TESIS HIPERLAKTASEMIA SEBAGAI PREDIKTOR MORBIDITAS INFARK MIOKARD AKUT (IMA)



dokumen-dokumen yang mirip
UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab nomor satu kematian di

BAB 1 PENDAHULUAN. tersering kematian di negara industri (Kumar et al., 2007; Alwi, 2009). Infark

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sindroma Koroner Akut (SKA) merupakan manifestasi klinis akut penyakit

BAB I PENDAHULUAN. menggambarkan pasien yang datang dengan Unstable Angina Pectoris. (UAP) atau dengan Acute Myocard Infark (AMI) baik dengan elevasi

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan usia harapan hidup penduduk dunia membawa dampak

BAB I PENDAHULUAN. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) adalah

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Penelitian. Penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab. kematian terbesar diseluruh dunia terutama yang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Tingkat morbiditas dan mortalitas penyakit jantung. iskemik masih menduduki peringkat pertama di dunia

BAB I PENDAHULUAN. gangguan kesehatan yang semakin meningkat di dunia (Renjith dan Jayakumari, perkembangan ekonomi (Renjith dan Jayakumari, 2011).

B A B I PENDAHULUAN. Diabetes mellitus (DM) dengan penyakit kardiovaskular sangat erat

Informed Consent Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan problem kesehatan utama yang

SKRIPSI. Diajukan oleh : Enny Suryanti J

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) merupakan suatu

BAB I. Pendahuluan. I.1 Latar Belakang. Angina adalah tipe nyeri dada yang disebabkan oleh. berkurangnya aliran darah ke otot jantung.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HUBUNGAN TEKANAN DARAH SISTOLIK PADA PENDERITA INFARK MIOKARD AKUT SEGMEN ST ELEVASI ONSET < 12 JAM SAAT MASUK DENGAN MORTALITAS DI RSUP H.

BAB I PENDAHULUAN. kardiovaskuler secara cepat di negara maju dan negara berkembang.

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit kardiovaskuler merupakan penyakit yang masih menjadi masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit negara-negara industri (Antman

MADE SATRIA YUDHA DEWANGGA NIM

Penatalaksanaan Astigmatism No. Dokumen : No. Revisi : Tgl. Terbit : Halaman :

BAB I PENDAHULUAN. Penyebab terjadinya IMANEST dapat disebabkan oleh rupturnya plak. (Liwang dan Wijaya, 2014; PERKI, 2015).

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. infark miokard akut (IMA) merupakan penyebab utama kematian di dunia.

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan pembunuh nomor satu di seluruh dunia. Lebih dari 80% kematian

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit kardiovaskuler memiliki banyak macam, salah satunya adalah

BAB I PENDAHULUAN. Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah salah satu manifestasi klinis

BAB I PENDAHULUAN. segmen ST yang persisten dan peningkatan biomarker nekrosis miokardium.

sebesar 0,8% diikuti Aceh, DKI Jakarta, dan Sulawesi Utara masing-masing sebesar 0,7 %. Sementara itu, hasil prevalensi jantung koroner menurut

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan oksigen miokard. Biasanya disebabkan ruptur plak dengan formasi. trombus pada pembuluh koroner (Zafari, 2011).

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit Acute Myocardial Infarction (AMI) merupakan penyebab

BAB I PENDAHULUAN. utama pada sebagian besar negara-negara maju maupun berkembang di seluruh

BAB I PENDAHULUAN. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) adalah penyakit

PEMBAHASAN SINDROM KORONER AKUT

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. arrhythmias, hypertension, stroke, hyperlipidemia, acute myocardial infarction.

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Angina pektoris stabil adalah salah satu manifestasi. klinis dari penyakit jantung iskemik.

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. negara-negara maju maupun di negara berkembang. Acute coronary syndrome

Hubungan antara Kadar Troponin T dengan Fungsi Diastolik Ventrikel Kiri pada Pasien Sindrom Koroner Akut di RS Al Islam Bandung Tahun 2014

BAB 1 PENDAHULUAN. angka morbiditas penderitanya. Deteksi dini masih merupakan masalah yang susah

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Infark miokard akut merupakan salah satu penyakit. yang tergolong dalam non-communicable disease atau

BAB I PENDAHULUAN. 1.2 Rumusan Masalah. 1.3 Tujuan MAKALAH INFARK MIOKARD AKUT

dari inti yang banyak mengandung lemak dan adanya infiltrasi sel makrofag. Biasanya ruptur terjadi pada tepi plak yang berdekatan dengan intima yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. secara global, termasuk Indonesia. Pada tahun 2001, World Health Organization

BAB I PENDAHULUAN. sebagai trauma mayor karena tulang femur merupakan tulang yang sangat kuat, sehingga

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. menempati peringkat ke-3 penyebab kematian setelah stroke dan hipertensi.

BAB I PENDAHULUAN. Sindrom klinik ini terjadi karena adanya respon tubuh terhadap infeksi, dimana

BAB 1 PENDAHULUAN. Infark miokard akut (IMA) adalah nekrosis miokard akibat

Ns. Furaida Khasanah, M.Kep Medical surgical department

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. banyak dengan manifestasi klinis yang paling sering, dan merupakan penyebab

BAB I PENDAHULUAN. plak yang tersusun oleh kolesterol, substansi lemak, kalsium, fibrin, serta debris

BAB I. PENDAHULUAN. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) didefinisikan

Syok Syok Hipovolemik A. Definisi B. Etiologi

BAB I PENDAHULUAN. menimpa populasi usia di bawah 60 tahun, usia produktif. Kondisi ini berdampak

BAB I PENDAHULUAN. penyebab utama kematian di dunia. Menurut organisasi kesehatan dunia

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada sepsis terjadi proses inflamasi sistemik atau systemic inflammatory

B A B I PENDAHULUAN. negara-negara maju maupun berkembang. Diantara penyakit-penyakit tersebut,

BAB 3 METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian adalah Ilmu Penyakit Saraf. Penelitian dilakukan di Bangsal Rawat Inap Penyakit Saraf RS Dr.

BAB 1 PENDAHULUAN. Jantung merupakan suatu organ yang berfungsi memompa darah ke

PREVALENSI FAKTOR RESIKO MAYOR PADA PASIEN SINDROMA KORONER AKUT PERIODE JANUARI HINGGA DESEMBER 2013 YANG RAWAT INAP DI RSUP.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. produksi glukosa (1). Terdapat dua kategori utama DM yaitu DM. tipe 1 (DMT1) dan DM tipe 2 (DMT2). DMT1 dulunya disebut

BAB 5 PEMBAHASAN. penelitian terdiri atas pria sebanyak 21 (51,2%) dan wanita sebanyak 20

DAFTAR ISI. Halaman PERSETUJUAN PEMBIMBING... iii. UCAPAN TERIMA KASIH... v. ABSTRAK... viii. DAFTAR ISI... x. DAFTAR TABEL... xiv

BAB I PENDAHULUAN. menurun sedikit pada kelompok umur 75 tahun (Riskesdas, 2013). Menurut

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. penyakit jantung dan pembuluh darah telah menduduki peringkat pertama sebagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sakit kritis nondiabetes yang dirawat di PICU (Pediatric Intensive Care Unit)

BAB 1 PENDAHULUAN. didominasi oleh penyakit infeksi dan malnutrisi, pada saat ini didominasi oleh

DEFINISI OPERASIONAL Formulir Data Indonesia STEMI

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. menggunakan uji Chi Square atau Fisher Exact jika jumlah sel tidak. memenuhi (Sastroasmoro dan Ismael, 2011).

BAB 5 PEMBAHASAN. dengan menggunakan consecutive sampling. Rerata umur pada penelitian ini

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia. Dewasa ini perilaku pengendalian PJK belum dapat dilakukan secara

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB 1 PENDAHULUAN. koroner. Kelebihan tersebut bereaksi dengan zat-zat lain dan mengendap di

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. permeabilitas mikrovaskular yang terjadi pada jaringan yang jauh dari sumber infeksi

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. penelitian kohort selama 13 tahun di 3 wilayah di propinsi Jakarta ibukota

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sindrom Koroner Akut (SKA)/Acute coronary syndrome (ACS) adalah

ABSTRAK... 1 ABSTRACT

BAB I PENDAHULUAN. seluruh dunia. Fenomena yang terjadi sejak abad ke-20, penyakit jantung dan UKDW

BAB I PENDAHULUAN. (dipengaruhi oleh susunan saraf otonom) (Syaifuddin, 2006). Pembuluh

Tatalaksana Sindroma Koroner Akut pada Fase Pre-Hospital

BAB I PENDAHULUAN. jantung yang prevalensinya paling tinggi dalam masyarakat umum dan. berperan besar terhadap mortalitas dan morbiditas.

BAB 1 PENDAHULUAN. dan mortalitas yang tinggi di dunia. Menurut data World Health Organization

BAB I PENDAHULUAN I.I LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Profesor Shahryar A. Sheikh, MBBS dalam beberapa dasawarsa terakhir

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada saat ini penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab kematian

KADAR N-TERMINAL PRO B-TYPE NATRIURETIC PEPTIDE PLASMA YANG TINGGI SEBAGAI PREDIKTOR KEJADIAN KARDIOVASKULAR PADA PENDERITA SINDROMA KORONER AKUT

BAB I PENDAHULUAN. individu maupun masyarakat. Identifikasi awal faktor risiko yang. meningkatkan angka kejadian stroke, akan memberikan kontribusi

ABSTRAK GAMBARAN FAKTOR-FAKTOR RISIKO PADA PASIEN GAGAL JANTUNG DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG PERIODE JANUARI-DESEMBER 2010

Transkripsi:

TESIS HIPERLAKTASEMIA SEBAGAI PREDIKTOR MORBIDITAS INFARK MIOKARD AKUT (IMA) KETUT ERNA BAGIARI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014

TESIS HIPERLAKTASEMIA SEBAGAI PREDIKTOR MORBIDITAS INFARK MIOKARD AKUT (IMA) KETUT ERNA BAGIARI NIM 0914138204 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014

HIPERLAKTASEMIA SEBAGAI PREDIKTOR MORBIDITAS INFARK MIOKARD AKUT (IMA) Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik Program Pasca Sarjana Universitas Udayana KETUT ERNA BAGIARI NIM 0914138204 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014

Lembar Pengesahan TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 1 DESEMBER 2014 Pembimbing I, Pembimbing II, Dr.dr. Ketut Rina Sp.PD, SP.JP (K),FIHA,FAsCC Dr.dr. Ida Sri Iswari Sp.MK, MKes NIP.194706101978021002 NIP. 196105051990022001 Mengetahui Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana, Direktur Program Pasca Sarjana Universita Udayana, Prof.Dr.dr. Wimpie Pangkahila, Sp.And, FAACS NIP 19461213 197107 1001 Prof.Dr.dr. A.A. Raka Sudewi, SpS(K) NIP. 195902151985102001

Tesis Ini Telah Diuji dan dinilai oleh Penguji pada Program Pascasarjana Universitas Udayana pada Tanggal 1 Desember 2014 Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana No.: 4077/UN14.4/HK/2014 Tanggal 27 Oktober 2014 Penguji Tesis adalah : Ketua : Dr.dr. I Ketut Rina Sp.PD, Sp.JP (K) FIHA, FAsCC Anggota : 1. Dr.dr. Ida Sri Iswari, Sp.MK.,M.Kes 2. Prof.Dr.dr. I Wayan Wita, Sp.JP (K) FIHA, FAsCC 3. Prof.Dr.dr. I Gede Raka Widiana Sp.PD-KGH 4. dr.k. Badjra Nadha, Sp.JP (K) FIHA, FAsCC

