PERMOHONAN PRAPERADILAN ATAS PENUNDAAN PELAKSANAAN PENETAPAN HAKIM DALAM PERKARA KESAKSIAN PALSU Desita Sari S.H dan Hesti Setyowaty Demi kepentingan pemeriksaan suatu tindak pidana, undang-undang memberikan kewenangan kepada aparat penegak hukum untuk melakukan tindakan-tindakan yang pada prinsipnya merupakan pengurangan-pengurangan hak asasi manusia. Bentuk dari tindakan tersebut adalah upaya paksa seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat. Praperadilan dalam KUHAP pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan tindakan pengawasan terhadap aparat penegak hukum agar dalam melaksanakan kewenangannya tidak terdapat penyelewengan atau penyalahgunaan wewenang. Permasalahannya adalah apakah pengaturan mengenai praperadilan dalam KUHAP telah cukup memadai untuk melakukan pengawasan terhadap aparat penegak hukum dan melindungi hak seorang tersangka dan terdakwa dalam suatu upaya paksa. Analisa ini akan memberikan gambaran bahwa ternyata dalam kasus tertentu pengaturan mengenai praperadilan selama ini belum cukup untuk mengakomodir tujuan semula dari lembaga praperadilan itu sendiri. POSISI KASUS Pada tanggal 15 Juli 2002, diajukan Surat Dakwaan atas nama Terdakwa Arno Suwarno, Dose Hudaya, dan Siti Wahyu Widayati yang pada pokoknya mendakwa bahwa mereka telah melakukan tindakan memasukkan keterangan palsu dalam suatu akta otentik dengan maksud menggunakannya seolah-olah benar, dan melanggar pasal 266 (1) jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Berdasarkan Surat Dakwaan tersebut, para Terdakwa memalsukan keterangan dalam akta otentik dalam hal penggunaan buku kutipan akta nikah antara Siti Wahyu Widayanti dengan Ahmad www.pemantauperadilan.com 1
Jajang untuk mengajukan permohonan eksekusi atas suatu putusan perdata tanggal 6 Oktober 1990 antara penggugat Ahmad Jajang dan para Tergugat ahli waris Yustimiharja, yang pada pokoknya memenangkan gugatan penggugat atas piutang para Tergugat. Karena Ahmad Jajang telah meninggal pada bulan Febuari 1996, maka untuk mengajukan eksekusi atas putusan perkara yang dimenangkan oleh Ahmad Jajang, Siti Wahyuni menggunakan buku kutipan akta nikah yang dikeluarkan oleh KUA Jatisari sebagai alas hak bahwa selaku ahli waris dari Ahmad Jajang, Terdakwa berhak atas piutang ahli waris Yustimihadja. Adapun setelah dilakukan pengecekan oleh salah satu ahli waris Yustimiharja, yaitu Yohanes Timiharja, didapatkan keterangan bahwa buku kutipan akta nikah tersebut palsu, karena nomor akta yang bersangkutan, di KUA Jatisari tercatat bukan atas nama Ahmad Jajang dan Siti Wahyuni, melainkan atas nama Adam bin Daneng dengan Nela binti Olis. Dalam perkara pidana penempatan keterangan palsu dalam akta otentik oleh para Terdakwa, telah dikeluarkan putusan yang menyatakan para Terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana, sehingga dibebaskan dari segala dakwaan, pada tanggal 15 Oktober 2002. Namun pada saat pemeriksaan perkara ini berlangsung, dikeluarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri tertanggal 19 Agustus 2002 (selanjutnya disebut penetapan 1409), yang menyatakan bahwa saksi Yohanes Timiharja dan saksi Yeni Timiharja diduga keras telah memberikan keterangan palsu di persidangan. Sehingga Ketua PN memerintahkan kepada JPU yang bersangkutan untuk menahan para saksi dan melakukan penuntutan terhadap mereka. Pada tanggal 6 November 2002, diajukan gugatan praperadilan oleh para Pemohon antara lain Siti Wahyuni Widayanti, Arno Suwarno, dan Dose Hudaya terhadap para Termohon, yaitu Kejaksaan Agung RI cq. Kejaksaan Negeri Bandung, Jaksa Muda dan Ajun Jaksa yang memeriksa perkara ini. Alasan pengajuan gugatan praperadilan adalah karena para Termohon tidak melaksanakan penetapan PN www.pemantauperadilan.com 2
