BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan di Indonesia, mulai dari jenjang TK, SD, SMP, SMA/SMK,

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kualitas sumber daya manusia. Peningkatan kualitas pendidikan

1. PENDAHULUAN. generasi penerus bangsa di masa depan, yang diyakini akan menjadi faktor utama

BAB 1 PENDAHULUAN. pendidikan di Indonesia masih belum selesai dengan problematika sarana dan

BAB 1 PENDAHULUAN. murid, siswa, mahasiswa, pakar pendidikan, juga intektual lainnya.ada

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan Nasional berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan. berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang

repository.unisba.ac.id BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia dalam melaksanakan fungsi-fungsi kehidupan tidak akan lepas

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka memasuki era globalisasi, remaja sebagai generasi penerus

I. PENDAHULUAN. Kurikulum sebagai suatu rancangan dalam pendidikan memiliki posisi yang strategis, karena

BAB I PENDAHULUAN. terkecuali bangsa Indonesia. Pemerintah selalu berupaya untuk mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. dalam bidang perekonomian, perindustrian, dan pendidikan. yang diambil seseorang sangat erat kaitannya dengan pekerjaan nantinya.

TELAAH KURIKULUM MATEMATIKA SEKOLAH MENENGAH. Farida Nurhasanah Surakarta 2012

2/9/2014 MATA KULIAH PERBANDINGAN SISTEM PENDIDIKAN MANAJEMEN SISTEM PENDIDIKAN PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS GALUH. Oleh: Pipin Piniman

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pendidikan merupakan suatu sistem yang dirancang untuk

BAB I PENDAHULUAN. di bidang tekhnologi, ilmu pengetahuan, ekonomi, dan pendidikan. Perubahan

BAB I PENDAHULUAN. menyeluruh. Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS,

KURIKULUM. Saiful Rahman Yuniarto, S.Sos, MAB

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. pendidikannya. Dalam pengembangan pendidikan di Indonesia pihak

BAB I PENDAHULUAN. macam tantangan dalam berbagai bidang. Untuk menghadapi tantangan tersebut

Suatu bangsa akan dinyatakan maju tergantung pada mutu pendidikan dan. para generasi penerusnya, karena pendidikan mempunyai peranan penting bagi

BAB I PENDAHULUAN. Penerapan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) di sekolah, saat ini

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan tonggak pembangunan sebuah bangsa. Kemajuan. dan kemunduran suatu bangsa dapat diukur melalui pendidikan yang

SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian prasyarat Guna mencapai derajat Sarjana S- 1. Pendidikan Kewarganegaraan ROSY HANDAYANI A.

BAB I PENDAHULUAN. luar pendidikan formal yang teroganisasi, sistematis, dan berjenjang.

BAB I PENDAHULUAN. tentu tidak dapat dipisahkan dari semua upaya yang harus dilakukan untuk

BAB I PENDAHULUAN. bersaing di era globalisasi dan tuntutan zaman. Perkembangan ilmu

BAB I PENDAHULUAN. yang membatasi antar negara terasa hilang. Kemajuan ilmu pengetahuan dan

BAB I PENDAHULUAN. Kurikulum merupakan hal penting dalam sistem pendidikan Indonesia.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. tercantum dalam UU Sisdiknas No. 20 (2003:4): Bahwa Undang-Undang

UNIVERSITAS GALUH PROGRAM PASCA SARJANA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. membekali diri dengan ilmu pengetahuan agar dapat bersaing dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tugas perkembangannya di periode tersebut maka ia akan bahagia, namun

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam perkembangan remaja dalam pendidikan formal seperti di sekolah,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia (SDM) yang berkualitas. Manusia harus dapat menyesuaikan dengan

BAB I PENDAHULUAN. berkualitas ini diupayakan melalui sektor pendidikan baik pendidikan sekolah

BAB I PENDAHULUAN. Banyaknya para pencari kerja di Indonesia tidak di imbangi dengan

BAB I PENDAHULUAN. membutuhkan pendidikan, sampai kapanpun dan dimanapun ia berada.