UCAPAN TERIMA KASIH Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas rahmat dan karunia-nya sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan dengan baik. Terwujudnya tesis yang berjudul Hiperlaktasemia sebagai Prediktor Morbiditas Infark MIokard Akut (IMA) tentunya tidak lepas dari peran berbagai pihak sehingga penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besar dan setulus-tulusnya kepada : Dr.dr. Ketut Rina Sp.PD,Sp.JP (K),FIHA,FAsCC selaku pembimbing utama yang dengan tulus ikhlas meluangkan waktu, tenaga, serta perhatian yang tinggi untuk memberi dorongan, bimbingan dan arahan mulai dari penyusunan proposal hingga penyelesaian tesis ini. Dr.dr. Ida Sri Iswari Sp.MK,M.Kes selaku pembimbing kedua yang dengan kesediaan penuh melayani pembimbingan, konsultasi, serta memberikan arahan, dorongan yang tinggi kepada penulis untuk dapat menyelesaikan tesis ini. Seluruh staf pengajar Bagian Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FK Udayana yang telah mendidik, memberikan kesempatan dan fasilitas serta ijin kepada penulis untuk mengikkuti pendidikan program spesialis Kardiologi dan Kedokteran Vaskular dan menyelesaikan tesis ini. Ketua Tim dan anggota Tim Penguji tesis ini yang telah memberikan pemecahan, saran, serta masukan yang bermanfaat guna perbaikan tesis ini Dr.Romy Windianto Sp.A, kakak iparku yang tercinta yang telah memberikan ide, membimbing, memberikan bantuan dalam pelaksanaan penelitian dan terwujudnya tesis ini. Yang teristimewa untuk kedua orang tua saya Drs.Nyoman Sukanadha, MSi, dan Ibu Martini S.Sos, mertua saya dr. Putu Moda Arsana Sp.PD-KEMD dan Ibu Endang Riawati,SH, suami yang tercinta dr.made Satria Yudha Dewangga, dan anakku tersayang Gede Keenan Kusuma Yudha yang memberikan semangat, kasih

sayang, dukungan moril dan materi, serta doa kepada penulis selama mengikuti pendidikan ini. Rekan-rekan residen kardiologi yang saya cintai terutama angkatan kedua, dr.susila, dr.eko, dr.bayu, dr.eka, dr. Nyoman, dr.lauren yang telah menjadi teman seperjuangan dalam suka maupun duka yang memberikan keceriaan, senyuman, dan kekuatan selama mengikuti pendidikan ini. Rekan-rekan PPDS lainnya yang juga membantu dalam kelancaran pelaksanaan penelitian ini. Teman-teman perawat di UGD, ICCU, Poliklinik PJT yang bersama-sama bahu membahu dalam bekerja sehingga membuat masa pendidikan ini menyenangkan bila bekerja bersama kalian. Teman-teman sekretariat mbak Ninik, mbak Candra, mbak Dian, mbak Andi, dan Pak Ketut yang selalu mendukung, membantu, bekerjasama dalam segala hal selama pendidikan spesialis ini. Akhirnya dengan iringan doa semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa memberikan pahala yang berlipat ganda atas segala amal baik yang telah diberikan kepada penulis. Semoga tesis ini bermanfaat bagi penulis dan bagi semua pihak yang berkepentingan. Denpasar, Desember 2014 Penulis, dr. Ketut Erna Bagiari

Abstrak HIPERLAKTASEMIA SEBAGAI PREDIKTOR MORBIDITAS INFARK MIOKARD AKUT (IMA) Infark Miokard Akut (IMA) menjadi suatu masalah kesehatan dunia yang bersifat epidemik. Tingginya angka morbiditas dan mortalitas IMA akibat terjadi pada usia lebih tua, terlambat ke rumah sakit, adanya komorbid, tidak dilakukannya terapi reperfusi. Komplikasi selama perawatan meningkatkan angka morbiditas. Komplikasi yang sering terjadi yaitu syok kardiogenik, gagal jantung, aritmia yang dapat menyebabkan henti jantung mendadak. Nilai prognostik laktat dalam menilai morbiditas pada pasien IMA sampai saat ini belum banyak diketahui. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hiperlaktasemia sebagai prediktor morbiditas pasien IMA yang dirawat di RSUP Sanglah, Denpasar. Penelitian ini merupakan studi observasional kohort prospektif, yang bertempat di RSUP Sanglah-Denpasar selama tiga bulan, dari Juli sampai September 2014. Sampel penelitian adalah 70 orang penderita IMA yang diambil secara consecutive sampling. Sampel yang memenuhi kriteria inklusi diukur kadar laktat kapiler saat masuk rumah sakit, 2 jam, dan 24 jam setelah perawatan menggunakan point of care analyzer, yaitu Accutrend lactate meter. Selama perawatan selanjutnya diamati terjadinya morbiditas Pada penelitian ini didapatkan bahwa penderita IMA dengan hiperlaktasemia memiliki peningkatan risiko morbiditas hampir 3 kali lipat (HR =2.578, 95% CI =1.278-5.199, p=0.008), syok kardiogenik 15 kali lipat (HR =15.231, 95% CI = 1.848-700.579, p = 0,0014) dan gagal jantung 5 kali lipat (HR = 5.269, 95% CI = 1.913-15.796, p = 0.0002) lebih besar dari kelompok tanpa hiperlaktasemia. Namun hiperlaktasemia pada penelitian ini tidak terbukti sebagai prediktor terjadinya aritmia (HR = 1.35, 95% CI = 0.344-4.627, p = 0,3051). Disimpulkan bahwa hiperlaktasemia terbukti sebagai prediktor independen morbiditas, terjadinya syok kardiogenik dan gagal jantung pada penderita IMA. Tetapi penurunan hiperlaktasemia tidak terbukti sebagai prediktor terjadinya aritmia pada pasien IMA. Studi ini perlu dikonfirmasi studi prospektif dengan jumlah sampel yang lebih besar Kata kunci: Infark miokard akut, hiperlaktasemia

Abstract HIPERLAKTASEMIA AS PREDIKTOR MORBIDITY OF ACUTE MYOCARDIAL INFARCTION (AMI) Acute Myocardial Infarction (AMI) is an epidemic worldwide medical problem. Greater morbidity and mortality in acute myocardial infarction is related to its occurrence in the elderly, presence of comorbidities, delay in hospital treatment, and absence of coronary artery reperfusion therapy. Complications during hospitalization would increase the morbidity rate. The most frequent complications of AMI were cardiogenic shock, heart failure, arrhytmia that leading to sudden cardiac death. The prognostic role of lactate for morbidity in patients with AMI so far is not elucidated. The purpose of this study is to assess whether lactate is an independent prognostic predictor morbidity patient with AMI in Sanglah Hospital, Denpasar. The present study is a prospective observational cohort study, which took place in Sanglah General Hospital Denpasar for three months ( July until October 2013). Subjects of this study were 70 AMI patients which were enrolled by consecutive sampling. We measured capillary lactate level three times, at first admission, 2h, and 24 h after admission, using rapid point-of-care analyzer Accutrend Lactate Meter. We observed for the cardiovascular event during hospitalization. The result of this study were the AMI patients with hyperlactatemia have the increased risk of morbidity of almost 3-fold (HR =2.578, 95% CI =1.278-5.199, p=0.008), cardiogenic shock of 15-fold (HR =15.231, 95% CI = 1.848-700.579, p = 0,0014) and heart failure of 5-fold (HR = 5.269, 95% CI = 1.913-15.796, p = 0.0002) compared with subject without hyperlactatemia. In the other hand, hyperlactatemia was not proved as the predictor of arrhytmia (HR = 1.35, 95% CI = 0.344-4.627, p = 0,3051). The study concluded that hyperlactatemia is an independent predictor of morbidity, cardiogenic shock, and heart failure in AMI patients. In the other hand, hyperlactatemia is not an independent predictor of arrhythmia in AMI patients. This study should be confirmed by larger prospective studies. Keywords: Acute myocardial infarction, hyperlactatemia

DAFTAR ISI Halaman SAMPUL DALAM... i PRASYARAT GELAR.... ii LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING... iii PENETAPAN PANITIA PENGUJI... iv SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT... v UCAPAN TERIMA KASIH...vi ABSTRAK...viii ABSTRACT... ix DAFTAR ISI... x DAFTAR TABEL... xii DAFTAR GAMBAR... xiii DAFTAR ARTI LAMBANG, SINGKATAN, DAN ISTILAH... xiv DAFTAR LAMPIRAN... xvi BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Rumusan Masalah... 7 1.3 Tujuan Penelitian... 7 1.4 Manfaat Penelitian... 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA... 9 2.1 Definisi Infark Miokard Akut... 9 2.2 Etiologi Infark Miokard Akut... 12 2.3 Patofisiologi Infark Miokard Akut... 14 2.4 Komplikasi Infark Miokard Akut... 17 2.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Morbiditas pada Infark Miokard Akut... 19 2.6 Metabolisme Aerob dan Anaerob... 21 2.7 Kondisi yang Meningkatkan Kadar Laktat... 23 2.8 Laktat sebagai Biomarker... 25 2.9 Alat Pengukur Kadar Laktat... 28 BAB III KERANGKA BERPIKIR,KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Berpikir... 31 3.2 Konsep... 32 3.3 Hipotesis Penelitian... 32

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN... 33 4.1 Rancangan Penelitian... 33 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian... 34 4.3 Penentuan Sumber Data... 34 4.3.1 Populasi Target... 34 4.3.2 Populasi Terjangkau... 34 4.3.3 Sampel Penelitian... 34 4.3.4 Kriteria Eligibilitas... 34 4.3.4.1 Kriteria inklusi... 34 4.3.4.2 Kriteria eksklusi... 34 4.2.1 Besaran sampel... 35 4.3.5 Teknik Pengambilan Sampel... 35 4.4 Variabel Penelitian... 36 4.4.1 Identifikasi dan Klasifikasi Variabel Penelitian... 36 4.4.2 Definisi Operasional Variabel... 37 4.5 Bahan Penelitian... 42 4.6 Instrumen Penelitian... 42 4.7 Prosedur Penelitian... 42 4.7.1 Tata Cara Penelitian... 42 4.7.2 Prosedur Pengumpulan Data... 44 4.7.2 Alur Penelitian... 45 4.8 Analisis Data... 47 BAB V HASIL PENELITIAN... 50 5.1 Karakteristik Subyek Penelitian... 51 5.2 Analisis Kurva ROC... 52 5.3 Hiperlaktasemia sebagai Prediktor Morbiditas IMA... 53 5.4 Hiperlaktasemia sebagai Prediktor Syok Kardiogenik pada IMA... 55 5.5 Hiperlaktasemia sebagai Prediktor Gagal Jantung pada IMA... 56 5.6 Hiperlaktasemia sebagai Prediktor Aritmia pada IMA... 58 5.7 Hiperlaktasemia sebagai Prediktor Morbiditas pada Subgrup IMA... 59 5.8 Pengaruh Hiperlaktasemia terhadap Morbiditas Setelah Dikontrol dengan Variabel Lain... 61 BAB VI PEMBAHASAN...64 6.1 Karakteristik Subyek Penelitian... 66 6.2 Analisis Kurva ROC... 70 6.3 Hiperlaktasemia sebagai Prediktor Morbiditas IMA... 72 6.4 Hiperlaktasemia sebagai Prediktor Syok Kardiogenik pada IMA... 73 6.5 Hiperlaktasemia sebagai Prediktor Gagal Jantung pada IMA... 75 6.6 Hiperlaktasemia sebagai Prediktor Aritmia pada IMA... 76 6.7 Hiperlaktasemia sebagai Prediktor Morbiditas pada Subgrup IMA... 77 6.8 Analisis Multivariat Hiperlaktasemia sebagai Prediktor Morbiditas