mengenai perintah menuntut dan menahan Yohanes dan Yani Timiharja atas kesaksian palsu yang diberikan di muka sidang. Tindakan tidak melakukan apa-apa atas kedua saksi, menurut para Pemohon, dapat dikualifikasikan sebagai penghentian penuntutan yang masuk dalam lingkup pasal 77 KUHAP mengenai praperadilan. Atas permohonan tersebut, para Tergugat telah mengajukan tanggapannya yang terbagi atas tanggapan dalam eksepsi dan dalam pokok perkara. Dalam eksepsinya, para Termohon menyatakan bahwa permohonan praperadilan harus ditolak berdasarkan hal-hal sebagai berikut: - Dalil permohonan tidak masuk dalam lingkup pasal 77 KUHAP, dimana dasar permohonan praperadilan akibat tidak dilaksanakannya penetapan 1409 tidak masuk lingkup pasal 77 mengenai alasan pengajuan praperadilan atas tidak sahnya penghentian penuntutan - Pemohon bukan merupakan pihak yang berkepentingan sebagaimana dimaksud dalam pasal 80 KUHAP - Permohonan praperadilan bukan merupakan perkara perdata, sehingga pengajuan gugatan praperadilan tidak dapat dibenarkan - Pengajuan para Termohon II dalam perkara ini tidak tepat dan berlebihan, dimana para Pemohon hanya melaksanakan tugas penuntutan sesuai perintah Undang-undang. - Berdasarkan pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP, permohonan praperadilan gugur karena JPU telah menyerahkan para Terdakwa kepada Penyidik Polri pada tanggal 7 November 2002 (dengan bukti surat laporan dan penerimaan terlampir) Sedangkan dalam pokok perkara, para Termohon mengajukan dalil-dalil sebagai berikut: www.pemantauperadilan.com 3
- Materi permohonan bukan merupakan obyek dan wewenang pemeriksaan praperadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 77 KUHAP - Termohon II telah melaksanakan kewajiban hukumnya sesuai ketentuan Undang-Undang, dimana berdasarkan pasal 174 ayat (3) KUHP, JPU wajib menindaklanjuti berita acara pemeriksaan sidang yang memuat keterangan palsu menurut ketentuan dalam KUHP. Dalam Keputusan Bersama MAHKEJOPOL II mengenai Penetapan Keterpaduan Sesama Aparatur Penegak Hukum dalam Penanganan dan Penyelesaian Perkara-Perkara Pidana, halaman 7 poin 15, pada pokoknya diterangkan bahwa perintah penahanan oleh Hakim akibat pemberian keterangan palsu, walaupun ditujukan kepada JPU, merupakan tanggung jawab Polri. Dalam hal ini, Termohon II telah melimpahkan proses penyidikan perkara ini kepada Polri - Ketetapan 1409 telah dilaksanakan sejak tanggal 7 November 2002 Atas jawaban ini telah diajukan replik dan duplik yang pada pokoknya tetap berpegang pada dalil-dalil yang dikemukakan masing-masing pihak. Majelis Hakim yang bersangkutan telah mengambil keputusan atas perkara ini pada tanggal 6 November 2002 yang memutuskan menolak eksepsi para Termohon dan mengabulkan gugatan praperadilan, menyatakan para Termohon telah melakukan perbuatan melawan hukum, serta menghukum para Termohon untuk melaksanakan penetapan 1409. Atas putusan tersebut, telah diajukan upaya hukum banding pada tanggal 24 November 2002; namun dalam putusan Pengadilan Tinggi tanggal 7 Januari 2003, dinyatakan bahwa banding yang diajukan tidak dapat diterima berdasarkan alasan amar putusan aquo (putusan praperadilan di PN) tidak termasuk dalam lingkup praperadilan. Namun demikian, hingga tahun 2003, penetapan 1409 tidak kunjung dilaksanakan. Oleh sebab itu, pada tanggal 16 April 2003, kuasa hukum para www.pemantauperadilan.com 4
Pemohon mengajukan permohonan eksekusi penetapan 1409 kepada Kejaksaan Negeri yang bersangkutan. Atas surat tersebut, pihak Kejaksaan mengirimkan balasan yang pada pokoknya menyatakan bahwa permohonan eksekusi tersebut belum dapat ditindaklanjuti, karena pihak Kejaksaan sedang meminta fatwa dari MA mengenai permasalahan ini. Adapun pihak Kejaksaan melalui Pangadilan Negeri telah menyampaikan surat permohonan fatwa kepada Mahkamah Agung mengenai status putusan praperadilan tersebut, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut: - JPU telah melaksanakan penetapan 1409 dengan cara menyerahkannya pada penyidik untuk diadakan penyidikan - Pemohon menganggap penetapan 1409 belum dilaksanakan karena penahanan terhadap para saksi yang memberikan keterangan palsu belum dilakukan Dan memohon fatwa atas hal-hal sebagai