BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Iswandi Imran (2014) konsep dasar perencanaan struktur

dokumen-dokumen yang mirip
STUDI KOMPARASI PERENCANAAN GEDUNG TAHAN GEMPA DENGAN MENGGUNAKAN SNI DAN SNI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. gedung dalam menahan beban-beban yang bekerja pada struktur tersebut. Dalam. harus diperhitungkan adalah sebagai berikut :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembebanan yang berlaku untuk mendapatkan suatu struktur bangunan

BAB III LANDASAN TEORI. dasar ke permukaan tanah untuk suatu situs, maka situs tersebut harus

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. desain untuk pembangunan strukturalnya, terutama bila terletak di wilayah yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pergesekan lempeng tektonik (plate tectonic) bumi yang terjadi di daerah patahan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. perkantoran, sekolah, atau rumah sakit. Dalam hal ini saya akan mencoba. beberapa hal yang harus diperhatikan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. desain untuk bangunan strukturalnya, a, terutama bila terletak di wilayah yang

Analisis Perilaku Struktur Pelat Datar ( Flat Plate ) Sebagai Struktur Rangka Tahan Gempa BAB III STUDI KASUS

Gambar 2.1 Spektrum respons percepatan RSNI X untuk Kota Yogyakarta

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tingkat kerawanan yang tinggi terhadap gempa. Hal ini dapat dilihat pada berbagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang aman. Pengertian beban di sini adalah beban-beban baik secara langsung

03. Semua komponen struktur diproporsikan untuk mendapatkan kekuatan yang. seimbang yang menggunakan unsur faktor beban dan faktor reduksi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut PBI 1983, pengertian dari beban-beban tersebut adalah seperti yang. yang tak terpisahkan dari gedung,

T I N J A U A N P U S T A K A

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. gedung dalam menahan beban-beban yang bekerja pada struktur tersebut.

DAFTAR NOTASI BAB I β adalah faktor yang didefinisikan dalam SNI ps f c adalah kuat tekan beton yang diisyaratkan f y

DESAIN TAHAN GEMPA BETON BERTULANG PENAHAN MOMEN MENENGAH BERDASARKAN SNI BETON DAN SNI GEMPA

BAB III LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. maupun tidak langsung mempengaruhi struktur bangunan tersebut. Berdasarkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. bangunan memerlukan proses desain. Proses desain ini dapat dibedakan dalam

PERANCANGAN STRUKTUR ATAS STUDENT PARK APARTMENT SETURAN YOGYAKARTA

BAB 1 PENDAHULUAN. hingga tinggi, sehingga perencanaan struktur bangunan gedung tahan gempa

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, No. 2, (2016) ISSN: ( Print)

Perbandingan perencanaan struktur berdasarkan SNI dan SNI 1726:2012 (Studi Kasus : Apartemen Malioboro City Yogyakarta) 1

BAB IV ANALISIS STRUKTUR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. harus dilakukan berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam Tata Cara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

RESPON DINAMIS STRUKTUR PADA PORTAL TERBUKA, PORTAL DENGAN BRESING V DAN PORTAL DENGAN BRESING DIAGONAL

BAB III STUDI KASUS 3.1 UMUM

BAB II DASAR-DASAR PERENCANAAN STRUKTUR GEDUNG BERTINGKAT

JURNAL TUGAS AKHIR PERHITUNGAN STRUKTUR BETON BERTULANG PADA PEMBANGUNAN GEDUNG PERKULIAHAN FAPERTA UNIVERSITAS MULAWARMAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. itu sendiri adalah beban-beban baik secara langsung maupun tidak langsung yang. yang tak terpisahkan dari gedung.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang berlaku untuk mendapatkan suatu struktur bangunan yang aman

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. geser membentuk struktur kerangka yang disebut juga sistem struktur portal.

