentuan tersebut selengkapnya definisi penyidikan harus dibaca dan dimaknai sebagai serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi untuk kemudian dapat menemukan tersangkanya ; 4. Menyatakan bahwa Pasal 1 angka 14 juncto Pasal 17 juncto Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 harus diberi makna dan harus dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat (conditionally unconstitutional) kecuali sepanjang frasa berdasarkan bukti permulaan, bukti permulaan yang cukup, bukti yang cukup harus dimaknai sebagai minimum dua alat bukti secara kualitatif, kecuali perihal keterangan saksi; 5. menyatakan Pasal 21 ayat (1) juncto 29 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 bertentangan dengan UUD 1945 yaitu inkonstitusional secara bersyarat sepanjang digunakan untuk melakukan penahanan dan atau perpanjangan penahanan tanpa adanya keadaan yang faktual dan dapat diukur yang menjadikan penilaian atas keadaan tersebut dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia; 6. menyatakan Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) yaitu inkonstitusional secara bersyarat sepanjang tidak ditambahkan rumusan normanya sehingga menjadi berbunyi; Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang: a. sah atau tidaknya penetapan tersangka, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan 7. Menyatakan bahwa Pasal 156 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang ada perlawanan yang

diajukan oleh terdakwa seketika setelah putusan sela dibacakan hakim tidak menangguhkan proses persidangan; 8. Menyatakan bahwa Pasal 156 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, mengikat bagi hakim untuk menghentikan persidangan sepanjang ada perlawanan yang diajukan oleh terdakwa seketika setelah putusan sela dibacakan 9. Memerintahkan agar putusan ini dimuat dalam Berita Negara. Atau apabila Majelis Hakim Konstitusi mempunyai pendapat lain atas perkara a quo mohon diberikan putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).