1 PENDAHULUAN Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PILIHAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL DANAU SENTARUM PROVINSI KALIMANTAN BARAT EMI ROSLINDA

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Ekologi Hidupan Liar HUTAN. Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? PENGERTIAN 3/25/2014. Hidupan liar?

Lampiran 1. Daftar taman nasional yang memiliki perencanaan zonasi

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah


I. PENDAHULUAN. dari penunjukan kawasan konservasi CA dan SM Pulau Bawean adalah untuk

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang

Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun. (Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro 2000).

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

BAB I PENDAHULUAN. sumberdaya alam juga semakin besar, salah satunya kekayaan alam yang ada

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

SAMBUTAN MENTERI KEHUTANAN PADA ACARA FINALISASI DAN REALISASI MASTERPLAN PUSAT KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI (PPKH) Pongkor, Selasa, 23 April 2013

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan.

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

TINJAUAN PUSTAKA Taman Nasional

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

8 KESIMPULAN DAN SARAN

TINJAUAN PUSTAKA. penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati

SUPLEMEN, RENCANA KERJA 2015 (REVISI) : PENYIAPAN LANDASAN PENCAPAIAN SASARAN PEMBANGUNAN KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

I PENDAHULUAN. masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Kebijakan pengelolaan zona khusus Dapatkah meretas kebuntuan dalam menata ruang Taman Nasional di Indonesia?

FOREST LANDSCAPE RESTORATION

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki tanah air yang kaya dengan sumber daya alam dan

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

BAB I PENDAHULUAN. merupakan modal dasar bagi pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan

BAB 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. ada di Indonesia. Kebutuhan akan kawasan konservasi sebagai kawasan yang

I. PENDAHULUAN. Luas Taman Nasional. Luas Resort TN Gunung Gede ha ha TN Alas Purwo ha ,67 ha TN Way Kambas 125.

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015

BAB I PENDAHULUAN. (Firdaus, 2012). Pembentukan wilayah pengelolaan hutan dilakukan pada

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

8 KEBIJAKAN PENGELOLAAN TNDS

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 34/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

SD kelas 6 - ILMU PENGETAHUAN ALAM BAB 10. PELESTARIAN LINGKUNGANLatihan soal 10.1

SAMBAS BASUNI, DOSEN DEPT. KONSERVASI SDHE, FAKULTAS KEHUTANAN IPB

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. mempengaruhi debit air khususnya debit air tanah. Kelangkaan sumberdaya air

BAB VI IMPLIKASI PENERAPAN STANDAR PENGELOLAAN DI LAPANGAN

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas

Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir

BAB I PENDAHULUAN. mengenai hal tersebut menuai pro dan kontra. Kuswijayanti (2007) menjelaskan

I. PENDAHULUAN. ekonomi dan sosial budaya. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang

TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM MENTERI KEHUTANAN,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. perubahan iklim (Dudley, 2008). International Union for Conservation of Nature

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. hutan harus dilakukan dengan tetap memelihara kelestarian, keharmonisan, dan

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

4 Dinas Tata Ruang, Kebersihan dan Pertamanan

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 03/Menhut-II/2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS TAMAN NASIONAL MENTERI KEHUTANAN,

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV PENUTUP. Alam Nomor : SK. 32/IV-SET/2015 tentang Zonasi Taman Nasional Siberut, Kabupaten

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB. I. PENDAHULUAN A.

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

VISI ACEH YANG BERMARTABAT, SEJAHTERA, BERKEADILAN, DAN MANDIRI BERLANDASKAN UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN ACEH SEBAGAI WUJUD MoU HELSINKI MISI

Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (UU RI No. 41

BAB I PENDAHULUAN. penegakan hukum yang lemah, dan in-efisiensi pelaksanaan peraturan pemerintah

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KODEFIKASI RPI 11. Model Pengelolaan Kawasan Konservasi Berbasis Ekosistem

BAB I PENDAHULUAN. Cisolok Kabupaten Sukabumi Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, hutan adalah

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2)

REVITALISASI KEHUTANAN

mendorong menemukan pasar untuk produk yang sudah ada dan mendukung spesies-spesies lokal yang menyimpan potensi ekonomi (Arifin et al. 2003).