BAB III METEDOLOGI PENELITIAN. dilakukan setelah mendapat data dari perencanaan arsitek. Analisa dan

KOMPARASI PERENCANAAN STRUKTUR GEDUNG BERTINGKAT BEDASARKAN SNI 1726:2002 DENGAN SNI

TUGAS AKHIR ANALISA PEMBESARAN MOMEN PADA KOLOM (SRPMK) TERHADAP PENGARUH DRIFT GEDUNG ASRAMA MAHASISWI UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERENCANAAN GEDUNG PASAR TIGA LANTAI DENGAN SATU BASEMENT DI WILAYAH BOYOLALI (DENGAN SISTEM DAKTAIL PARSIAL)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Beton berlulang merupakan bahan konstruksi yang paling penting dan merupakan

PERENCANAAN GEDUNG PERPUSTAKAAN KOTA 4 LANTAI DENGAN PRINSIP DAKTAIL PARSIAL DI SURAKARTA (+BASEMENT 1 LANTAI)

ANALISIS DINAMIK RAGAM SPEKTRUM RESPONS GEDUNG TIDAK BERATURAN DENGAN MENGGUNAKAN SNI DAN ASCE 7-05

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN DAFTAR NOTASI DAN SIMBOL

BAB III METODE PENELITIAN SKRIPSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada perencanaan bangunan bertingkat tinggi, komponen struktur

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Perancangan struktur merupakan unsur yang penting pada

BAB II LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI. dan pasal SNI 1726:2012 sebagai berikut: 1. U = 1,4 D (3-1) 2. U = 1,2 D + 1,6 L (3-2)

ANALISIS DINAMIK BEBAN GEMPA RIWAYAT WAKTU PADA GEDUNG BETON BERTULANG TIDAK BERATURAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Melihat sejarah panjang gempa bumi di Indonesia, wilayah Jakarta

ANALISIS PERILAKU STRUKTUR PELAT DATAR ( FLAT PLATE ) SEBAGAI STRUKTUR RANGKA TAHAN GEMPA TUGAS AKHIR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

MODIFIKASI STRUKTUR GEDUNG WISMA SEHATI MANOKWARI DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM GANDA

BAB III METODOLOGI PERENCANAAN

DAFTAR GAMBAR. Gambar 2.1 Denah Lantai Dua Existing Arsitektur II-3. Tegangan dan Gaya pada Balok dengan Tulangan Tarik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang berlaku untuk mendapatkan suatu struktur bangunan yang aman

PERANCANGAN ULANG STRUKTUR ATAS GEDUNG PERKULIAHAN FMIPA UNIVERSITAS GADJAH MADA

PERANCANGAN STRUKTUR HOTEL DI JALAN LINGKAR UTARA YOGYAKARTA

ANALISIS DAN DESAIN STRUKTUR TAHAN GEMPA DENGAN SISTEM BALOK ANAK DAN BALOK INDUK MENGGUNAKAN PELAT SEARAH

BAB 1 PENDAHULUAN. pertemuan (function hall / banquet hall). Ruang pertemuan yang luas dan tidak

BAB V ANALISIS BEBAN GEMPA Analisis Beban Gempa Berdasarkan SNI

DESAIN DINDING GESER TAHAN GEMPA UNTUK GEDUNG BERTINGKAT MENENGAH. Refly. Gusman NRP :

3.4.5 Beban Geser Dasar Nominal Statik Ekuivalen (V) Beban Geser Dasar Akibat Gempa Sepanjang Tinggi Gedung (F i )

L p. L r. L x L y L n. M c. M p. M g. M pr. M n M nc. M nx M ny M lx M ly M tx. xxi

struktur. Pertimbangan utama adalah fungsi dari struktur itu nantinya.

MODIFIKASI PERENCANAAN STRUKTUR BAJA KOMPOSIT PADA GEDUNG PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS NEGERI JEMBER

Peraturan Gempa Indonesia SNI

BAB III LANDASAN TEORI. Kuat perlu dihitung berdasarkan kombinasi beban sesuai dengan SNI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PEMODELAN DINDING GESER BIDANG SEBAGAI ELEMEN KOLOM EKIVALEN PADA MODEL GEDUNG TIDAK BERATURAN BERTINGKAT RENDAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

berupa penuangan ide atau keinginan dari pemilik yang dijadikan suatu pedoman

EVALUASI KEKUATAN STRUKTUR YANG SUDAH BERDIRI DENGAN UJI ANALISIS DAN UJI BEBAN (STUDI KASUS GEDUNG SETDA KABUPATEN BREBES)