IMA... 78 6.9 Keterbatasan Penelitian... 79 BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 81 7.1 Simpulan... 81 7.2 Saran... 81 DAFTAR PUSTAKA... 83 Lampiran... 87

DAFTAR TABEL Halaman 2.1 Penyebab Infark Miokard Akut... 13 2.2 Klasifikasi Asidosis Laktat Menurut Cohen dan Wood... 24 2.3 Penilaian Accutrend Lactate Meter... 30 5.1 Karakteristik Subyek Penelitian... 51 5.2 Hazard Ratio (HR) Terjadinya Morbiditas Pada IMA dengan Hiperlaktasemia dan Tanpa Hiperlaktasemia... 54 5.3 Hazard Ratio (HR) Terjadinya Syok Kardiogenik Pada IMA dengan Hiperlaktasemia dan Tanpa Hiperlaktasemia... 56 5.4 Hazard Ratio (HR) Terjadinya Gagal Jantung Pada IMA dengan Hiperlaktasemia dan Tanpa Hiperlaktasemia... 58 5.5 Hazard Ratio (HR) Terjadinya Aritmia Pada IMA dengan Hiperlaktasemia dan Tanpa Hiperlaktasemia... 59 5.6 Frekuensi STEMI dan NSTEMI Berdasarkan Hiperlaktasemia... 59 5.7 Hasil Uji Mantel Haenzel Hiperlaktasemia sebagai Prediktor Morbiditas pada Subgrup IMA... 60 5.8 Hasil Uji Global Test Terhadap Variabel Hiperlaktasemia... 61 5.9 Model Dasar Hasil Analisis Cox Proportional Hazards Regression Hiperlaktasemia sebagai Prediktor Morbiditas Pasien IMA... 62 5.10 Model Akhir Hasil Analisis Cox Proportional Hazards Regression Hiperlaktasemia sebagai Prediktor Morbiditas Pasien IMA... 63

DAFTAR GAMBAR Halaman 2.1 Waktu Pelepasan Biomarker setelah IMA... 12 2.2 Proses Aterosklerosis pada IMA... 14 2.3 Paradigma Syok pada IMA... 18 2.4 Metabolisme Intermediari... 22 2.5 Glikolisis pada Keadaan Kadar Oksigen Normal, Iskemia Ringan, dan Iskemia Berat... 23 3.1 Konsep Penelitian... 32 4.1 Rancangan Penelitian... 33 4.2 Hubungan antar Variabel... 37 4.3 Gambar Alur Penelitian... 46 5.1 Kurva ROC dalam Menentukan Cutt of Point Hiperlaktasemia... 52 5.2 Kurva Estimasi Survival Kaplan Meier Terjadinya Morbiditas Pada IMA Berdasarkan Hiperlaktasemia... 53 5.3 Kurva Estimasi Survival Kaplan-Meier Terjadinya Syok Kardiogenik pada IMA Berdasarkan Hiperlaktasemia... 55 5.4 Kurva Estimasi Survival Kaplan Meier Terjadinya Gagal Jantung pada IMA Berdasarkan Hiperlaktasemia... 57 5.5 Kurva Estimasi Survival Kaplan Meier Terjadinya Aritmia pada IMA Berdasarkan Hiperlaktasemia... 58

DAFTAR ARTI LAMBANG, SINGKATAN, DAN ISTILAH ACC : American College of Cardiology AGEs : Advanced Glycation End-Products AHA : American Heart Association ATP : Adenosine Triphosphat ARV : Anti Retro Viral AUC : Area Under Curve CKMB : Creatinin Kinase tipe MB CABG : Coronary Artery Bypass Graft CHA : Chicago Heart Association Detection Project in Industry CCB : Ca Channel Blocker EHS : European Heart Study EKG : Elektrokardiogram ESC : European Society of Cardiology FHS : Framingham Heart Study GFR : Glomerular Filtration Rate GRACE : Global Registry of Acute Cardiac Events HR : Hazard Ratio HDL : High Density Lipoprotein IMA : Infark Miokard Akut ICU : Intensive Care Unit LBBB : Left Bundle Branch Block LDL : Low Density Lipoprotein LED : Light Emitting Diode MRFIT : Multiple Risk Factor Intervention Trial NSTEMI : Non ST Elevation Myocardial Infarction

NCEP : National Cholesterol Education Program in Adult Treatment Panel NICE : National Institute for Health and Clinical Excellence PJK : Penyakit Jantung Koroner PJNHK : Pusat Jantung Nasional Harapan Kita PCI : Percutaneous Coronary Intervention RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat ROC : Receiving Operating Procedure SDM : Sumber Daya Manusia STEMI : ST Elevation Myocardial Infarction SIRS : Systemic Inflamatory Response Syndrome SI : Satuan Internasional TIMI : Thrombolysis In Myocardial Infarction UGD : Unit Gawat Darurat UPIJ : Unit Perawatan Intensif Jantung UAP : Unstable Angina Pectoris VT : Ventricular Tachycardia VF : Ventricular Fibrillation WHO : World Health Organization

DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Informasi/Penjelasan Pasien... 88 2. Persetujuan setelah Penjelasan (Informed Concent)... 90 3. Lembar Pengumpulan Data... 91 4. Data Penelitian... 97 5. Hasil Analisis Data... 102

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Saat ini telah terjadi transisi dalam bidang kesehatan akibat perubahan demografi, ekonomi dan nutrisional. Fenomena ini ditandai dengan pergeseran dari dominasi penyakit infeksi dan nutrisi ke arah penyakit degeneratif, seperti penyakit kardiovaskular. Penilaian faktor risiko absolut penyakit kardiovaskular secara komprehensif dilakukan untuk mengantisipasi dan segera mengambil tindakan

preventif guna menghindari timbulnya penyakit beserta komplikasi yang tidak diinginkan. Pada tahun 2003 penyakit kardiovaskular tercatat sebesar 37% penyebab kematian. American Heart Association (AHA) menyatakan kurang lebih 2600 orang Amerika meninggal tiap hari akibat penyakit kardiovaskular, kurang lebih satu kematian setiap 35 detik. Risiko terjadinya penyakit kardiovaskular di Amerika pada saat berumur 50 tahun tercatat 1 dari 2 laki-laki, dan 2 dari 5 perempuan (Vasan et al, 2008). Penyakit jantung koroner (PJK) menjadi suatu masalah kesehatan dunia yang bersifat epidemik. Diperkirakan di seluruh dunia 30 % dari semua penyebab kematian diakibatkan oleh PJK. Lebih dari 1 juta orang di Amerika Serikat menderita Infark Miokard Akut (IMA), dan lebih dari 300.000 orang diperkirakan meninggal karena IMA sebelum sampai ke rumah sakit (Christofferson, 2009). Berdasarkan data rekam medis Pusat Jantung Nasional Harapan Kita (PJNHK), 92 orang (10.1%) penderita IMA yang berusia di bawah 45 tahun dari 962 penderita IMA di tahun 2006. Tahun 2007 angka ini menjadi 10,7% (117 penderita IMA usia muda dari 1096 seluruh penderita IMA), sedangkan di tahun 2008 menjadi 10,1% (108 penderita IMA usia muda dari 1065 seluruh penderita IMA) (Anonim, 2010). Morbiditas akibat IMA menunjukkan angka yang tinggi. Morbiditas merupakan penyulit atau komplikasi yang ditemukan pada saat kondisi IMA, meliputi gagal jantung, syok kardiogenik, maupun aritmia. Srimahachota dkk dari Pusat Jantung dan Divisi Penyakit Kardiovaskular Rumah Sakit King Chualalongkorn Memorian, Thailand melakukan penelitian Oktober 2007 hingga Desember 2008. Penelitian ini

dilakukan untuk menilai morbiditas pada pasien dengan Unstable Angina Pectoris (UAP), Non ST Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI), ST Elevation Myocardial Infarction (STEMI). Pada pasien dengan STEMI ditemukan morbiditas selama perawatan yaitu angka gagal jantung 27.1%, blok jantung 6.2 %, aritmia ventrikel 8.8%, syok kardiogenik 23 %. Pada NSTEMI morbiditas selama perawatan di rumah sakit, yaitu angka gagal jantung 50.3 %, blok jantung 1.7 %, aritmia ventrikel 1.2%, syok kardiogenik 19.7 % (Srimahachota, dkk., 2012). Studi Ferreira dkk tahun 2009 menemukan morbiditas dan mortalitas pasien IMA di rumah sakit umum di Brazil. Morbiditas yaitu kelas Killip >1 sebesar 34.3%, dan mortalitas sebesar 19.5% (Ferreira, dkk., 2009). Konsep dasar menegakkan diagnosis infark miokard diperlukan pemeriksaan tambahan seperti elektrokardiogram (EKG), dan tes laboratorium. Nilai diagnostik EKG pada suatu penelitian hanya dikatakan 50 % untuk infark miokard (Gatien, dkk., 2005). Kesulitan yang sering timbul pada unit gawat darurat yaitu bagaimana menilai pasien dengan keluhan nyeri dada atipikal dimana gambaran EKG meragukan untuk infark miokard (Christofferson, 2009, Daubert, dkk., 2010). Kebanyakan tes laboratorium seperti Creatinin Kinase tipe MB (CK-MB), troponin dan myoglobin tergantung pada kerusakan sel yang mengalami iskemik yang menyebabkan pelepasan enzim penanda nekrosis otot jantung ke dalam serum. Parameter ini tidak menggambarkan pengukuran pada level gangguan fisiologis pada jantung. Dengan demikian pemeriksaan ini memiliki sensitivitas yang rendah sebelum 4-6 jam onset keluhan, sehingga tidak praktis dalam penanganan akut pasien