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dilakukan secara tradisional untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

VII PRIORITAS STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA TN KARIMUNJAWA

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV

BAB I PENDAHULUAN. Kawasan konservasi di Indonesia baik darat maupun laut memiliki luas

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

KONSEP MODERN KAWASAN DILINDUNGI

Transkripsi:

1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pengelolaan taman nasional (TN) di Indonesia masih menghadapi berbagai permasalahan yang mengancam kelestariannya. Masalah pengelolaan TN di Indonesia terkait erat dengan berbagai aspek seperti masalah kelembagaan, masalah kawasan, konflik kawasan serta rendahnya komitmen para pihak dalam mendukung keberhasilan kegiatan konservasi (Kementerian Kehutanan, 2011). Masalah pengelolaan yang berakar pada masalah kelembagaan ditemui di beberapa TN di Indonesia seperti di TN Komodo, TN Siberut, TN Tanjung Putting, TN Leuser; dan TN Boganani Nani Wartabone (Iskandar 1992; Soekmadi 2002; Wiratno et al. 2004). Sementara terkait permasalahan kawasan/alokasi ruang ditemui di TN Gunung Halimun Salak, TN Kelimutu, TN Batang Gadis, TN Lore Lindu, TN Gunung Merapi, TN Kayan Mentarang dan TN Wasur (Harada et al. 2001; Muda 2005; Ikhsan et al.2005; Golar 2007; Kuswijayanti et al. 2007; Kosmaryadi 2012). Pengelolaan TN tidak terlepas dari kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah. Berkaitan dengan kebijakan yang sudah diterapkan dalam pengelolaan TN mengacu pada Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 yang menyatakan sistem pengelolaan TN dilaksanakan oleh pemerintah dan dikelola dengan sistem zonasi. Sistem zonasi lebih mengatur hal yang bersifat teknis, padahal permasalahan pengelolaan di TN tidak semata masalah teknis saja. Tetapi juga menyangkut interaksi antara masyarakat yang ada di dalam kawasan misalnya menyangkut hak penguasaan (property right) dan pengelolaan sumberdaya alam, antara pemerintah dan masyarakat lokal (Padge et al. 2006; Telfer & Garde 2006; Golar 2007). Untuk mengakomodir sifat non teknis dan menyadari banyaknya kepentingan yang terlibat dalam pengelolaan kawasan konservasi, serta sesuai dengan perubahan paradigma pembangunan kehutanan dan fungsi kawasan yang dilindungi, maka di TN diperkenalkan dan diterapkan pengelolaan kolaborasi (comanagement). Hal ini didukung dengan dikeluarkannya kebijakan berupa Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) Nomor P.19/Menhut-II/2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Namun demikian, pendekatan yang digunakan masih dengan cara pandang bahwa masyarakat adalah sebagai obyek pengelolaan atau berperan sebagai partisipan dalam pencapaian tujuan konservasi formal. Pengelolaan kolaborasi semacam ini sudah diterapkan di beberapa TN, seperti TN Bunaken, TN Komodo dan TN Lore Lindu. Namun sampai saat ini pengelolaan kolaborasi (co-management) belum memberikan hasil yang memuaskan. Kendala utama yang dihadapi pada umumnya adalah lemahnya dukungan kebijakan pemerintah, lemahnya koordinasi, kapasitas sumberdaya manusia (SDM), keterbatasan sarana prasarana dan dana, dan adanya tekanan pihak luar, sehingga masih terus diuji cobakan dan dikembangkan (Purwanti 2008; Kassa 2009). Belum tuntas pengembangan pola pengelolaan kolaborasi, pada tahun 2006 dimunculkan kebijakan pengelolaan TN model. Ada 20 TN yang ditetapkan untuk menjadi TN mandiri. Namun sampai saat ini belum ditindaklanjuti dengan

