PENURUNAN RESIDU AFLATOKSIN B1 DAN M1 PADA HATI ITIK DENGAN PEMBERIAN KULTUR Saccharomyces cerevisiae DAN Rhizopus oligosporus

dokumen-dokumen yang mirip
EFEKTIFITAS NATRIUM KALSIUM ALUMINOSILIKAT HIDRAT DALAM PENURUNAN RESIDU AFLATOKSIN PADA DAGING DAN HATI AYAM BROILER

VIABILITAS Saccharomyces cerevisiae, Rhizopus oligosporus DAN CAMPURANNYA DALAM TEPUNG BERAS

Lokakarye Fungsiona/Non Peneiti 1. Bahan-bahan Bahan baku : pakan ayam Bahan pereaksi Asetonitril ; Larutan potasium klorida 4% ; Larutan

Isolat Lokal Saccharomyces cerevisiae sebagai Biokompetitor Aspergillus flavus

ANALISIS AFLATOKSIN PADA JAGUNG YANG DIMURNIKAN DENGAN SOLID PHASE EXTRACTION SILIKA DAN DIDETEKSI SECARA KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI

RESIDU AFLATOKSIN PADA DAGING DAN HATI SAPI DI PASAR TRADISIONAL DAN SWALAYAN DI JAWA BARAT

RESIDU AFLATOKSIN M1 PADA SUSU SAPI SEGAR DI PANGALENGAN DAN BOGOR JAWA BARAT

PENGEMBANGAN METODA ANALISIS RESIDU AFLATOKSIN B 1 DALAM HATI AYAM SECARA ENZYME LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA)

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Genotipa dan Kadar Aflatoksin dalam Ransum pada Karakteristik Awal Bertelur Itik Lokal

PENCEMARAN BAHAN PAKAN OLEH Aspergillus flavus YANG MAMPU MEMPRODUKSI AFLATOKSIN DI WILAYAH CIANJUR, DEPOK DAN BEKASI TAHUN 2009

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Isolat Aspergillus flavus NTGA7A4UVE10 hasil penelitian terdahulu

PEMAKAIAN ULANG FASA GERAK TETRASIKIAN DALAM ANALISIS ANTIBIOTIKA PADA ALAT KHROMATOGRAFI CAIRAN KINERJA TINGGI RINGKASAN

AFLATOKSIN dan BAHAN PENGAWET

DAYA DAN KESTABILAN BUIH PUTIH TELUR AYAM RAS PADA UMUR SIMPAN DAN LEVEL PENAMBAHAN ASAM SITRAT YANG BERBEDA SKRIPSI UMI SA ADAH

SAMBILOTO (ANDROGRAPHIS PANICULATA NEES.) UNTUK MENGURANGI CEMARAN AFLATOKSIN PADA PAKAN AYAM KOMERSIAL

Haris Dianto Darwindra BAB VI PEMBAHASAN

Alat Neraca analitik, gelas piala 600 ml, gelas ukur 100 ml, "hot plate", alat refluks (untuk pendingin), cawan masir, tanur, alat penyaring dengan po

MATERI DAN METODE PENELITIAN

MEWASPADAI CEMARAN AFLATOKSIN PADA PANGAN

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan Peremajaan Aktinomiset dari Kultur Penyimpanan Perbanyakan Sclerotium rolfsii dari Kultur Penyimpanan

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret sampai bulan Agustus 2013 di

Pengaruh Komposisi Asam Benzoat Dan Asam Salisilat Pada Pertumbuhan dan Produksi Aflatoksin Aspergillus Flavus Pada Buah Jagung (Zea mays l.

BAB III METODE PENELITIAN. Asam Jawa (Tamarindus indica L) yang diujikan pada bakteri P. gingivalis.

BAB I PENDAHULUAN. Ayam pedaging atau yang sering disebut sebagai ayam broiler (ayam

KEAMANAN PANGAN HASIL TERNAK DITINJAU DARI CEMARAN LOGAM BERAT

PERTUMBUHAN Saccharomyces cerevisiae PADA BERBAGAI JENIS MEDIUM, INTENSITAS CAHAYA, TEMPERATUR, RUMEN DAN LAMA PENYIMPANAN

PENDAHULUAN Latarbelakang aflatoksikosis

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juli sampai bulan November 2009

Koloni bakteri endofit

APPENDIKS A PROSEDUR KERJA DAN ANALISA

EFEKTIFITAS BAHAN PENGIKAT MIKOTOKSIN (UJI IN VITRO)

BAB III METODE PENELITIAN. lengkap (RAL) pola faktorial yang terdiri dari 2 faktor. Faktor pertama adalah variasi

PENGARUH PENYIMPANAN TERHADAP PENURUNAN SENYAWA RACUN DALAM MINYAK BIJI KAPOK (CYCLOPROPENOID FATTY ACID, CPFA)

