JANUSITAS IMPLIKASI SOSIAL REFORMASI

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. kalah banyak. Keberagaman agama tersebut pada satu sisi menjadi modal

PERAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DALAM MENGATASI GERAKAN RADIKALISME. Oleh: Didik Siswanto, M.Pd 1

BAB I PENDAHULUAN. dan Satu Pemerintahan (Depag RI, 1980 :5). agama. Dalam skripsi ini akan membahas tentang kerukunan antar umat

Sambutan Presiden RI pada Perayaan Tahun Baru Imlek 2563 Nasional, Jakarta, 3 Februari 2012 Jumat, 03 Pebruari 2012

Paham Nasionalisme atau Paham Kebangsaan

KESEPAKATAN PEMUKA AGAMA INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. umum dikenal dengan masyarakat yang multikultural. Ini merupakan salah satu

PENDIDIKAN KEWARAGANEGARAAN IDENTITAS NASIONAL

I. PENDAHULUAN. tersebut terkadang menimbulkan konflik yang dapat merugikan masyarakat itu. berbeda atau bertentangan maka akan terjadi konflik.

BAB I PENDAHULUAN. masing-masing untuk melaksanakan kewajiban agamanya.

BAB V PENUTUP. mempertahankan identitas dan tatanan masyarakat yang telah mapan sejak lama.

Pemahaman Multikulturalisme untuk Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan pendidikan nasional dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003

LEONARD PITJUMARFOR, 2015 PELATIHAN PEMUDA PELOPOR DALAM MENINGKATKAN WAWASAN KESANAN PEMUDA DI DAERAH RAWAN KONFLIK

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia tergambar dalam berbagai keragaman suku, budaya, adat-istiadat, bahasa

KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Sehingga tidak memicu terjadinya konflik sosial didalam masyarakat.

BAB IV KESIMPULAN. dipenuhi dengan budaya-budaya yang beragam di mana mengakui keberagaman,

Profil Lulusan, Capaian Belajar, dan Bahan Kajian

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

REVITALISASI PERAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DALAM MENEGAKKAN NILAI-NILAI BHINNEKA TUNGGAL IKA. Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

BAHAN TAYANG MODUL 11 SEMESTER GASAL TAHUN AKADEMIK 2016/2017 RANI PURWANTI KEMALASARI SH.MH.

NILAI-NILAI SIKAP TOLERAN YANG TERKANDUNG DALAM BUKU TEMATIK KELAS 1 SD Eka Wahyu Hidayati

TUGAS AGAMA KLIPING KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA, ANTAR SUKU, RAS DAN BUDAYA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. keseharian. Batas-batas teritorial sebuah negara seakan-akan tidak ada lagi. Setiap

BAB II PERSPEKTIF PENDIDIKAN POLITIK

CITA-CITA NEGARA PANCASILA

BAB V KESIMPULAN. serba terbatas, dengan konsep pemisahan ruang antara napi laki-laki dengan napi

BAB I PENDAHULUAN. sebagai anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa. Hak asasi manusia meliputi: Hak untuk

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Niar Riska Agustriani, 2014 Peranan komisi nasional hak asasi manusia Tahun

Sambutan Presiden RI pada Perayaan Hari Raya Nyepi tahun Baru Saka 1935, Jakarta, 7 April 2013 Minggu, 07 April 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia hidup juga berbeda. Kemajemukan suku bangsa yang berjumlah. 300 suku hidup di wilayah Indonesia membawa konsekuensi pada

BAB VII KESIMPULAN. dan berkembang di Kota Singkawang merupakan suatu fakta sosiologis yang tak

MANUSIA dan AGAMA DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI. Pertemuan III FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2014

Muhammad Ismail Yusanto, Jubir HTI

LAPORAN PENGAMATAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

BAB I PENDAHULUAN. siapapun, baik dalam masyarakat modern maupun dalam masyarakat. bagi seluih umat manusia di dunia.agama menjadi sumber motivasi dan

BAB V KESIMPULAN. Bab ini berisi kesimpulan akhir dari penulisan skripsi ini. Kesimpulan ini

KOMPARASI PENDEKATAN ETNIS DAN AGAMA PERPEKTIF CLEM McCARTNEY 1 DENGAN PERSPEKTIF FRANZ MAGNIS SUSENO. Oleh : Any Rizky Setya P.

