BRIEFING PAPER Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Penyelamatan Hutan Indonesia & Iklim Global

dokumen-dokumen yang mirip
INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG

Dampak moratorium LoI pada hutan alam dan gambut Sumatra

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENUNDAAN PEMBERIAN IZIN BARU DAN

Menguji Rencana Pemenuhan Target Penurunan Emisi Indonesia 2020 dari Sektor Kehutanan dan Pemanfaatan Lahan Gambut

BAB V PENUTUP. Indonesia sebagai salah satu negara yang tergabung dalam rezim internasional

PIPIB untuk Mendukung Upaya Penurunan Emisi Karbon

dan Mekanisme Pendanaan REDD+ Komunikasi Publik dengan Tokoh Agama 15 Juni 2011

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009

PAPER KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN

Saudara-saudara yang saya hormati,

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi

KORUPSI MASIH SUBUR HUTAN SUMATERA SEMAKIN HANCUR OLEH: KOALISI MASYARAKAT SIPIL SUMATERA

Laporan Investigatif Eyes on the Forest Desember 2015

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.62/Menhut-II/2011 TENTANG

BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA

Perbaikan Tata Kelola Kehutanan yang Melampaui Karbon

Resiko Korupsi dalam REDD+ Oleh: Team Expert

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan

Pmencerminkan kepatuhan terhadap prinsipprinsip

Evaluasi Tata Kelola Sektor Kehutanan melalui GNPSDA (Gerakan Nasional Penyelamatan Sumberdaya Alam) Tama S. Langkun

1 TAHUN PELAKSANAAN INPRES 10/2011: Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola pada Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut

HUTAN HUJAN DAN LAHAN GAMBUT INDONESIA PENTING BAGI IKLIM, SATWA LIAR DAN MASYARAKAT HUTAN

Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG IZIN LOKASI

Kajian Sistem Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Sektor Kehutanan 2015

KEBIJAKAN PELEPASAN KAWASAN HUTAN PRODUKSI YANG DAPAT DIKONVERSI UNTUK PEMBANGUNAN DILUAR KEGIATAN KEHUTANAN

ISU ISU STRATEGIS KEHUTANAN. Oleh : Ir. Masyhud, MM (Kepala Pusat Humas Kemhut) Pada Orientasi Jurnalistik Kehutanan Jakarta, 14 Juni 2011

INDUSTRI PENGGUNA HARUS MEMBERSIHKAN RANTAI PASOKAN MEREKA

MISKINYA RAKYAT KAYANYA HUTAN

KASUS-KASUS HUKUM DAN PENYIMPANGAN PAJAK - PENYELESAIAN INPRES NO. 1 TAHUN

Pemerintah Republik Indonesia (Indonesia) dan Pemerintah Kerajaan Norwegia (Norwegia), (yang selanjutnya disebut sebagai "Para Peserta")

Kebijakan Bioenergi, Lingkungan Hidup dan Kehutanan

MAKSUD DAN TUJUAN. Melakukan dialog mengenai kebijakan perubahan iklim secara internasional, khususnya terkait REDD+

Kepastian Pembiayaan dalam keberhasilan implementasi REDD+ di Indonesia

Monitoring Implementasi Renaksi GN-SDA oleh CSO. Korsup Monev GN-SDA Jabar Jateng DIY Jatim Semarang, 20 Mei 2015

Moratorium Hutan Berbasis Capaian

Kerangka Acuan LOKAKARYA PERAN INVESTASI SEKTOR KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN DI TANAH PAPUA DALAM IMPLEMENTASI PEMBANGUNAN RENDAH KARBON

24 Oktober 2015, desa Sei Ahass, Kapuas, Kalimantan Tengah: Anak sekolah dalam kabut asap. Rante/Greenpeace

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

5. Evaluasi perizinan terintegrasi; dan 6. Melakukan penegakan hukum dan penyelesaian sengketa alternatif.

Harmonisasi Kebijakan dan Peraturan Perundangan

BAB 1. PENDAHULUAN. Kalimantan Tengah pada tahun 2005 diperkirakan mencapai 292 MtCO2e 1 yaitu