dengan nyeri dada. Mioglobin sensitivitasnya tidak lebih dari 45-65% hingga 3-6 jam setelah onset. Laktat meningkat pada kondisi gangguan fisiologis jantung sangat sensitif untuk diagnosis IMA. Peningkatan ini khususnya pada pasien dengan onset nyeri dada lebih dari 2 jam (Christofferson, 2009, Daubert, dkk., 2010, P.Cannon dan H.Lee, 2007, Gatien, dkk., 2005). Kecenderungan terjadinya keluhan klinik seperti sesak dan kondisi syok berhubungan dengan parameter spesifik fungsi ventrikel kiri. Abnormalitas awal terjadinya kekakuan ventrikel pada awal diastolik. Bila abnormalitas segmen yang berkontraksi lebih dari 15%, ejeksi fraksi menurun dan terjadi peningkatan tekanan dan volume akhir diastolik, sehingga menimbukan gagal ventrikel kiri. Klinis gagal jantung terjadi bila area abnormalitas kontraksi lebih dari 25%, bahkan terjadi syok kardiogenik, dan sering berdampak fatal. Kondisi infark juga memudahkan untuk terjadinya aritmia yang dapat berbahaya dan berakibat fatal (Antman dan Brawnwald, 2007). Kondisi IMA menyebabkan penekanan fungsi jantung dan penurunan perfusi. Laktat serum merupakan penanda menurunnya perfusi sistemik dan hipoksia jaringan, karena laktat adalah produk metabolisme anaerob. Pengukuran laktat yang bersirkulasi sudah digunakan secara luas pada perawatan kritis. Laktat digunakan sebagai indikator gangguan hemodinamik dan prediktor kondisi syok. Pada syok kardiogenik beberapa studi menunjukkan adanya peningkatan laktat darah. Perfusi jaringan miokard terganggu akibat IMA menyebabkan penurunan supply oksigen yang mengubah metabolism aerob menjadi anaerob dengan glikolisis menghasilkan

laktat dari substrat piruvat. Piruvat seharusnya dalam kondisi cukup oksigen akan teroksidasi untuk produksi ATP sebagai energi di mitokondria (Vermeulen, dkk., 2010). Laktat pada pasien IMA yang dilepaskan dari miokardium mempunyai hubungan yang linier dengan derajat keparahan penyakit jantung koroner. Kondisi hipoperfusi regional terjadi pada IMA meskipun tekanan darah tetap normal. Pada kondisi basal, miokardium mengekstraksi laktat dari sirkulasi, namun pada kondisi iskemia jantung kemampuan untuk mengekstraksi laktat menjadi terganggu. Dengan demikian iskemia miokard menyebabkan peningkatan kadar laktat ke dalam sirkulasi melalui kedua mekanisme ini (Gatien, dkk., 2005, Vandromme, dkk., 2010). Laktat merupakan marker yang sensitif dan dapat digunakan sebagai alat triage dalam penanganan awal pasien dengan keluhan nyeri dada. Pemeriksaan laktat melalui laboratorium membutuhkan waktu untuk penghantaran dan pemeriksaaan dalam laboratorium. Durasi antara pengambilan sampel bahan dengan analisis di laboratorium sentral dapat menyebabkan nilai yang lebih tinggi dan kesalahan interprestasi. Saat ini sudah tersedia alat analisis yang lebih cepat dan untuk dilakukan di samping pasien, yaitu disebut point of care analyzer, contohnya Accutrend lactate meter (Gatien, dkk., 2005, Vermeulen, dkk., 2010). Evaluasi tindakan resusitasi umumnya digunakan tanda vital seperti tekanan darah, denyut nadi, dan produksi urin. Analisis hasil akhir parameter tunggal ini tidak adekuat dalam menilai hasil resusitasi pada pasien. Dua marker yang sering ditemukan dalam menilai hasil resusitasi adalah defisit basa dan laktat. Pada awal

masuk laktat dan defisit basa berkorelasi baik dan keduanya digunakan sebagai prediktor prognosis. Dalam perawatan selanjutnya di Intensive Care Unit (ICU) defisit basa kehilangan spesifisitasnya, sedangkan laktat tetap memiliki nilai prediktif (Agrawal, dkk., 2004). Hal ini karena defisit basa dipengaruhi oleh bermacam faktor yang menyebabkan asidosis metabolik, dan diluar dari metabolism anaerob. Faktor lain yang juga berpengaruh yaitu disfungsi ginjal, resusitasi dengan cairan salin, hilangnya bikarbonat gastrointestinal, dan ketoasidosis diabetik. Argumen bahwa pemeriksaan defisit basa lebih mudah dan cepat saat ini sudah dibantahkan dengan adanya alat analisis laktat yang cepat. Beberapa penelitian dilakukan untuk mengetahui hubungan klinis kadar laktat pada pasien IMA. Vermeulen dkk mengemukakan pada pasien STEMI kadar laktat tinggi dihubungkan dengan hipotensi, denyut jantung lebih tinggi, Thrombolysis In Myocardial Infarction (TIMI) flow 0-1, diabetes dan tidak merokok. Peningkatan mortalitas ditemukan pada pasien dengan kadar laktat > 4.0 mmol/l (Vermeulen, dkk., 2010). Tingginya kadar laktat arterial dihubungkan dengan luasnya infark. Beberapa studi dilakukan di ICU sebelumnya menunjukkan kadar laktat vena pada saat awal masuk rumah sakit berhubungan dengan prognostik IMA. Pasien IMA yang meninggal atau membutuhkan perawatan intensif lebih lama dari 48 jam memiliki kadar laktat yang lebih tinggi (yaitu 4.4±4.3 mmol/l) dibandingkan yang tidak membutuhkan perawatan intensif (1.4±0.6 mmol/l) (Gatien, dkk., 2005, Schmiechen, dkk., 1997).

Kliegel dkk pada studi retrospektif, menganalisis kadar serum laktat pada saat masuk dan kadar laktat 48 jam setelah dirawat pada 394 pasien yang mampu bertahan setelah mengalami henti jantung. Mereka mengobservasi bahwa kadar laktat serum pada saat masuk dan 48 jam setelahnya secara signifikan lebih rendah pada pasien yang dapat bertahan hidup dalam 6 bulan pertama setelah keberhasilan resusitasi kardiopulmonal dibandingkan dengan yang tidak bisa bertahan hidup dalam jangka waktu tersebut. Mullner dkk menyatakan bahwa pasien yang mengalami fibrilasi ventrikel, kadar laktat yang tinggi saat masuk rumah sakit dihubungkan dengan gangguan neurologis yang berat (Attanà, dkk., 2012). Pada penelitian sebelumnya kebanyakan pemeriksaan laktat hanya dilakukan satu kali waktu. Pemeriksaan laktat sekali waktu memiliki keterbatasan, dan bila melakukan pemeriksaan serial dapat berkorelasi dengan kemampuan prognosis. Lactate clearance nilainya lebih superior daripada variabel delivery oxigen (DO2) dan oxigen consumption (VO2). Kadar laktat pada fase awal dan akhir lebih rendah pada orang sakit yang dapat bertahan hidup sedangkan DO2 dan VO2 tidak terdapat perbedaan (Vernon dan Letourneau, 2010). Berdasarkan latar belakang yang sudah dipaparkan diatas, dilakukan penelitian hiperlaktasemia sebagai prediktor morbiditas IMA. Pemeriksaan laktat dilakukan tiga kali secara serial mulai saat di Unit Gawat Darurat (UGD), 2 jam dan 24 jam perawatan. 1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan, maka dibuat rumusan masalah sebagai berikut: Apakah hiperlaktasemia dapat digunakan sebagai prediktor morbiditas IMA? 1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah hiperlaktasemia dapat digunakan alat prediktor morbiditas IMA. 1.3.2. Tujuan Khusus 1.3.2.1 Mengetahui hiperlaktasemia sebagai prediktor terjadinya gagal jantung 1.3.2.2 Mengetahui hiperlaktasemia sebagai prediktor terjadinya syok kardiogenik 1.3.2.3 Mengetahui hiperlaktasemia sebagai prediktor terjadinya aritmia 1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat di bidang akademik dan bidang praktis seperti dibawah ini: 1.4.1 Bidang akademik Sebagai data dasar dan sebagai pedoman stratifikasi risiko pasien IMA. Sebagai dasar kelayakan kadar laktat dalam menilai prognosis pasien IMA. 1.4.2 Bidang praktis

Sebagai acuan monitoring dan pengembangan pelayanan pengobatan pasien IMA. BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Definisi Infark Miokard Akut World Health Organization (WHO) mulai dari tahun 1950 menggunakan data epidemiologi mendefinisikan IMA dengan adanya minimal dua dari 3 kriteria, yaitu keluhan klinis sugestif ke arah infark miokard, abnormalitas EKG, peningkatan

marker serum yang mengindikasikan terjadinya nekrosis miokard. Perkembangan biomarker nekrosis miokard yang lebih sensitif dan spesifik serta tehnik imaging untuk disfungsi miokard yang iskemik menyebabkan terjadinya perbaikan diagnosis IMA (Rhee, dkk., 2011). Pada tahun 2007, Global Task Force dari European Society of Cardiology (ESC) dan World Heart Federation mempublikasikan konsensus yang menstandarisasi deteksi biomarker jantung bersama imaging jantung sebagai evaluasi IMA. Infark miokard dapat didiagnosa tanpa pemeriksaan troponin bila terdapat onset akut hilangnya miokard yang viabel, adanya ST elevasi atau Left Bundle Branch Block (LBBB) baru disertai kematian jantung mendadak dalam satu jam keluhan atau diagnosis patologi postmortem (Werf, dkk., 2008, Rhee, dkk., 2011). Guideline terbaru ESC 2012 mendefinisikan IMA sebagai kondisi dimana terdapat bukti nekrosis miokardial pada pasien yang menunjukkan gambaran klinis iskemia miokardial akut. Deteksi infark miokard berdasarkan adanya peningkatan dan atau penurunan biomarker jantung (yaitu CKMB dan atau troponin) di atas nilai normal dengan salah satu dari kondisi berikut : keluhan iskemia, adanya perubahan segmen ST dan atau gelombang T atau adanya gambaran LBBB, adanya gelombang Q pada rekaman EKG, gambaran abnormalitas pergerakan dinding regional, dan identifikasi adanya trombus intrakoroner dengan angiografi atau otopsi (Thygesen, dkk., 2012). Terdapat beberapa klasifikasi tipe IMA, menyebabkan evolusi definisi IMA. IMA terdiri dari lima tipe. Tipe I yaitu infark miokard spontan, tipe II, infark akibat

proses iskemia, tipe III, infark yang menyebabkan kematian tanpa adanya nilai biomarker, tipe IV berkaitan dengan tindakan intervensi perkutan, dan tipe V yang berhubungan dengan Coronary Artery Bypass Grafting (CABG) (Thygesen, dkk., 2012). Dari anamnesis didapatkan nyeri dada khas angina berupa nyeri dada rasa berat/ ditindih/dihimpit di daerah retrosternal menjalar kelengan kiri, leher rasa tercekik atau rasa ngilu rahang bawah yang timbul saat aktivitas dan berkurang saat istirahat. Untuk nyeri dada angina lamanya <20 menit. Untuk nyeri dada infark nyeri >20 menit dan tidak berkurang walau dengan pemberian nitrat. Adanya nyeri tipikal ini 24% kemungkinan IMA akut, dan kemungkinan menurun 1% jika nyeri bersifat posisional atau pleuritik pada pasien tanpa riwayat PJK. Nyeri yang muncul dapat berupa sensasi tajam, tertusuk, atau terbakar. Nyeri tipe ini memiliki probabilitas 23 % terjadinya IMA. Nyeri epigastrium dan nyeri dada tidak khas, tidak disertai penjalaran, atau kadang-kadang hanya keringat dingin dan lemas saat aktivitas biasanya terjadi pada orang tua atau pada penderita diabetes melitus (Christofferson, 2009, Burke dan Virmani, 2007, Rhee, dkk., 2011). Gejala sistemik yang muncul berupa mual, muntah dan keringat dingin dan kadang-kadang bisa sampai pingsan. Nyeri dada angina ekivalen yaitu presentasi klinis tidak berupa nyeri dada tetapi sesak napas. Dapat disertai pingsan terutama pada orang tua (Christofferson, 2009, Burke dan Virmani, 2007, Daubert, dkk., 2010).