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah suatu pengalaman belajar yang terprogram dalam

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah peradaban manusia terlihat jelas bahwa kemajuan suatu

BAB I PENDAHULUAN. No. 20/2003 tentang Sistem pendidikan Nasional Pasal I Ayat I,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kehidupan dalam era global menuntut berbagai perubahan pendidikan yang

BAB I PENDAHULUAN. yaitu SD, SMP, SMA/SMK serta Perguruan Tinggi. Siswa SMP merupakan

BAB I PENDAHULUAN. hanya membekali siswa dengan kemampuan akademik atau hard skill,

BAB I PENDAHULUAN. pengembangan diri, pendidikan merupakan upaya meningkatkan derajat. kompetensi dengan tujuan agar pesertanya adaptable

BAB I PENDAHULUAN. Setiap hari, di seluruh dunia, jutaan orang harus bekerja atau sekolah.

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Bab I PENDAHULUAN. belajar selama 12 tahun dimanapun mereka berada, baik di desa maupun di kota

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam era informasi saat

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan sarana terpenting untuk mewujudkan. kemajuan bangsa dan negara. Pendidikan yang bermutu, akan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. semakin besar. Di tahun 2009 angka pengangguran terdidik telah mencapai

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia berdasarkan hasil survei UNDP adalah akibat rendahnya mutu pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya

2015 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DISCOVERY LEARNING DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN JASMANI TERHADAP KREATIVITAS SISWA

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan di sekolah baik yang diselenggarakan pemerintah maupun masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan, faktor instrumental, faktor fisiologis, dan faktor psikologis. Keempat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. konsep dan memberi makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari. Pendidik tidak hanya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kecenderungan perubahan sosial dalam masyarakat. Masyarakat masa depan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berbagai pihak dan pendekatan. Upaya-upaya tersebut dilandasi suatu kesadaran

Seminar Internasional, ISSN Peran LPTK Dalam Pengembangan Pendidikan Vokasi di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan di SD adalah memberikan bekal kemampuan dasar kepada siswa

BAB I PENDAHULUAN sangat banyak sekali perubahan setiap pergantian Menteri Pendidikan,

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan dana, manajemen dan lingkungan sudah memadai (Widyastono,

BAB I PENDAHULUAN. kemajuan bagi bangsa. Kemajuan suatu bangsa dapat dilihat dalam segi

Oleh : Sri Handayani NIM K

BAB I PENDAH ULUAN 1.1 Ga G mb m a b ra r n n Umu m m m Obj b ek k Pene n lit e ian a. Pro r fil Org r anis n a is sis

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dasar merupakan jenjang terbawah dari sistem pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. diperlukan adanya pembinaan dan bimbingan yang dapat dilaksanakan oleh

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Dalam mencapai tujuan, setiap organisasi dipengaruhi oleh perilaku

BAB 1 PENDAHULUAN. menggambarkan adanya peluang kerja tenaga terampil di bidang jasa

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah suatu kompleks perbuatan yang sistematis untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. besar dan kecil mempunyai berbagai keragaman. Keragaman itu menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Banyak penelitian terpaku pada model yang digunakan guru pada saat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

Undang-undang No. 20 Tahun 2003 sebagai Bibit Perkembangan PAUD di Indonesia. Mela Nugradini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pembelajaran, antara lain adalah powerpoint dan internet. Kemajuan teknologi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Hilman Sugiarto, 2016

BAB I PENDAHULUAN. tersebut pemerintah memprogramkan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Menurut Rozak, dkk, Komplikasi Undang-undang & Peraturan Bidang Pendidikan, (Jakarta: FITK Press, 2010, hlm. 273) Mengatakan bahwa:

BAB I LATAR BELAKANG MASALAH. kerja, mendorong perguruan tinggi untuk membekali lulusannya dengan kemampuan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama teknologi

PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 21 TAHUN 2009

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian. Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan,

BAB I PENDAHULUAN. karakter kuat, berpandangan luas ke depan untuk meraih cita-cita yang

