UPAYA-UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK DI INDONESIA Oleh : E. Rial. N, SH 1

dokumen-dokumen yang mirip
PENETAPAN DAN KETETAPAN

PENGADILAN PAJAK UU. NOMOR 14 TAHUN 2002

BAB VII PERADILAN PAJAK

PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK INTERNAL DJP; PENGADILAN PAJAK; DAN MAHKAMAH AGUNG.

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 41/PJ/2014 TENTANG

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG UPAYA HUKUM KEBERATAN DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2000 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESI NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III GAMBARAN UMUM PENGADILAN PAJAK. semakin meningkat. Dalam upaya untuk mendapatkan dana dari pajak,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 1997 TENTANG BADAN PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BADAN PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK Undang-Undang No. 17 Tahun 1997 tanggal 23 Mei 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 1997 TENTANG BADAN PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 1997 TENTANG BADAN PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

1 Universitas Indonesia

PENGADILAN PAJAK DI INDONESIA: ATURAN DAN PELAKSANAANNYA SEBAGAI SOLUSI SENGKETA PAJAK

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Kementerian Keuangan RI Direktorat Jenderal Pajak Tata Cara Pengajuan Keberatan

Perpajakan 2 Pengadilan Pajak

BAB III AKIBAT HUKUM PERBEDAAN PENILAIAN DALAM PEMERIKSAAN PAJAK ANTARA PETUGAS PEMERIKSA PAJAK DENGAN WAJIB PAJAK NOTARIS/PPAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENGANTAR PERPAJAKAN HAK WAJIB PAJAK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1994 TENTANG

PEMERINTAH PROVINSI MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR : 03 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK AIR PERMUKAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 1997 TENTANG BADAN PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG

UU 9/1994, PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 1997 TENTANG BADAN PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENINJAUAN KEMBALI DALAM SENGKETA PAJAK

NOMOR 9 TAHUN 1994 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

BAB II TEORI PERPAJAKAN, PAJAK PERTAMBAHAN NILAI, PENGADILAN PAJAK DAN BANDING PAJAK

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 561/KMK.04/2000 TENTANG

*9788 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 17 TAHUN 1997 (17/1997) TENTANG BADAN PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Pengajuan Keberatan, Banding, dan Peninjauan Kembali Tagihan Bea Masuk

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24/PMK.03/2008 TENTANG

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II LANDASAN TEORI

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKABUMI NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK PENERANGAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKABUMI,

PENUNJUK UNDANG-UNDANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

PENGADILAN PAJAK DI INDONESIA SEBAGAI SOLUSI SENGKETA PAJAK (ATURAN DAN PELAKSANAANNYA) Oleh : Rizal Muchtasar 1. Intisari

PENGANTAR PERPAJAKAN PERADILAN PAJAK

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BURU NOMOR 08 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK RESTORAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BURU,

PERPAJAKAN I KUASA & KONSULTAN PAJAK, PEMERIKSAAN, PENAGIHAN, RESTITUSI PAJAK. Deden Tarmidi, SE., M.Ak., BKP. Modul ke: Fakultas Ekonomi dan Bisnis

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

BAGIAN 1 NOMOR POKOK WAJIB PAJAK. e-registration melalui laman Direktorat Jenderal Pajak

PEMERINTAH KOTA MEDAN PERATURAN DAERAH KOTA MEDAN NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MEDAN

LEMBARAN DAERAH KOTA LUBUKLINGGAU. Nomor 12 Tahun 2010 PERATURAN DAERAH KOTA LUBUKLINGGAU NOMOR 12 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK AIR TANAH

KOMPILASI RANCANGAN UNDANG-UNDANG KETENTUAN UMUM PERPAJAKAN (KUP)

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN (UU KUP)

PERATURAN DAERAH KABUPATEN ROKAN HILIR NOMOR 2 TAHUN 2011

- 1 - UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR : 16 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI SUKABUMI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKABUMI NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK RESTORAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKABUMI,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENGATURAN PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK BERDASARKAN UU NO.14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN UU NO