Meliputi pertimbangan secara detail terhadap alternatif struktur yang

PERANCANGAN STRUKTUR ATAS GEDUNG CONDOTEL MATARAM CITY YOGYAKARTA. Oleh : KEVIN IMMANUEL KUSUMA NPM. :

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. aman secara konstruksi maka struktur tersebut haruslah memenuhi persyaratan

STUDI DESAIN STRUKTUR BETON BERTULANG TAHAN GEMPA UNTUK BENTANG PANJANG DENGAN PROGRAM KOMPUTER

PERENCANAAN STRUKTUR GEDUNG KANTOR SEWAKA DHARMA MENGGUNAKAN SRPMK BERDASARKAN SNI 1726:2012 DAN SNI 2847:2013 ( METODE LRFD )

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERANCANGAN STRUKTUR GEDUNG KUSUMA MULIA TOWER SOLO MENGGUNAKAN RANGKA BAJA

ANALISIS DINAMIK STRUKTUR GEDUNG DUA TOWER YANG TERHUBUNG OLEH BALOK SKYBRIDGE

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Prinsip Umum Menurut Iswandi Imran (2014) konsep dasar perencanaan struktur bangunan pada dasarnya harus memnuhi kriteria-kriteria sebagi berikut : 1. Kuat dalam menahan beban yang direncanakan 2. Memenuhi persyaratan kemampua layan 3. Memiliki durabilitas yang tinggi 4. Kesesuaian dengan lingkungan sekitar 5. Ekonomis 6. Mudah perawatannya Langkah-langkah dalam perancangan struktur dapat diuraikan seperti pada Gambar 2.1. 2. Kriteria Desain dan Rancangan awal 1. Pedoman dan Analisis Struktur 3. Proportioning Unsur Struktur (Dasar Elemen Struktur) geometri penulangan 4. Gambar Konstruksi 5. Spesifikasi Momen Geser Gaya aksial torsi Gambar 2.1. Langkah-langkah Perancangan (Sumber : Perencanaan Dasar Struktur Beton Bertulang,2014) 5

6 2.2. Prinsip Perencanaan Struktur Bangunan Tahan Gempa Filosofi perencanaan bangunan tahan gempa adalah apabila terjadi gempa penghuni dapat selamat meskipun struktur bangunan mengalami kerusakan. Untuk merencanakan elemen-elemen dari sistem struktur agar tetap mempunyai kinerja yang baik pada saat terjadi gempa maka pada saat merencanakan struktur bangunan tahan gempa perlu ditinjau 3 jenis beban gempa yaitu gempa ringan, gempa sedang, dan gempa besar. Indonesia merupakan negara dengan tingkat terjadinya gempa yang tinggi karena letaknya yang berada di kawasan Pasific Ring Of Fire. Pasific Ring Of Fire sendiri merupakan jalur rangkaian gunung aktif di dunia. Melihat kondisi alam yang rawan terjadi gempa, maka dalam merancang struktur bangunan harus memenuhi standar perencanaan bagunan tahan gempa agar pada saat terjadi gempa keruntuhan struktur dapat diminimalisir. 2.3. Struktur Beton Bertulang Menurut Iswandi Imran material beton bertulang pada dasarnya merupakan gabungan material beton dan baja tulangan. Struktur beton bertulang merupakan struktur yang paling banyak digunakan atau dibangun orang dibandingkan dengan jenis struktur yang lainnya. Beton sendiri merupakan material yang kuat dalam menahan tekan, namun lemah dalam menahan tarik sedangkan tulangan baja kuat dalam menahan tarik. Perencanaan struktur bangunan yang meliputi perencanaan balok, kolom dan pelat yang terbuat dari beton bertulang sebagai berikut:

7 a. Kolom Kolom ialah suatu struktur yang mendukung beban aksial dengan/ tanpa momen lentur. Pada struktur atas, kolom merupakan komponen struktur yang paling penting untuk diperhatikan, karena apabila kolom ini mengalami kegagalan, maka dapat berakibat keruntuhan struktur bangunan atas dari gedung secara keseluruhan. (Asroni, 2010). Menurut Imran (2014) kolom juga dapat didefinisikan sebegai elemen struktur vertikal yang berfungsi menyalurkan gaya tekan aksial, denan atau tanpa momen, dari plat lantai dan atap ke fondasi. Momen yang disalurkan dapat berupa momen uniaksial atau biaksial. Kolom harus dirancang untuk menahan gaya aksial dari beban terfaktor pada semua lantai atau atap dan momen maksimum dari beban terfaktor pada satu bentang lantai dan atau atap bersebelahan yang ditinjau. Kondisi pembebanan yang memberikan rasio momen maksimum terhadap beban aksial juga harus ditinjau. b. Balok Balok adalah bagian dari struktur yang berfungsi untuk menopang lantai di atasnya serta sebagai penyalur momen ke kolom-kolom yang menopangnya. Balok yang bertumpu langsung pada kolom disebut balok induk, sedangkan balok yang bertumpu pada balok induk disebut balok anak. Tulangan rangkap pada perancangan balok pada umumnya ditujukan untuk meningkatkan daktilitas penampang, pengendalian defleksi jangka panjang akibat adanya rangkak dan susut. (MacGregor, 2005)

8 c. Pelat Pelat adalah elemen horisontal utama yang menyalurkan beban hidup maupun beban mati ke kerangka pendukung vertikal dari suatu sistem struktur. Elemen-elemen tersebut dapat dibuat sehingga bekerja dalam satu arah atau bekerja dalam dua arah (Nawy, 1990). Pelat merupakan struktur bidang datar (tidak melengkung) yang jika ditinjau secara 3 dimensi mempunyai tebal yang jauh lebih kecil dari pada ukuran bidang pelat. Terdapat 2 jenis pelat yaitu pelat satu arah dan pelat dua arah. 2.4. Pembebanan Struktur Dalam merancang struktur bangunan harus memperhitungkan bebanbeban yang bekerja pada struktur sehingga didapatkan perkiraan struktur banguann yang aman. Berdasarkan Peraturan Pembebanan Indonesia untuk Rumah dan Gedung (PPURG, 1987, hal 1) terdapat beberapa beban yang harus diperhitungkan dalam merancang strutur bangunan, yaitu a. Beban mati (D) ialah berat dari semua bagian dari suatu gedung yang bersifat tetap, termasuk segala unsur tambahan, penyelesaian-penyelesaian, mesin-mesin serta peralatan tetap yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari gedung itu. b. Beban hidup (L) ialah semua beban yang terjadi akibat penghunian atau penggunaan suatu gedung, dan kedalamanya termasuk beban-beban pada lantai yang berasal

9 dari barang-barang yang dapat berpindah, mesin-mesin serta peralatan yang tidak merupakan bagian yang tak terpisahkan dari gedung dan dapat diganti selama masa hidup dari gedung itu, sehingga mengakibatkan perubahan dalam pembebanan lantai dan atap tersebut. c. Beban gempa (E) ialah semua beban statik ekuivalen yang bekerja pada gedung atau bagian gedung yang menirukan pengaruh dari gerakan tanah akibat gempa itu. Dalam hal pengaruh gempa pada struktur gedung ditentukan berdasarkan suatu analisa dinamik, maka yang diartikan dengan beban gempa di sini adalah gaya-gaya didalam struktur tersebut yang terjadi oleh gerakan tanah akibat gempa itu. 2.5. Peraturan Gempa Di Indonesia terdapat standart kegempaan yaitu SNI 1726:2002, tetapi para ahli berpendapat bahwa standar perencanaan ini sudah tidak sesuai karena pada saat gempa besar yang terjadi seperti Gempa di Aceh dan Gempa di Nias bangunan-bangunan yang ada banyak mengalami kerusakan pada struktur bangunannya. Oleh karenanya perlu dilakukan revisi terhadap SNI 1726:2002 dan dibuat pembaharuan SNI yaitu SNI 1726:2012. Berdasarkan SNI 1726:2012 peta gempa ditentukan berdasarkan parameter gerak tanah Ss dan S1, kemudian dibuat kurva untuk mendapatkan nilai faktor respons gempa berdasarkan waktu getar alami.

