Pengalaman dan Perjuangan Perempuan Minoritas Agama Menghadapi Kekerasan dan Diskriminasi Atas Nama Agama

dokumen-dokumen yang mirip
Memutus Rantai Pelanggaran Kebebasan Beragama Oleh Zainal Abidin

Hadirkan! Kebijakan Perlindungan Korban Kekerasan Seksual. Pertemuan Nasional Masyarakat Sipil Untuk SDGs Infid November 2017

DEKLARASI TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN. Diproklamasikan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dian Kurnia Putri, 2014

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.. TAHUN. TENTANG PERLINDUNGAN UMAT BERAGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di

Lampiran Usulan Masukan Terhadap Rancangan Undang-Undang Bantuan Hukum

Jakarta, 3 Maret Disampaikan kepada Presiden Republik Indonesia Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO,

- Secara psikologis sang istri mempunyai ikatan bathin yang sudah diputuskan dengan terjadinya suatu perkawinan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB I PENDAHULUAN. yang bersifat material atau sosiologi, dan/atau juga unsur-unsur yang bersifat. Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Konghuchu.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

POLRI KONSITITUSI DAN KEBEBASAN BERAGAMA, BERKEYAKINAN DAN BERIBADAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Perkawinan Anak dan Kekerasan terhadap Perempuan di Indonesia

ANGGARAN DASAR KOMNAS PEREMPUAN PENGESAHAN: 11 FEBRUARI 2014

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK

PENGELOLAAN KERAGAMAN AGAMA DI INDONESIA DAN PERAN FKUB

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2003 TENTANG PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 19/PUU-VI/2008

BAB I PENDAHULUAN. pada era reformasi adalah diangkatnya masalah kekerasan dalam rumah tangga

MENCEGAH DISKRIMINASI DALAM PERATURAN DAERAH

Bentuk Kekerasan Seksual

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Mewujudkan Payung Hukum Penghapusan Diskriminasi Gender di Indonesia Prinsip-Prinsip Usulan Terhadap RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Kekerasan adalah perbuatan yang dapat berupa fisik maupun non fisik,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kekerasan secara umum sering diartikan dengan pemukulan,

Kekerasan Seksual. Sebuah Pengenalan. Bentuk

LEGAL OPINI: PROBLEM HUKUM DALAM SK NO: 188/94/KPTS/013/2011 TENTANG LARANGAN AKTIVITAS JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA (JAI) DI JAWA TIMUR

PEREMPUAN DAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Oleh: Chandra Dewi Puspitasari

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 74 TAHUN 2014 TENTANG

KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

Walikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat

PERSPEKTIF GENDER DALAM UNDANG-UNDANG KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Oleh: Wahyu Ernaningsih

LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 75 TAHUN 2015 TANGGAL 22 JUNI 2015 RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA TAHUN BAB I

KESEPAKATAN PEMUKA AGAMA INDONESIA

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH

Muchamad Ali Safa at INSTRUMEN NASIONAL HAK ASASI MANUSIA

1 LATAR 3 TEMUAN 7 KETIDAKMAMPUAN

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 56/PUU-XV/2017 Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Aliran Kepercayaan Terlarang

KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI AGAMA, JAKSA AGUNG, DAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN DAERAH NOMOR 2 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 2 TAHUN TENTANG

2017, No kewajiban negara untuk memastikan bahwa perempuan memiliki akses terhadap keadilan dan bebas dari diskriminasi dalam sistem peradilan

WALIKOTA BANJAR PERATURAN WALIKOTA BANJAR NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA DI KOTA BANJAR

BAB III KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PRESPEKTIF HUKUM POSITIF (UNDANG-UNDANG R.I NOMOR 23 TAHUN 2004)

Wajib Lapor Tindak KDRT 1

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 122 TAHUN 2015 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Indonesia merupakan negara hukum yang menyadari, mengakui, dan