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUSI BANYUASIN NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR : 5 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TASIKMALAYA,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BALANGAN NOMOR 10 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BALANGAN NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK PARKIR

BAB 2 LANDASAN TEORI. Beberapa ahli dalam perpajakan telah memberikan pengertian pajak, antara lain sebagai berikut:

PERATURAN DAERAH KOTA MEDAN NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK RESTORAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MEDAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANDAK NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK SARANG BURUNG WALET DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LANDAK,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKABUMI NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK SARANG BURUNG WALET DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKABUMI,

- 1 - PEMERINTAH KABUPATEN PONOROGO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PONOROGO NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KABUPATEN REJANG LEBONG

PEMERINTAH PROVINSI IRIAN JAYA BARAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN Ditetapkan tanggal 17 Juli 2007 KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BOGOR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOGOR

NO. PERDA NOMOR 2 TAHUN 2011 PERDA NOMOR 17 TAHUN 2016 KET 1. Pasal 1. Tetap

2. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 41 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3685);

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PENAGIHAN PAJAK DAERAH DENGAN SURAT PAKSA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WAKATOBI

BAB 1 PENDAHULUAN. Penerimaan Pajak Diperkirakan Rp 604 Triliun, diunduh tanggal 30 Mei 2010.

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MATRIK PERBANDINGAN UNDANG-UNDANG RI NO. 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG SEBAGAIMANA YANG TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NO

BUPATI PURWAKARTA PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWAKARTA NOMOR : 19 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK PARKIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II GARUT

Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2000 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH BUMBU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANAH BUMBU,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUSI BANYUASIN NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK PENERANGAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MUSI BANYUASIN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI SERI A. 20 Desember 2010

PERUMUSAN KEBIJAKAN PERPAJAKAN DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK

PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGAWI NOMOR 19 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PESAWARAN NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK PARKIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PESAWARAN,

: PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENAGIHAN BEA MASUK DAN/ATAU CUKAI.

Transkripsi:

UPAYA-UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK DI INDONESIA Oleh : E. Rial. N, SH 1 ABSTRAKSI Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak. Timbulnya sengketa pajak, adalah setelah suatu putusan atau penetapan yang mewajibkan pembayaran atau sanksi tertentu telah ditimpakan kepada wajib pajak. Menurut Undang-undang Nomor 14 tahun 2002 Pasal 1 ayat 5 Sengketa Pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau penanggung pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan banding atau gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Kehadiran Pengadilan Pajak diharapkan dapat lebih memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum dibandingkan dengan institusi penyelesaian sengketa pajak sebelumnya I. PENDAHULUAN Didirikannya Pengadilan Pajak, seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 14 tahun 2002, menambah nuansa baru dari suatu pengkhususan pengadilan di Indonesia. Saat ini di Indonesia hanya ada 4 lingkungan peradilan, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Militer, dan Peradilan Agama. Dengan melihat karakteristik Pengadilan Pajak sekilas dapat diketahui bahwa pengadilan ini tidak mungkin masuk dalam lingkungan Peradilan Umum dikarenakan Pengadilan Pajak menyelesaikan sengketa warga negara yang tidak puas dengan keputusan yang diberikan oleh negara khususnya Kantor Perpajakan baik itu di daerah dan/atau di pusat, di mana hal ini dapat saja ditafsirkan bahwa keputusan dari kantor perpajakan tersebut sebagai sebuah keputusan tata usaha negara yang dalam hal ini masuk dalam ranah Peradilan Tata Usaha Negara. Penyelesaian permasalahan sengketa dibidang perpajakan telah memiliki sarana dengan adanya Pengadilan Pajak. Sebelum Pengadilan Pajak berdiri, media yang digunakan untuk menyelesaikan masalah sengketa pajak dimulai dari jaman Hindia Belanda telah ada badan penyelesaian sengketa pajak yang dibentuk dengan Ordonansi 1915 (Staatsblad Nomor 707) dengan nama Raad van het Beroep voor Belastingzaken (Badan Banding Administrasi Pajak), yang kemudian diganti dengan Ordonansi 27 Januari 1927, Staatsblad 1927 Nomor 29 tentang Peraturan Banding Urusan Pajak (Regeling van het Beroep in Belastingzaken). 2 Selanjutnya badan tersebut diganti oleh Majelis Pertimbangan Pajak (MPP) dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1959 (Lembaran Negara 1959 Nomor 13), yang disebut sebagai peradilan yang sah berdasarkan undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. 1 Penulis adalah Kabid Pendidikan PUSDIKLAT Lab FH UII 2 Rizky Argama, Pengadilan Pajak Di Indonesia: Aturan Dan Pelaksanaannya Sebagai Solusi Sengketa Pajak, makalah, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, hlm. 6-7, Desember 2005. 42