UJI PATOGENISITAS Fusarium moniliforme SHELDON PADA JAGUNG ABSTRAK

PERUBAHAN KANDUNGAN OKSALAT SELAMA PROSES SILASE RUMPUT SETARIA

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi

ANALISIS KUALITAS AIR MINUM SAPI PERAH RAKYAT DI KABUPATEN BANYUMAS JAWA TENGAH

FORMULASI BAKTERI PERAKARAN (PLANT GROWTH PROMOTING RHIZOBACTERIA-PGPR)

Produk Bioindustri di Indonesia

BAB 4 METODE PENELITIAN

PENGARUH IRADIASI DAN PENYIMPANAN DARI SUPLEMEN PAKAN RUMINANSIA

Uji antibakteri komponen bioaktif daun lobak (Raphanus sativus L.) terhadap Escherichia coli dan profil kandungan kimianya

Pengaruh Lanjutan Substitusi Ampas Tahu pada Pakan Basal (BR-2) Terhadap Penampilan Ayam Broiler Umur 4-6 Minggu (Fase Finisher)

EFEKTIVITAS EKSTRAK BAWANG PUTIH (Allium sativum Linn) DALAM PENANGGULANGAN AFLATOKSIKOSIS PADA AYAM PETELUR

BAB III BAHAN DAN METODE

diisolasi dari contoh kecap dengan menggunakan media SDA, sedikit sekali populasinya. Hal ini tentunya dikarenakan komposisi media tersebut kurang dap

I. PENDAHULUAN. beras yang dikonsumsi masyarakat Indonesia. Sejumlah produk olahan pangan

KONTAMINASI SALMONELLA, ASPERGILLUS DAN AFLATOKSIN PADA PRODUK TERNAK ITIK ALABIO DI KALIMANTAN SELATAN

BAB III METODE PENELITIAN. Desain penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

Ekstraksi Minyak Buah Makasar (Brucea javanica (L.) Merr.) selama 1 menit dan didiamkan selama 30 menit. diuapkan dengan evaporator menjadi 1 L.

BAB III METODE PENELITIAN. mengujikan L. plantarum dan L. fermentum terhadap silase rumput Kalanjana.

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Prosedur Penelitian

Mycotoxins and Animal Nutrition. Trouw Nutrition Hifeed

PENGARUH AFLATOKSIN B1 TERHADAP KANDUNGAN KALSIUM DAN MAGNESIUM DALAM SERUM ITIK

PERLAKUAN PENYEDUHAN AIR PANAS PADA PROSES FERMENTASI SINGKONG DENGAN ASPERGILLUS NIGER

PERSENTASE KARKAS AYAM PEDAGING YANG DIBERI TEPUNG CACING TANAH SEBAGAI SUPLEMEN PAKAN PENGGANTI ANTIBIOTIK

Lampiran 1. Metode analisis kolesterol, asam lemak dan Vitamin A A. Metode Analisis Kolesterol (Kleiner dan Dotti 1962).

BAB III METODE PENELITIAN

Penampilan Produksi Anak Ayam Buras yang Dipelihara pada Kandang Lantai Bambu dan Litter

Seminar Nasional Teknologi Peternakan don Veteriner 2002

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dengan judul Pengaruh Pemberian Kapang R. Oryzae atau C.

BAB III METODE PENELITIAN

III BAHAN, ALAT, DAN METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. terdiri atas 5 perlakuan dengan 3 ulangan yang terdiri dari:

Haris Dianto Darwindra BAB VI PEMBAHASAN

MATERI DAN METODE. Materi

BAB III METODE PENELITIAN A.

Efektifitas Berbagai Probiotik Kemasan Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Burung Puyuh (Coturnix coturnix japonica)

EFEKTIVITAS ZEOLIT KOMERSIAL SEBAGAI BAHAN PENGIKAT AFLATOKSIN (UJI IN VITRO)

BAB III METODE PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. perunggasan merupakan salah satu penyumbang sumber pangan hewani yang

XIII. JAMUR DAN MIKOTOKSIN DALAM PANGAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April-Mei 2014 di Laboratorium

KADAR KOLESTEROL SERUM DARAH AYAM PETELUR YANG DIBERI AIR REBUSAN DAUN SIRIH SKRIPSI TEFI HARUMAN HANAFIAH

Haris Dianto Darwindra BAB VI PEMBAHASAN

KOMPOSISI KIMIA BEBERAPA BAHAN LIMBAH PERTANIAN DAN INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN

SITUASI CEMARAN MIKOTOKSIN PADA PAKAN DI INDONESIA DAN PERUNDANG UNDANGANNYA

DAN KACANG TANAH DI KABUPATEN KUPANG DAN TIMOR TENGAH SELATAN (NTT) Yuliana Tandi Rubak*

EFEKTIVITAS PENYERAPAN Ca DAN P, KADAR AIR DAN KANDUNGAN AMONIA MANUR AYAM PETELUR DENGAN RANSUM BERZEOLIT DAN RENDAH Ca SKRIPSI SUSILAWATI