10 Pada penelitian terdahulu, perubahan respons spektra SNI 1726:2012 bergantung pada pergerakan wilayah kegempaan dari tahun 2002 ke 2012 pada daerah tersebut. Sehingga pergerakan tanah ini, menjadi faktor perubahan nilai respons spektra pada SNI yang baru. Pembagian wilayah gempa berdasarkan SNI 1726:2002 tidak menjadi patokan untuk perubahan respons spektra SNI 1726:2012. Tidak selalu wilayah kegempaan dengan gempa tinggi pada SNI 1726:2012 mengalami kenaikan pada respons spektranya. Begitu juga pada wilayah kegempaan dengan gempa yang rendah. Kekurangan dari SNI 1726:2002 yaitu pada pembagian wilayah kegempaannya. Di dalam zona gempa SNI 2002 mengganggap semua daerah di setiap kota memiliki respons spektra yang sama. Tetapi pada kenyataannya setiap daerah atau dalam lingkup yang kecil misalnya setiap kecamatan pada suatu kabupaten tidak memiliki respons spektra yang sama. Kekurangan ini menjadi kelebihan dari SNI 1726:2012 sebagai standar kegempaan yang telah diperbaharui. Kelebihan dari SNI 1726:2012 adalah setiap tempat atau setiap lokasi dengan koordinat lintang dan bujurnya memiliki respons spektra yang berbeda. Karena wilayah gempa ditentukan berdasarkan parameter gerak tanah Ss (percepatan batuan dasar pada periode pendek 0,2 detik) dan S1 (percepatan batuan dasar pada periode 1 detik). Sehingga respon spektra yang terbentuk berbeda pada setiap tempat. (Arfiadi dan Satyarno, 2013) Dibawah ini merupakan beberapa perbedaan antara SNI 1726:2002 dan SNI 1726:2013 berdasarkan jurnal:

11 1. Respons Spektrum SNI 1726:2002 respons gempa rencana ditentukan berdasarkan zona wilayah gempa dan jenis tanah. SNI 1726:2013 peta gempa ditentukan erdasarkan parameter gerak tanah Ss dan S1, kemudian respons gempa rencana dibuat sesuai prosedur. Perbandingan respons gempa rencana dapat dilihat pada gambar 2.2, sehingga dapat disimpulkan bahwa faktor respons gempa pada T > 0,5 detik berdasarkan standar kegempaan SNI 2002 dan SNI 2012 memiliki besar dan bentuk lekukan yang relatif sama. Perbedaan faktor respons gempa terletak pada 0,2 detik > T berdasarkan SNI 2012 memiliki nilai lebih besar daripada SNI 2002 dan pada 0,2 detik < T < 0,5 detik berdasarkan SNI 2002 memiliki nilai lebih besar daripada SNI 2012. Grafik di dapat dari contoh perhitungan dalam. Gambar 2.2. Perbandingan respons spektrum gempa rencana SNI 1726:2002 dan SNI 1726:2012 (Sumber : Lailasari, Wibowo, dan Nuralinah, 2014)