2 Pemberantasan Korupsi Tahun 2013, maka perlu pengaturan kembali mengenai Tata Cara Pemberian dan Peluasan Areal Kerja Izin Usaha Pemanfaatan Hasil H

KEJAHATAN KEHUTANAN KONTEMPORER (Studi kasus Riau) 1

SAMBUTAN MENTERI KEHUTANAN PADA PEMBUKAAN RAPAT KOORDINASI TEKNIS PEMBANGUNAN KEHUTANAN BIDANG BINA PRODUKSI KEHUTANAN (Jakarta, 14 Juli 2010)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Hutan Produksi. Pelepasan.

PERKEMBANGAN LOI RI-NORWAY DINAS KEHUTANAN PROVINSI RIAU

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.31/Menhut-II/2014 TENTANG

9/1/2014. Pelanggaran yang dirancang sebelum FCP APP diluncurkan?

Pembangunan Kehutanan

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 33/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PELEPASAN KAWASAN HUTAN PRODUKSI YANG DAPAT DIKONVERSI

Ilmuwan mendesak penyelamatan lahan gambut dunia yang kaya karbon

INTEGRASI RENCANA AKSI NASIONAL PENURUNAN EMISI GRK KE DALAM PEMBANGUNAN

Ekspansi Industri Pulp: Cara Optimis Penghancuran Hutan Alam

5 Evaluasi. 6 Langkah strategis penyempurnaan tata kelola hutan alam dan lahan. gambut. Peta Jalan Indonesia Menuju Bebas Deforestasi Tahun 2020

PROYEKSI PERKEMBANGAN PERHUTANAN SOSIAL DI SUMATERA SELATAN

2014, No menetapkan Peraturan Menteri Kehutanan tentang Tata Cara Penetapan Peta Indikatif Arahan Pemanfaatan Kawasan Hutan Produksi Yang Tidak

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11/Permentan/OT.140/3/2015 TENTANG

REDD+: Selayang Pandang

2017, No Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, T

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Focus Group Discussion Pertama: Penyusunan Kajian Kritis Penguatan Instrumen ISPO

PR MENTERI LKH: TUTUP CELAH KORUPSI MELALUI REVISI REGULASI SEKTOR KEHUTANAN

Perkuat Agenda Perubahan Iklim dan Komitmen Indonesia Melindungi Hutan

SOP PERIZINAN KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN RI

VISI ACEH YANG BERMARTABAT, SEJAHTERA, BERKEADILAN, DAN MANDIRI BERLANDASKAN UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN ACEH SEBAGAI WUJUD MoU HELSINKI MISI

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL

MEMBUAT HUTAN MASYARAKAT DI INDONESIA

P R O G R A M INDONESIA MEMANTAU HUTAN

Pelestarian Ekosistem Sumatera dan Energi Terbarukan (Kebijakan Uni Eropa dan Peraturan Nasional)

PEDOMAN PELAKSANAN MONITORING DAN EVALUASI SERTA PELAPORAN INPRES NO

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Oleh : Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

sumber pembangunan ekonomi dan sumber kehidupan masyarakat, tetapi juga sebagai pemelihara lingkungan global.

Analisis Kebijakan Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut

Oleh : Ketua Tim GNPSDA. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Pontianak, 9 September 2015

APRIL menebangi hutan bernilai konservasi tinggi di Semenanjung Kampar, melanggar komitmennya sendiri

PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN. Oleh : Direktur Jenderal Planologi Kehutanan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG. PENUNDAAN PEMBERIAN IZIN BARli DAN

Jalan Perubahan Ketiga: Pemberantasan Kejahatan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup PEMBANGUNAN SEBAGAI HAK RAKYAT

DR. H. AWANG FAROEK ISHAK Gubernur Kalimantan Timur

Transparansi merupakan komponen kunci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Salam Sejahtera Om Swastiastu

REGULASI KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PEMBERIAN HAK ATAS TANAH UNTUK PERKEBUNAN

Pidato kebijakan Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhyono Bogor, 13 Juni 2012

LAPORAN PENELITIAN HUTAN BER-STOK KARBON TINGGI

DARI DEFORESTASI, DEKOMPOSISI DAN KEBAKARAN GAMBUT

Strategi dan Rencana Aksi Pengurangan Emisi GRK dan REDD di Provinsi Kalimantan Timur Menuju Pembangunan Ekonomi Hijau. Daddy Ruhiyat.