PERBANDINGAN NILAI NUTRISI (KARBOHIDRAT, PROTEIN DAN LEMAK) AMPAS TAHU TERFERMENTASI OLEH

PEMBUATAN ETANOL DARI SAMPAH PASAR MELALUI PROSES PEMANASAN DAN FERMENTASI BAKTERI Zymomonas mobilis

BAB III METODE PENELITIAN. Pada penelitian ini digunakan berbagai jenis alat antara lain berbagai

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian tentang Pengaruh PenambahanProbiotik Rhizopus oryzae

PENDAHULUAN. masyarakat. Permintaan daging broiler saat ini banyak diminati oleh masyarakat

LAMPIRAN Lampiran 1: Komposisi dan Penyiapan Media Skim Milk Agar, Komposisi Media Feather Meal Agar, Komposisi Media Garam Cair.

BAB III METODE PENELITIAN. Desain penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian eksperimental

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Alat dan Bahan

BAB III METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat Penelitian. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret-November 2012 di

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan April 2013 sampai Agustus 2014 di

BIOEDUKASI Jurnal Pendidikan Biologi e ISSN Universitas Muhammadiyah Metro p ISSN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Perhitungan Kadar Kadar residu antibiotik golongan tetrasiklin dihitung dengan rumus:

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAHAN DAN METODE. Pembiakan P. fluorescens dari Kultur Penyimpanan

Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak, Agustus 2008, Hal Vol. 3, No. 2 ISSN :

Pengumpulan daun apu-apu

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai Juni 2014 bertempat di

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Penelitian

Transkripsi:

PENURUNAN RESIDU AFLATOKSIN B1 DAN M1 PADA HATI ITIK DENGAN PEMBERIAN KULTUR Saccharomyces cerevisiae DAN Rhizopus oligosporus (Reduction of Aflatoxin B1 and M1 residues in ducks liver by giving culture of Saccharomyces cerevisiae and Rhizopus oligosporus) ENI KUSUMANINGTYAS, RAPHAELA WIDIASTUTI dan ROMSYAH MARYAM Balai Penelitian Veteriner, Jl. R.E. Martadinata No. 30, Bogor 16114 ABSTRACT Saccharomyces cerevisiae (Sc) and Rhizopus oligosporus (Ro) was able to reduce aflatoxin produced by Aspergillus flavus or Aspergillus parasiticus in vitro. This experiment was conducted in order to find out the effect of Sc, Ro and their mixture (ScRo) addition in feed on aflatoxin (AF) residue in ducks liver. Sc, Ro and ScRo were given by mixing 1.5 g inoculum/kg feed while AF were given 200 ppb/kg feed. Twenty five ducks were divided into five treatment: feed; feed and AF; feed, AF and Sc; feed, AF and Ro; feed, AF and ScRo. Ducks was growed for two months. Concentration of AF residue was measured by using High Performance Liquid Chromatografy. The result showed that AFB1 and AFM1 residues in Ro treatment were lower than positive control. AFB1 residues in Sc and ScRo treatments were lower than positive control but those of AFM1 were higher than control. Based on the result, Sc and Ro are better given separately. Key Words: Saccharomyces cerevisiae, Rhizopus oligosporus, Aflatoxin, Duck ABSTRAK Saccharomyces cerevisiae (Sc) dan Rhizopus oligosporus (Ro) dilaporkan dapat menurunkan produksi aflatoksin yang dihasilkan oleh Aspergillus flavus maupun Aspergillus parasiticus secara in-vitro. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh penambahan kultur Sc, Ro dan campurannya (ScRo) dalam pakan terhadap residu aflatoksin (AF) pada hati itik. Pemberian Sc, Ro dan ScRo dilakukan dengan mencampurkan 1,5 g inokulum/kg pakan sedangkan AF diberikan 200 ppb/kg pakan. Duapuluh lima itik dibagi lima perlakuan yaitu: pakan; pakan dan (AF); pakan, (AF) dan Sc; pakan, (AF), Ro; pakan, (AF), ScRo dan dipelihara selama dua bulan. Pemeriksaan kandungan residu AF dilakukan dengan menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi. Hasil pemeriksaan pada perlakuan dengan Ro menunjukkan bahwa kandungan residu AFB1 dan AFM1 pada hati itik lebih rendah dibandingkan pada kontrol positif. Residu AFB1 pada kelompok Sc dan ScRo lebih rendah dibandingkan kontrol tetapi residu AFM1 lebih tinggi. Berdasarkan hasil tersebut sebaiknya pemakaian Sc atau Ro diberikan terpisah. Kata Kunci: Saccharomyces cerevisiae, Rhizopus oligosporus, Aflatoksin, Itik PENDAHULUAN Aflatoksin merupakan senyawa metabolit sekunder dari kapang Aspergillus flavus, A. parasiticus dan A. nomius yang banyak mengkontaminasi berbagai jenis komoditi pertanian seperti kacang-kacangan, jagung, beras, palawija dan hasil olahannya. Aflatoksin juga ditemukan pada bahan pakan dan pakan ternak sebagai penyebab terjadinya aflatoksikosis dan residu aflatoksin pada produk peternakan. Aflatoksikosis dapat terjadi karena manusia atau hewan yang mengkonsumsi makanan yang mengandung aflatoksin. Pada sapi yang terkena aflatoksikosis kurang berpengaruh pada produksi tetapi residu aflatosin pada produknya seperti daging dan susu ikut dalam rantai makanan (KUIPER-GODMAN, 1991). Residu aflatoksin dapat berupa aflatoksin B1 (AFB1), aflatoksin B2 (AFB2), aflatoksin M1 (AFM1) dan aflatoksikol (AFL) (OLIVEIRA et al., 2003). Residu aflatoksin sering terdeteksi pada organ seperti hati, ginjal dan 790