Pemeriksaan EKG memegang peranan penting dalam mendiagnosa IMA, dan harus dilakukan dalam 10 menit setelah berada pada pusat kesehatan. Pada NSTEMI, perubahan berupa adanya depresi segmen ST atau inversi gelombang T. Pada STEMI didapat adanya elevasi segmen ST. Pada jam awal masih berupa hiperakut T (gelombang T tinggi ) dan kemudian berubah menjadi ST elevasi. Adanya LBBB baru juga merupakan tanda perubahan EKG pada infark gelombang Q. Jika EKG awal meunjukkan hasil normal atau inkonklusif, maka perlu dilakukan serial EKG, dan dibandingkan hasilnya. EKG saat istirahat tidak secara adekuat merefleksikan dinamika trombosis koroner dan iskemia miokard. Pembedaan STEMI dan NSTEMI secara klinis penting oleh karena terapi rekanalisasi akut penting untuk memperbaiki luaran pada STEMI (Hamm, dkk., 2011, Anderson, dkk., 2011). Marker yang biasa dipakai sebagai petunjuk adanya kerusakan miokard ialah enzim CKMB, Troponin I dan T. Troponin merupakan marker yang sangat sensitif dan spesifik untuk terjadinya nekrosis miokard. Peningkatan awal berasal dari sitosolik sel, dan pelepasan selanjutnya akibat keluarnya enzim dari komponen struktural. Troponin dapat dideteksi paling cepat 2-4 jam setelah onset keluhan, namun peningkatannya bisa juga terlambat 8-12 jam. Waktu terjadinya peningkatan CKMB juga sama. Troponin menetap dalam waktu yang lebih lama yaitu 5-14 hari dibandingkan dengan CKMB. Waktu pelepasan biomarker setelah suatu kondisi IMA dijelaskan pada gambar 2.1 dibawah (Anderson, dkk., 2011). CKMB merupakan protein karier untuk fosfat energi tinggi dalam sitosolik, digunakan sebagi marker standar diagnosa IMA. CKMB kurang sensitif dan spesifik

untuk IMA dibandingkan troponin. Waktu paruh CKMB yang pendek dapat digunakan sebagai deteksi diagnosa peningkatan baru setelah puncak awal. CKMB naik mencapai puncak 2-5x batas atas ambang persentil dari populasi normal, dan kembali normal dalam 2-3 hari setelah IMA. Troponin jantung dapat sedikit meningkat dari batas atas ambang persentil dari populasi normal dan dapat meningkat 20-30 kali pada kondisi infark yang luas (Anderson, dkk., 2011). Gambar 2.1 Waktu Pelepasan Biomarker setelah IMA (Anderson, dkk., 2011) 2.2 Etiologi Infark Miokard Akut Terdapat berbagai mekanisme patofisiologi penyebab terjadinya IMA, seperti yang tertera pada tabel 2.1. Berbagai penyebab ini menyebabkan kondisi meliputi kerusakan endotel melalui disrupsi plak, lesi luminal ireguler, shear injury, agregasi platelet, pembentukan trombus yang menyebabkan oklusi lumen parsial atau total, vasospasme arteri, dan cedera reperfusi akibat radikal oksigen bebas, kalsium, dan neutrofil (Rhee, dkk., 2011).

Tabel 2.1 Penyebab Infark Miokard Akut (Rhee, dkk., 2011) Aterosklerosis Sindrom vaskulitis Emboli koroner (contoh dari endokarditis, katup buatan) Anomali kongenital arteri koroner Trauma koroner atau aneurisma Spasme pembuluh darah koroner Peningkatan viskositas darah (contoh polisitemia vera, trombositosis) Peningkatan kebutuhan oksigen miokard ( contoh aorta stenosis) Proses aterogenesis dimulai dengan inisiasi lesi, akumulasi lipid ekstraseluler pada intima, evolusi fibrofatty, progresi lesi dan kelemahan fibrous cap. IMA terjadi bila pada plak terjadi ruptur fibrous cap, sebagai stimulus trombogenesis. Proses aterosklerosis pada IMA tersebut digambarkan pada gambar 2.2

Gambar 2.2 Proses Aterosklerosis pada IMA 2.3 Patofisiologi Infark Miokard Akut Iskemia miokard terjadi bila terjadi penurunan aliran darah koroner sangat berat sehingga ketersediaan oksigen untuk miokard tidak cukup untuk kebutuhan oksigen jaringan. Konsep biologi berdasar prinsip biologi umum dari sel hati dan otak, menunjukkan adanya dua fase adaptasi, yang disebut pertahanan jangka pendek dan penyelamatan jangka panjang. Tujuan mekanisme pertahanan jangka pendek adalah membentuk keseimbangan baru antara ketersediaan dan kebutuhan oksigen, dengan kombinasi downregulation kontraksi dan upregulation produksi energi anaerobik melalui glikolisis. Penyelamatan jangka panjang sampai saat ini belum diketahui jelas, tetapi bahwa tampaknya iskemia melalui hipoksia mampu menginduksi serangkaian sinyal seluler yang menyebabkan mekanisme protektif genetik reprogramming. Bila dua fase adaptasi ini gagal, karena iskemi yang terjadi sangat

berat maka akan terjadi nekrosis sel. Adaptasi jangka panjang merupakan reaksi protektif terhadap terjadinya iskemi, seperti hibernasi dan stunning (Rhee, dkk., 2011, H.Opie, 2004). Pada iskemia dengan onset sangat cepat, terdapat ketidakseimbangan energi, khususnya phospocreatinin, yang menjaga kadar Adenosine Triphosphat (ATP) selama mungkin melalui peningkatan phosphat inorganik intraseluler. Substrat ini juga merupakan sinyal utama untuk downregulation kontraksi. Secara simultan penurunan status energi merupakan sinyal utama peningkatan glikolisis anaerob. Dari glikolisis anaerob ini pulalah didapat sumber utama pemecahan glikogen pada onset akut, segera diikuti oleh peningkatan transport glukosa akibat translokasi dari transporter glukosa GLUT 1 dan GLUT 4 ke sarkolema (H.Opie, 2004). Pada saat terjadi iskemia, terdapat perkembangan asidosis intraseluler yang berperan pada penurunan kontraksi. Jadi miokard yang mengalami iskemik dapat bertahan dalam waktu tertentu melalui kombinasi inhibisi kontraksi dan inisiasi glikolisis anaerob. Bila dilakukan reperfusi, maka akan terjadi perbaikan fungsi mekanis, dan perbaikan abnormalitas metabolik (H.Opie, 2004). Iskemia tidak dipulihkan dapat menjadi infark. Umumnya patofisiologi terjadi dalam dua tahap, yaitu terjadinya perubahan awal dan terjadinya perubahan yang terjadi belakangan. Pada fase awal, terdapat evolusi infark dan gangguan fungsional penurunan oksigen pada kontraktilitas miokard. Perubahan awal ini puncaknya pada terjadinya nekrosis koagulatif miokard dalam 2-4 hari. Seiring dengan penurunan oksigen pada miokard dimana pembuluh darah yang memberinya nutrisi teroklusi,

terdapat pergeseran cepat dari metabolisme aerob ke arah metabolisme anaerob (H.Opie, 2004, Weil dan Tang, 2011). Mitokondria tidak mampu mengoksidasi lemak atau produk glikolisis, oleh karena itu terjadi penurunan phosphat energi tinggi dan metabolisme anaerob menyebabkan akumulasi asam laktat. Berkurangnya phosphat energi tinggi seperti ATP mempengaruhi Na/K ATP-ase transmembran, sehingga terjadi peningkatan Na intraseluler dan K ekstraseluler. Kebocoran membran dan peningkatan konsentrasi K ekstraseluler menyebabkan perubahan potensial elektrik transmembran, predisposisi terjadinya aritmia yang berpotensi mematikan (H.Opie, 2004, Rhee, dkk., 2011). Kalsium intraseluler terakumulasi pada miosit yang rusak berkontribusi terhadap terjadinya mekanisme kerusakan sel melalui aktivasi enzim degradasi seperti lipase dan protease. Secara kolektif perubahan metabolik ini terjadi paling cepat dua menit setelah trombosis. Tanpa intervensi akan terjadi kerusakan sel irreversibel dalam 20 menit, ditandai dengan defek membran. Enzim proteolitik bocor melalui membran miosit, merusak miokardium sekitarnya, dan melepas makromolekul yang bertindak sebagai penanda akut infark miokard. Peningkatan permeabilitas kapiler dan peningkatan tekanan onkotik interstisial (oleh karena kebocoran protein intraseluler) akan menyebabkan edema miokard dalam 4-12 jam (Rhee, dkk., 2011, H.Opie, 2004). Perubahan yang terjadi belakangan yaitu pembersihan miokard yang nekrotik oleh makrofag dan deposisi jaringan oleh jaringan parut. Perubahan fungsional juga terjadi akibat IMA yaitu berupa gangguan kontraktilitas dan komplian, stunning, dan

hibernasi. Penghantaran oksigen ke jantung berhubungan dengan aliran darah koroner, oleh karena itu penghentian mendadak perfusi regional akibat oklusi trombotik koroner dan secara cepat menghentikan metabolisme aerob, deplesi kreatin phosphat, dan terjadi metabolisme anaerob. Hal ini diikuti oleh akumulasi laktat jaringan, penurunan produksi ATP jaringan, akumulasi katabolit, meliputi adenine nukleotide. Seiring dengan berlanjutnya iskemia, terjadi asidosis jaringan dan efflux kalium ke ruang ekstraseluler. Penurunan ATP dibawah nilai yang dibutuhkan untuk mempertahankan fungsi membran, menyebabkan kematian miosit (Rhee, dkk., 2011). Peningkatan laktat pada iskemi berat dapat terjadi akibat kejadian penurunan aktivitas kontraktil pada daerah iskemik, kerusakan mitokondria, penurunan durasi potensial aksi, dan inhibisi glikolisis pada glycerldehid 3-phosphat dehidrogenase (H.Opie, 2004). 2.4 Komplikasi Infark Miokard Akut Secara klinis gangguan aliran darah arteri epikardial menyebabkan miokardium yang diperdarahi oleh pembuluh darah tersebut akan mengalami gangguan fungsi kontraksi. Kondisi tersebut menyebabkan penurunan curah jantung, volume sekuncup, tekanan darah serta peningkatan tekanan akhir sistolik, menimbulkan kondisi gagal jantung. Kondisi ini merupakan prediktor hemodinamik pada infark (Antman dan Brawnwald, 2007). Semakin besar area infark maka semakin besar komplikasi yang mungkin terjadi. Penurunan volume sekuncup ventrikel kiri akan menurunkan tekanan aorta dan

mengurangi tekanan perfusi koroner. Kondisi ini akan memperburuk kondisi iskemia. Inflamasi sistemik akibat infark menyebabkan pelepasan sitokin yang berperan terhadap terjadinya vasodilatasi dan penurunan resistensi vaskular sistemik. Gambar 2.3 dibawah menunjukkan perkembangan syok pada kondisi IMA (Antman dan Brawnwald, 2007). Gambar 2.3 Paradigma Syok pada IMA Komplikasi lain yang berbahaya pada kondisi iskemia ini adalah terjadinya aritmia jantung. Dimana pada kondisi iskemi terjadi perubahan heterogenitas listrik jantung yang dapat memicu aritmia yang dapat berdampak fatal. Aritmia Ventricular Tachycardia (VT) dan Ventricle Fibrillation (VF) primer terjadi mendadak dan tidak