2 pedoman pelaksanaannya, sehingga belum ada TN yang bisa mandiri. Kemudian dimunculkan kebijakan pengelolaan TN berbasis resort, mencontoh sistem pengelolaan hutan yang dilakukan oleh Perum Perhutani dalam bentuk Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi. Apapun kebijakan pengelolaan yang diterapkan, ternyata sampai saat ini pengelolaan oleh pemerintah belum menunjukkan hasil yang diharapkan dalam pembentukan TN yaitu kelestarian kawasan. Bila dikaji ternyata kebijakan pengelolaan sumberdaya alam yang diambil oleh pemerintah adalah menerapkan pendekatan yang seragam dimana satu kebijakan diterapkan untuk semua kondisi dan keadaan. Ini dirasakan tidak tepat, karena beda situasi, kondisi dan tempat tentunya memerlukan perlakuan dan kebijakan pengelolaan yang berbeda pula. Kondisi ini sangat berbeda bila dibandingkan dengan pengelolaan sumberdaya alam yang dilakukan oleh masyarakat di beberapa TN pada daerah kelola masing-masing yang sudah menunjukkan keberhasilannya (best practise). Sebagai contoh: sistem pengelolaan hutan di Pulau Wangi-wangi TN Laut Wakatobi (Arafah 2009), tata ruang masyarakat Sinduru di TN Lore Lindu (Andriani 2007 diacu dalam Pokja Kebijakan Konservasi 2008), konsep hutan rarangan di TN Batang Gadis (Ikhsan et al.2005), konsep keseimbangan alam pada masyarakat Malind-anim dan masyarakat Dayak di TN Kayan Mentarang (Kosmaryandi 2012). Lebih spesifik dalam pengelolaan hutan, kehutanan lokal mampu mewujudkan keseimbangan sosial, daya tahan ekonomi dan keberlanjutan fungsi lingkungan dan konservasi hutan (Darusman 2001; Anshari et al. 2005; Golar 2007; Arafah 2009). Hal ini menunjukkan masyarakat memiliki kemampuan yang perlu dipertimbangkan dalam berperanserta mengelola hutan/sumberdaya alam. Pengelolaan TN oleh pemerintah belum berjalan secara efektif, belum dapat memberikan kontribusi yang berarti untuk meningkatkan kehidupan masyarakat lokal. UU No 5 tahun 1990 sebagai UU pokok dalam pengelolaan TN, masih sangat konservatif, lebih berat kepada perlindungan sistem penyangga kehidupan serta pengawetan plasma nutfah. Sementara pengaturan aspek pemanfaatan belum mendapat perhatian yang cukup. Pola pengelolaan yang dominan pemerintah, tidak membuka peluang kerjasama atau pengelolaan oleh berbagai pemangku kepentingan terhadap TN. Kondisi ini menyebabkan terbatasnya peluang pemanfaatan potensi ekonomi TN bagi kesejahteraan masyarakat, serta meningkatkan beban negara untuk membiayai pengelolaan TN. Sementara itu sumberdaya pemerintah sangat terbatas, baik sumberdaya manusia maupun sumberdaya finansial, sehingga TN dianggap sebagai cost centre. Situasi tersebut terjadi juga di TN Danau Sentarum (TNDS) di Kalimantan Barat, menyusul ditetapkannya kawasan tersebut sebagai kawasan konservasi 1. Masyarakat dalam kawasan yang umumnya adalah nelayan dan periau 2 yang memanfaatkan dan mengelola danau, sungai dan hutan sebagai sumber mata 1 Kawasan Danau Sentarum ditunjuk sebagai kawasan konservasi awalnya sebagai Cagar Alam dengan luas 80 ha berdasarkan SK Dirjen Kehutanan No 2240/DJ/I/1981 tgl 15 Juni 1981; pada 12 Oktober 1982 berdasarkan SK Menteri Pertanian No 757/Kpts-II/Um/10/1982, status kawasan tsb ditetapkan sebagai Suaka Margasatwa; dan berdasarkan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 34/Kpts-II/1999 tgl 4 Pebruari 1999, kawasan Danau sentarum ditetapkan sebagai Taman Nasional dengan luas 132.000 ha. 2 Periau adalah petani madu tradisional di TNDS