Sidang Pendadaran, 24 Desember 2016 Prodi Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis ~VK

sebagai Kawasan Ekosistem Esensial)

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan

NOTA DINAS Nomor: ND. /II-PHM/2012

MENTEIU KRIIUTANAN REPUJJLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

memuat hal yang mendasari kegiatan penelitian. Rumusan masalah permasalahan yang diteliti dan pertanyaan penelitian. Tujuan penelitian berisikan

Policy Brief Perbaikan Regulasi Lahan Gambut Dalam Mendukung Peran Sektor Industri Kelapa Sawit Indonesia 2017

A3 Aspek legalitas dari perlindungan dan pengelolaan gambut di Indonesia

Transkripsi:

MEMBACA INPRES NO. 10 TAHUN 2011 TENTANG PENUNDAAN PEMBERIAN IZIN BARU DAN PENYEMPURNAAN TATA KELOLA HUTAN ALAM PRIMER DAN LAHAN GAMBUT Latar Belakang Komitmen penurunan emisi Indonesia sebesar 26%-41% dari BAU (Business As Usual) pertama kali di umumkan di Pittsburgh dalam sebuah pertemuan negara-negara yang tergabung dalam G20, pada September 2009. Pengumuman atas komitmen tersebut mendapat sambutan yang cukup hangat dari negara-negara anggota G20, bahkan dunia internasional yang berharap komitmen tersebut akan mengubah dinamika perundingan perubahan iklim menjadi lebih maju. Hal tersebut ditegaskan kembali dalam pidato kenegaraan dalam acara Pertemuan Puncak Perubahan Iklim di Copenhagen, Desember 2009 1. Dimana Presiden SBY secara jelas menegaskan dalam pidatonya untuk tetap mempertahankan hutan dari pada menebangnya "Keep the trees up than chop them down the only dogma is human survival. Hal ini menjadi catatan tersendiri, terutama bagi negara yang hampir 80% emisinya bersumber dari dari deforestasi dan perubahan peruntukan lahan hutan (LULUCF). Secara politik statement ini adalah sebuah langkah maju dari sebuah komitmen. Komitmen penurunan emisi Indonesia mendapat sambutan baik dari negara donor terutama Norwegia untuk membantu terwujudnya penurunan emisi tersebut. Hal tersebut bermuara pada sebuah penandatanganan Surat Niat (Letter of Intent) dimana Norway akan mengucurkan dana sebesar U$1 milliar serta Indonesia akan melaksanakan beberapa hal antara lain, Memilih propinsi percontohan; Merancang Strategi Nasional untuk REDD+; Mendirikan Lembaga Pelaksana REDD; Membangun mekanisme dan lembaga untuk Monitoring, Pelaporan dan Verifikasi (MRV); serta Membangun Lembaga Pendanaan serta mekanisme distribusi. Disebutkan pula bahwa Indonesia akan melakukan penundaan pemberian ijin baru di atas hutan alam selama dua tahun. Di samping itu penyelesaian konflik juga menjadi salah satu perhatian dalam surat Niat yang ditandatangani 26 Mei 2010 tersebut. Surat niat baik yang ditandatangani dengan Norway tersebut hanya salah satu dari beberapa bantuan lainnya, yang juga menunjukan dukungan atas komitmen Indonesia dalam mengurangi emisi. Sebut saja bantuan dari Pemerintah Australia melalui IAFCP, Pemerintah Jerman dengan proyek percontohan REDD di Sumatera Selatan dan beberapa inisiatif bantuan lainnya. 1 http://www.presidensby.info/index.php/eng/pidato/2009/12/17/1274.html http://www.youtube.com/watch?v=dfan7uvbt14