berikut: - Apakah lembaga praperadilan dapat digunakan oleh Hakim judex factie untuk memutus mengenai tidak dilaksanakannya penetapan Hakim, dan bila tidak dapat dibenarkan, bagaimana akibat hukumnya; - Apakah tindakan JPU menyerahkan para saksi kepada Penyidik Polri dapat dibenarkan; - Mengingat pasal 174 KUHAP, siapa yang berwenang memproses permasalahan sumpah palsu dan siapa yang harus melaksanakan penahanan terhadap para Tersangka; - Bagaimana status dari putusan praperadilan tersebut? Namun demikian, MA belum memberikan fatwa berkaitan dengan hal ini, sehingga eksekusi penetapan 1409 belum dapat dilaksanakan. www.pemantauperadilan.com 5
ANALISA Analisa berikut didasarkan pada berkas putusan praperadilan Pengadilan Negeri Bandung, pengadilan Tinggi Bandung, serta penetapan Pengadilan Negeri atas pemberian kesaksian palsu, dimana akan dicermati masalahan lingkup perkara praperadilan yang dalam hal ini berkaitan dengan masalah pelaksanaan penetapan PN tersebut. 1. Masalah pemberian keterangan palsu Dalam sidang, kesaksian dari seseorang merupakan salah satu alat bukti yang digunakan sebagai landasan pengambilan keputusan mengenai bersalah atau tidaknya Terdakwa oleh Majelis Hakim. Dalam sistim hukum Indonesia, pengambilan keputusan harus didasarkan oleh keyakinan Hakim yang didukung oleh sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Alat bukti yang sah menurut pasal 184 ayat (1) KUHAP adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan Terdakwa. Karena signifikansi keberadaan keterangan saksi dalam proses pengambilan keputusan, maka seseorang yang memberikan keterangan dimuka pengadilan hendaknya memberikan keterangan yang jujur dan sebenar-benarnya. KUHAP bahkan memberikan penegasan dalam pemberian kesaksian oleh para saksi dengan memberikan pengaturan untuk dilakukannya penyumpahan dan selanjutnya mengatur tindakan yang dapat dilakukan dalam rangka diberikannya keterangan palsu dalam sidang pengadilan. Dalam kasus, permasalahan berawal dari pengajuan JPU dan Kejaksaan Negeri ke hadapan sidang praperadilan karena dianggap tidak melaksanakan penetapan Hakim mengenai perintah penahanan dan penuntutan saksi-saksi yang memberikan keterangan palsu. Dalam pasal 173 ayat (1) dan (2) dinyatakan bahwa dalam hal Hakim telah memperingatkan saksi yang diduga memberikan kesaksian palsu, bila saksi tersebut tetap pada kesaksiannya, maka Hakim Ketua Sidang dapat memberi perintah agar saksi tersebut ditahan untuk selanjutnya dituntut dengan www.pemantauperadilan.com 6
dakwaan sumpah palsu. Sedangkan dalam ayat (3) disebutkan bahwa dalam hal demikian, Panitera segera membuat berita acara pemeriksaan sidang yang memuat keterangan saksi dengan menyebutkan alasan persangkaan tersebut, dan setelah ditandatangani oleh Hakim Ketua sidang dan Panitera, segera diserahkan kepada penuntut umum untuk diselesaikan menurut ketentuan undang-undang. Berdasarkan bunyi pasal 173 tersebut, maka bila dalam persidangan terdapat Saksi yang memberikan keterangan palsu, maka tindakan yang harus dilakukan oleh Hakim Ketua Sidang adalah memberikan peringatan. Setelah diberi peringatan dan Saksi tetap pada keterangannya, maka Hakim yang bersangkutan dapat memerintahkan agar saksi ditahan, untuk kepentingan penyusunan surat dakwaan dan penuntutan. Setelah itu panitera membuat berita acara sidang yang memuat keterangan yang diduga palsu; membubuhkan tanda tangannya dan tanda tangan Hakim; dan menyerahkannya kepada JPU. Adapun penahanan yang diperintahkan untuk dilakukan adalah penahanan untuk kepentingan pendakwaan dan penuntutan, dan tidak dapat dilihat terpisah dengan proses pendakwaan dan penuntutan yang akan dilakukan. Berkaitan dengan ketentuan tersebut, menurut Yahya Harahap, berkembang dua perbedaan pendapat mengenai penerapan ketentuan ini yang berkaitan dengan penyidikan perkara pemberian kesaksian palsu. Pendapat pertama menyatakan proses hukum atas tindakan pemberian kesaksian palsu di hadapan sidang pengadilan tidak memerlukan penyidikan oleh Polri. Dalam hal ini, berita acara sidang yang dibuat oleh Panitera dianggap cukup berlaku sebagai berita acara penyidikan Penuntut Umum, sehingga tidak perlu dilakukan penyidikan terlebih dahulu oleh Polri. Dengan demikian, Penuntut Umum dapat dengan segera melakukan penuntutan atas perkara ini yang dilakukan secara bertahap sebagai berikut. Setelah Penuntut Umum menerima berita acara sidang, penuntut umum segera menyiapkan berkas perkara. Bila Ia berpendapat perlu melengkapi www.pemantauperadilan.com 7