Definisi tersebut dapat di perluas di tingkat nasional dan atau regional.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Indonesia merupakan negara yang masyarakatnya beragam (plural). Suatu

PENDIDIKAN PANCASILA. Pancasila Sebagai Ideologi Negara. Modul ke: 05Fakultas EKONOMI. Program Studi Manajemen S1

PLEASE BE PATIENT!!!

BAB V KESIMPULAN, SARAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Bab VI: Kesimpulan dan Rekomendasi

I. PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia merupakan suatu bangsa yang majemuk, yang terdiri dari

BAB 31 PENINGKATAN KUALITAS KEHIDUPAN BERAGAMA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagai sebuah negara yang masyarakatnya majemuk, Indonesia terdiri

APATISME PEMBICARAAN NEGARA ISLAM 1

54. Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial untuk Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa Tunadaksa (SMPLB D) A. Latar Belakang Ilmu Pengetahuan Sosial

55. Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial untuk Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa Tunalaras (SMPLB E) A. Latar Belakang Ilmu Pengetahuan Sosial

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan sesuatu yang sangat penting bagi pembentukan karakter

KISI-KISI MATERI PLPG MATA PELAJARAN PPKn

BAB I PENDAHULUAN. memiliki sosiokultural yang beragam dan geografis yang luas. Berikut adalah

BAB I PENDAHULUAN. unsur kekuatan daya saing bangsa, sumber daya manusia bahkan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menampilkan sikap saling menghargai terhadap kemajemukan masyarakat

Plenary Session III : State and Religion-Learning from Best Practices of each Country in Building the Trust and Cooperation among Religions

BAB I PENDAHULUAN. sudah ada sejak dahulu, namun jenis dan karakternya selalu berubah.

BAB I PENDAHULUAN. hal budaya maupun dalam sistem kepercayaan. Hal ini dibuktikan dengan

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

BAB I PENDAHULUAN. budaya. Pada dasarnya keragaman budaya baik dari segi etnis, agama,

Raffles City Hotel 5-7 September 2013

52. Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial untuk Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa Tunanetra (SMPLB A) A. Latar Belakang Ilmu Pengetahuan Sosial

PENDIDIKAN PANCASILA. Pendahuluan. Ramdhan Muhaimin, M.Soc.Sc. Teknik Sipil. Modul ke: Fakultas. Program Studi.

BAB I PENDAHULUAN. Sejak beribu-ribu tahun yang lalu hingga sekarang ini, baik yang dicatat dalam

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

mengakibatkan potensi ancaman dan esklasi konflik. Eskalasi konflik di kawasan mulai terlihat dari persaingan anggaran belanja militer Cina, Korea

TEORI KONFLIK DAN INTEGRASI SOSIAL

BUPATI SEMARANG SAMBUTAN PELAKSANA HARIAN BUPATI SEMARANG PADA ACARA SOSIALIASASI 4 PILAR KEBANGSAAN BAGI HAMONG PROJO KABUPATEN SEMARANG

BAB IV ANALISIS PERAN ORGANISASI PEMUDA DALAM MEMBINA KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA

BAB 1 PENINGKATAN RASA SALING PERCAYA DAN HARMONISASI ANTARKELOMPOK MASYARAKAT

ISLAM DAN KEBANGSAAN. Jajat Burhanudin. Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM)

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PENGEMBANGAN ETIKA DAN MORAL BANGSA. Dr. H. Marzuki Alie KETUA DPR-RI

BAB I PENDAHULUAN. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika secara de facto mencerminkan multi budaya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PARTAI POLITIK DAN KEBANGSAAN INDONESIA. Dr. H. Kadri, M.Si

Kewarganegaraan. Pengembangan dan Pemeliharaan sikap dan nilai-nilai kewarganegaraan. Uly Amrina ST, MM. Kode : Semester 1 2 SKS.