DIMENSI DALAM EFIKASI DIRI MAHASISWA PENGARUHNYA PADA KESIAPAN MENJADI PENDIDIK YANG BERKARAKTER

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dunia pendidikan sangat berkaitan erat dengan kurikulum. Pendidikan di Indonesia, mulai dari jenjang TK, SD, SMP, SMA/SMK, hingga Perguruan Tinggi, dalam proses belajar mengajar, selalu berpedoman pada kurikulum yang sedang berlaku. Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 19). Tujuan tertentu tersebut meliputi tujuan pendidikan nasional dan disesuaikan dengan kekhasan, kondisi dan potensi daerah, satuan pendidikan dan peserta didik. Dalam sejarah tercatat, sejak Kemerdekaan, kurikulum pendidikan di Indonesia sudah sembilan kali mengalami perbaikan. Hal ini dilakukan demi tercapainya hasil yang maksimal. Kurikulum tersebut antara lain: Kurikulum Sederhana (pada tahun 1947), kurikulum Rencana Pelajar Terurai (pada tahun 1952), kurikulum yang bersifat politis (pada tahun 1968), kurikulum menggunakan process skill 1

2 approach, dengan menggunakan model Cara Belajar Siswa Aktif (pada tahun 1984), Kurikulum Berbasis Kompetensi (pada tahun 2004), 1 Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (pada tahun 2006), dan Kurikulum 2013 (pada tahun 2013). Kurikulum sederhana (1947), mengutamakan pendidikan watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat. Materi pelajaran dihubungkan dengan kejadian sehari-hari, kesenian dan pendidikan jasmani. Kurikulum Rencana Pelajaran Terurai (1952), difokuskan pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, dan moral. Kurikulum yang bersifat Politis (1968), penekanannya pada organisasi. Kurikulum Rencana Pelajaran Setiap Satuan Bahasan (1975), penekanannya pada tujuan, agar pendidikan lebih efisien dan efektif. Pada kurikulum ini, setiap satuan pelajaran ada rinciannya seperti: petunjuk umum, tujuan instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar-mengajar dan evaluasi. Kurikulum Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) tahun 1984, fokusnya pada siswa sebagai subjek belajar, mulai dari mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan hingga melaporkan. Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) pada tahun 1994, fokusnya pada upaya memadukan kurikulum sebelumnya. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tahun 2006,

3 fokusnya pada kompetensi siswa, baik secara individual maupun secara klasikal. Kurikulum 2013 (K13) tahun 2013, fokusnya pada pemahaman, skill, dan pendidikan karakter. Oleh karena itu K13 sering disebut dengan kurikulum berbasis karakter. Kurikulum 2013 (K13) merupakan kurikulum baru yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Repulik Indonesia. Dalam kurikulum ini, siswa dituntut untuk paham atas materi, aktif dalam proses berdiskusi dan presentasi, memiliki sopan santun dan sikap disiplin yang tinggi. K13 juga merupakan kurikulum yang berbasis kompetensi, yakni dalam bentuk penyederhanaan dan tematik integratif. Selain itu, K13 disiapkan untuk membentuk generasi yang siap dalam menghadapi masa depan. Dalam penerapan kurikulum, peran guru sangatlah penting. Dalam hal ini, guru membantu para peserta didik dalam proses perkembangan diri dengan cara mengoptimalkan bakat dan kemampuan yang dimiliki. Hal ini sejalan dengan isi Undang-undang No. 14 tahun 2015 Pasal 1 ayat 1 yang mengungkapkan bahwa Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai,

4 dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Selain itu, peranan guru dalam pendidikan juga sangat menentukan keberhasilan siswanya. Berdasarkan kemampuan yang dimilikinya, guru akan menentukan proses pembelajaran siswa. Jadi, dapat disimpulkan bahwa suatu kurikulum tanpa didukung oleh kemampuan guru dalam melakukan penerapan, maka kurikulum itu tidak akan bermakna sebagai suatu alat pendidikan. Akan tetapi, pada kenyataannya menurut Mansur sebagai pengajar Sekolah Islam Terpadu (SIT) Fajar Hidayah Kota Wisata Cibubur mengatakan bahwa: Pemberhentian kurikulum 2013 di sebagian sekolah membuat guru-guru bingung tentang bagaimana pemberlakuan kurikulum selanjutnya. Beliau mencermati bahwa, banyak guru yang belum memahami Kurikulum 2013 secara menyeluruh, sehingga merasa kesulitan merapkannya (http:// /www.republika.co.id/berita/pendidikan/eduaction/14/12/08/n g913q-guru-kebingungan-kurikulum-2013-disetop) Hal ini sejalan dengan yang disampaikan oleh bapak Anwar Abbas Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai ketua bidang pendidikan yang mengatakan bahwa: Menurutnya, banyak guru yang mengeluh karena beratnya tugas guru dalam pelaksanaan kurikulum 2013. Saya melihat guru-guru dengan kurikulum 2013 tampak bukan sibuk