Penundaan penerbitan ijin baru atas pemanfaatan hutan (baca; moratorium) diharapkan dapat menjadi titik awal pembenahan tata kelola sektor kehutanan di Indonesia. Setelah tertunda selama 5 bulan semenjak direncanakan, akhirnya pemerintah menerbitkan INPRES No.10 tahun 2011 tentang Moratorium. Ini dapat dikatakan sebagai sebuah langkah maju secara politik hanya saja langkah maju tersebut tidak diimbangi dengan substansi yang cukup berarti bagi penyelamatan hutan Indonesia dan pengurangan emisi. Membaca Instruksi Presiden Tidak terdapat hal yang baru dari substansi INPRES No.10/2011 karena obyek moratorium yang berupa hutan alam primer dan gambut rata-rata berada dalam kawasan lindung dan konservasi yang sudah dilindungi payung hukum Indonesia yang sudah ada. Secara kronologis, peraturan tentang moratorium pada awalnya diusulkan sebagai PERPRES, hanya saja dalam perjalanannya usulan tersebut berubah menjadi INPRES. Secara hirarkis peraturan yang berbentuk INPRES lebih bersifat mengikat secara internal di dalam struktur kabinet. Berkaitan dengan hal tersebut sejumlah pertanyaan muncul, mengenai bagaimana moratorium ini akan di tegakkan secara hukum serta efektivitasnya. Pertanyaan ini merujuk pada beberapa INPRES yang sudah pernah diterbitkan dan kurang efektif dalam penegakannya. Hal lain adalah hubungan intstruksi tersebut terhadap kepala daerah yang mendapat instruksi presiden yang notabene juga dipilih langsung oleh masyarakat. Hal ini juga menjadi salah satu indikator yang akan diukur (seperti yang disepakati dalam Join Concept Note) mengenai bagaimana peraturan moratorium ini mempunyai kekuatan mengikat terhadap para kepala daerah. Selain itu di dalam instruksi ini juga tidak ada satupun hal baru yang diatur, artinya instruksi ini hanya menegaskan sesuatu yang sudah menjadi tugas dari bawahan presiden tapi tidak dilaksanakan dengan baik. Jadi semacam afirmasi ulang dari tugas lama yang tidak dilaksanakan. Substansi hutan alam primer sebagai obyek Moratorium juga menjadi pertanyaan besar sehubungan dengan tidak adanya terminologi dan definisi Hutan Primer dalam Undang undang Kehutanan. Dalam Undang-undang hanya dikenal istilah dan definisi hutan dan kawasan hutan berdasar fungsi ekologis dan berdasar pada fungsi/status administratifnya. Pertanyaan penegakan menjadi penting karena harus ada kejelasan obyeknya terlebih dulu, dan jika obyeknya secara legal tidak dikenal, maka dikawatirkan penegakannyapun akan sangat kabur. Selanjutnya, jika diperhatikan dalam diktum kedua dalam INPRES tersebut, terdapat beberapa pengecualian yang dikenakan pada: - pemegang ijin prinsip - pembangunan yang bersifat vital: geothermal, minyak dan gas bumi, ketenagalistrikan, lahan padi dan tebu. - Perpanjangan ijin pemanfaatan hutan