BAB I PENDAHULUAN. dirasakan dan dialami serta disadari oleh manusia dan masyarakat Indonesia.

Oleh: DEPUTI VI/KESBANG KEMENKO POLHUKAM RAKORNAS FKUB PROVINSI DAN KAB/KOTA SE INDONESIA

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. secara etimologi berarti keberagaman budaya. Bangsa Indonesia sebagai

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR ( SOP ) PENANGANAN KONFLIK SOSIAL

HAKIKAT PEMBELAJARAN IPS.

BAB IV TINJAUAN KRITIS DARI PERSPEKTIF PEDAGOGI PEMBEBASAN PAULO FREIRE TERHADAP MODEL PENYULUHAN AGAMA KRISTEN

BAB VI PENUTUP. visi bersama mahasiswa yang menjadi cita-cita atau arah perubahan yang hendak

GEREJA HKBP DI SEMARANG

BAB I PENDAHULUAN. memiliki perbedaan. Tak ada dua individu yang memiliki kesamaan secara

BAB IV PENUTUP. UU Migas adalah UU yang lahir disebabkan, karena desakan internasional dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaan merupakan cabang ilmu. cita cita bangsa. Salah satu pelajaran penting yang terkandung dalam

BAB I PENDAHULUAN. yang lebih dikenal dengan multikultural yang terdiri dari keragaman ataupun

BAB I PENDAHULUAN. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

BAB VII REFLEKSI DAN KESIMPULAN

Menakar Arah Kebijakan Pemerintah RI Dalam Melindungi Hak Asasi WNI di Luar Negeri

Aji Wicaksono S.H., M.Hum. Modul ke: Fakultas DESAIN SENI KREATIF. Program Studi DESAIN PRODUK

BAB 2 PENINGKATAN RASA PERCAYA DAN HARMONISASI ANTARKELOMPOK MASYARAKAT

Teori Sosial. (Apa Kontribusinya Terhadap Pemahaman Olahraga di Masyarakat)

Transkripsi:

PENGANTAR Kekacauan dan Keteraturan Sosial Atas Keberagaman Beragama Indonesia terus mengalami gelombang konflik nilai, dalam hal ini yang menjadi fokus penulis adalah konflik nilai keberagaman beragama. Konflik nilai pada dasarnya terjadi karena adanya perbedaan dalam menafsirkan nilai itu sendiri. Perbedaan di sini diakibatkan karena kurangnya komunikasi antar umat beragama, serta kedewasaan pengetahuan dalam menyikapi perbedaan itu sendiri. Kurangnya komunikasi ini, berhubungan dengan minimnya ruang interaksi sosial masyarakat. Pertanyaannya, apakah bangsa ini tidak pernah belajar dari sejarah masa lalu? Konflik Ambon, Poso, Sampit, Kupang, Situbondo dan tentunya masih banyak kisah-kisah kelam terkait dengan masalah ini, yang dapat menjadi sebuah refleksi konstruksi filosofi keadaban beragama ini. Bukankah refleksi sejarah setidaknya dapat menjadi awal dari proses kesadaran beragama ini. Atau bangsa ini sedang mengalami amnesia sejarah? JANUSITAS IMPLIKASI SOSIAL REFORMASI Setelah berakhirnya musim kemarau kebebasan pada tahun 1998, bangsa ini seperti mendapatkan anugerah berupa hujan kebebasan. Di tengah dahaga kebebasan yang berkepanjangan, akhirnya bangsa ini dapat menikmati apa yang dinamakan kebebasan hak asasi. Bahkan demi melegitimasi proses pengaliran kebebasan, negara menjaminnya dalam konstitusi UUD 1945 yang di amandemen antara lain sebagaimana yang termaktub dalam pasal 28. Seiring perjalanan era reformasi yang ditandai dengan kebebasan hak asasi. Ternyata implikasi era reformasi ini bersifat I