Seiring berkembangnya aturan mengenai pajak dan semakin meningkatnya potensi sengketa pajak, MPP dianggap sudah tidak memadai dalam melakukan penyelesaian sengketa pajak, sehingga pemerintah merasa perlu membentuk lembaga peradilan di bidang perpajakan yang lebih komprehensif dan dibentuk melalui undang-undang, agar dapat menjamin hak dan kewajiban pembayar pajak sesuai dengan undang-undang bidang perpajakan serta memberikan putusan hukum atas sengketa pajak. Putusan lembaga peradilan pajak dapat dijadikan pedoman dalam melaksanakan undang-undang perpajakan sehingga ketentuan-ketentuan di dalamnya dapat memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi semua pihak, 3 sehingga dibentuklah Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP), berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1997. Sekali lagi, bahwa ternyata BPSP pada kenyataannya juga belum merupakan badan peradilan yang berpuncak di Mahkamah Agung sehingga dibutuhkan suatu pengadilan pajak yang sesuai dengan sistem kekuasaan kehakiman yang berlaku di Indonesia sekaligus mampu menciptakan keadilan dan kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa pajak. Dengan dasar pertimbangan tersebut, Pemerintah Republik Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. II. KOMPETENSI ABSOLUT DAN RELATIF PENGADILAN PAJAK Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang berada dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu sebagai badan peradilan administrasi khusus dibidang perpajakan yang merupakan badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak. Kekuasaan (kompetensi Absolut) Pengadilan Pajak diatur dalam Pasal 31, 32, dan 33 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, di mana kekuasan (kompetenasi Absolut) tersebut adalah: 1. Pengadilan Pajak merupakan Pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam memeriksa dan memutus Sengketa Pajak oleh karenanya putusan Pengadilan Pajak tidak dapat diajukan gugatan ke Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara atau Badan Peradilan lain, kecuali putusan berupa "tidak dapat diterima" yang menyangkut kewenangan/kompetensi; 2. Pengadilan pajak mempunyai tugas dan wewenang memeriksa dan memutus Sengketa Pajak; 3. Pengadilan Pajak dalam hal Banding hanya memeriksa dan memutus sengketa atas keputusan keberatan kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku; 4. Pengadilan Pajak dalam hal gugatan memeriksa dan memutus sengketa atas pelaksanaan penagihan pajak atau keputusan pembetulan atau, keputusan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 dan peraturan perundangundangan perpajakan yang berlaku; 5. Pengadilan Pajak mengawasi kuasa hukum yang memberikan bantuan hukum kepada pihak-pihak yang bersengketa dalam sidang-sidang Pengadilan Pajak; 6. Pengadilan Pajak dapat memanggil atau meminta data atau keterangan yang berkaitan dengan Sengketa Pajak dari pihak ketiga sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan untuk kompetensi relatif yang menyangkut kewenangan mengadili suatu lembaga pengadilan terhadap kewenangan mengadili pengadilan dari lingkungan peradilan yang sama dengan wilayah hukum yang berbeda, maka kompetensi Pengadilan Pajak di atur dalam Pasal 3 3 Ibid., hlm. 8. 43