daging (MICCO et al., 1988). Residu AFM1 pada hati ditemukan pada semua kijang yang diperlakukan dengan aflatoksin (QUIST et al., 1997). Residu juga ditemukan pada telur ayam yang mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi aflatoksin (TRUCKSESS dan STOLOFF, 1984). Pada manusia, AFB1 berpotensi sebagai hepatotoksik dan hepatokarsinogenik (RASTOGI et al., 2001) dan berhubungan dengan hepatoselular karsinoma (RASTOGI, 2006). Aflatoksin juga dilaporkan menurunkan fertilitas (IBEH et al., 2000). Beberapa upaya telah dilakukan untuk menanggulangi residu aflatoksin diantaranya dengan penggunaan sodium calsium aluminosilicate (HSCAS) untuk mengabsorbsi aflatoksin (BINGHAM et al., 2004). Penggunaan HSCAS 4% pada pemberian 200 ppb aflatoksin pada makanan dapat menurunkan 86,9% residu AFM1 pada susu sapi sedangkan pada diet aflatoksin 100 ppb yang diberi HSCAS 1% dapat menurunkan residu aflatoksin 51,9%. (SMITH et al., 1994). Upaya lain adalah dengan penggunaan mikroorganisme kompetitor untuk menurunkan produksi aflatoksin seperti Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus nonaflatoksigenik (DORNER et al., 1999), Nannocystis exedens (TAYLOR dan DRAUGHON, 2001) dan Kluyveromices spp. (LA PENNA et al., 2004). Walaupun demikian penelitian mengenai penggunaan mikroorganisme untuk menurunkan residu aflatoksin pada hati dan daging pada itik belum banyak diketahui. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian Saccharomyces cerevisiae dan Rhizopus oligosporus terhadap residu AFB1 dan AFM1 pada hati itik. MATERI DAN METODE Isolat. Saccharomyces cerevisiae (F0206), Rhizopus oligosporus (Ro; F0216) dan Aspergillus flavus (F0213) diperoleh dari Balitvet Culture Collection (BCC) Bogor. Pembuatan inokulum. Pembuatan inokulum Saccharomyces cerevisiae (Sc) dan Rhizopus oligosporus (Ro) dan campuran Saccharomyces cerevisiae dan Rhizopus oligosporus (ScRo) dilakukan menggunakan metode KUSUMANINGTYAS et al. (2005). Sc dan Ro ditumbuhkan dalam media Sabouraud Dextrose Agar (SDA) miring dan diinkubasi pada suhu 28 C selama tiga hari untuk Sc dan lima hari untuk Ro. Inokulum dipanen dengan melarutkannya dalam air suling steril. Jumlah spora Ro atau sel Sc dihitung kemudian diencerkan untuk mendapatkan suspensi yang mengandung 10 6 spora/sel/ml. Tepung beras disiapkan dalam erlenmeyer masing-masing 250 g dan disterilisasi pada suhu 121 C selama 15 menit. Sterilitas tepung diuji dengan metode pembiakan pengenceran (THOMPSON,1969). Sc, Ro dan campuran ScRo sebanyak 10 ml yang berisi 10 6 sel/spora/ml masing-masing diinokulasikan ke dalam 250 g tepung beras dan diinkubasi dalam suhu 28 C selama lima hari. Setelah lima hari, inokulum Sc, Ro dan ScRo dikeringkan dalam oven pada suhu 40 C selama 24 jam. Inokulum kemudian disimpan pada suhu 4 C sampai digunakan. Produksi Aflatoksin. Spora Aspergillus flavus dipanen dengan melarutkan spora dalam air suling steril dan dipindahkan ke dalam tabung baru. Media PDB disiapkan sebanyak 500 ml, kemudian diinokulasikan suspensi spora Aspergillus flavus sehingga konsetrasi akhir menjadi 10 6 sel/spora per ml. Inokulum diinkubasi selama 10 hari. Inokulum A flavus dimatikan dengan menggunakan autoclave pada suhu 121 C selama 30 menit. Selanjutnya dihomogenisasi dengan blender 2 menit. Untuk pengukuran kadar aflatoksin dilakukan ekstraksi dan dianalisis dengan HPLC. Perlakuan. Pakan untuk percobaan disiapkan dengan mencampurkan aflatoksin yang telah dibuat dengan pakan sehingga konsentrasi aflatoksin adalah 200 ppb/kg pakan. Pemberian Sc, Ro dan ScRo dilakukan dengan mencampurkan 1,5 g inokulum / kg pakan. Itik yang digunakan adalah itik betina yang kemudian diberi perlakuan sebagai berikut: (I) Kontrol negatif, itik diberi pakan tanpa AFB1; (II) Kontrol positif, itik diberi pakan yang mengandung AFB 1 ; (III) itik diberi ransum yang mengandung AFB 1 + inokulum Sc 1,5 g/kg pakan; (IV) itik diberi ransum yang mengandung AFB 1 + inokulum Ro 1,5 g/kg pakan; (V) itik diberi ransum yang mengandung AFB 1 + inokulum ScRo 1,5 gram per kg pakan. Itik diberi perlakuan setiap hari selama 8 minggu. Setelah 8 minggu, itik dibunuh sampel hati diambil untuk diukur kadar residu aflatoksin B1 dan M1. Pengukuran dilakukan 791