- Restorasi ekosistem Masalah dalam diktum ini adalah bahwa apa yang tersebut dalam diktum pengecualian tersebut maka kebijakan moratorium tidak berlaku. Disebutkan para pemegang ijin prinsip tidak akan terkena kebijakan moratorium atas konsesinya,. Hingga saat ini, belum ada informasi resmi mengenai mana saja izin prinsip yang dikecualikan, jumlahnya, luasnya dan lokasinya tidak bisa diakses publik, sehingga menyisakan pertanyaan izin prinsip "mana dan pada tahap mana" yang termasuk dalam pengecualian. Selain itu, izin prinsip tidak seharusnya dikecualikan, karena statusnya "belumlah menjadi izin". Sehingga sangat aneh apabila upaya yang seharusnya menjadi upaya perbaikan malah mengecualikan izin prinsip. Meskipun belum ada data resmi, namun data yang sempat beredar dari Kementrian Kehutanan menyebutkan bahwa izin prinsip untuk perkebunan per Desember 2010 adalah sebesar 4.579.977 hektar. Sebagian di antaranya bermasalah, bahkan ada yang tata batasnya belum selesai sejak 1994 tetapi sudah ditanami ribuan hektar. Ada yang sudah mendapat surat teguran untuk segera melakukan tata batas sejak 1999 tetapi hingga kini masih tetap beroperasi, tanpa ada langkah hukum berarti. Pengecualian yang lain adalah berhubungan dengan pembangunan obyek vital negara seperti: geothermal, minyak dan gas serta pengembangan perkebunan tebu dan padi yang tentunya dalam skala besar. Saat ini selain MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate) yang akan mengorbankan hutan dan gambut, belum diketahui dimana lagi proyek skala besar untuk tebu dan padi. Isu ketahanan pangan menjadi salah satu alasan untuk mewujudkan pengembangan (baca; ekspansi) perkebunan monokultur skala besar. Pemerintah terlihat tidak memiliki niat tulus untuk memperbaiki segala kesemrawutan pengelolaan hutan dan lahan gambut di Indonesia. Terlihat dari, pada saat yang hampir bersamaan tepatnya 19 Mei tahun 2011, presiden mengeluarkan Peraturan Presiden No. 28 tahun 2011 tentang Penggunaan Kawasan Hutan Lindung Untuk Penambangan Tawah Tanah. Sebagaimana diketahui, bahwa inpres tersebut adalah jawaban atas pertanyaan para perusahaan tambang yang berniat untuk membuka tambang di hutan lindung. Poin pengecualian ketiga berupa perpanjangan ijin, juga membuahkan pertanyaan yang sama, mengenai seberapa besar hutan primer dan gambut yang berada di kawasan hutan atau APL yang sudah dibebani ijin dan sudah berjalan (membutuhkan perpanjangan dalam kurun dua tahun mendatang). Informasi mengenai luasan, lokasi dan perusahaan juga seharusnya dibuka ke publik sehingga jelas berapa besar diktum pengecualian ini mengurangi obyek moratorium. Jika dikalkulasi beberapa angka yang keluar dari pernyataan beberapa pejabat pemerintah terkait mengenai luasan yang akan menjadi obyek moratorium, dimana rata-rata menyebutkan totalnya sekitar 64 juta Hektar, maka perlu diketahui berapa luas yang dikecualikan berdasarkan diktum kedua akan mengurangi luasan obyek moratorium.