menyempurnakan atau melengkapi pembuktian, dapat dilakukan Penyidikan lebih lanjut sebagai tambahan berita acara sidang. Sebaliknya, bila penuntut umum berpendapat berita acara sidang tersebut telah cukup untuk menyusun Surat Dakwaan, maka tidak perlu dilakukan penyidikan lebih lanjut, dan penuntut umum segera menyusun Surat Dakwaan, dan melimpahkannya ke pengadilan agar segera diproses. Pendapat kedua mengenai penerapan pasal 174 ayat (2) mendasarkan teorinya pada prinsip diffrensiasi fungsional yang telah digariskan oleh KUHAP, dimana menurut KUHAP (pasal 6), yang berhak melakukan penyidikan adalah Pejabat Polri. Kewenangan membuat berita acara perkara sesuai dengan bentuk dan isi yang ditentukan KUHAP adalah pada Penyidik, dalam hal ini adalah Pejabat Polri. Selain itu, berita acara sidang yang dibuat panitera tidak memenuhi syarat kelengkapan sebagaimana ditentukan dalam pasal 75 KUHAP, dimana dalam berita acara sidang tidak dimuat mengenai pemeriksaan tersangka, saksi, maupun surat. Berita acara sidang yang dimaksud pasal 174 ayat (3) hanya memuat keterangan saksi dengan menyebut alasan dugaan kesaksian palsu tersebut. Analis sependapat dengan pendapat terakhir yang menyatakan bahwa penyidikan atas perkara kesaksian palsu dilakukan oleh Penyidik Polri. Hal ini beranjak dari tujuan materiil dari adanya penyidikan yaitu untuk mencari serta mengumpulkan bukti bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana yang dipersangkakan. Dalam hal kesaksian palsu, penyidikan atas dugaan ini dilakukan dengan mencari kenyataan-kenyataan faktual (yang berupa keadaan atau dalam wujud materi) yang bertentangan dengan apa yang dinyatakan saksi palsu di pengadilan, sehingga pernyataannya tersebut dapat dikatakan palsu (karena bertentangan dengan kenyataan yang sebenarnya). Adapun penyidikan atas hal semacam ini merupakan lingkup tugas Penyidik Polri. Selain itu, berdasarkan redaksi pasal 173 ayat (1) dan (2), Hakim memerintahkan penuntut umum untuk menahan dan menuntut saksi yang disangka memberikan kesaksian palsu. Dengan www.pemantauperadilan.com 8
demikian, memang diperlukan adanya penyidikan lebih lanjut untuk memperjelas permasalahan, apakah benar saksi tersebut telah memberikan kesaksian palsu atau tidak. Lebih lanjut, dalam pasal 174 ayat (3) ditegaskan kewajiban Penuntut Umum untuk menindaklanjuti (permasalahan kesaksian palsu) menurut ketentuan KUHAP. Berkaitan dengan ketentuan ini, sudah sewajarnya penerapan pasal 174 ayat (2), terutama mengenai prinsip difrensiasi fungsional serta tugas, wewenang dan fungsi penyidik berkaitan dengan pembuatan berita acara perkara, dilaksanakan menurut ketentuan KUHAP. Dengan demikian, JPU telah melaksanakan penetapan 1409 berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dimana JPU telah menyerahkan para tersangka pemberi kesaksian palsu kepada penyidik Polri, yang dibuktikan dengan surat penyerahan saksi Yohanes dan Yani Timiharja beserta barang bukti berupa berita acara sidang, dan surat penerimaan tersangka beserta barang bukti. Adapun perintah penahanan yang tidak dilakukan oleh JPU (sehingga dipermasalahkan oleh para Pemohon) merupakan tindakan dalam rangka melakukan dakwaan dan penuntutan atas perkara tersebut. Dengan demikian pelaksanaan penahanan tersebut telah diserahkan kepada Pejabat Polri dalam rangka mendapatkan keterangan untuk kepentingan penyidikan. Namun demikian, agar penuntut umum dapat dikatakan telah memenuhi isi penetapan majelis hakim, penuntut umum harus memastikan terselenggaranya penyidikan dan penahanan atas para Tersangka, yang dilakukan dalam rangka mendapatkan bukti-bukti dilakukannya tindak pidana. Dalam penetapan 1409, perintah penahanan selama 30 hari dan perintah penuntutan harus dilihat sebagai satu kesatuan, dimana penahanan diperintahkan untuk dilakukan untuk kepentingan penuntutan. Penahanan tidak mungkin dilakukan oleh alasan lain, misalnya sebagai penghukuman atas diberikannya kesaksian palsu, karena www.pemantauperadilan.com 9