dan Pasal 4 4 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Dari Pasal 3 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak diketahui bahwa kedudukan Pengadilan Pajak adalah di ibukota negara, maka Pengadilan Pajak hanya ada di ibukota Jakarta. Oleh karena karakteristiknya yang unik, maka sifat Pengadilan Pajak adalah tidak harus in persona (para pihak harus dihadirkan). Dalam Pengadilan Pajak yang diperiksa hanyalah dokumen, yaitu berupa laporan keuangan, rekening bank, data transaksi, mengenai omzet, dan sebagainya. 5 Kedudukan Pengadilan Pajak yang hanya bertempat di Jakarta tidak menjadi penghalang bagi para wajib pajak dan fiskus yang berdomisili di luar Jakarta dan luar Pulau Jawa untuk dapat menyelesaikan sengketa pajak masing-masing. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 4 (1) UU Nomor 14 Tahun 2002 yang berbunyi, Sidang Pengadilan Pajak dilakukan di tempat kedudukannya dan apabila perlu dapat dilakukan di tempat lain. Pada hakikatnya tempat sidang Pengadilan Pajak dilakukan di tempat kedudukannya. Namun, dengan pertimbangan untuk memperlancar dan mempercepat penanganan Sengketa Pajak, tempat sidang dapat dilakukan di tempat lain. Hal ini sesuai dengan prinsip penyelesaian perkara yang dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. 6 III. UPAYA-UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA DI BIDANG PAJAK A. UPAYA KEBERATAN Keberatan adalah dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan kemungkinan terjadi bahwa Wajib Pajak (WP) merasa kurang/tidak puas atas suatu ketetapan pajak yang dikenakan kepadanya atau atas pemotongan/ pemungutan oleh pihak ketiga. Dalam hal ini WP dapat mengajukan keberatan.upaya keberatan merupakan upaya hukum yang diajukan oleh wajib pajak atau penanggung pajak sebagai akibat dari adanya perbedaan penafsiran dan pendirian mengenai ketentuan hukum di bidang pajak terhadap suatu kasus tertentu. Hal ini terjadi : 1. Antara wajib pajak atau penanggung pajak dan Dirjen Pajak dan jajarannya atas Penetapan utang pajak untuk jenis pajak pusat yang pengelolaannya menjadi kewenangan Direktorat Jenderal Pajak; 2. Antara wajib pajak dan Kepala Daerah/Kepala Dinas Pendapatan Daerah di daerah (baik provinsi maupun kabupaten/kota) atas penetapan besarnya utang pajak untuk pajak daerah; 3. antara wajib pajak dan Direktur Jenderal Bea Cukai dan jajarannya atas penetapan bea masuk, cukai, dan sanksi administrasinya. 7 Di dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007, diatur beberapa ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai keberatan yaitu : 1. Keberatan atas Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai Atas Barang dan Jasa (Pasal 25 UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan ). Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan atas suatu : a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB); b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT); c. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB); d. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN); e. Pemotongan atau Pemungutan oleh pihak ketiga. 2. Keberatan atas Pajak Bumi dan Bangunan 4 Y. Sri Pudyatmoko, Pengadilan dan Penyelesaian Sengketa di Bidang Pajak, PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 2005, hlm 73-74. 5 Rizky Argama, Op.Cit., hlm 13-14. 6 Penjelasan Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. 7 Y. Sri Pudyatmoko, Pengadilan dan Penyelesaian Sengketa di Bidang Pajak, PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 2005, hlm 27 28. 44

Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan atas suatu : a. Surat Pemberitahuan Pajak terutang (SPPT) b. Surat ketetapan Pajak (SKP) 3. Keberatan atas Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan atas suatu : a. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar (SKBPHTBKB) b. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan (SKBPHTBKBT) c. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan lebih Bayar (SKBPHTBLB) d. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Nihil (SKBPHTBN) 4. Keberatan atas Pajak Daerah Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan atas suatu : a. Surat Ketetapan Pajak Daerah b. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar c. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan d. Surat Ketetapan Pajak Daearah lebih Bayar e. Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil Ketentuan yang mengatur tentang keberatan atas surat ketetapan pajak daerah pada umumnya diatur dalam ketentuan perundangan-undangan mengenai Pajak Daerah (Peraturan Daerah) yang bersangkutan. 5. Untuk Bea Masuk, keberatan atas tarif dan atau nilai Pabean dan Sanksi Adminsitratif diatur dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000. Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan atas suatu a. Penetapan tarif atau nilai pabean untuk dasar penghitungan Bea Masuk barang impor b. Pengenaan sanksi dari Direktur Jenderal 6. Untuk Cukai, keberatan atas pengenaan Cukai dan sanksi administrasinya diatur dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 39 Tahun 2007 Ketentuan pengajuan keberatan dari masing-masing keberatan tersebut adalah : 1. Keberatan diajukan secara tertulis (dalam Bahasa Indonesia) 2. Wajib menyebutkan jumlah pajak yang terutang atau jumlah pajak yang dipotong atau dipungut atau jumlah rugi menurut penghitungan Wajib Pajak dan disertai alasanalasan yang jelas. 3. Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat, tanggal pemotongan atau pemungutan, kecuali apabila wajib pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya. Apabila dalam suatu ketentuan perundang-undangan perpajakan terdapat ketentuan tersendiri yang mengatur tentang jangka waktu pengajuan keberatan, maka ketentuan umum jangka waktu pengajuan keberatan 3 (tiga) bulan tersebut tidak berlaku, yang berlaku adalah yang diatur secara khusus dalam ketentuan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan. Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak dan keberatan yang tidak memenuhi syarat, dianggap bukan surat keberatan, sehingga tidak diproses. 45

B. UPAYA BANDING Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) Banding yang diajukan ke Pengadilan Pajak merupakan upaya hukum lanjutan oleh wajib pajak, di mana upaya banding ini dilakukan terhadap keputusan pejabat yang berwenang yang berkaitan dengan keputusan atas upaya keberatan. Banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau penanggung Pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan Banding, berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Objek Banding adalah sengketa atas keputusan keberatan kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundangundangan yang berlaku. Adapun dasar hukum dari banding ini adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana terakhir telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Pasal 27 dan 27A), serta Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002. Selain itu terdapat pengaturan atau dasar hukum mengenai upaya banding lainnya misalnya dalam Pasal 95 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006 Upaya banding pada pengadilan pajak ini berbeda dengan upaya banding pada pengadilan umum di mana untuk banding pada Peradilan Umum ini adalah merupakan Pengadilan Tingkat II, artinya sengketa hukum yang terjadi antara para pihak yang berperkara telah diputus oleh Pengadilan Tingkat I, dan salah satu pihak atau para pihak yang bersengketa tersebut menganggap bahwa putusan Pengadilan Tingkat I kurang memuaskan, sehingga mereka mengajukan permohonan upaya hukum banding ke pengadilan Tingkat II. 8 Pasal 27 ayat (1) Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada Pengadilan Pajak atas Surat Keputusan Keberatan. Dengan demikian, proses pengajuan banding hanya dapat dilakukan apabila telah melalui proses keberatan. Syarat-Syarat Banding (Pasal 35 & 36) 9 adalah sebagai berikut : 1. Banding diajukan secara tertulis dengan Surat Banding dalam Bahasa Indonesia kepada Pengadilan Pajak 2. Banding dapat diajukan oleh wajib pajak, ahli warisnya, seorang pengurus atau kuasa hukumnya. 3. Banding diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterima Keputusan yang dibanding, kecuali diatur lain dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. 4. Jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterima Keputusan yang dibanding, tidak mengikat apabila jangka waktu dimaksud tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan Pemohon Banding. 5. Terhadap 1 (satu) Keputusan diajukan 1 (satu) Surat Banding. 6. Banding diajukan dengan disertai alasan-alasan yang jelas, dan dicantumkan tanggal diterima surat keputusan yang dibanding. 7. Pada Surat Banding dilampirkan salinan Keputusan yang dibanding. 8. Dalam hal Banding diajukan terhadap besarnya jumlah Pajak yang terutang, Banding hanya dapat diajukan apabila jumlah yang terutang dimaksud telah dibayar sebesar 50% (lima puluh persen). 9. Pemohon banding dapat melengkapi Surat Bandingnya untuk memenuhi ketentuan yang berlaku, sepanjang masih dalam jangka waktu yang ditetapkan. 8 Y. Sri Pudyatmoko, Op.Cit., hlm. 87. 9 www.pajakonline.com. Lihat juga bahan ajar mata kuliah Praktik Peradilan Pajak, Dosen Bapak Drs. Adi Poernomo. 46