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

- 9 - No. Permasalahan Tujuan Tantangan Indikator Keberhasilan Fokus

: Replik Penggugat dalam Perkara Perdata Nomor 168/ Pdt. G/ 2013/ PN.Jkt.Pst [REPLIK ATAS EKSEPSI DAN JAWABAN PERTAMA TERGUGAT I]

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONFLIK SOSIAL

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 12 TAHUN 2011 TENTANG LARANGAN KEGIATAN JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA DI JAWA BARAT

KODE ETIK ANGGOTA KOMISI PARIPURNA DAN ANGGOTA BADAN PEKERJA KOMISI NASIONAL ANTI KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

PANDUAN PELAKSANAAN HARI ANAK NASIONAL TAHUN 2017

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Perlindungan Anak

Pesan Ibu Nusantara Bagi Arah Kebangsaan Indonesia: Akui dan Penuhi Hak-hak Konstitusional Pemeluk Agama Leluhur dan Penghayat Kepercayaan

INDEKS KINERJA PENEGAKAN HAM 2011

"Perlindungan Saksi Dalam Perspektif Perempuan: Beberapa Catatan Kritis Terhadap RUU Perlindungan Saksi usul inistiatif DPR"

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH

MATRIKS 2.3 RENCANA TINDAK PEMBANGUNAN K/L TAHUN 2011

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

RESUME PARAMETER KESETARAAN GENDER DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

BAB V PENUTUP. merumuskannya dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat 2 negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2002 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Bahan Diskusi Sessi Kedua Implementasi Konvensi Hak Sipil Politik dalam Hukum Nasional

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG

Perihal : Replik Penggugat dalam Perkara Perdata Nomor 168/ Pdt. G/ 2013/ PN.Jkt.Pst [REPLIK ATAS EKSEPSI DAN JAWABAN PERTAMA TERGUGAT I]

RINGKASAN PUTUSAN.

BUPATI BANGKA SELATAN PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

PANDUAN PELAKSANAAN HARI ANAK NASIONAL TAHUN 2017

Mengenal Konvensi PBB 1990 tentang Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa. Tujuan

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

BUPATI BANGKA TENGAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon

2008, No.2 2 d. bahwa Partai Politik merupakan sarana partisipasi politik masyarakat dalam mengembangkan kehidupan demokrasi untuk menjunjung tinggi k

BUPATI POLEWALI MANDAR

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

BAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup Bangsa Indonesia. Penjelasan umum Undang-undang Nomor

NOMOR 31 TAHUN 2002 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. kaum perempuan yang dipelopori oleh RA Kartini. Dengan penekanan pada faktor

Pengalaman dan Perjuangan Perempuan Minoritas Agama Menghadapi Kekerasan dan Diskriminasi Atas Nama Agama

PEMERINTAH KABUPATEN MADIUN

Ancaman Kebebasan Beragama Ahmadiyah Achmad Fanani Rosyidi

Lembar Klarifikasi Kebijakan Daerah Untuk Pemenuhan Hak Konstitusional Perempuan (Masukan Komnas Perempuan)

Transkripsi:

Laporan Pelapor Khusus Komnas Perempuan Tentang Kekerasan dan Diskriminasi terhadap Perempuan dalam Konteks Pelanggaran Hak Konstitusional Kebebasan Beragama Pengalaman dan Perjuangan Perempuan Minoritas Agama Menghadapi Kekerasan dan Diskriminasi Atas Nama Agama Jakarta, 22 Desember 2014