dengan menggunakan tiga hati itik sampel untuk setiap perlakuan. Penentuan kadar aflatoksin. Sebanyak 25 g sampel hati itik yang telah dicincang halus ditambah dengan 25 ml asam sitrat 20% dan dikocok selama 5 menit agar tercampur merata. Kemudian tambahkan 50 ml diklorometana dan sodium sulfat anhidrat dan dikocok kembali menggunakan shaker selama 30 menit dan selanjutnya disaring dan dikeringkan hingga mendekati volume 1 2 ml. Ekstrak kemudian dimasukkan ke dalam kolom kromatografi yang terdiri atas silika gel 60 dan sodium sulfat anhidrat yang telah dikondisikan dengan 5 ml campuran n-heksana-kloroform (1 : 1). Kolom dicuci dengan 25 ml toluen-asam asetat (9 : 1), 25 ml n-heksana-asetonitril-eter (6 : 1 : 3). Residu aflatoksin dielusi dengan 40 ml kloroform-aseton (4 : 1) dan dikeringkan menggunakan rotary evaporator. Residu diderivatisasi dengan menambahkan 50 µl trifluoroasetat dab 200 µl n-heksana dan dipanaskan pada suhu 110 C selama 15 menit. Selanjutnya ekstrak dilarutkan dengan 200 ul fasa gerak dan dianalisis dengan KCKT dengan kolom µ-bondapak C 18, fasa gerak airmetanol-asam asetat (65 : 15 : 20) dan dideteksi dengan fluoresen detektor pada panjang gelombang eksitasi 265 nm dan emisi 425 nm. Analisa statistik. Data residu aflatoksin pada hati itik dianalisis dengan menggunakan ANOVA untuk membedakan hasil antar perlakuan. HASIL DAN PEMBAHASAN Aflatoksin merupakan metabolit skunder yang diproduksi oleh Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus (COTTY et al., 1994; SCUDAMORE et al, 1994). Aflatoksin bersifat hapatotoksik dan hapatokarsinogenik dan dapat menyebabkan penurunan produksi pada ternak dan sering berhubungan dengan kejadian kanker hati pada manusia (DIENNER et al., 1987; BERRY, 1988; CHU, 1991, JAIMEZ et al., 2003). Aflatoxin selain dapat menyebabkan sakit dapat juga menyebabkan kematian apabila bahan makanan yang dikonsumsi terkontaminasi oleh aflatoksin (CAST, 1999). Konsumsi makanan yang mengandung aflatoksin dapat menyebabkan aflatoksikosis. Oleh karena itu perlu diwaspadai bahan makanan yang mengandung aflatoksin termasuk produk peternakan yang mengandung residu aflatoksin. Aflatoksin yang sering ditemukan dan dikenal paling toksik adalah AFB1. AFB1 yang tercampur dalam diet pakan ternak dapat menyebabkan residu terutama pada hati, ginjal dan daging. Residu yang dihasilkan dapat berupa AFB1, AFB2, AFM1 atau aflatoksikol. Beberapa alternatif untuk mencegah timbulnya residu pada produk peternakan adalah dengan penanganan pakan ternak dengan sekecil mungkin mengandung aflatoksin. Penanggulangan dapat dilakukan dengan menghambat pertumbuhan kapang penghasil aflatoksin atau dengan mengikat aflatoksin yang terkandung dalam pakan. Saccharomyces cerevisiae (Sc) telah lama dikenal sebagai feed additif untuk ruminansia (CHAUCHEYRAS et al., 1996) dan dilaporkan dapat mendegradasi mikotoksin (YIANKOURIS et al., 2004; 2006). Sementara itu, Rhizopus oligosporus (Ro) secara komersial telah digunakan untuk meningkatkan kualitas pakan ternak (SABU et al., 2002). SANTA et al, (1999) melaporkan bahwa Rhizopus spp dapat menghambat sintesis aflatoksin secara in vitro sampai 90%. Pada penelitian ini digunakan Saccharomyces cerevisiae (Sc), Rhizopus oligosporus (Ro) dan kombinasinya (ScRo) untuk mereduksi residu aflatoksin pada hati itik. Seperti terlihat pada Tabel 1, pada kelompok perlakuan yang diberi Sc dan Ro residu aflatoksin B1 (AFB1) lebih rendah dibandingkan dengan kontrol positif. Bahkan, pada pemberian Sc dan Ro secara tunggal dapat menurunkan residu AFB1 sampai pada level tidak terdeteksi. Namun pemberian Sc atau ScRo justru meningkatkan residu AFM1 dan residu yang terukur lebih besar daripada kontrol positif tanpa perlakuan. Dari hasil tersebut di atas dapat diketahui bahwa Ro yang diberikan secara tunggal mempunyai potensi untuk menurunkan residu AFB1 dan AFM1 yang lebih besar daripada Sc atau Ro yang ditambahkan bersama-sama dengan Sc. Hal tersebut sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh KUSUMANINGTYAS et al. (2006) bahwa Ro yang ditambahkan secara tunggal dapat menurunkan konsentrasi aflatoksin pada pakan lebih baik daripada apabila diberikan bersamasama dengan Sc. 792