5 dengan mempersiapkan proses belajar mengajar yang baik tetapi sibuk dengan ketentuan yang mengharuskan mereka melakukan evaluasi. Misalnya, untuk guru Bahasa Indonesia harus menilai 29 aspek dan guru agama harus menilai 25 aspek untuk bisa memberikan nilai kepada anak didiknya. Jadi, jika seorang guru mengajar 10 kelas dengan masingmasing kelas berjumlah 40 anak maka itu artinya guru harus memberikan nilai terhadap 400 anak dan masing-masing anak harus mamenuhi 25 atau 29 aspek yang ada. Sehingga guru harus membuat 10 ribu atau 11600 nilai untuk kemudian bisa membuat nilai rata-rata anak didiknya. Sistem yang seperi ini menjadi pekerjaan yang berat bagi guru. (http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/12/08/n g93vd-mui-dukung-penghentian-kurikulum-2013 Hal ini didukung oleh data yang diperoleh peneliti ketika melakukan pengambilan data awal melalui angket. Dari 40 orang subjek, sebanyak 34 orang mengalami kesulitan dalam membuat laporan penilaian kurikulum 2013, dengan alasan kesulitan ketika harus menilai sikap dengan rubrik yang terlampau banyak. Bahkan bisa jadi guru tidak mengajar karena pengamatan terhadap peserta didik. Ada enam orang subjek yang tidak mengalami kesulitan dalam membuat laporan penilaian, sebelum penerapan K-13, guru-guru tersebut sudah mendapat pelatihan, sehingga mereka tidak mendapatkan kesulitan dalam pembuatan laporan penilaian. Dari data awal di atas, dapat disimpulkan bahwa kemampuan yang dimiliki oleh guru untuk mendidik, mengajar, membimbing, dan melakukan

6 penilaian dan evaluasi bagi peserta didik dalam penerapan K-13, belumlah maksimal seperti tuntutan yang ditetapkan oleh pemerintah dalam undangundang. Hal ini dikarenakan oleh, kurangnya pemahaman guru tentang konsep K13 sehingga mempengaruhi keyakinan guru dalam penerapannya. Oleh karena itu, keyakinan seseorang akan kemampuan dirinya untuk melakukan sesuatu merupakan hal yang sangat mendukung seseorang untuk berbuat. Dalam psikologi hal ini disebut juga dengan self efficacy. Menurut Bandura (dalam Friedman & Schustack, 2008), mendefinisikan self efficacy ialah ekspektasi atau keyakinan (harapan) tentang seberapa jauh seseorang mampu melakukan satu perilaku dalam suatu situasi tertentu. Self efficacy juga dapat diartikan sebagai keyakinan seseorang akan dirinya bahwa dirinya mampu melakukan tugas tertentu dengan efektif. Dalam hal ini self efficacy fokusnya pada keyakinan seseorang akan kemampuannya dalam melakukan suatu tugas dengan berhasil. Demikian juga dengan guru yang mengajar di SMA Katolik yang terakreditasi A juga dihadapkan dengan suatu situasi yang menuntut keyakinan mereka untuk melakukan suatu tugas tertentu, dalam hal ini tugas sebagai seorang guru adalah, mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan melakukan evaluasi (UU No. 14 tahun