Ringkasan Ekskutif Laporan ini disusun oleh Pelapor Khusus Komnas Perempuan tentang Kekerasan dan Diskriminasi terhadap Perempuan dalam Konteks Pelanggaran Hak Konstitusional Kebebasan Beragama. Pelapor Khusus adalah mekanisme pemantauan yang independen dan dibentuk oleh Komnas Perempuan dalam kerangka melaksanakan mandatnya sebagai mekanisme nasional hak asasi manusia yang berfokus pada penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Laporan ini mendasarkan diri pada hasil pemantauan Pelapor Khusus dan timnya di 40 kota/kabupaten di 12 provinsi sejak Juni 2012 sampai dengan Juni 2013. Pemantauan dilakukan dengan wawancara dan diskusi kelompok terfokus dengan sebanyak 407 narasumber, terdiri dari 301 perempuan dan 106 laki-laki dari berbagai latar belakang, antara lain 326 korban dan anggota komunitas korban yang diwawancarai; 48 aparat negara, 9 pelaku intoleran, dan 24 anggota organisasi masyarakat yang berada di sekitar lokasi pemantauan. Kasus utama yang diangkat untuk memotret pengalaman ini adalah kasus Ahmadiyah, Gki Yasmin, HKBP Cikeuting dan HKBP Filadelfia, Syiah, Bahai, komunitas Islam lainnya yang kesulitan mendirikan mesjid, di samping mendata berbagai persoalan yang sejenis dalam berbagai kasus lainnya penutupan gereja dan vihara. Hasil pemantauan menunjukkan bahwa kerentanan atas kekerasan dan diskriminasi bagi perempuan semakin meningkat ketika ia menjadi bagian dari komunitas minoritas agama dalam situasi intoleransi. Seperti juga anggota komunitas yang laki-laki, mereka harus menghadapi situasi penyerangan dan intimidasi yang memposisikan mereka berhadapan dengan kekerasan fisik, psikologis, seksual dan ekonomi. Namun, perempuan juga berhadapan dengan bentuk dan dampak kekerasan yang khas karena jenis kelamin dan gendernya. Posisinya di dalam keluarga dan dikomunitas juga membedakan pengalamannya akan kekerasan dan diskriminasi dalam konteks intoleransi dan pelanggaran hak konstitusional kebebasan beragama. Sebagaimana terekam dalam pendokumentasian ini, seluruh perempuan komunitas minoritas agama rentan menjadi korban kekerasan fisik saat terjadi penyerangan, terutama dilempari dan didorong-dorong. Perempuan pemimpin komunitas rentan menjadi target penganiayaan fisik; seorang pendeta perempuan melaporkan pemukulan yang ia alami ketika hendak membantu seorang pimpinan gereja yang menjadi korban penusukan. Juga, menjadi target penaklukan, misalnya dengan pemaksaan tanda tangan menyetujui kehendak intoleran untuk tidak menghentikan ibadah bersama, baik di lokasi ibadah yang disengketakan maupun di rumah. Perempuan juga mengalami pemiskinan akibat pemerasan, penjarahan dan perampasan sumber penghidupan. Pelapor Khusus mencatat seorang perempuan Baha i yang dipecat dari pekerjaannya sebagai guru dan seorang lainnya selalu diganggu ruang usahanya karena keyakinan yang mereka anut. Juga, 5 perempuan Ahmadiyah dimutasi karena keyakinannya. Perempuan pengungsi yang adalah jemaah Ahmadiyah dan Syiah kehilangan akses mereka pada seluruh aset dan hak milik di kampung asal. Karena jenis kelaminnya dan posisinya sebagai simbol kesucian serta objek perlindungan komunitasnya, perempuan juga rentan kekerasan seksual, yaitu dalam bentuk ancaman perkosaan dan pelecehan seksual. Pelapor Khusus menggarisbawahi kerentanan khusus pada kekerasan seksual yang dihadapi perempuan pengungsi karena lokasi tempat tinggalnya, terutama bagi perempuan penyandang disabilitas di sana. Dalam posisinya sebagai istri, perempuan minoritas agama dapat berhadapan dengan kekerasan rumah tangga ketika ia diancam perceraian atau poligami karena tidak mau mengubah keyakinannya sesuai dengan kehendak suami atau keluarga besar. Akibat serangan ataupun kriminalisasi, perempuan dalam posisinya sebagai istri menjadi pencari nafkah utama dan/atau orang tua tunggal. Selain kekerasan, perempuan Ahmadiyah dan Baha i harus berhadapan dengan diskriminasi berlapis. Mereka tidak memperoleh hak atas kedudukan yang sama di depan hukum dan pemerintahan, yang mewujud dalam bentuk kesulitan memperoleh Kartu Tanda Penduduk dan dihambat untuk mencatatkan pernikan. Meski ini dialami juga oleh laki-laki, dampaknya menjadi berbeda bagi perempuan dibandingkan laki-laki, terutama ketika mereka juga menjadi pengungsi. Ketiadaan KTP menyebabkan perempuan juga kesulitan mengakses layanan kesehatan, khususnya kesehatan reproduksi. Perempuan juga harus berhadapan dengan stigma perempuan tidak bermoral dan kehilangan perlindungan hukum dalam perkawinan akibat perkawinannya tidak diakui. Perempuan Bahai i tetap menghadapi situasi diskriminatif ini sekalipun sejak tahun 2000 telah ada Surat