pencaharian dan urat nadi perekonomian menjadi terbatas ruang geraknya. Keberadaan masyarakat dan aktivitas kehidupannya menjadi sesuatu hal yang salah atau illegal dalam kawasan konservasi, padahal mereka telah lebih dahulu ada, sebelum kawasan tersebut ditetapkan menjadi kawasan konservasi. Akibatnya aktivitas ekonomi terhambat dan kesejahteraan masyarakat terabaikan. Padahal, masyarakat dengan kelembagaan yang mereka miliki telah memiliki aturan, sanksi, nilai-nilai serta kepercayaan yang kuat dan dipatuhi di antara mereka dalam mengelola sumberdaya alam dan terbukti mampu menjaga kelestarian sumberdaya alam yang ada (Basuni 2003; Flint dan Liloff 2005; Pagde et al. 2006). Penetapan kawasan konservasi yang pengelolaannya dipegang oleh pemerintah dengan sistem zonasi, ternyata tidak menjadikan kawasan menjadi lebih baik. Dari berbagai hasil penelitian dan kajian, terbukti selalu ada konflik antara masyarakat dan pemerintah di dalam kawasan konservasi, yang berakibat juga terhadap kelestarian dan keberlanjutan kawasan tersebut. Penerapan pola pengelolaan TN oleh pemerintah sebagai state property regimes terbukti tidak mampu untuk mengelola sumberdaya alam secara optimal dan memunculkan berbagai permasalahan pengelolaan. Sebagai contoh di TNDS mengalami berbagai permasalahan pengelolaan yang mendasar yang berkaitan dengan kondisi biofisik TNDS dan yang berkenaan dengan pengelolaan. Bertambahnya penduduk dalam kawasan, masih adanya kegiatan penebangan, terjadinya konversi hutan, perubahan kualitas air, penurunan populasi ikan, terjadinya introduksi spesies eksotik, seringnya terjadi kebakaran lahan dan hutan, kegiatan perburuan liar, perubahan iklim global dan adanya rencana pembangunan bendungan merupakan permasalahan yang berkaitan dengan kondisi biofisik TNDS (Yuliani et al. 2007; Heri et al. 2010; Balai TNDS 2011). Sementara permasalahan dalam pengelolaan, Balai TNDS 2011 menyatakan masih lemahnya Rencana Pengelolaan (RP) yang dibuat baik dalam bentuk RPJP dan RPJM, selain itu antara RKL dan RKT seringkali tidak sinkron dan ini diakui sebagai kelemahan pusat dan daerah, kurangnya SDM, konflik pemanfaatan kawasan karena beberapa sebab (belum ditetapkannya zonasi, batas kawasan masih belum mantap, batas digugat pihak lain, pal batas hilang/dipindahkan/dirusak, dan atau tidak diakui masyarakat), konflik kontradiksi kebijakan (antara kebijakan pusat dan kebijakan daerah), perlengkapan yang belum memadai, lemahnya penegakan hukum, keterisolasian kawasan dan penelitian yang masih terbatas dilakukan. Berdasarkan latar belakang tersebut maka fokus penelitian ini mengkaji kembali kebijakan pengelolaan yang diterapkan oleh pemerintah dalam mengelola TN, khususnya mengenai pola pengelolaan yang diterapkan berupa state property regimes. Untuk memperoleh hasil yang lebih komprehensif, penelitian ini juga memasukkan aspek ekonomi dan sosial. Aspek ekonomi dilakukan melalui valuasi ekonomi, hal ini dikarenakan pengelolaan kawasan tidak terlepas dari kepentingan ekonomi dan mencari jalan keluar agar TN dapat mandiri. Sementara itu dari aspek sosial dilihat keterlibatan pemangku kepentingan dalam pengelolaan TNDS serta modal sosial dan kapabilitas pemerintah dalam pengelolaan TNDS. Oleh karena itu penelitian ini juga menggunakan konsep nilai ekonomi total untuk membahas nilai ekonomi yang dikandung TNDS; konsep pemangku kepentingan untuk membahas keterlibatan berbagai pihak dalam pengelolaaan TNDS; konsep 3

4 modal sosial untuk membahas modal sosial masyarakat dan konsep kapabilitas pemerintah untuk melihat kemampuan pemerintah dalam mengelola TNDS. Perumusan Masalah Seiring dengan terjadinya perubahan paradigma pengelolaan sumberdaya hutan yang memperhatikan masalah ekologis, ekonomi dan sosial, serta berjalannya desentralisasi dalam pengelolaan negara maka muncul berbagai permasalahan antara pemangku kepentingan dalam pengelolaan TNDS. Permasalahan pada sisi ekonomi ekologi adalah adanya kontradiksi antara fungsi TNDS yang memiliki manfaat ekonomi dan juga manfaat ekologi. Danau sentarum dari sisi ekologi berfungsi sebagai bendungan alam, sementara dari sisi ekonomi menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat dan sumber untuk memacu pendapatan asli daerah (PAD) bagi pemerintah daerah (Pemda) Kabupaten Kapuas Hulu. Kepentingan yang sama terhadap sumberdaya TNDS menimbulkan berbagai konflik, sehingga perlu diketahui nilai ekonomi manfaat kawasan untuk menjawab masalah ekonomi ekologi ini. Pada aspek sosial penetapan pengelolaan TNDS secara tunggal oleh pemerintah menyebabkan keberadaan masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya terabaikan. Kenyataannya masyarakat nelayan di TNDS di setiap kampungnya memiliki rukun nelayan, yaitu institusi yang mengatur pemanfaatan sumberdaya perikanan. Sementara masyarakat peladang juga memiliki aturan-aturan dalam pengelolaan SDA berupa lahan dan hutan. Masyarakat mengelola sumberdaya di TNDS sebagai sumberdaya bersama (common pool resources), dengan tetap mengakui hak-hak individu. Hak-hak untuk memanfaatkan SDA diputuskan melalui musyawarah, dan bersifat dinamis dan adaptif terhadap perubahan. Aturan-aturan tersebut terbukti sudah mampu untuk mengelola SDA yang ada, yang sebenarnya merupakan modal untuk pengelolaan yang berkelanjutan. Namun ada kesulitan dalam menjatuhkan sanksi adat karena aturan-aturan adat tersebut belum diakui secara resmi oleh pemerintah. Tanpa pengakuan pemerintah, aturan-aturan adat secara perlahan mengalami degradasi, dan menyebabkan melemahnya kemampuan masyarakat adat sebagai institusi untuk mengantisipasi perubahanperubahan akibat kemajuan teknologi dan pola hidup yang konsumtif. Lemahnya institusi adat akan berdampak terhadap tingkat pengelolaan SDA, yang kemungkinan mempercepat proses-proses tanpa aturan atau open access. Dari sisi kebijakan, pengelolaan TNDS lebih banyak mengacu pada kebijakan dari pusat. Sementara kedudukan TNDS di daerah dengan keberadaan penduduk di dalam kawasan sangat tergantung pada aturan-aturan di daerah. Kebijakan dari pusat lebih banyak mengatur hal-hal yang bersifat biofisik saja dan sangat sedikit memperhatikan masalah-masalah sosial yang ada di dalam kawasan. Padahal kenyataannya timbulnya masalah-masalah dalam pengelolaan SDA termasuk TN dikarenakan masalah sosial yang menyangkut interaksi antara manusia di dalam suatu kawasan. Berbagai keterbatasan kebijakan pusat yang menjadi acuan kerja Balai TNDS diduga sebagai penyebab lemahnya pengelolaan yang saat ini berjalan.