pemberian kesaksian palsu masih merupakan dugaan yang harus dibuktikan kebenarannya melalui mekanisme sidang pengadilan. Adapun dalam penetapan 1409, Hakim memerintahkan Penuntut Umum untuk menahan para pemberi kesaksian palsu dan melakukan penuntutan atas mereka. Berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 6 jo pasal 14 huruf j KUHAP, penuntut umum tanpa prasangka apapun wajib melaksanakan penetapan tersebut. Tindakan melimpahkan para pemberi keterangan palsu kepada penyidik Polri merupakan pelaksanaan perintah penuntutan. Selanjutnya, perlu dilaksanakan perintah kedua yaitu untuk melakukan penahanan selama 30 hari kepada para tersangka. Pelaksanaan penahanan tersebut dapat dilaksanakan oleh penyidik dalam rangka penyidikan (sehingga dengan demikian, JPU telah melaksanakan perintah penahanan) atau bila tidak dilaksanakan oleh penyidik Polri, dapat dilakukan oleh JPU sendiri demi kepentingan penuntutan. Dengan demikian, penuntut Umum telah melaksanakan kedua perintah penetapan. Dalam perkara ini, JPU telah melaksanakan perintah penuntutan, namun belum melaksanakan perintah penahanan. Akan tetapi dalam KUHAP tidak ada ketentuan mengenai batas waktu pelaksanaan ketentuan ini, sehingga penangguhan pelaksanaan penetapan, selama belum lewat batas waktu untuk pelaksanaan (misalnya perkara telah dilimpahkan ke pengadilan) belum dapat dijadikan alasan bahwa Penuntut Umum telah melakukan perbuatan melanggar hukum dengan mengindahkan penetapan Hakim. 2. Masalah Praperadilan Praperadilan merupakan hal yang baru pengaturannya dalam dunia peradilan Indonesia. Eksistensi lembaga praperadilan bukan merupakan suatu lembaga peradilan tersendiri, namun hanya merupakan pemberian wewenang dan fungsi yang dilimpahkan KUHAP kepada setiap Pengadilan Negeri, untuk menilai sah atau www.pemantauperadilan.com 10
tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, dan penghentian penuntutan. Berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 10 KUHAP, praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini tentang: a. sah atau tidaknya penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya, atau pihak lain atas kuasa tersangka; b. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan atas permintaan penyidik/penuntut umum, demi tegaknya hukum dan keadilan; c. permintaan ganti kerugian/rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya, atau pihak lain atas kuasanya, yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. Adapun lingkup kompetensi lembaga praperadilan berdasarkan pasal 77 KUHAP adalah: 1. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, atau penghentian penuntutan 2. Ganti kerugian dan rehabilitasi yang berhubungan dengan penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan (dengan demikian, perkaranya tidak diajukan ke pengadilan) Sidang praperadilan selanjutnya ditetapkan dalam waktu tiga hari setelah diterimanya permintaan. Sidang praperadilan dipimpin oleh seorang hakim tunggal yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Negeri, dengan dibantu oleh seorang panitera. Pemeriksaan sidang praperadilan dilakukan secara cepat; dan selambat-lambatnya dalam waktu 7 hari hakim harus sudah menjatuhkan putusannya. Namun bila suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri, sedangkan pemeriksaan praperadilan belum selesai, maka permintaan praperadilan tersebut gugur. Atas putusan praperadilan tidak dapat dimintakan banding. Namun atas putusan www.pemantauperadilan.com 11