7 2015 Pasal 1 ayat 1). Self efficacy memiliki dua komponen yaitu efficacy expectancy dan out come expectancy. Efficacy expectancy adalah suatu keyakinan seseorang bahwa ia memiliki suatu kemampuan seperti yang diharapkan. Dalam hal ini adalah keyakinan akan kemampuan yang dimiliki oleh guru SMA Katolik dalam penerapan K-13. Out come expectancy adalah suatu hasil yang diharapkan seseorang dari suatu usaha yang ia lakukan. Dalam hal ini adalah hasil yang diharapkan oleh para guru SMA Katolik setelah mereka menerapkan K-13. Omrod (2009: 28), menjelaskan bahwa guru yang memiliki self efficacy yang tinggi maka guru tersebut akan lebih bersedia mencoba strategi-strategi mengajar yang baru yang dapat membantu siswa belajar lebih baik, memiliki ekspektasi yang lebih tinggi akan performa para siswa, dan karena itu menetapkan standar perfoma yang lebih tinggi pula, mengerahkan usaha yang lebih besar dalam pengajaran mereka dan lebih giggih membantu siswa belajar. Self efficacy yang dimiliki oleh guru akan berpengaruh besar terhadap kualitas pembelajaran murid. Murid banyak belajar dari guru yang merasa yakin pada dirinya dari pada guru yang ragu-ragu pada dirinya sendiri, (Santrock, 2004: 524). Guru yang memiliki self efficacy akan selalu

8 meyakinkan siswanya mampu untuk melakukan suatu tugas. Siswa akan meraih kesuksesan level yang tinggi ketika guru memiliki keyakinan bahwa mereka dapat membantu siswa menguasai berbagai topik di kelas (Omrod, 2009: 28). Jadi, semakin tinggi self efficacy yang dimiliki oleh guru, maka guru tersebut semakin mampu melakukan tugasnya sebagai guru. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Darwin tahun 2011 tentang pengaruh efikasi diri, kepuasan kerja dan persepsi tentang jabatan terhadap kinerja kepala SMK Negeri di Provinsi DKI Jakarta menunjukkan bahwa efikasi diri berpengaruh langsung positif terhadap kinerja kepala sekolah. Kepala sekolah yang memiliki efikasi diri yang tinggi mengenai suatu pekerjaan akan membangkitkan upaya yang besar untuk menghasilkan kinerja yang lebih baik. Hasil ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat efikasi diri seseorang, maka akan semakin tinggi pula tingkat kinerjanya. Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa self efficacy memiliki peran yang sangat penting terhadap kinerja kepala sekolah. Demikian juga dengan guru yang mengajar di SMA Katolik yang terakreditasi A di Surabaya juga perlu memiliki self efficacy yang tinggi guna meningkatkan mutu dan kualitas mengajar.

9 Hasil penelitian yang dilakukan oleh Puspitasari & Handayani tahun 2014 tentang hubungan tingkat self efficacy guru dengan tingkat burnout pada guru sekolah inklusi di Surabaya, menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat self efficacy guru dengan tingkat burnout pada guru di sekolah inklusif di Surabaya. Selain dari pada itu, terdapat juga koefisien korelasi yang negatif dimana dapat diartikan bahwa semakin tinggi tingkat self efficacy guru sekolah inklusif maka semakin rendah tingkat burnout guru tersebut. Sebagai kesimpulan peneliti tersebut menerangkan bahwa guru yang memiliki tingkat self efficacy yang tinggi akan lebih terbuka terhadap ide-ide yang baru yang dapat memenuhi kebutuhan para siswa, memiliki sedikit kritik terhadap siswa yang membuat kesalahan, menunjukkan antusiasme dan komitmen yang besar dalam mengajar (Puspita & Handayani, 2014). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa seorang guru sangat pernting memiliki self efficacy yang tinggi guna menurunkan tingkat burnout guru tersebut. Selanjutnya, dalam jurnal tersebut juga menegaskan bahwa guru yang memiliki self efficacy yang tinggi akan semakin terbuka akan ide-ide yang baru dan dapat memenuhi kebutuhan para siswa. Hal ini juga diharapkan bagi guru-guru yang mengajar di SMA Katolik terakreditasi A agar semakin terbuka terhadap