5 Dengan berbagai potensi dan permasalahan yang telah diuraikan, maka permasalahan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah pilihan kebijakan pengelolaan yang bagaimana yang harus diterapkan dalam pengelolaan TNDS agar pengelolaan menjadi efektif dan optimal? Pilihan kebijakan pengelolaan dalam penelitian ini akan didekati dengan melakukan pendugaan manfaat dan NET TNDS sebagai dasar dalam menentukan kebijakan pengelolaan dari sisi kepentingan ekonomi ekologi, modal sosial masyarakat dan kapabilitas pemerintah dalam pengelolaan yang kemudian dilakukan analisis bersama dengan kebijakan yang berjalan selama ini dalam membentuk pilihan kebijakan pengelolaan TNDS. Berdasarkan uraian diatas maka pertanyaan penelitian ini adalah: a) Berapa potensi nilai ekonomi total dari kawasan ekosistem TNDS?; b)bagaimana keterlibatan dan kedudukan pemangku kepentingan dalam pengelolaan di TNDS?; c) Bagaimana kondisi modal sosial dan kapabilitas pemerintah dalam pengelolaan TNDS; dan d) Kebijakan apa yang saat ini diterapkan pada pengelolaan TNDS sehingga masih menyebabkan tujuan dari pembentukan TNDS tidak tercapai? Tujuan Penelitian Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk merumuskan pilihan kebijakan pengelolaan TNDS melalui pendekatan ekonomi, sosial dan kebijakan. Tujuan umum dicapai melalui beberapa kajian dengan tujuan khusus, yaitu: 1 Menduga potensi nilai ekonomi total TNDS. 2 Menjelaskan pemangku kepentingan dalam pengelolaan TNDS. 3 Menguraikan modal sosial dan kapabilitas pemerintah dalam pengelolaan TNDS. 4 Mengkaji kebijakan dalam pengelolaan TNDS. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat pada aspek ilmu pengetahuan berupa pengayaan dalam metodologi penilaian sumberdaya alam, analisis pemangku kepentingan, kajian modal sosial, kajian kapabilitas pemerintah dan pengelolaan TN. Pada aspek praktis pengelolaan TN diharapkan dapat menjadi masukan bagi pembuat kebijakan untuk mengakui/melegalkan pemangku kepentingan dalam pengelolaan TN, menerapkan pola pengelolaan berdasarkan kondisi yang ada dan dalam pengelolaan TN didukung dengan kebijakan yang berbasis insentif dan kebijakan daerah (Peraturan Daerah). Novelty Pengelolaan kawasan konservasi sering mengalami kegagalan karena masih dikelola secara tunggal oleh pemerintah, menitikberatkan pengelolaan yang bersifat biofisik berdasarkan peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat. Penelitian ini mencoba menghasilkan pilihan kebijakan pengelolaan kawasan konservasi menggunakan analisis yang holistik dan terpadu dalam pengelolaan