praperadilan mengenai tidak sahnya penghentian penyidikan/penuntutan dapat dimintakan putusan akhir ke Pengadilan Tinggi yang bersangkutan. Dalam kasus, pemohon praperadilan mendalilkan permohonannya atas dasar tidak dilakukannya penetapan Pengadilan Negeri yang memerintahkan Penuntut Umum untuk menahan dan melakukan penuntutan atas dua orang saksi yang diduga telah memberikan kesaksian palsu. Lebih lanjut diuraikan oleh Pemohon, tindakan JPU yang tidak melakukan penuntutan atas kedua saksi tersebut merupakan tindakan penghentian penuntutan. Mengenai perintah penahanan dan penuntutan karena kesaksian palsu masuk yang dalam lingkup pasal 173 (2) KUHAP telah dibahas sebelumnya. Terlepas dari pendapat bahwa Penuntut Umum telah melaksanakan kewajibannya dalam menindaklanjuti perkara kesaksian palsu, berikut akan dibahas dalil-dalil yang dipermasalahkan dalam praperadilan, untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai praperadilan. Mengenai pihak yang dapat mengajukan permohonan praperadilan Dalam KUHAP terutama yang mengatur masalah praperadilan (pasal 79 sampai dengan pasal 83) ditentukan mengenai pihak-pihak yang berhak mengajuakn permohonan praperadilan, yaitu: - Tersangka, keluarganya, atau kuasanya - Penuntut Umum - Penyidik - Pihak ketiga yeng berkepentingan Permohonan praperadilan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri oleh Tersangka, keluarganya, atau kuasanya (atas tidak sahnya penangkapan atau penahanan) atau oleh Penyidik, Penunutut umum, atau pihak ketiga yang berkepentingan (atas penghentian penyidikan atau penuntutan) dengan www.pemantauperadilan.com 12
menyebutkan alasannya. Sedangkan permohonan praperadilan atas ganti rugi dan rehabilitasi diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan. Siapa saja yang termasuk penyidik dan penuntut umum telah diatur secara jelas dalam KUHAP. Namun pengertian pihak ketiga yang berkepentingan tidak secara tegas dijelaskan oleh pembuat UU, sehingga menimbulkan berbagai penafsiran dalam penerapannya. Berdasarkan teori-teori penafsiran UU yang telah dikenal, maka penafsiran atas pihak ketiga yang berkepentingan adalah: - Secara gramatikal Korban dalam perkara pidana yang bersangkutan. Dalam hal dihentikannya penyidikan atau penuntutan suatu perkara, Korban berkepentingan karena kehilangan haknya untuk mendapatkan keadilan. - Secara sistimatikal (penafsiran pasal-pasal dalam hubungannya secara keseluruhan) Dengan melihat pada prinsip keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan umum dalam KUHAP, maka pihak yang berkepentingan secara khusus adalah korban dalam suatu tindak pidana; dan secara umum adalah masyarakat yang dirugikan secara tidak langsung dalam tindak pidana tersebut. - Secara historikal (penafsiran dengan melihat perkembangan terjadinya UU dan lembaga hukum yang diatur didalamnya) Pihak yang berkepentingan adalah korban dalam suatu tindak pidana, atau keluarganya - Secara teologikal (melihat maksud dari pembuat UU/tujuan dibuatnya UU) Berdasarkan mekanisme pengawasan horisontal dan vertikal dalam hukum acara pidana, dan tujuan hukum acara pidana untuk mencapai suatu ketertiban, ketentraman, kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan; maka pihak ketiga yang berkepentingan adalah korban, dan masyarakat umum yang secara tidak langsung dirugikan oleh terjadinya suatu tindak pidana. www.pemantauperadilan.com 13