12 Tabel 2.1. Perbandingan Kegempaan SNI 1726:2002 dan SNI 1726:2012 Standar Tingkat risiko (kerawanan) gempa Rendah Menengah Tinggi SNI 1726:2002 Zona 1, 2 Zona 3, 4 Zona 5, 6 SNI 1726:2012 KDS A, B KDS C KDS D, E, F 2. Analisis Gempa Statis Linier a. Prosedur Gaya Lateral Ekivalen Gaya geser dasar (base shear) yang dihasilkan oleh SNI 1726:2012 lebih besar daripada SNI 1726:2002. Hal ini terjadi karena koefisien gempa yang digunakan pada SNI 1726:2012 lebih besar jika dibandingkan dengan SNI 1726:2002. Gaya geser dasar ini kemudian didistribusikan pada setiap lantai gedung. Pendistribusian gaya gempa berdasarkan SNI 1726:2002 dan SNI 1726:2012 memiliki rumus yang berbeda. Grafik yang dihasilkan SNI 1726:2002 dan SNI 1726:2012 memiliki bentuk kecenderungan pola kurva yang sama. Pada grafik akan terlihat semakin tinggi gedung, semakin kecil selisih distribusi gaya gesernya. Hal ini terjadi karena pada SNI 1726:2012 ketinggian gedung dipangkatkan dengan nilai k yang merupakan eksponen terkait dengan periode struktur. Perbandingan gaya geser terhadap ketinggian gedung berdasarkan gaya lateral statik ekivalen SNI 1726:2002 dan SNI 1726:2012 diperlihatkan pada grafik Gambar 2.3.

13 Gambar 2.3. Perbandingan distribusi gaya geser berdasarkan statik ekivalen SNI 1726:2002 dan SNI 1726:2012 (Sumber : Lailasari, Wibowo, dan Nuralinah, 2014) b. Kombinasi Pembebanan Berdasarkan SNI 1726:2002, faktor-faktor dan kombinasi beban untuk beban mati, beban hidup dan beban gempa adalah: 1) 1,4 DL 2) 1,2 DL + 1,6 LL 3) 1,2 DL + 1,0 LL 0,3 EX 1,0 EY 4) 1,2 DL + 1,0 LL 1,0 EX 0,3 EY 5) 0,9 DL 0,3 EX 1,0 EY 6) 0,9 DL 1,0 EX 0,3 EY Berdasarkan SNI 1726:2012, faktor-faktor dan kombinasi beban untuk beban mati, beban hidup dan beban gempa sama dengan SNI 1726:2002. Akan tetapi, pada kombinasi yang terdapat beban gempa di dalam persamaannya harus didesain menggunakan pengaruh beban gempa yang ditentukan seperti berikut: E = Eh Ev = (ρ QE) (0,2SDS DL)

14 Eh merupakan pengaruh beban gempa horizontal dan Ev merupakan pengaruh beban gempa vertikal. Sehingga koefisien pada beban mati dan beban gempa menjadi berubah akibat dari pengaruh beban gempa tersebut. Secara keseluruhan dari hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa kombinasi pembebanan berdasarkan SNI 1726:2012 memiliki koefisien yang lebih besar dibandingkan dengan SNI 1726:2002 akibat dari pengaruh beban gempa. c. Simpangan Antarlantai pada Analisis Statis Simpangan antarlantai berdasarkan kinerja batas layan (Δs) SNI 1726:2002 pasal 8.1, dihitung dari simpangan struktur gedung tidak boleh melampaui 0,03 kali tinggi tingkat yang bersangkutan atau 30 R mm, bergantung yang nilainya lebih kecil. Sedangkan simpangan antarlantai berdasarkan kinerja batas ultimit (Δm) SNI 1726:2002 pasal 8.2, dihitung dari simpangan struktur gedung akibat pembebanan gempa dikalikan dengan faktor pengali untuk struktur gedung beraturan ξ = 0,7 R. Untuk memenuhi syarat kinerja batas ultimit, simpangan antarlantai tidak boleh melampaui 0,02 kali tinggi tingkat. Simpangan antarlantai berdasarkan SNI 1726:2012 pasal 7.8.6, dihitung sebagai defleksi pusat massa di tingkat teratas dan terbawah yang ditinjau. Defleksi pusat massa di tingkat x harus ditentukan C dengan persamaan x d I e xe