Keputusan presiden yang menegaskan posisinya sebagai agama tersendiri dan kewajiban negara untuk melindunginya. Seluruh pengalaman kekerasan dan diskriminasi dalam konteks intoleransi menyebabkan perempuan kehilangan rasa aman. Di tengah trauma dan rasa takut akan adanya serangan berulang, perempuan korban intoleransi banyak menyuarakan kecemasan mereka pada pendidikan dan keselamatan anak, hubungan keluarga yang terganggu serta relasi sosial yang terkoyak. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari pengaruh pembakuan peran perempuan sebagai ibu yang didaulat memegang tanggungjawab utama atas pengasuhan anak dan merawat keluarga dan lingkungan. Rasa aman semakin terguncang akibat posisi aparat negara dan aparat hukum yang kerap dinilai meneguhkan diskriminasi dan intoleransi berbasis agama, yaitu dengan turut menyegel rumah ibadah, tidak sigap dalam menghadapi kekerasan dengan alasan kekurangan personel, pendekatan keamanan yang menekankan pada kepatuhan kelompok minoritas pada kehendak kelompok intoleran, serta kriminalisasi atas dasar keyakinan seseorang. Apalagi, negara juga secara aktif melanggengkan diskriminasi berbasis agama lewat kebijakan di tingkat nasional maupun daerah dalam hal menghakimi keyakinan dan membatasi ruang untuk mendirikan rumah ibadah. Sikap negara yang cenderung berpihak pada kelompok intoleran juga tampil dalam hal penanganan pengungsi yang mensyaratkan korban mengubah keyakinan jika mau pulang ke kampung halaman, mengakses hak-hak miliknya di sana dan untuk memperoleh jaminan keamanan. Dalam situasi ini dan dengan menggunakan bingkai hak konstitusional, yaitu hak-hak warga negara yang dijamin di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pelapor Khusus menemukan bahwa sekurang-kurangnya ada 30 hak konstitusional yang dilanggar. Hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan diatur dalam enam pasal yang terpisah yang menunjukkan betapa seriusnya komitmen negara; namun dalam praktiknya tertinggal hanya di atas kertas. Dari pelanggaran terhadap hak kebebasan beragama, berbagai hak lainnya juga tidak dapat dinikmati oleh perempuan minoritas agama, terutama hak atas perlindungan hukum, bebas dari diskriminasi, hak atas rasa aman dan hak atas kehidupan yang layak bagi kemanusiaan. Di tengah persoalan ini, perempuan korban terus menunjukkan sikap yang proaktif dalam menata kembali hidupnya dan memastikan kelanjutan hidup keluarganya. Sikap ini muncul baik dalam hal mencari penghasilan dan membangun raung saling meneguhkan di dalam komunitasnya. Juga, dalam bentuk membekali anaknya untuk menyikapi situasi darurat, tak henti menjembatani rasa benci anak terhadap komunitas lain dan terhadap aparat negara, serta dengan mengupayakan kemungkinan-kemungkinan pertemuan dengan komunitas lintas iman agar rasa kebersamaan dapt terajut kembali. Salah satu upaya yang perlu diapresiasi adalah ruang solidaritas anak bangsa yang peduli pada tegaknya negara hukum, penghormatan pada hak konstitusional dan kebhinnekaan lewat ibadah dua mingguan di depan Istana merdeka yang dimotori oleh jemaah GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia. Hal ini menunjukkan kepemimpinan perempuan dalam sejarah perjalanan bangsa, sebab yang mereka perjuangkan bukan sekedar penikmatan haknya saja melainkan konsistensi pada visi misi negara bangsa Indonesia sebagaimana termaktub di dalam Konstitusi. Berbasis pada suara korban, Pelapro Khusus merumuskan 24 butir rekomendasi, yang diarahkan baik kepada pemerintah pusat dan daerah, aparatur penyelenggara negara juga penegak hukum, serta kepada komponen di dalam masyarakat. Adapun sejumlah rekomendasi utamanya adalah: 1. Presiden, selaku kepala negara dan kepala pemerintahan dengan segera dan secara tegas menyikapi isu intoleransi dengan, a.l.: 1.1. Memerintahkan kepala daerah tunduk pada hukum, termasuk dengan memastikan jaminan keamanan untuk penyelenggaraan ibadah Natal 2014 dan pendirian ruamh ibadah bagi GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia di lokasi masing-masing. 1.2. Memerintahkan Kepala Daerah dan Menteri Agama memfasilitasi perbaikan rumah-rumah ibadah yang dirusak atau disegel, dan menyediakan lokasi ibadah bagi komunitas minoritas agama yang belum dapat memenuhi prasyarat pendirian rumah ibadah; 1.3. Memerintahkan pemulangan pengungsi korban intoleransi agama, yaitu bagi jemaah Ahmadiyah dan Syiah, dengan jaminan keamanan 1.4. Memerintahkan penanganan komprehensif bagi korban intoleransi, dengan perhatian khusus pada kerentanan perempuan dan anak sesuai dengan UU Penanganan konflik Sosial. 2. Presiden dan DPR RI segera melakukan perubahan substantif untuk meningkatkan jaminan kebebasan beragama/ berkeyakinan, a.l.:

2.1. Segera melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi untuk mengubah UU No. 1/PNPS/1965 untuk kepentingan mencegah tindak intoleransi agama dan menjamin kemerdekaan beragama secara hakiki 2.2. Melakukan harmonisasi hukum dan kebijakan agar sejalan dengan janji Konstitusi dan kovenan yang telah diratifikasi 2.3. Membentuk mekanisme sanksi kepada kepala daerah yang tidak menjalankan putusan pengadilan dalam hal pendirian rumah ibadah. 3. Presiden selaku kepala pemerintahan memerintahkan kepada kementerian terkait:: 3.1. mencabut SKB Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Kejaksaan Agung tentang Larangan Penyebarluasan Ajaran Ahmadiyah. 3.2. mengubah Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 08 dan No. 09 tahun 2006 untuk mempermudah pendirian rumah ibadah 3.3. menggunakan kewenangan Kementerian Dalam Negeri untuk membatalkan peraturan daerah tentang agama karena bertentangan dengan UU No. 23 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, 3.4. mengkaji dan memperingatkan Majelis Ulama Indonesia dalam perannya membina kerukunan umat beragama; 3.5. mendorong kepemimpinan berbagai kelompok yang berpikiran toleran, demokratis dan inklusif di dalam masyarakat guna menangkal pemaham keagaman yang intoleran yang memanifestasi dalam tindakan kekerasan yang brutal dan destruktif.