- Secara ekstensif atau restriktif (dengan memperluas atau mempersempit arti suatu istilah) Secara sempit terbatas pada korban atau orang yang dirugikan secara langsung. Secara luas, tidak hanya terbatas pada saksi korban atau pelapor, melainkan meliputi masyarakat luas yang dapat diwakili oleh LSM. Pada dasarnya pihak ketiga yang berkepentingan meliputi pihak-pihak yang secara langsung maupun tidak menderita kerugian karena dihentikannya penyidikan dan penuntutan, maupun dalam permintaan ganti rugi dan rehabilitasi. Dalam hal ini, analis sepakat dengan pertimbangan Pengadilan Negeri yang menempatkan para Pemohon sebagai pihak ketiga yang berkepentingan, dimana para Pemohon merupakan pihak yang dirugikan bila tindakan pemberian keterangan palsu tersebut tidak diproses, karena pemberian keterangan palsu tersebut menyangkut nama baik para Pemohon. Mengenai bentuk permohonan praperadilan Dalam kasus, para Pemohon mengajukan permohonannya dalam bentuk gugatan, dan menggunakan terminologi penggugat dan tergugat. Atas hal ini, Termohon menyatakan permohonan tersebut tidak dapat diterima karena permohonan praperadilan bukanlah perkara perdata, melainkan perkara pidana. Berkaitan dengan hal ini, dalam KUHAP tidak diatur mengenai bentuk permohonan praperadilan tersebut. KUHAP hanya menyiratkan bahwa praperadilan merupakan suatu upaya hukum dalam lingkup hukum pidana, dimana alasan permohonan praperadilan hanya terjadi dalam lingkup hukum pidana. Adapun lembaga praperadilan ini diadakan dalam rangka menjamin penegakan hukum dan perlindungan HAM dalam proses penyidikan dan penuntutan. Dengan demikian, perbedaan penggunaan terminologi atau hal-hal lain yang tidak esensial dan menyangkut pokok perkara, selama tidak diatur secara tegas, hendaknya tidak www.pemantauperadilan.com 14
dipermasalahkan lebih jauh sehingga tidak mengganggu tujuan mulia dari lembaga praperadilan itu sendiri. Mengenai lingkup perkara praperadilan Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, KUHAP telah mengatur secara jelas mengenai apa saja yang termasuk dalam lingkup pengajuan perkara praperadilan dalam pasal 77. Pelaksanaan penetapan pengadilan, berdasarkan pasal 13 KUHAP memang masuk dalam lingkup tugas Penuntut Umum, namun kealpaan pelaksanaan penetapan yang dilakukan oleh penuntut umum tidak masuk dalam lingkup praperadilan. Dalam putusannya atas perkara praperadilan, Hakim praperadilan menerima permohonan praperadilan berdasarkan pertimbangan bahwa Penuntut Umum telah tidak melakukan tindakan penyidikan/penuntutan, dalam hal ini penyidikan/penuntutan yang lahir berdasarkan penetapan hakim. Selain itu, dalam pertimbangan lain dinyatakan bahwa kesalahan lain dari Penuntut Umum adalah tidak segera melaksanakan penetapan 1409, dimana pelimpahan para tersangka ke Penyidik Polri baru dilakukan setelah diajukannya permohonan praperadilan. Baik dalam KUHAP maupun UU Kejaksaan, merupakan tugas dari Penuntut Umum untuk melakukan penuntutan, terlebih dalam hal yang telah jelas mengenai tindak pidana yang dilakukan, sebagaimana dalam kasus ini. Namun demikian, tidak ada sanksi yang secara tegas dapat dikenakan atas kelalaian penangguhan penuntutan atas tersangka/terdakwa. Peraturan yang berlaku hanya mengharuskan Penuntut Umum untuk secepatnya melakukan penuntutan dalam hal ia telah menentukan bahwa berkas perkara telah lengkap/cukup digunakan sebagai dasar untuk melakukan penuntutan. Batas waktu yang secara tegas dicantumkan adalah dalam hal Penuntut Umum menerima hasil penyidikan dari penyidik, maka dalam jangka waktu 7 hari harus diberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan tersebut telah mencukupi untuk dilakukan penuntutan atau tidak. Bila tidak, www.pemantauperadilan.com 15
diberikan jangka waktu 14 hari bagi penyidik untuk melengkapinya; dan setelah lengkap secepatnya dilakukan pendakwaan. Namun tidak diatur mengenai akibat hukum dari ketidaktepatan penggunaan jangka waktu yang telah ditetapkan. Atas hal tersebut, mungkin dapat/telah diadakan ketentuan teknis mengenai akibat hukum dari ketidaktepatan penggunaan jangka waktu dalam pendakwaan dan penuntutan. Namun demikian, hal tersebut tetaplah bukan merupakan lingkup dari praperadilan. Lingkup praperadilan yang telah secara tegas ditetapkan dalam pasal 77 hanya mengatur masalah penghentian penuntutan sebagai lingkup daripada praperadilan. Adapun yang dimaksud dengan penghentian penuntutan adalah dalam hal telah dilakukannya suatu proses penanganan perkara (penyidikan), namun tidak dilakukan penuntutan