Hal yang cukup menggelitik adalah dimasukkannya Restorasi ekosistem dalam diktum pengecualian, karena secara logis Ijin Restorasi Ekosistem memang tidak mungkin dilakukan di wilayah Hutan Primer ataupun Gambut yang masih baik. Restorasi Ekosistem mestinya bertujuan memperbaiki wilayah hutan yang terdegradasi dan bukan di hutan primer. Menilik diktum kedua ini jelas sekali keberpihakan pemerintah terhadap kepentingan pengusaha dan industri ekstraktif, dengan mengijinkan mereka untuk terus membabat hutan Indonesia dan meningkatkan emisi karbon dari deforestasi dan pembukaan gambut. Belum lagi praktek yang sama terjadi hampir diseluruh hutan sekunder dan gambut di Indonesia yang tidak dilindungi oleh INPRES Moratorium ini. Hal yang menjadi paling penting saat ini adalah untuk menjamin efektifitas pengawasan dan penegakan hukumnya. Hanya saja, ketegasan dan konsistensi dari pemimpin negeri ini sangat menentukan. Terlebih lagi mengingat banyak sekali hal di dalam Inpres tersebut yang memerlukan penjelasan lebih lanjut. Artinya masih banyak yang perlu diatur secara lebih detil bagaimana ini diterjemahkan di tingkat lapangan. Hal ini mengingat pengalaman penerapan berbagai peraturan perundangan yang sangat tidak efektif dan hasilnya sangat jauh dari tujuan serta harapan perundang-undangan tersebut. Secara umum dimana penegakan atas suatu ketentuan dari peraturan masih lemah bahkan untuk tingkat aturan yang lebih tinggi dari Inpres, misalnya Undang-Undang, maka peran Inpres Moratorium ini untuk penyelamatan hutan dan penurunan emisi sangat diragukan keberhasilannya. Melihat lembaga yang mendapat instruksi dari INPRES ini ada dua kementrian yang secara faktual berkontribusi terhadap perusakan hutan namun tidak mendapat instruksi dari Presiden, yakni Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Menteri Pertanian. Ekspansi tambang yang menggerogoti kawasan hutan harusnya menjadi alasan untuk memasukan ESDM sebagai pihak yang mendapat instruksi ini. Di sisi lain, ekspansi perkebunan juga tak lepas dari Kementrian Pertanian. Adalah sangat relevan memasukan Pertanian sebagai pihak yang harus mendapat mandat dari moratorium. Tanpa kehadiran keduanya, secara kelembagaan INPRES ini hanyalah lip service belaka. INPRES tersebut sama sekali tidak ada upaya untuk mendorong perbaikan tata kelola sektor kehutanan yang melampaui business as usual. Dalam diktum ketiga, Menteri Kehutanan diberi mandat untuk menyempurnakan kebijakan tata kelola hanya bagi izin pinjam pakai dan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam dan bukan pada keseluruhan struktur pengelolaan hutan yang puluhan tahun gagal diurus oleh Kementrian Kehutanan. Pada saat yang sama, diktum ketiga tersebut sama sekali tidak memberi ruang bagi pihak ketiga untuk memberikan diagnosa yang tepat bagi tata kelola kehutanan tetapi justru mempercayakan rancangan tata kelola pada Kementrian Kehutanan yang sejak lama salah mengurus hutan. Sangat tidak masuk akal memberikan kepercayaan bagi pasien yang sakit puluhan tahun untuk menyembuhkan penyakitnya sendiri.

INPRES juga tidak menjawab persoalan konflik kehutanan yang menimbulkan korban jiwa yang tidak sedikit. Status penguasaan tanah 25.000 desa atau lebih dari 50 juta warga Indonesia yang beririsan maupun berada dalam kawasan hutan masih belum begitu jelas. INPRES ini justru masih meneruskan beroperasinya izin dan persetujuan prinsip bermasalah yang diakui sendiri oleh Kementrian Kehutanan banyak menimbulkan persoalan yang belum bisa tertangani (IFCA, 2007). Tanpa berusaha menjawab persoalan ini, INPRES ini sama sekali tidak akan menyentuh persoalan hak masyarakat yang secara tegas telah tertulis menjadi komitmen Pemerintah Indonesia dalam Joint Concept Note (JCN) dengan Pemerintah Norwegia dan bahkan disampaikan berkali-kali dalam statement publik Pemerintah Indonesia dalam perundingan internasional, antara lain COP 16 di Cancun Secara keseluruhan INPRES No.10 tahun 2011 ini tidak berarti banyak bagi perlindungan hutan dan komitmen penurunan emisi Indonesia. Membaca Peta Indikatif Penundaan Izin Baru Sampai saat ini Peta Indikatif Penundaan Izin Baru yang dikeluarkan sebagai lampiran tidak juga disertai dengan angka resmi yang menunjukkan berapa luas sebenarnya wilayah hutan alam primer yang dicakup dalam kebijakan ini. Beberapa angka disebutkan oleh beberapa pejabat terkait hanya saja angka yang disebutkan berbeda-beda. Sementara Peta Indikatif Moratorium yang dilampirkan sangat tidak representatif dengan skala 1:19.000.000 sedangkan Peta Indikatif Moratorium yang lebih representatif dan akurat tidak tersedia atau kalaupun tersedia tidak bisa diakses publik termasuk data dasar peta tutupan hutan terbaru 2009/2010. Berangkat dari kenyataan tersebut maka analisa yang dilakukan berdasarkan data tutupan hutan tahun 2006 yang dikeluarkan oleh Kementrian Kehutanan dan merupakan data resmi yang bisa diakses oleh publik saat ini, luas tutupan hutan alam 2 Indonesia pada tahun 2006 adalah 95,356,882 Ha dan lahan gambut (non hutan) 9,190,991 Ha. Analisis dari data tutupan hutan Indonesia 2006 ini menunjukan bahwa hutan primer tersisa adalah 45,353,393 Ha dari luasan tersebut sekitar seperempatnya (12,452,548 Ha atau 27%) berada diwilayah yang sudah dibebani ijin (baik IUPHHK-HA; HTI; Perkebunan dan Pertambangan). Sedangkan hutan primer yang berada diwilayah lindung dan konservasi adalah seluas 24,113,366 Ha. Jadi tambahan perlindungan terhadap hutan primer (setelah dikurangi wilayah hutan primer yang sudah dibebani hak dan hutan primer di wilayah lindung dan konservasi karena sudah dilindungi undang-undang) hanya sekitar 8,787,479 Ha (sekitar 19% dari total hutan primer). 2 Pengertian hutan berdasarkan pengertian hutan yang tersebut dalam UU No.41/1999 tentang Kehutanan, Bab I, Ketentuan Umum, bagian Kesatu: Pengertian Umum, Pasal 1. ayat b. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.