Pengajuan sebuah upaya hukum banding oleh wajib pajak atau penanggung pajak menggunakan bahasa Indonesia. Undang-undang memberikan solusi bagi mereka yang kurang mempunyai kecakapan dan pemahaman mengenai berbagai hal di bidang pajak, termasuk di dalamnya kurang mampu berbahasa Indonesia, untuk mencari kuasa hukum yang dapat mewakili atau mendampinginya. Namun bagaimana jika wajib pajak tidak mempunyai kecakapan beracara ternyata tidak mampu membayar seseorang yang diberi kuasa untuk mewakili atau mendampingi? Pengajuan banding mempunyai limit waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya keputusan yang dibanding, kecuali diatur lain dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. Pada prinsipnya pemberian limit waktu untuk memberikan kepastian kepada publik, bahwa jika waktu pengajuan banding dibatasi 3 (tiga) bulan sejak diterimanya keputusan, dan ternyata setelah lewat waktu tersebut tidak diajukan banding, maka wajib pajak atau penanggung pajak dapat menerima isi keputusan yang diterimanya. 10 Ketentuan ini dapat disimpangi jika terjadi di luar kekuasaan wajib pajak atau penanggung pajak dalam mengajukan upaya banding dengan membuktikan bahwa wajib pajak atau penanggung pajak tidak memenuhi disebabkan terjadi di luar kemampuannya sehingga pengajuan upaya banding ini melampaui batas waktu yang telah ditentukan undang-undang. Di dalam surat banding ini wajib pajak atau penanggung pajak harus menyertai alasanalasan yang jelas seperti layaknya membuat sebuah gugatan (dalam perkara perdata) yang memuat posita (alasan-alasan hukum) dan petitum (hal yang dimohonkan), dengan dilampirkan keputusan yang dijadikan obyek sengketa. Banding dapat diajukan oleh Wajib Pajak, ahli warisnya, seorang pengurus, atau kuasa hukumnya. Para pihak yang bersengketa masing-masing dapat didampingi atau diwakili oleh satu atau lebih kuasa hukum dengan Surat Kuasa Khusus. Apabila selama proses banding, Pemohon Banding meninggal dunia, banding dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya, kuasa hukum dari ahli warisnya, atau pengampunya dalam hal Pemohon Banding pailit. Apabila selama proses Banding pemohon Banding melakukan penggabungan, peleburan, pemecahan/pemekaran usaha, atau likuidasi, permohonan dimaksud dapat dilanjutkan oleh pihak yang menerima pertanggungjawaban karena penggabungan, peleburan, pemecahan/pemekaran usaha, atau likuidasi dimaksud. Dalam hal melakukan banding, jangka waktu pelunasan pajak atas jumlah yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan tertangguh sampai dengan satu bulan sejak tanggal penerbitan putusan banding. Sementara itu, apabila ternyata permohonan banding kita ditolak atau dikabulkan sebagian perlu diperhatikan bahwa konsekuensinya adalah kita sebagai Wajib Pajak akan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% dari jumlah pajak berdasarkan putusan banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan. Putusan Banding akan diambil dalam jangka waktu 12 bulan sejak Surat Banding diterima (pemeriksaan dengan cara biasa). Putusan Banding ini merupakan keputusan akhir yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Atas putusan pengadilan pajak ini, dapat diajukan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung. 11 C. GUGATAN Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak menyebutkan bahwa gugatan adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh wajib pajak terhadap pelaksanaan penagihan pajak atau terhadap keputusan yang dapat diajukan gugatan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk mengenai Penagihan Pajak diatur Pasal 37 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 jo. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, di mana gugatan yang diajukan ke Badan Peradilan Pajak 10 Y. Sri Pudyatmoko, Op.Cit., hlm. 89 11 www.wealthindonesia.com/wealth-growth-and-accumulation/prosedur-banding-atas-surat-keputusan-kebe.html 47