atas perkara tersebut. Dalam perkara ini, proses penuntutan bukannya dihentikan, namun ditangguhkan karena menunggu selesainya proses penyidikan, sehingga penanganan perkara dilaksanakan menurut prosedur yang berlaku. Dengan penyerahan para Tersangka kepada Penyidik Polri, maka proses penyidikan dapat dianggap telah dilakukan. Dengan demikian, tindakan Penuntut Umum yang dalam hal ini tidak langsung melakukan penuntutan tidak dapat dianggap sebagai penghentian penuntutan sebagaimana dimaksud dalam pasal 77 KUHAP, karena penuntutan bukannya dihentikan, namun belum dilaksanakan karena menunggu hasil penyidikan. Tindakan ini dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku mengenai proses penanganan perkara, dan tidak pula bertentangan dengan ketentuan mengenai jangka waktu dilakukannya penuntutan tersebut. Mengenai gugurnya perkara praperadilan Dalam pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP dinyatakan bahwa permintaan praperadilan gugur bila perkara (yang dipraperadilankan) sudah mulai diperiksa oleh Pengadilan Negeri, sedangkan pemeriksaan permintaan praperadilan tersebut belum selesai. Dengan demikan ada dua persyaratan gugurnya pemeriksaan praperadilan, www.pemantauperadilan.com 16
yaitu perkara telah diperiksa PN dan pemeriksaan praperadilannya belum selesai. Tujuan dari gugurnya putusan praperadilan adalah untuk menghindari terjadinya penjatuhan putusan yang berbeda, sehingga mengakibatkan kekacauan. Kesimpulan Analisa Secara materiil, putusan Pengadilan Negeri mengenai perkara praperadilan ini kurang tepat, karena perbuatan Termohon tidak masuk dalam lingkup perkara Praperadilan berdasarkan pasal 77 KUHAP. Termohon pada dasarnya telah melaksanakan penetapan Pengadilan Negeri mengenai perintah penuntutan atas pemberi kesaksian palsu dengan melimpahkan para tersangka kepada penyidik Polri. Tindakan ini adalah selaras dengan ketentuan KUHAP mengenai prosedur penanganan perkara yang mengharuskan perkara terlebih dahulu disidik oleh penyidik, sebelum dilakukan pendakwaan dan penuntutan. Atas perintah penahanan sebagaimana dituangkan dalam Penetapan PN yang belum dilaksanakan, kealpaan pelaksanaan Penetapan ini bukan merupakan lingkup praperadilan, sehingga tidak tepat bila diajukan praperadilan atas permasalahan ini. Lingkup praperadilan hanya mengenai tidak sahnya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, penghentian penuntutan, ganti rugi dan rehabilitasi sebagai akibat dari tidak sahnya penangkapan atau penahanan. Apakah lembaga praperadilan dalam kasus ini telah mencapai tujuannya? Ada dua pendapat yang melihat ruang lingkup praperadilan secara berbeda. Menurut aliran Legalis formil, ruang lingkup praperadilan adalah sebagaimana yang ditetapkan dalam undang-undang. Sehingga untuk hal-hal diluar pasal 77 KUHAP tidak dapat diajukan praperadilan. Sedangkan menurut pandangan sosiologis, praperadilan dapat diajukan sepanjang untuk melaksanakan fungsi pengawasan horizontal diantara institusi peradilan. Lembaga praperadilan semula diajukan dengan tujuan untuk melaksanakan pengawasan horizontal antara institusi peradilan dengan memberikan kewenangan kepada pengadilan untuk menilai kinerja institusi www.pemantauperadilan.com 17
peradilan seperti kejaksaan dan kepolisian. Dalam hal alasan permohonan praperadilan tidak termasuk ruang lingkup dari praperadilan, sebagaimana diatur dalam pasal 77 KUHAP, maka upaya perlindungan hak asasi kepada pemohon akan mendapat hambatan. Sehingga untuk mencapai tujuan praperadilan ini hakim harus diberikan keleluasaan untuk menilai lingkup praperadilan, hal ini sejalan dengan pandangan sosiologis terhadap praperadilan tadi. Dengan demikian alasan permohonan praperadilan dalam kasus ini dapat diterima dengan didasarkan pada pandangan sosiologis. Berkaitan dengan hal ini, menurut kami, pelaksanaan lembaga praperadilan di Indonesia masih memerlukan pengaturan-pengaturan yang lebih jauh untuk terciptanya kepastian hukum. www.pemantauperadilan.com 18