15 Nilai Cd merupakan faktor pembesaran defleksi dan nilai Ie merupakan faktor keutamaan gempa. Untuk memenuhi syarat kinerja batas ultimit, simpangan antarlantai tidak boleh melampaui 0,02 kali tinggi tingkat. Perbandingan simpangan antarlantai terhadap ketinggian gedung berdasarkan SNI 1726:2002 dan SNI 1726:2012 diperlihatkan pada grafik Gambar 3.4. Gambar 2.4. Perbandingan simpangan antarlantai berdasarkan SNI 1726:2002 dan SNI 1726:2012 pada analisis statis (Sumber : Lailasari, Wibowo, dan Nuralinah, 2014) 3. Analisis Gempa Dinamis Linier a. Prosedur analisis spektrum respons ragam Analisis spektrum respons ragam berdasarkan SNI 1726:2002 dan SNI 1726:2012, diperoleh hasil partisipasi massa ragam kombinasi yang hampir sama. Untuk hasil perhitungan gaya geser yang dihasilkan dari prosedur analisis spektrum respons ragam dengan metode CQC

16 berdasarkan SNI 1726:2002 dan SNI 1726:2012 lebih kecil dibandingkan dengan prosedur analisis gaya lateral ekivalen. Hal ini terjadi karena faktor respons gempa dan kombinasi pembebanan pada SNI 1726:2012 lebih besar daripada SNI 1726:2002. b. Simpangan antarlantai - Persyaratan simpangan antar lantai pada analisis dinamis SNI 2012 sama dengan persyaratan pada analisis statis SNI 2012. - Persyaratan simpangan antar lantai pada analisis dinamis SNI 2012 sama dengan persyaratan pada analisis statis SNI 2012. Perbandingan simpangan antarlantai terhadap ketinggian gedung berdasarkan SNI 1726:2002 dan SNI 1726:2012 diperlihatkan pada grafik Gambar 2.5. Gambar 2.5. Perbandingan simpangan antarlantai berdasarkan SNI 1726:2002 dan SNI 1726:2012 pada analisis dinamis (Sumber : Lailasari, Wibowo, dan Nuralinah, 2014)

17 Berdasarkan grafik pada Gambar 3.5, dapat disimpulkan bahwa simpangan antarlantai berdasarkan SNI 1726:2012 lebih besar dibandingkan dengan SNI 1726:2002. Hal ini terjadi karena kombinasi pembebanan dan gaya geser nominal analisis spektrum respons ragam yang digunakan pada SNI 2012 lebih besar jika dibandingkan dengan SNI 2002. Bentuk dari grafik antara SNI 2002 dan SNI 2012 menunjukkan kecenderungan pola kurva yang sama, hal ini disebabkan oleh pendistribusian gaya geser yang sama antara kedua standar kegempaan tersebut. Perbandingan simpangan antarlantai terhadap ketinggian gedung berdasarkan SNI 03-1726-2002 dan SNI 03-1726-2012 pada analisis statis dan analisis dinamis dengan ketinggian gedung yang sama diperlihatkan pada grafik Gambar 3.6.

18 Gambar 2.6. Perbandingan simpangan antarlantai berdasarkan SNI 1726:2002 dan SNI 1726:2012 pada analisis statis dan analis dinamis. (Sumber : Lailasari, Wibowo, dan Nuralinah, 2014) Berdasarkan grafik pada Gambar 2.6, simpangan antarlantai berdasarkan SNI 1726:2002 dengan analisis statis lebih besar daripada analisis dinamis. Begitu juga pada simpangan antarlantai berdasarkan SNI 1726:2012 dengan analisis statis lebih besar daripada analisis dinamis. Hal ini terjadi karena nilai gaya geser nominal analisis statik ekivalen lebih besar daripada analisis spektrum respons ragam. Sistem Rangka Momen Biasa (SPRMB) pada dasarnya memiliki tingkat daktilitas terbatas dan digunakan di daerah dengan risiko gempa rendah. Sistem Rangka Momen Menengah (SPRMM) memiliki tingkat daktilitas yang sedang dan digunakan di daerah dengan risiko

19 gempa menengah, sedangkan Sistem Rangka Momen Khusus (SPRMK) memiliki tingkat daktilitas penuh dan digunakan di daerah dengan risiko gempa tinggi. Semakin tinggi risiko kegempaan suatu daerah, maka persyaratan detailing penulangannya akan semakin lebih ketat. Indonesia sendiri termasuk dalan daerah dengan resiko gempa yang cukup tinggi.