adalah gugatan penanggung pajak terhadap pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan atau Pengumuman Lelang. 12 Berdasarkan Pasal 23 ayat (2) UU Ketentuan Umum Perpajakan (KUP), gugatan dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau Penanggung Pajak kepada badan peradilan pajak, di mana Badan peradilan pajak yang dimaksud adalah Pengadilan Pajak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Gugatan dilakukan terhadap : 1. Pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang; 2. Keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak; 3. Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 UU KUP; atau 4. Penerbitan surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Wajib pajak atau penanggung pajak dapat mengajukan gugatan baik atas keputusan tentang penagihan pajak maupun hal lain di bidang pajak sepanjang diperbolehkan oleh peraturan perundang-undangan perpajakan. Pengajuan gugatan diberikan batas waktu 14 hari, namun apabila telah lewat dari 14 hari tanpa ada gugatan dari wajib pajak atau penaggung pajak terhadap penagihan pajak, maka wajib pajak atau penanggung pajak menerima tindakan penagihan tersebut. Jangka waktu tersebut dapat disimpangi, apabila wajib pajak atau penanggung pajak dapat memberikan alasan yang kuat terhadap limit waktu pengajuan pajak ke Pengadilan Pajak dikarenakan di luar kemampuan wajib pajak atau penanggung pajak. Sedangkan untuk Gugatan terhadap Keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak, Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 UU KUP, Penerbitan surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diajukan paling lambat 30 hari sejak tanggal diterima Keputusan yang digugat. Pihak yang dapat mengajukan gugatan pajak ke Pengadilan Pajak, seperti halnya pada waktu pengajuan upaya banding, yaitu wajib pajak, ahli warisnya, seorang pengurus, atau kuasa hukumnya. Pengajuan gugatan ke Pengadilan Pajak tidak menunda pelaksanaan penagihan atau kewajiban pajak wajib pajak atau penanggung pajak. Namun wajib pajak atau penanggung pajak dapat mengajukan permohonan (di mana permohonan tersebut diajukan bersamaan dengan gugatan) agar pelaksanaan penagihan pajak ditunda selama pemeriksaan sengketa pajak sedang berjalan sampai ada putusan Pengadilan Pajak. Permohonan penundaan pelaksanaan penagihan pajak yang diajukan berbarengan dengan gugatan, seharusnya diputuskan terlebih dahulu apakah diterima atau tidak diterima. Tetapi apabila pemohonan diajukan saat sengketa sudah diproses tahap pemeriksaan atau sudah hampir putusan maka permohonan penundaan tersebut tidak diputuskan terlebih dahulu. Permohonan penundaan dapat dikabulkan apabila keadaan mendesak yang mengakibatkan kepentingan Penggugat dirugikan jika penagihan pajak yang digugat dilaksanakan. Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak tidak diatur syarat formal gugatan, namun tidak ada konsekuensi apapun jika gugatan tidak memenuhi syarat formal tersebut di dalam Undang-Undang pengadilan Pajak tersebut. Dengan tidak dimuatnya syarat formal sebuah gugatan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak maka pencari keadilan pada bidang pajak tersebut melalui Pengadilan Pajak dapat memahami materi (isi) gugatan, yang pada umumnya memuat : 12 Y. Sri Pudyatmoko, Op.Cit., hlm. 92-93. 48