Ini berarti ijin yang sudah dikeluarkan di atas hutan primer yang terdiri atas IUPHHK- HA/HPH (10,453,535 Ha) 3 ; IUPHHK-HT/HTI (919,781 Ha) 4 ; Perkebunan Kelapa Sawit (602,009 Ha) 5 dan Pertambangan Batu Bara (477,223 Ha) 6 sebelum INPRES Moratorium dikeluarkan, diperkirakan akan terus berpeluang menghancurkan hutan primer tanpa tercegah lagi. Di sisi lain untuk lahan Gambut yang totalnya adalah 21,432,811 Ha, dan terdiri dari lahan gambut (non hutan) 9,190,991 Ha dan sisanya seluas 12,241,820 Ha berada di Hutan Alam. Sekali lagi lahan gambut (non hutan) inipun tidak lepas dari tumpang tindih dengan konsesi yang saat ini ada. Dari analisa data, lokasi dan luas konsesi yang ditumpangkan dengan lokasi dan luas gambut (non hutan): - Berada di konsesi IUPHHK-HT (HTI) seluas 2,613,096 Ha - Berada di konsesi IUPHHK-HA (HPH) seluas 2,030,937 Ha - Berada di konsesi Perkebuanan Kelapa Sawit seluas 2,525,381 Ha - Berada di konsesi Pertambangan Batubara seluas 96,132 Ha Total lahan gambut (non hutan) yang sudah dibebani ijin adalah seluas 7,265,546 Ha yang berarti (9,190,991 Ha - 7,265,546 Ha) 1,925,445 Ha gambut (non hutan) menjadi obyek moratorium karena belum dibebani ijin. Analisa berikutnya adalah ada kemungkinan wilayah tersebut ternyata sudah diberikan ijin prinsip, jadi pada akhirnya tidak ada lahan gambut (non hutan) yang terlindungi. Dari bacaan di atas dapat disimpulkan bahwa berdasarkan data tutupan hutan 2006 (hutan primer 45,353,393 Ha) dan dengan asumsi laju deforestasi sekitar 1 juta Ha pertahun, maka tutupan hutan primer bisa menjadi jauh lebih kecil dari yang dinyatakan pemerintah secara lisan melalui pernyataannya di media. Hal tersebut belum menghitung kontribusi deforestasi dari kegiatan illegal. Potensi Kerugian Akibat Kebijakan Moratorium Yang Buruk Dari perhitungan dan analisa di atas, dimana masih banyak ketidakjelasan operasional tentang pelaksanaan moratorium dan kalkulasi tambahan perlindungan hutan dan gambut dari INPRES yang tidak signifikan lebih mencerminkan business as usual. Pengalaman dari beberapa temuan baik oleh Kementerian Kehutanan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kerugian negara yang ditimbulkan oleh akibat praktek sektor kehutanan dan konversi hutan melebihi dari jumlah dana yang disepakati Indonesia-Norwegia sebesar 1 miliar USD (± Rp. 9.3 triliun ). 3 Berdasarkan data konsesi IUPHHK-HA yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan Oktober 2010 4 Berdasarkan data Konsesi IUPHHK-HT yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan Oktober 2010 5 Berdasarkan Kompilasi data dari Kementerian Kehutanan Oktober 2010, BPN dan Sawit Watch 2008 6 Berdasarkan data konsesi tambang batu bara yang dikeluarkan oleh Asosiasi Tambang Batubara Indonesia 2009