10 ide-ide yang baru sehingga mampu memenuhi kebutuhan siswa. Dalam hal ini kebutuhan siswa adalah mendapat pengajaran, penilaian, bimbingan dan arahan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Jumari tahun 2013 tentang pengaruh budaya organisasi, efikasi diri dan kepuasan kerja terhadap kinerja mengajar guru SMK Negeri Kecamatan Denpasar Selatan menunjukkan bahwa, adanya hubungan antara efikasi diri dengan kinerja mengajar guru bersifat posistif. Artinya, semakin tinggi efikasi diri guru maka semakin baik kinerja mengajar guru SMK Negeri Kecamatan Denpasar Selatan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa efikasi diri mempunyai peranan penting guna meningkatkan kinerja mengajar guru. Demikian juga dengan guru yang mengajar di SMA Katolik terakreditasi A di Surabaya juga memiliki suatu paguyuban yang merupakan suatu budaya bagi lembagalembaga pendidikan tersebut. Diharapkan dari paguyuban tersebut dapat meningkatkan self efficacy guru guna meningkatkan pengajaran para guru tersebut. Oleh sebab itu, hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa self efficacy memiliki peran yang sangat penting terhadap kinerja para guru dalam mengajar. Selain dari pada itu, apabila ditinjau dari sudut pandang

11 gereja juga menjelaskan peran penting guru dalam mewujudkan harapan dan tujuan gereja. Dalam Dokumen Konsili Vatikan II, hal. 302, menjelaskan bahwa Guru perlu dipersiapkan dengan sungguh-sungguh dengan bekal ilmu pengetahuan profan maupun keagamaan yang dikukuhkan oleh ijazah-ijazah semestinya, dan mempunyai kemahiran mendidik sesuai dengan tuntutan zaman. Adapun tujuan gereja dalam dunia pendidikan adalah mengejar tujuan-tujuan budaya dan menyelenggarakan pendidikan manusiawi kaum muda (Dokumen Konsili Vatikan II, hal 301). Akreditasi adalah kegiatan penilaian kelayakan program dalam satuan pendidikan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan (UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 22). Apabila suatu sekolah sudah terakreditasi seturut undang-undang yang berlaku, maka sekolah tersebut memiliki nilai yang bagus di kalangan masyarakat. Demikian juga dengan sekolah SMA Katolik di Surabaya yang terakreditasi A, tentu hal ini menunjukkan bahwa sekolah-sekolah tersebut memiliki kualitas yang bagus menurut padangan masyarakat maupun oleh dinas pendidikan. Oleh karena itu, guru-guru SMA katolik dituntut untuk memiliki kompetensi kinerja yang bagus pula yang sesuai dengan status akreditasi yang sekolah tersebut. Hal inilah yang menjadi alasan

12 ketertarikan peneliti untuk melakukan penelitian ini di sekolah SMA Katolik terakreditasi A di Surabaya. Maka dari itu, peneliti ingin mengetahui gambaran deskriptif self efficacy pada guru SMA Katolik terakreditasi A dalam penerapan K-13 di Surabaya. 1.2.Batasan Masalah Untuk memperjelas penelitian ini, maka fokus penelitian ini ingin mengungkapkan variabel yaitu Self efficacy pada guru SMA Katolik dalam melakukan penerapan K-13. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif deskriptif, sedangkan subjek penelitian adalah semua guru yang sudah mengajar minimal satu semester di SMA Katolik yang terakreditasi A di Surabaya. 1.3.Rumusan Masalah Berdasarkan uraian yang ada pada latar belakang dan batasan masalah, maka masalah yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut: Bagaimana gambaran self efficacy guru SMA Katolik terakreditasi A dalam penerapan K-13 di Surabaya?

13 1.4.Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran self efficacy guru SMA Katolik terakreditasi A dalam penerapan K-13 di Surabaya. 1.5. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1.5.1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini bertujuan untuk pengembangan ilmu psikologi pendidikan, khususnya teori mengenai gambaran self efiicacy guru dalam penerapan K13. 1.5.2. Manfaat Praktis a. Bagi Para Guru: hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi para guru tentang self efficacy guru, sehingga guru semakin mampu mengajar dengan menggunakan K-13. b. Bagi Institusi Pemerintah Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai self efficacy guru, sehingga pemerintah dapat memberikan pelatihan K-13 untuk meningkatkan self efficacy guru dalam penerapan K13.