janusitas. Janusitas implikasi berupa implikasi positif dan negatif. Implikasi positif di era reformasi ini ditandai dengan kebebasan dalam menyampaikan segala bentuk aspirasi, baik itu bersifat individu maupun kolektif. Berdasarkan fakta sosial, implikasi positif dari proses ini melahirkan kesadaran kolektif sebagai modal sosial dalam memperkuat posisi masyarakat sebagai kontrol sosial negara dan penguasa. Sedangkan implikasi negatif, yaitu terjadinya apa yang disebut oleh Aguste Comte sebagai kekacauan sosial. Kekacauan sosial ini disebabkan karena pemaknaan terhadap kondisi sosial yang terlalu sempit dan berlebihan. Kondisi sosial yang dimaksud adalah kebebasan masyarakat itu sendiri. Karena pemaknaan yang terlalu sempit dan berlebihan serta lemahnya peran institusi sosial sebagai agen pendidikan masyarakat, jelas ini akan memperburuk kekacauan sosial yang direproduksi oleh masyarakat itu sendiri. Wujud konkret dari implikasi positif yang terakomodasi dengan baik, jelas akan memperkuat rasa solidaritas masyarakat. Sebaliknya jika tidak terakomodasi dengan baik, maka yang ada akan melahirkan disorganisasi sosial. Lalu bagaimanakah kontekstualisasi janusitas implikasi ini terhadap keberagaman beragama di Indonesia kekinian? TAFSIR SOSIOLOGIS ATAS KEBERAGAMAN BERAGAMA Sosiolog Durkheim dalam bukunya The Elementary Forms of Religious Life menyatakan, bahwa agama merupakan sistem simbol yang ada di masyarakat. Di mana dari sistem ini menjadi dasar mengapa masyarakat memiliki kepercayaan agama, dan untuk itu setiap masyarakat memiliki kepercayaan agama yang berbeda satu sama lain. Secara asasi, kepercayaan terhadap suatu agama merupakan hal yang prinsipiil bagi manusia itu sendiri. Bicara mengenai suatu yang prinsipiil, jelas dalam tatanan struktur sosial manusia memiliki apa yang dinamakan hak asasi beragama. Untuk itu, hak asasi beragama atau kebebasan beragama jelas tidak sama dengan kebebasan berpikir atau bertindak. Kebebasan II

beragama merupakan suatu bentuk prinsipiil spiritualitas individu terhadap agama yang diyakininya berdasarkan agama yang diakui oleh negara. Di mana agama yang diakui di Indonesia sebagaimana yang termaktub dalam UU nomor 1/PNPS tahun 1965 pasal 1, yaitu, Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Lebih lanjut, kebebasan beragama ini pun dijamin oleh negara secara konstitusi pada UUD 1945 pasal 29. Agama sendiri pada dasarnya menjadi sebuah fondasi yang menciptakan kedamaian dan harmonisasi hidup setiap manusia, baik itu secara individu maupun dasar interaksi sosialnya dengan masyarakat umum. Akan tetapi secara das sollen, makna esensi dari agama itu justru jauh dari apa yang diharapkan. Di mana pada kehidupan keberagaman agama ini justru menjadi unsur konflik nilai di masyarakat. Tidak hanya didasari karena sikap bahwa agamanyalah yang paling benar, tetapi keadilan sosial, ekonomi dan politik turut menjadi pemicu konflik agama dewasa ini. Secara sosiologis, konflik keberagaman beragama ini terjadi akibat kurangnya ruang interaksi-komunikasi, yang akhirnya berdampak terjadinya prasangka sosial antar umat beragama. Sikap prasangka ini menimbulkan rasa saling curiga satu sama lain, tidak hanya curiga dengan umat agama lain tetapi dengan umat agama yang sama pun saling berprasangka. Akibat adanya prasangka ini, maka krisis keberagaman beragama pun semakin menjadi ancaman yang nyata dalam terciptanya konflik nilai. Sebab konflik sendiri merupakan suatu sistem yang tidak stabil dari setiap kelompok atau individu-individu yang saling bertentangan. Ketidakstabilan sistem ini merupakan rangkaian dari akumulasi prasangka yang tidak terakomodasi dengan baik di lingkungan masyarakat itu sendiri dalam hal ini lemahnya peran lembaga atau organisasi keagamaan untuk menciptakan manusia yang bermakna dan humanis berdasarkan esensi ajaran agama itu sendiri. Ketidakstabilan sistem yang terus tidak terkendali ini, kelak akan menciptakan kondisi masyarakat yang semakin tidak terkendali, sebab pada dasarnya setiap manusia memuaskan egoismenya sendiri. Untuk itulah peran negara dan lembaga atau organisasi keagamaan di sini sangat berperan dalam meminimalisir III