Potensi Kerugian Negara dari Business as Usual Temuan KPK misalnya, praktek pertambangan yang melanggar hukum di empat propinsi di Kalimantan dan berada di kawasan hutan negara, berpotensi merugikan negara dari potensi pendapatan negara bukan pajak sebesar Rp.15,9 triliun. Temuan lain KPK, Kasus berkenaan dengan pengeluaran RKT di Kalimantan Tengah dari 2003-2007 oleh Dinas Kehutanan dan Kementrian Kehutanan di perkirakan telah merugikan negara sebesar Rp. 108,8 miliar. BPK pada tahun 2010 menyebutkan empat kasus tindak pidana korupsi disektor kehutanan oleh tujuh perusahaan swasta nasional di Kalimantan Tengah, karena telah melanggar tata ruang dan kawasan dan kerugian negara yang diakibatkannya mencapai Rp. 111,328 miliar dan 453,009.87 USD. Berdasarkan audit BPK untuk sektor kehutanan Provinsi Riau semester 2 tahun 2008 dan semester 1 tahun 2009, indikasi kerugian negara pada pengelolaan hutan di Riau sebesar Rp.491,591 miliar. Rekomendasi KPK untuk memperhatikan dan membuka kembali Kasus Korupsi dan Illegal Logging di Riau, khususnya di Semenanjung Kampar yang di SP3 kan. Kasus tersebut mengindikasikan keterlibatan dua perusahaan besar pulp dan kertas. Dari beberapa contoh di atas yang kerugiannya diperhitungkan berdasarkan potensi kerugian penerimaan negara sudah cukup menggambarkan bahwa jika Kebijakan Moratorium yang cenderung business as usual diterapkan maka potensi kerugian penerimaan negara yang lebih besar akan tetap terjadi. Terlebih lagi Instruksi Presiden juga tidak secara lengkap melibatkan Kementrian Pertanian untuk sektor perkebunan dan Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral untuk sektor pertambangan, sehingga hal ini semakin memperlemah kebijakan moratorium. Kesemua kerugian yang digambarkan di atas belum lagi menghitung kerugian dalam konteks fungsi lingkungan yang hilang akibat praktek deforestasi atas wilayah-wilayah yang tidak dilindungi oleh kebijakan moratorium. Fungsi tata air, keanekaragaman hayati termasuk hilangnya habitat dan semakin terancamnya satwa dilindungi, kehilangan penyimpan karbon plus emisi yang ditimbulkan, hilangnya sumber penghidupan sekitar 60 juta orang yang hidup disekitar hutan dan juga potensi bencana alam akibat deforestasi yang semakin parah. Jika kesemua itu dihitung maka kerugian yang ditimbulkan akibat deforestasi yang berlanjut angkanya pasti akan sangat fantastis. Jika merujuk pada mantra pembangunan Rejim Presiden SBY yang pro growth, pro poor, pro job, pro environment, jelas apa yang ditetapkan dalam INPRES No. 10 tahun 2011 masih jauh dari apa yang menjadi mantra pembangunannya dan juga komitmen penurunan emisinya.