diharapkan pada pasien dengan tanda dan gejala yang minimal dari gagal ventrikel kiri. VF pada dekade yang lalu terjadi pada pasien STEMI sekitar 10%, namun saat ini insidennya dikatakan mengalami penurunan. VF sering merupakan perjalanan akhir pasien STEMI dengan gagal ventrikel dan syok kardiogenik. Apabila terjadi setelah >48 jam infark biasanya terjadi pada pasien dengan infark luas dan disfungsi ventrikel (Antman dan Morow, 2012). Iskemia dapat mengakibatkan blok konduksi pada berbagai tingkat sistem konduksi AV atau intraventrikular. Atrial fibrilasi biasanya bersifat sementara atau transien pada pasien infark hal ini biasanya juga diakibatkan oleh peningkatan rangsangan simpatis atrial dan sering pada pasien dengan kegagalan ventrikel kiri, emboli paru atau infark atrial (Antman dan Morow, 2012). 2.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Morbiditas pada Infark Miokard Akut IMA merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas tinggi di dunia. Adanya faktor risiko tertentu, komorbiditas, dapat mempengaruhi luaran pasien dengan IMA. Identifikasi faktor risiko dan manajemen yang tepat dapat mengurangi komplikasi. Prognosis pada pasien IMA ditentukan beberapa indikator, seperti klinis, temuan obyektif, data laboratorium, dan data penunjang lainnya (Goyal, dkk., 2009, Shabbir, dkk., 2008, Berton, dkk., 2001). Faktor risiko terjadinya IMA dibagi menjadi faktor risiko tradisional, faktor risiko yang bisa dimodifikasi, dan faktor risiko non tradisional. Faktor risiko konvensional yaitu umur, riwayat keluarga, dan ras. Faktor risiko yang bisa

dimodifikasi yaitu dislipidemia, hipertensi, diabetes, merokok, sindrom metabolik, kurangnya aktvitas fisik, serta depresi. Faktor risiko non tradisional yaitu C-reactive protein, lipoprotein, homosistein, partikel LDL-C yang kecil, dan fibrinogen (Ferreira, dkk., 2009). Fox dkk tahun 2006 menyatakan terdapat sembilan faktor independen yang memprediksikan adaya kematian atau kombinasi morbiditas dan mortalitas dari awal masuk hingga 6 bulan setelahnya. Faktor tersebut yaitu umur, riwayat gagal jantung, penyakit vaskular perifer, tekanan darah sistolik, kelas Killip, konsentrasi kreatinin, peningkatan marker jantung, riwayat henti jantung, dan adanya deviasi segmen ST (Fox, dkk., 2006). Hiperglikemi sering terjadi pada kondisi IMA. Kondisi ini merupakan prediktor morbiditas dan mortalitas pada pasien IMA dengan atau tanpa riwayat diabetes. Pasien dengan diabetes dengan kadar gula darah masuk tinggi ataupun tidak juga merupakan faktor risiko yang kuat. Kontrol glukosa ketat dibutuhkan pada pasien ini. Kontrol glukosa dapat mengurangi inflamasi dan memperbaiki ejeksi fraksi pasien dengan IMA(Goyal, dkk., 2009). Wanita dikatakan memiliki mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Hal ini mungkin akibat wanita mengalami IMA pada usia yang lebih tua, cenderung lebih sering menderita diabetes, sering mendapat terapi kurang agresif. Wanita lebih sering mengalami nyeri dada atipikal sehingga datang terlambat ke rumah sakit dan tidak memungkinkan untuk dilakukan trombolitik (Shabbir, dkk., 2008).

Umur merupakan prediktor kuat luaran jangka pendek pada pasien IMA. Pada penelitian yang dilakukan Shabbir dkk tahun 2007 terjadi peningkatan mortalitas IMA seiring dengan peningkatan umur. Salah satu penyebabnya adalah dengan semakin tua pasien terjadi peningkatan frekuensi kelas Killip. Pasien lebih tua mengalami gangguan hemodinamik lebih berat dibandingkan pasien dengan usia lebih muda. Studi oleh Gurwitz dkk menyatakan terjadi penurunan angka kematian di rumah sakit setelah IMA pada pasien dibawah 65 tahun, namun hal ini tidak terjadi pada pasien yang lebih tua (Shabbir, dkk., 2008). Terapi revaskularisasi dapat menurunkan angka syok kardiogenik. Penelitian GUSTO dan metaanalisis oleh Fibrinolytic Therapy Trialists Collaborative menunjukkan penurunan mortalitas pasien IMA yang mendapat terapi trombolitik (Rhee, dkk., 2011). 2.6 Metabolisme Aerobik dan Anaerobik Tiap hari jantung manusia harus mensintesis kurang lebih 35 kg ATP untuk tetap bisa melaksanakan fungsi pompa. Untuk terjadinya proses ini diperlukan asupan oksigen, yang diantarkan oleh sirkulasi koroner. Jantung juga membutuhkan asupan konstan bahan bakar, yang terutama berasal dari sirkulasi koroner, dan glikogen jantung berfungsi sebagai cadangan yang menyokong bila terjadi peningkatan kebutuhan mendadak kerja jantung. Bahan bakar ini dipecah oleh proses metabolisme intermediari menjadi Acetyl CoA. Metabolisme intermediet merupakan proses dimana bahan bakar (yaitu glukosa dan asal lemak) dimetabolisme untuk

menghasilkan energi di mitokondria, seperti yang tampak pada gambar 2.4 (H.Opie, 2004, Nduka dan Dellinger, 2011). Gambar 2.4 Metabolisme Intermediari Ambilan bahan bakar oleh jantung sebagian dipengaruhi oleh konsentrasinya dalam arteri dan sebagian tergantung dari kebutuhan energi. Aliran koroner normal dibutuhkan untuk berespon terhadap peningkatan kebutuhan energi. Jika terjadi keadaan iskemia (aliran darah kurang) maka metabolisme oksidatif diganti oleh pemecahan glukosa atau glikogen menjadi laktat melalui produksi energi anaerob. Proses ini memainkan peranan penting dalam survival miokard. Gambar 2.5 menunjukkan proses glikolisis pada kondisi normal dan iskemia. Pada kondisi normal sitrat dan ATP yang tinggi pada jaringan menghambat glikolisis, namun berbeda pada kondisi iskemia. Pada iskemia ringan, proses glikolisis dipacu. Pada iskemi berat terjadi penurunan penghantaran glukosa dan deplesi glikogen, serta akumulasi laktat dan proton, menghambat glikolisis meskipun terjadi penurunan ATP (H.Opie, 2004).

Gambar 2.5 Glikolisis pada Keadaan Kadar Oksigen Normal, Iskemia Ringan, dan Iskemia Berat 2.7 Kondisi yang Meningkatkan Kadar Laktat Peningkatan kadar laktat serum akibat produksi laktat yang melebihi pemakaian dan sistem buffer tubuh bekerja tidak dengan semestinya menyebabkan asidosis laktat. Cohen dan Wood mengklasifikasikan asidosis laktat menjadi asidosis laktat tipe A dan tipe B berdasarkan etiologi peningkatan kadar laktat seperti tertera pada tabel 2.2 (Agrawal, dkk., 2004). Asidosis laktat tipe A terjadi akibat penurunan ATP jaringan akibat perfusi jaringan yang buruk atau hipoksia jaringan. Asidosis laktat tipe A ini dapat terjadi akibat produksi laktat yang berlebihan, misalnya gangguan sirkulasi (misalnya syok hipovolemik) dan penggunaan yang sedikit sehingga terjadi akumulasi laktat di darah, (Agrawal, dkk., 2004).

Tabel 2.2 Klasifikasi Asidosis Laktat Menurut Cohen dan Wood Tipe A Tipe B B1 B2 B3 Syok Diabetes mellitus Alkohol G6PD Hipoperfusi regional Gagal hati Etilen glikol Fruktosa 1,6 difosfat defisiensi Hipoksemia berat Keganasan Fruktosa sorbitol Piruvat karboksilase Anemia berat Sepsis Xylitol Defek fosforilasi oksidasi Keracunan karbon monoksida Serangan asma berat Hipoglikemi asidosis berat Gagal jantung kiri Feokromasitoma Defisiensi thiamin Gagal ginjal Salisilat Acetaminofen Epinefrin Sianida terbutalin Isoniasid nitroprusida

Asidosis laktat tipe B diklasifikasikan bila tidak ditemukan adanya bukti hipoksia jaringan. Asidosis laktat tipe B terbagi lagi menjadi tipe B1, B2, dan B3. Tipe B1 terjadi akibat penyakit sistemik yang mengakibatkan akumulasi laktat, seperti keganasan, sepsis, gagal hati, serta gagal ginjal. Tipe B2 disebabkan oleh beberapa macam obat atau racun seperti alkohol, isoniasid, asetaminofen, semua jenis glikol, antiretroviral (ARV), agen beta-adrenergik (epinefrin, terbutalin), kokain, halothan, propofol, sulfasalazine, asam valproat, dan salisilat. Tipe B3 diakibatkan oleh kelainan metabolisme bawaan (inborn errors of metabolism) (Agrawal, dkk., 2004, Gunn dan Nechyba, 2002). 2.8 Laktat sebagai Biomarker Biomarker didefinisikan sebagai suatu yang bisa diukur secara obyektif dan dievaluasi sebagai indikator proses biologis normal, proses patologis atau respon fisiologis terhadap intervensi terapeutik (Nduka dan Dellinger, 2011). Laktat selalu ada dalam sirkulasi tubuh manusia dengan kadar yang rendah (~1 mm/l). Sumber lain menyatakan laktat normal yang bersirkulasi dalam tubuh <1.5 mmol/l dan <2 mmol/l pada pasien dengan sakit kritis. Hiperlaktasemia terjadi pada kondisi syok dimana konsumsi oksigen sangat tergantung pada penghantarannya. Pada kondisi ini piruvat yang terakumulasi terutama dirubah menjadi laktat. Pada kondisi ini peningkatan kadar kadar laktat merefleksikan hipoksia jaringan (Husain, dkk., 2003, Nduka dan Dellinger, 2011, Allen, 2011).

Kadar laktat serum dapat digunakan sebagai alat screening, stratifikasi risiko dan menentukan prognosis. Kondisi hipoperfusi jaringan tidak akan nampak pada tahap awal syok. Laktat meningkat pada kondisi pasien stabil secara hemodinamik sehingga membantu identifikasi kondisi awal syok, kondisi yang dapat meningkatkan mortalitas (Nduka dan Dellinger, 2011). Penentuan kadar laktat penting pada pasien dengan syok. Cut off point untuk kadar laktat yang dinyatakan positif yaitu 1.5 mmol/l mendekati nilai ambang batas yang mendekati point maksimum spesifisitas tanpa mengurangi sensitivitasnya. Mortalitas akut dihubungkan dengan kadar laktat saat masuk 1.8 mmol/l (Aslar, dkk., 2004, Agrawal, dkk., 2004). Studi pengukuran laktat sebagai faktor prognostik dilakukan pada 3 tempat, yaitu sebelum masuk rumah sakit, saat di unit gawat darurat (UGD) maupun di ruang intensif. Studi dilakukan pada lebih dari 1100 pasien dengan infeksi yang ditemukan pad UGD, ICU, dan ruang rawat rumah sakit umum. Kadar laktat dibagi menjadi rendah (0 2 mmol/l), intermediet (2.1 3.9 mmol/l), dan tinggi (>4.0 mmol/l). Kadar laktat 4 mmol/l atau lebih sangat spesifik (89% 99%) untuk prediksi fase akut kematian selama perawatan di rumah sakit (Nduka dan Dellinger, 2011, Trzeciak, dkk., 2007). Kadar laktat yang meningkat pada pemeriksaan 24 jam setelah pemeriksaan awal secara bermakna berhubungan dengan angka mortalitas yang lebih tinggi. Kadar laktat lebih bermakna dalam menentukan prognosis pasien yang sakit berat dibandingkan dengan defisit basa (Aslah AK et al,2004 ; Koliski A et al, 2005).