ketidakstabilan sistem ini. Di sini peran negara tidak hanya sebagai fasilitator, tetapi juga sebagai mediator dalam menciptakan kerukunan beragama di Indonesia. Selain itu, peran lembaga atau organisasi keagamaan pun turut memberikan kecerdasan pemahaman bagi setiap umatnya akan adanya sikap saling menghargai dan menghormati antar umat beragama, bukan justru menjadi agen sosial provokasiprasangka yang memicu konflik beragama itu sendiri. Hubungan kehidupan antar umat beragama di era kebebasan ini begitu banyak melahirkan berbagai wacana sosial yang hidden controversy. Hal ini terjadi akibat adanya ketegangan yang dipicu dari ketidakadilan akumulasi harapan masyarakat terhadap sistem sosial yang ada. Dan parahnya, kondisi ketegangan ini didramaturgikan oleh oknum-oknum intelektual tertentu sebagai sutradara konflik demi suatu tujuan tertentu yang sifatnya politis. IV STIMULUS KETEGANGAN Ketegangan sosial dalam kehidupan antar umat beragama secara sistem dipengaruhi oleh kondisi sistem global dan sistem lokal di masyarakat itu sendiri. Secara global, sistem ketegangan sosial ini terjadi akibat stimulus definisi sosial atas suatu peristiwa konflik keagamaan yang berkembang di suatu negara lain. Konflik agama yang terjadi di negara lain secara psikologi sosial tentu berefek terhadap stimulus reaksi masyarakat di tataran lokal (baca: dalam negeri). Misalnya saja pada tahun 2010 lalu, isu pembakaran Al-Qur an oleh Pendeta Terry Jones di Amerika Serikat, yang memicu reaksi umat Islam dunia terhadap pemerintahan Barack Obama, dan mungkin saja memicu kebencian terhadap agama lain yang sifatnya hidden conflict atau laten conflict. Lalu untuk sistem lokal, ketegangan biasanya dipicu melalui perantara sosial yang sifatnya destruktif. Perantara ini memanfaatkan situasi sosiologis psikologis masyarakat yang sedang tidak stabil. Bentuk destruktif ini berupa agitasi atau rekayasa sosial yang memancing reaksi irasional masyarakat. Reaksi irasional ini didahului dengan sikap pemikiran prasangka