1. Kompetensi (absolut dan relatif); 2. Identitas para pihak; 3. Posita (Fundamentum Potendi); 4. Petitum (Tuntutan) D. PENINJAUAN KEMBALI Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yang memberikan kesempatan kepada Wajib Pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak untuk mengajukan peninjauan kembali (PK) atas putusan Pengadilan Pajak ke Mahkamah Agung. Berdasarkan Pasal 77 ayat (3) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak diatur bahwa pihak-pihak yang bersengketa baik Wajib Pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali atas putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung. Pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan peninjauan kembali atas putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung. Permohonan Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan 1 (satu) kali kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak. Permohonan Peninjauan Kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan Putusan Pengadilan Pajak. Dalam Pasal 91 Jo. Pasal 92 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak, permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan berdasarkan alasan : 1. Apabila putusan Pengadilan Pajak didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu, maka pengajuan permohonan peninjauan kembali dilakukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak diketahuinya kebohongan atau tipu muslihat atau sejak putusan hakim pengadilan pidana memperoleh kekuatan hukum tetap. 2. Apabila terdapat bukti tertulis baru yang penting dan bersifat menentukan, yang apabila diketahui pada tahap persidangan di Pengadilan Pajak akan menghasilkan putusan yang berbeda, maka pengajuan permohonan peninjauan kembali dilakukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak diternukan surat-surat bukti yang hari dan tanggal ditemukannya harus dinyatakan di bawah sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang. 3. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang dituntut, kecuali yang diputus berdasarkan Pasal 80 ayat (1) huruf b dan huruf c, maka pengajuan permohonan peninjauan kembali dilakukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak putusan dikirim. 4. Apabila mengenai suatu bagian dan tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebabsebabnya, maka pengajuan permohonan peninjauan kembali dilakukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak putusan dikirim. 5. Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka pengajuan permohonan peninjauan kembali dilakukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak putusan dikirim. KESIMPULAN 1. Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau Penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak. 2. Kekuasaan Pengadilan Pajak dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak meliputi sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan banding atau gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang- 49

undangan perpajakan, termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undangundang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. 3. Upaya Penyelesaian sengketa di bidang pajak : a. Upaya Keberatan Upaya yang dilakukan wajib pajak terhadap perbedaan penafsiran dan pendirian tentang ketentuan hukum di bidang pajak terhadap kasus tertentu. Wajib Pajak mempunyai hak untuk mengajukan keberatan atas suatu ketetapan pajak dengan mengajukan keberatan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat 3 bulan sejak tanggal surat ketetapan, dan atas keberatan tersebut Direktur Jenderal Pajak akan memberikan keputusan paling lama dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak surat keberatan diterima b. Upaya Banding Banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau penanggung Pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan Banding, berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Objek Banding adalah sengketa atas keputusan keberatan kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak (Pengadilan Pajak) atas Surat Keputusan Keberatan, sehingga proses pengajuan banding hanya dapat dilakukan apabila telah melalui proses keberatan. c. Gugatan Gugatan adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh wajib pajak terhadap pelaksanaan penagihan pajak atau terhadap keputusan yang dapat diajukan gugatan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Gugatan yang diajukan ke Badan Peradilan Pajak adalah gugatan penanggung pajak terhadap pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan atau Pengumuman Lelang. d. Peninjauan Kembali Permohonan Pengajuan Peninjauan kembali dapat dilakukan oleh wajib pajak dan itu merupakan upaya hukum luar biasa, dimana untuk dapat mengajukan telah dibatasi apa yang menjadi alasannya. Permohonan hanya dapat diajukan 1 (satu) kali kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak. Meskipun hal itu tidak dapat menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan Pengadilan Pajak. Catatan tambahan : 1. Apabila Pasal 35 dan 36 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak didudukkan sebagai ketentuan yang mengatur persyaratan formal pengajuan banding, maka untuk gugatan juga ada, yaitu Pasal 40 dan 41 2. Dalam BAB III (mengenai Upaya Keberatan, Upaya Banding, Gugatan dan Peninjauan Kembali), disatu pihak disebut wajib pajak (selaku Pemohon Banding atau Penggugat), namun dilain pihak hanya disebut Direktur Jenderal Pajak (selaku Terbanding atau Tergugat). Ada baiknya disinggung juga mengenai Pejabat di bidang perpajakan lainnya seperti Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Gubernur / Kepala Dinas Pendapatan Daerah atau lainnya 50