Kadar laktat yang diukur pada 24 jam setelah masuk rumah sakit mempunyai sensitivitas 55,6% dan spesifisitas 97,2% yang lebih baik untuk memperkirakan prognosis pasien yang sakit berat (Aslar, dkk., 2004, O'Brien, dkk., 2007). Hiperlaktasemia sering digunakan sebagai sebagai alat diagnostik dan prognostik pada ruang intensif. Kondisi ini juga sering ditemukan pada pasien post operasi jantung. Berdasarkan analisis penelitian yang dilakukan oleh Mirmohammad dkk tahun 2005-2006 kadar laktat bermanfaat bagi klinis. Ambang batas 3 mmol/l saat masuk ke ruang intensif mampu mengidentifikasi pasien tersebut dengan risiko tinggi komplikasi, dan membutuhkan pemantauan ketat respon terapeutik dan dampak metabolik (Attanà, dkk., 2012, John G Toffaletti, 2010). Penilaian kadar laktat sebagai indikator gangguan hemodinamik pada pasien STEMI sudah pernah dilakukan di Belanda. Dimana studi populasi dibagi menjadi tiga kelompok yaitu kadar lakat 1.1 mmol/l, 1.2-1.7 mmol/l, dan 1.8 mmol/l. Peneliti membandingkan karakteristik dasar dan luaran dari ketiga kelompok laktat. Dimana pada pasien STEMI, gangguan hemodinamik, TIMI Flow yang lebih jelek, (TIMI Flow 0-1), diabetes, tidak merokok dihubungkan dengan peningkatan kadar laktat (Vermeulen, dkk., 2010). Lactate clearance merupakan kemampuan organik untuk mengurangi konsentrasi laktat. Pembersihan laktat pada orang normal 60% terjadi di hati, 30% di ginjal, dan dalam jumlah yang lebih sedikit terjadi di organ lain (jantung dan otot skelet). Pengukuran lactate clearance dapat lebih reliabel sebagai penanda besaran dan durasi hipoksia jaringan global. Peranan lactate clearance pada kondisi jantung akut sejauh

ini belum jelas karena kurangnya data pada kondisi ini (Vernon dan Letourneau, 2010). 2.9 Alat Pengukur Kadar Laktat Kadar laktat dapat diukur di plasma, serum, atau darah lengkap. Nilai kadar laktat yang paling ideal adalah yang berasal dari darah arteri. Sampel darah harus diperiksa secepat mungkin (tidak boleh lebih dari 4 jam setelah pengambilan) (Agrawal, dkk., 2004, Gatien, dkk., 2005). Pemeriksaan laktat darah harus dilakukan dalam 30 menit. Untuk itu dilakukan pemeriksaan laktat darah tanpa proses dilusi lebih praktis dibandingkan pemeriksaan dalam plasma yang membutuhkan waktu untuk sentrifugasi. Walaupun pemeriksaan laktat lebih efektif jika waktu transport ke laboratorium dilakukan dengan pneumatic system tube atau dibawa ke laboratorium dalam 1-2 menit, pemeriksaan point of care dapat memberikan manfaat hasil yang lebih cepat. Pada saat ini sedang diteliti penggunaan alat baru near-infrared spectroscopy yang tidak invasif untuk menilai antara perfusi jaringan dan kadar laktat (John G Toffaletti, 2010, Agrawal, dkk., 2004). Studi di Canadian University mengukur kadar laktat vena pada pasien dengan infark miokard mendapatkan bahwa dua jam setelah munculnya keluhan kebanyakan pasien menunjukkan peningkatan kadar laktat. Transpor laktat yang lama juga dapat mempengaruhi analisis. Glikolisis seluler dapat membentuk laktat. Laktat meningkat 0.4 mmol/l tiap 30 menit. Bahkan bila diberikan es, laktat meningkat 0.1 mmol/l

dalam 30 menit. Selama transport kadar laktat dapat meningkat 0.1-1.2 mmol/l dalam jam pertama. Pengukuran tepat dengan point-of-care analyzer memungkinkan mendapatkan hasil lebih akurat dan kadar laktat lebih rendah dibandingkan pengukuran laktat pada laboratorium sentral (Gatien, dkk., 2005). Kadar laktat darah juga dapat dipengaruhi oleh cairan infus yang digunakan dan tempat pengambilan sampel darah. Pengambilan sampel darah tidak boleh pada tempat yang dipasang infus, khususnya cairan Ringer Laktat karena dapat menyebabkan kadar laktat yang tinggi pada sampel darah yang diambil (Agrawal, dkk., 2004). Saat ini laktat darah dengan mudah diukur secara langsung di sisi pasien menggunakan alat analitik otomatis. Perkembangan pembuatan elektroda substrat spesifik dapat mengukur laktat darah secara akurat dengan volume darah < 0,2 ml dalam waktu 2 menit. Variabilitas pengukuran dengan cara ini < 4 %. Kadar normal laktat darah saat istirahat ± 1 meq/l (0,7-1,3), baik pada pengukuran darah arteri maupun vena, dalam bentuk whole blood maupun plasma. Konversi satuan internasional (SI) kadar laktat darah dinyatakan dalam mmol/l (0,50 x meq/l atau 0,25 x mg/dl) (Karon, dkk., 2007, Vernon dan Letourneau, 2010). Dari jurnal tahun 2008 sudah dipublikasikan validasi alat yang digunakan untuk mengukur kadar laktat. Jurnal ini dipublikasikan oleh Jurnal Internasional Penyakit Infeksi. Dalam penelitian diagnostik ini membandingkan alat Accutrend lactate meter dengan alat gold standard yang telah dibakukan yaitu Beckman CX7 Synchrone machine (Perez, dkk., 2008).

Sensitifitas alat Accutrend lactate meter diidentifikasi pada pasien dengan kadar laktat 2.2 mmol/l adalah 95.9% (95%CI 87.7-98.9%) dengan spesifisitas 63.8% (95% CI 48.5-76.9%) bila dibandingkan dengan standar baku (Beckman CX7 Synchron machine). Pada penelitian ini didapatkan nilai rata-rata yang mirip didapatkan dari Accutrend lactate meter (2.89 mmol/l) dibandingkan dengan alat referensi (2.78 mmol/l). Standar deviasi 1.14 mmol/l untuk alat Accutrend lactate meter, sedangkan untuk instrument Beckman 1.42 mmol/l. Nilai prediktif positif untuk alat Accutrend meter yaitu 80.5% (95% CI 70.3-87.9%) dan nilai prediktif negatif yaitu 90.0% (95% CI 74.5-97.6%). Terdapat persamaan dalam derajat sedang diantara kedua metode (bias 0.113, 95% CI 2.103-2.329 mmol/l). Hasil dari penelitian mengenai kesahihan alat Accutrend lactate meter ini tertera pada tabel 2.3 (Perez, dkk., 2008). Tabel 2.3 Penilaian Accutrend Lactate Meter False positif 17 True positif 30 False negative 3 True negative 30 Sensitivitas 95.9% Spesifisitas 63.8%

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1. Kerangka Berpikir Laktat merupakan produk dari glikolisis anaerob, yang meningkat pada kondisi hipoperfusi jaringan, seperti pada kondisi IMA. Gangguan perfusi jaringan ini menyebabkan penurunan hantaran oksigen yang memicu sel otot melakukan glikolisis dan menghasilkan laktat dari piruvat. Jumlah laktat yang dilepaskan berkorelasi dengan derajat beratnya penyakit jantung koroner. Laktat dapat meningkat pada pasien IMA dengan hemodinamik masih stabil, sehingga membantu identifikasi awal kondisi syok yang dihubungkan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas. Hiperlaktasemia juga dapat terjadi pada pasien kritis tanpa adanya hipoksia jaringan. Hal ini disebabkan karena pada pasien kritis terjadi peningkatan produksi laktat dan pengeluaran laktat yang terganggu, seperti pada pasien dengan keganasan, gangguan fungsi hati, gangguan fungsi ginjal. Laktat juga dilepaskan dalam jumlah yang besar pada pasien sepsis dimana infeksi dan inflamasi menyebabkan glikolisis berlebihan pada leukosit yang

teraktivasi pada tempat infeksi. Diabetes ketoasidosis, penggunaan ARV juga menyebabkan hiperlaktasemia. Beberapa faktor lain juga diketahui berpengaruh terhadap morbiditas dan mortalitas pasien dengan IMA. Diantaranya yaitu diabetes melitus, hipertensi, dislipidemia, umur, dan jenis kelamin. 3.2 Konsep Berdasarkan uraian diatas dapat dibuat kerangka konsep penelitian ditunjukkan pada gambar 3.1 dibawah ini. Infark Miokard Akut Dibetik Ketoasidosis Penyakit Hati Kronis Gagal Ginjal Kronis Keganasan Peggunaan ARV Sepsis Gagal Jantung Laktat Morbiditas : Gagal Jantung Syok kardiogenik Aritmia Diabetes Mellitus Hipertensi Dislipidemia Umur Jenis Kelamin Merokok Derajat keparahan infark Gambar 3.1 Konsep Penelitian 3.3. Hipotesis Penelitian

Hiperlaktasemia dapat digunakan sebagai prediktor morbiditas IMA. BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian Penelitian merupakan penelitian observasional dengan rancangan kohort prospektif. Subyek penelitian akan dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok terpapar (dengan kondisi hiperlaktasemia) dan kelompok tidak terpapar (kadar laktat normal). Pengukuran variabel penelitian dilakukan pada saat penderita masuk UGD, 2 jam setelah masuk rumah sakit setelah dilakukan penanganan dan 24 jam setelah perawatan. Kemudian pasien diikuti untuk mengetahui morbiditas pasien selama perawatan di rumah sakit. Morbiditas yang dimonitor adalah yaitu adanya gagal jantung dan atau syok kardiogenik dan atau aritmia selama perawatan. Pasien dikelola dengan memberikan terapi berdasarkan ESC guidelines. Rancangan penelitian diatas dapat dijabarkan pada gambar 4.1 Morbiditas (+) Populasi terjangkau penderita dengan IMA yang dirawat di RSUP Sanglah Sampel Penderita dengan IMA yang dirawat di RSUP Sanglah A` Laktat tinggi Laktat normal Morbiditas (-) Morbiditas (+) Morbiditas (-)