Tabel 1. Residu aflatoksin B1 dan M1 pada hati itik dengan pemberian Saccharomyces cerevisiae (Sc) dan/atau Rhizopus oligosporus (Ro) setelah 8 minggu perlakuan Kelompok Konsentrasi rata-rata AFB1 (ppb) ± SD Konsentrasi rata-rata AFM1 (ppb) ± SD Kontrol negatif Tidak terdeteksi 0,0023 ± 0,00 Kontrol positif 0,0184 ± 0,01 0,0035 ± 0,00 Pakan + AF + Sc Tidak terdeteksi 0,0210 ± 0,03 Pakan+ AF + Ro Tidak terdeteksi 0,0021 ± 0,00 Pakan + AF + ScRo 0,0070 ± 0,08 0,4373 ± 0,58 SD: Standar deviasi Hasil analisa statistik menunjukkan bahwa residu aflatoksin pada semua perlakuan tidak berbeda nyata (P > 0,05) yang mengindikasikan bahwa penambahan Sc, Ro atau ScRo tidak begitu berpengaruh pada penurunan residu aflatoksin. Walaupun demikian, perlu diperhatikan dampak dari residu aflatoksin secara biologi. Mengingat sifat aflatoksin yang hepatotoksik dan hepatokarsinogenik dan berbahaya pada manusia maka keberadaan aflatoksin dalam produk ternak maupun produk makanan tetap harus diwaspadai sehingga penurunan residu aflatoksin yang kecil masih mempunyai arti secara biologi. Berdasarkan hasil tersebut, kemampuan Sc, Ro dan ScRo dalam menurunkan residu aflatoksin mungkin disebabkan kemampuan Sc, Ro dan ScRo untuk mengikat aflatoksin. Aflatoksin yang tercampur dalam pakan diikat oleh Sc, Ro dan ScRo sehingga tidak dapat diserap tubuh dan keluar bersama feses. Kemungkinan lain adalah Sc, Ro dan ScRo menghambat penyerapan aflatoksin oleh usus itik sehingga kadar aflatoksin yang beredar dan menetap sebagai residu di dalam tubuh itik menjadi berkurang. Untuk mengetahui pengaruh terhadap berat badan dari penambahan Sc, Ro dan ScRo dalam pakan dilakukan penimbangan berat badan itik pada satu hari sebelum perlakuan, pada minggu ke-4 dan minggu ke-8. Seperti terlihat pada Tabel 2, pada empat minggu pertama, perlakuan dengan Ro memberikan hasil penambahan berat badan paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Pada minggu kedua penambahan berat tertinggi terjadi pada kelompok perlakuan dengan Sc. Pada minggu ini penambahan berat badan pada kelompok kontrol positif yang diberi aflatoksin menunjukkan kenaikan berat badan yang lebih tinggi daripada kontrol negatif yang tidak diberi aflatoksin bahkan juga lebih tinggi daripada kelompok perlakuan dengan Ro. Ada kemungkinan kadar aflatoksin 200 ppb/kg pakan belum banyak berpengaruh terhadap berat badan. Pada perlakuan dengan Sc, penambahan berat badan itik pada empat minggu pertama dan kedua relatif stabil dibandingkan dengan itik yang diberlakukan dengan Ro yang mengalami penambahan berat badan yang tinggi pada empat minggu pertama dan menurun pada empat minggu kedua sehingga akumulasi pertambahan berat badan selama delapan bulan Sc memberikan hasil yang lebih baik daripada Ro. Meskipun kemampuan ScRo Tabel 2. Pertambahan rata-rata dari berat badan itik Perlakuan Pertambahan rata-rata berat badan masing-masing kelompok (g) 4 minggu 8 minggu Kontrol negatif 499,62 816,66 Kontrol positif 488,09 869,04 Pakan + AF+ Sc 433,33 930,95 Pakan+ AF + Ro 629,95 851,27 Pakan + AF + ScRo 462,54 905,16 793