negatif, dan kemudian terus dipompa secara agitasi yang berujung terhadap tindakan fisik anarkis. Oleh karena itu, kondisi ketegangan ini perlu kiranya mendapatkan karantina komunikatif yang sifatnya dialogis dalam suatu wadah. Di mana krisis ketegangan antar umat beragama justru bukan terpusat pada kaum elite agama tetapi ada dalam struktur sosial akar rumput masyarakat, yang kemudian didramatisir oleh oknum intelektual. INTEGRATED COMMUNITY SPACE Sebagaimana yang telah dijelaskan, bahwa justru ketegangan yang besar ada dalam akar rumput masyarakat dan ditambah lagi tidak adanya ruang akomodasi interaksi masyarakat. Maka diperlukah sebuah ruang mediasi yang mampu meminimalisasi serta memanajemen permasalahan di akar rumput ini. Dalam hal ini meminimalisasi konflik nilai atas keberagaman beragama. Berangkat dari masalah dasar atas terjadinya berbagai masalah konflik nilai agama, yaitu kurangnya interaksi sosial antar umat beragama dalam tataran akar rumput. Untuk itu berdasarkan analisis fakta dan definisi sosial, kiranya diperlukan sebuah alternatif rutinitas ruang interaksi yang ada di setiap lingkungan kecil akar rumput masyarakat, baik itu di lingkungan Rukun Tangga (RT), Rukun Warga (RW) sampai tingkat Kelurahan. Dengan kata lain, pendekatan yang dilakukan dalam mewujudkan kerukunan umat beragama bersifat bottom-up di akar rumput. Ruang interaksi itu adalah integrated community space. Integrated community space secara filosofis merupakan ruang atau tempat terpadu yang digunakan oleh masyarakat sebagai ruang untuk melakukan kegiatan kemasyarakatan yang sifatnya interaksi. Sehingga diharapkan term Bhinneka Tunggal Ika dapat terinternalisasi menjadi identitas bangsa dari proses kegiatan masyarakat yang sifatnya pembudayaan. Identitas bangsa bukanlah suatu yang dilahirkan tetapi melalui proses pembudayaan. Adapun bentuk kegiatan integrated community space ini antara lain berupa: kegiatan diskusi terhadap permasalahan lokal di V

masyarakat, baik yang bersifat fisik dan nonfisik seperti diskusi pembagian jadwal siskamling atau kerja bakti membersikan lingkungan; kegiatan pendidikan lingkungan dan kebudayaan bagi masyarakat guna mewujudkan masyarakat beradab dan kritis; pelatihan keterampilan kepada masyarakat guna mewujudkan kemandirian masyarakat; kegiatan arisan atau tabungan masyarakat. Kegiatan yang telah disebutkan di atas, hanyalah beberapa contoh dan tentunya kegiatan di integrated community space ini masih banyak lagi yang dapat dilakukan oleh masyarakat. Sebab masyarakat merupakan aktor yang kreatif dari realitas sosialnya. Yang jelas, dengan adanya ruang rutinitas alternatif ini dapat meningkatkan interaksi masyarakat yang sifatnya kekeluargaan dan komunikatif. Dari proses interaksi sosial yang terintegrasi dalam sistem kehidupan sosial di masyarakat ini tentu dapat meningkatkan rasa solidaritas antar masyarakat walaupun berbeda-beda, baik secara suku, golongan maupun agama. Sehingga lingkungan masyarakat yang heterogen ini tidak mudah terprovokasi oleh isu-isu yang sifatnya keberagaman. Untuk mewujudkan keteraturan sosial di masyarakat ini, selain peran aktif masyarakat itu sendiri. Peran pemerintah, aktivis LSM, tokoh-tokoh masyarakat, organisasi masyarakat dan sivitas akademika kampus juga perlu terlibat dalam mewujudkan keteraturan sosial ini, entah itu menjadi mediator, fasilitator, penyuluh atau trainer dalam kegiatan pelatihan keterampilan untuk masyarakat yang dilakukan di integrated community space ini. Melalui pendekatan bottom-up, diharapkan dapat meminimalisasi segala permasalahan atau ketegangan yang terjadi di masyarakat dengan cara dialogis dan beradab tentunya. Semoga bangsa ini selalu belajar dari masa lalu dan lebih arif dalam menyikapi keberagaman yang ada sebagai bangsa yang memiliki karakter budaya santun. Syaifudin Dosen Program Studi Pendidikan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Jakarta VI