dalam meningkatkan berat badan masih lebih baik daripada Ro tetapi masih lebih rendah dibandingkan dengan Sc. Apabila dibandingkan kemampuan Sc dan Ro sebagai additif dengan melihat Tabel 1 dan Tabel 2, maka Ro mereduksi residu aflatoksin lebih baik daripada Sc tetapi lebih rendah kemampuannya dalam membantu meningkatkan berat badan itik. Campuran ScRo selain mempunyai kemampuan yang lebih rendah dalam menurunkan residu aflatoksin dibandingkan Sc maupun Ro juga lebih rendah dalam meningkatkan berat badan itik dibandingkan dengan Sc. KESIMPULAN Sc dan Ro dapat digunakan sebagai kandidat untuk menganggulangi masalah aflatoksin yaitu dengan menurunkan konsentrasi residu, terutama AFB1 pada produk peternakan. Ro memberikan hasil yang lebih baik dalam menurunkan residu AFB1 dan AFM1 dibandingkan dengan Sc dan ScRo. Meskipun Sc mempunyai kemampuan yang rendah dalam menurunkan residu aflatoksin tetapi memberikan hasil yang baik untuk meningkatkan berat badan itik daripada Ro dan ScRo. Sedangkan ScRo mempunyai kemampuan yang rendah dalam menurunkan residu aflatoksin maupun dalam meningkatkan berat badan itik. Berdasarkan hasil tersebut, maka sebaiknya dalam usaha mengurangi residu aflatoksin, Sc atau Ro diberikan terpisah. UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini dapat berjalan dengan baik atas dukungan biaya dari Proyek Pengkajian Teknologi Pertanian Patisipatif (The Participtory Development of Agricultural Tecnology Project/ PAATP) tahun 2004. DAFTAR PUSTAKA BERRY, C. 1988. The pathology of mycotoxins. J. Pathol. 154: 301 311. BINGHAM, A.K., H.J. HUEBNER, T.D. PHILLIPS and J.E. BAUER. 2004. Identification and reduction of urinary aflatoxin metabolites in dogs. Food Chem. Toxicol. 42(11): 1851 1858. CAST (Council for Agricultural Science and Technology). 1999. Mycotoxin-economic and health risk. Task Force Report No. 116. CAST. Ames. Iowa. CHAUCHEYRAS, F., G. FONTY, G. BERTIN, J.M. SALMON, P. GOUET. 1996. Effect of a strain Saccharomyces cerevisiae (Levucell SC1), a microbial additive for ruminants, on lactate metabolism in vitro. Can. J. Microbiol. 42: 927 933. CHU, F.S. 1991. Mycotoxins: Food contaminations mechanism, carcinogenic potential and preventive measures. Mutant Res. 259: 291 306. COTTY, P.J., P. BAYMAN, D.S. EGET and K.S. ELIAS. 1994. Agriculture aflatoxin and Aspergillus. In: The Genus Aspergillus. POWELL, K.A., A. RENWICK and J.F. PEBERDY (Eds.). Plenum Press. New York. NY. pp. 1 27. DIENER, U.L., R.J. COLE, T.H. SANDERS, G.A. PAYNE, L.S. LEE and M.A. KLICH. 1987. Epidemiology of aflatoxin formation by Aspergillus flavus. Annu. Rev. Phytopathol. 25: 249 270. DORNER, J.W., R.J. COLE and D.T. WICKLOW. 1999. Aflatoxin reduction in corn through field application of competitive fungi. J Food Prot. 62(6): 650 656. IBEH, I.N., D.X. SAXENA and N. URAIH. 2000. Toxicity of aflatoxin: effects on spermatozoa, oocytes, and in vitro fertilization. J. Environ. Pathol. Toxicol. Oncol. 19(4): 357 361. JAIMEZ, J., C.A. FENTE, C.M. FRANCO, A. CEPEDA and B.I. VAZQUEEZ. 2003. Application of a modified culture medium for the simultaneous counting of the molds and yeasts and detection of aflatoxigenic strains of Aspergillus flavus and Aspergillus parasiticus. J. Food Prot. 66: 311 318. KUIPER-GODMAN, T. 1991. Risk assessment to humans of mycotoxins in animal-derived food product. Vet. Hum. Toxicol. 33(4): 325 332. KUSUMANINGTYAS, E., R. WIDIASTUTI, ISTIANA, R. MARYAM dan TARMUDJI. 2005. Viabilitas Saccharomyces cerevisiae, Rhizopus oligosporus dan Campurannya dalam Tepung Beras. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 12 13 September 2005. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 1117 1122. KUSUMANINGTYAS, E., R. WIDIASTUTI and R. MARYAM. 2006. Reduction of aflatoxin B1 production by using Saccharomyces cerevisiae, Rhizopus oligosporus and their combination. Mycopathologia (In Press). 794

LA PENNA, M., A. NESCI and M. ETCHEVERRY. 2004. In vitro studies on the potential for biological control on Aspergillus section Flavi by Kluyveromyces spp. Lett. Appl. Microbiol. 38: 257 264. MICCO, C., M. MIRAGLIA, R. ONORI, C. BRERA, A. MANTOVANI, A. IOPPOLO and D. STASOLLA. 1988. Long-term administrationof low doses of mycotoxins to poultry.1 Residues of aflatoxin B1 and its metabolites in broiler and lying hens. Food Addit. Contam. 5(3): 303 308. OLIVEIRA, C.A., J.F. ROSMANINHO, A.L. CASTRO, P. BUTKERAITIS, T.A. REIST and B. CORREA. 2003. Aflatoxin residues in eggs of laying Japanese quail after long term administration of rations containing low levels of aflatoxin B1. Food Addit. Contam. 20(7): 648 653. QUIST, C.F., E.W. HOWERTH, J.R. FISCHER, R.D. WYATT, D.M. MILLER and V.F. NETTLES. 1997. Evaluation of low-level aflatoxin in the diet of white-tailed deer. J. Wild Dis. 33(1): 112 121. RASTOGI, R., A.K. SRIVASTAVA and A.K. RASTOGI. 2001. Long term effect of aflatoxin B (1) on lipid peroxidation in rat liver and kidney: Effect of picroliv and silymarin. Phytother Res. 15(4): 307 310. RASTOGI, S., R.K. DOGRA, S.K. KHANNA and M. DAS. 2006. Skin tumorigenic potential of aflatoxin B1 in mice. Food Chem Toxicol. 44(5): 670 677. SABU, A., S. SARITA, A. PANDEY, B. BOGAR, G. SZAKACS and C.R. SOCCOL. 1999. Solid-state fermentation for production of pytase by Rhizopus oligosporus. Appl. Biochem. Biotechnol. 2002. 102 103; 251 260 SCUDAMORE, K.A. 1994. Aspergillus toxin in food and Animal feeding stuff, In: The genus Aspergillus. POWELL, K.A, A. RENWICK and J.F. PEBERDY (Eds.) Plenum Press. New York. NY. pp. 59 71. SHANTHA, T. 1999. Fungal degradation of Aflatoxin B1. Nat. Toxins. 7(5): 175 178. SMITH, E.F., T.D. PHILIPS, J.A. ELLIS, R.B. HARVEY, L.F. KUBENA, J. THOMPSON and NEWTON G. 1994. Dietary hydrated sodium calcium aluminosilicate reduction aflatoxin M1 residue in dairy goat milk and effect on milk production and components. J. Anim. Sci. 72(3): 677 682. TAYLOR, W.J. and F.A. DRAUGHON. 2001. Nannocystis exedens: A Potential biocompetitive agent against Aspergillus flavus and Aspergillus parasiticus. J. Food Prot. 1030 1034. THOMPSON, J.C. 1969. Techniques for isolation of the common pathogenic fungi. Medium 7(3) and 4 MAFFCVL. Weybridge. England TRUCKSESS, M.W., L. STOLOFF, K. YANG, R.D. WYAT and B.L. MILLER. 1984. Aflatoxicol and aflatoxins B1 and M1 in eggs and tissues of laying hens consuming aflatoxin contaminated feed. Poult. Sci. 62(11): 2176 20. YIANNIKOURIS, A., G. ANDRE, L. POUGHON, J. FRANCOIS, C.G. DUSSAP, G. JEMINET, G. BERTIN and J.P. JOUANY. 2006. Chemical and Conformational Study of the Interactions Involved in Mycotoxin Complexation with beta-d-glucans. Biomacromolecules. 7(4): 1147 1155. YIANNIKOURIS AYIANNIKOURIS, A., J. FRANCOIS, L. POUGHON, C.G. DUSSAP, G. BERTIN, G. JEMINET and J.P. JOUANY. 2004. Adsorption of Zearalenone by beta-d-glucans in the Saccharomyces cerevisiae cell wall. J. Food Prot. 67(6): 1195 1200. DISKUSI Pertanyaan: Kombinasi ScRo memberikan hasil yang kurang baik daripada pemberian kultur Saccharomyces cerevisiae dan Rhizopus oligaporus. Jawaban: Diduga Ro dan Sc bersifat saling menekan aktivitas masing-masing sehingga ketika dicampur (ScRo) memberikan hasil yang kurang baik. Penelitian sebelumnya pada pakan secara in vitro juga memberikan hasil yang sama. 795