Gambar 4.1 Rancangan Penelitian 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian 4.2.1 Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di UGD dan UPIJ RS Sanglah-Denpasar 4.2.2 Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan sejak bulan Juli-September 2014. 4.3 Penentuan Sumber Data 4.3.1 Populasi Target Semua pasien IMA 4.3.2 Populasi Terjangkau Pasien IMA yang dirawat di RSUP Sanglah, Denpasar tahun 2014 4.3.3 Sampel penelitian Pasien IMA yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi diambil dengan cara consecutive sampling dari populasi penelitian. 4.3.4 Kriteria Eligibilitas 4.3.4.1 Kriteria Inklusi Pasien yang dirawat dengan IMA yang ditegakkan berdasarkan klinis, EKG dan laboratorium di RSUP Sanglah Denpasar tahun 2014 4.3.4.2 Kriteria eksklusi 1. Pasien yang datang dengan kondisi gagal jantung

2. Pasien dengan penyakit ginjal dan penyakit hati kronis 3. Pasien sepsis 4. Diabetik ketoasidosis 5. Pasien dengan riwayat keganasan 6. Pasien dengan penggunaan ARV 4.3.5 Besaran Sampel Pada penelitian ini menggunakan tingkat kemaknaan p< 0.05, power 80%. Perkiraan jumlah sampel dihitung berdasarkan rumus berikut : (Madiyono et al., 2011) ( z n1 n2 2PQ z P1Q 1 P2Q2) ( P1 P2) 2 2 Zα dengan kemaknaan α sebesar 0.05 (95% CI) : 1.96 Zβ dengan power 80% : 0.842 Risiko relatif minimal diperkirakan = 2 (dianggap bermakna) P2 : 0,34 P1 = P2*RR = 0,68; P = ½ (P1+P2) = 0,51 Q1 = 1 P1 = 0,32; Q2 = 1 P2 = 0,66; Q = ½(Q1+Q2) = 0,49 n1 = n2 = 33 33 + 5 % = 35; jumlah sampel (n) = n1 + n2 = 70 4.3.6 Teknik Pengambilan Sampel

Sampel penelitian adalah pasien IMA yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi 70 berjumlah orang diambil dengan cara konsekutif sampling dari populasi penelitian 4.4 Variabel Penelitian 4.4.1 Identifikasi dan Klasifikasi Variabel Penelitian Variabel Tergantung Morbiditas pasien IMA yang dirawat di RSUP Sanglah Variabel Bebas Kadar laktat yang diperiksa pada saat pertama kali pasien dengan diagnosa IMA yang ditegakkan dari klinis saat masuk rumah sakit, 2 jam dan 24 jam setelahnya yang diperiksa dengan Accutrend lactate meter Variabel Perancu 1. Gula Darah 2. Hemoglobin 3. PaO2 4. Kadar albumin darah 5. Terapi reperfusi baik Percutaneous Coronary Intervention (PCI) maupun trombolisis dengan streptokinase Variabel Rambang : diet dan cairan intravena saat terapi, obat resusitasi

Variabel bebas : Kadar laktat saat pertama kali MRS, 2 jam setelah penanganan, 24 jam setelah perawatan Variabel tergantung : Morbiditas : - Gagal jantung - Syok kardiogenik - Aritmia Variabel perancu : 1. Gula darah sewaktu 2. Hemoglobin 3. PaO2 4. Kadar albumin darah 5. Terapi reperfusi Gambar 4.2 Hubungan antar Variabel 4.4.2 Definisi Operasional Variabel 1. Infark Miokard Akut : kondisi dimana terdapat bukti nekrosis miokard (ditandai dengan adanya peningkatan biomarker jantung), pada pasien yang menunjukkan gambaran klinis iskemia miokard akut yaitu adanya nyeri dada tipikal angina dan atau disertai perubahan EKG (yaitu adanya ST depresi dan/atau T inversi, atau adanya ST elevasi) berdasarkan kriteria WHO untuk IMA. IMA terdiri dari 2 subgrup yaitu STEMI dan NSTEMI.

1.1 STEMI : Pasien dengan klinis iskemi miokard dengan peningkatan enzim jantung disertai perubahan EKG berupa ST elevasi. 1.2 NSTEMI : Pasien dengan klinis iskemi miokard dengan peningkatan enzim jantung dan gambaran EKG tidak menunjukkan ST elevasi. Gambaran EKG dapat berupa ST depresi dan/atau T inversi dan/atau gambaran EKG non diagnostik 2. Morbiditas : Luaran selama pemantauan saat perawatan di rumah sakit yang terdiri dari gagal jantung dan/atau syok kardiogenik dan/atau aritmia 2.1 Gagal Jantung: kondisi kegagalan pompa jantung akut yang timbul sebagai komplikasi IMA, ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis adanya keluhan sesak, dan ditemukan rhonki dikedua lapangan paru, dan atau dibuktikan dengan pemeriksaan rontgen thorax. 2.2 Syok kardiogenik: syok yang ditemukan pada kondisi IMA, dimana tekanan darah sistolik <90 mmhg dan atau diastolik <60 mmhg, tanpa disertai kondisi hipovolemik dan sepsis 2.3 Aritmia: Gangguan irama jantung berupa takikardi ventrikel, fibrilasi ventrikel, atrial fibrilasi onset baru, total AV blok dinilai berdasarkan rekam jantung yang terdokumentasi. 3. Waktu: durasi sejak terdiagnosis IMA sampai mengalami luaran, dinilai dalam hari.

4. Event : kejadian morbiditas dalam 5 hari. 5. Sensor : hingga sampai waktu pengamatan 5 hari tidak terjadi morbiditas 6. Laktat Serum: suatu produk metabolisme intermediet yang digunakan sebagai indikator hipoperfusi jaringan. Nilai laktat ditetapkan sebagai nilai tertinggi dari 3 kali pemeriksaan serial darah kapiler yang diperiksa dengan alat Accutrend lactate meter yang menggunakan impuls cahaya light emitting diode (LED) untuk mengukur warna yang dihasilkan pada strip tes laktat selama reaksi dan membandingkan dengan nilai baseline (pengukuran enzimatik photometric). Dinyatakan dengan satuan mmol/l. Apabila pasien meninggal sebelum evaluasi terakhir, maka kadar laktat yang digunakan yaitu kadar laktat dengan nilai tertinggi yang pernah diperiksa. 7. Hiperlaktasemia : Peningkatan kadar laktat, dimana batas nilai untuk menentukan hiperlaktasemia menggunakan data yang dikumpulkan dari penelitian ini dengan cara membuat kurva Receiving Operating Characteristic (ROC) dan dinilai cutt of point terbaik dari kadar laktat untuk memprediksi morbiditas. Kadar laktat yang merupakan skala numerik dirubah menjadi skala nominal dengan dua kategori yaitu hiperlaktasemia dan normal. Pada penelitian ini didapatkan cutt of point dalam menyatakan hiperlaktasemia berdasarkan kurva ROC yaitu sebesar 3 mmol/l.

8. Terapi reperfusi: intervensi berupa PCI ataupun dengan pemberian obat trombolitik pada pasien yang di diagnosa STEMI dan tidak memiliki kontraindikasi terhadap tindakan tersebut. 9. Sepsis: Penderita yang memenuhi kriteria Systemic Inflamatory Response Syndrome (SIRS) dengan sumber infeksi yang jelas. Kriteria terpenuhi apabila didapatkan 2 atau lebih kriteria berikut Temperatur >38 0 C atau hipotermia <36 0 C Takipnea, laju respirasi >24x/menit Takikardi, denyut jantung >90 kali/mnt Leukositosis (>12.000/uL) Leukopenia (<4000/uL) atau >10 % bands Disertai adanya kecurigaan atau bukti etiologi mikrobial dari hasil kultur 10. Diabetik ketosidosis : Merupakan komplikasi akut diabetes, ditandai dengan adanya hiperglikemi, ketosis, dan adanya asidosis metabolik (ph <7.35) disertai dengan gangguan metabolik. 11. Penyakit keganasan: riwayat keganasan yang diketahui berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang dan catatan medis. 12. Penyakit ginjal kronis: Adanya kerusakan struktural atau marker kerusakan ginjal yaitu proteinuria dan/atau penurunan fungsi ginjal

egfr <60 ml/min/1.72 m 2 berdasarkan rumus Cockcroft-Gault selama 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal. 13. Penyakit hati kronis: adanya riwayat penyakit hati atau adanya gejala dan tanda gagal hati, hipertensi porta, yang didapatkan dengan melakukan anamnesa, pemeriksaan fisik, laboratorium (mengukur SGOT, SGPT yaitu bila ada kelainan bila harga lebih besar 2 kali harga normal). 14. Penggunaan ARV: Pasien yang dari anamnesa diketahui riwayat pengobatan ARV paling tidak dalam 1 bulan terakhir atau diketahui dari catatan medis pasien. 15. Diabetes melitus : kadar gula darah puasa serum > 126 mg/dl dan kadar gula darah 2 jam post prandial > 140 mg/dl atau gula darah acak > 200 mg/dl disertai gejala klinis klasik (poliuri, polidipsi, polifagi) 16. Hipertensi: tekanan darah sistolik 140 mmhg dan/atau tekanan darah diastolik 90 mmhg pada minimal 2x pemeriksaan serial tekanan darah, atau dalam pengobatan anti hipertensi. 17. Dislipidemia : Kadar kolesterol dari kimia darah, dimana total kolesterol >200 mg/dl dan/atau LDL >100 mg/dl, dan/atau HDL <40 mg/dl, dan/atau trigliserida >150 mg/dl berdasarkan National Cholesterol Education Program in Adult Treatment Panel (NCEP- ATP) III

18. pao2: tekanan parsial oksigen pada plasma darah arteri, diambil berdasarkan nilai analisis gas darah, dinyatakan dalam satuan mmhg 19. Hemoglobin serum: merupakan protein dalam sel darah merah yang membawa oksigen. Diperiksa dengan metode pengukuran photometrik. Nilai hemoglobin normal untuk laki-laki : 13.8 to 17.2 g/dl, nilai normal untuk perempuan :12.1 to 15.1 g/dl 20. Kadar albumin: Nilai albumin yang didapatkan dari kimia darah yang diambil dari darah vena pada saat pasien pertama kali datang 21. Gula darah sewaktu: Kadar gula darah yang didapatkan pertama kali dari kimia darah yang diambil dari darah vena pada saat pertama kali pasien datang. 22. Derajat keparahan infark : beratnya infark yang ditandai dengan nilai peningkatan biomarker (yaitu CKMB dan troponin T). Berat apabila CKMB >40 IU/mL, dan atau troponin>2000 ng/ml. 4.5 Bahan Penelitian Bahan penelitian yang digunakan adalah dari darah kapiler ujung jari tangan atau kaki, dimana kadar laktat diukur dengan metode kuantitatif menggunakan Accutrend Lactate Meter. 4.6 Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah alat pengukur laktat otomatis yaitu Accutrend Lactate Meter. Koefisien variasi 4.3 % pada kadar laktat tinggi. (Karon, dkk., 2007) Instrumen lain yang digunakan yaitu rekam medik pasien, hasil pemeriksaan laboratorium pasien, tensimeter air raksa Riester, dan lembar pengumpul data. 4.7 Prosedur Penelitian 4.7.1 Tata Cara Penelitian Pasien yang memenuhi kriteria inklusi, kepada pasien dan pihak keluarga yang bertanggung jawab diberikan informasi mengenai penelitian ini. Apabila setuju diminta untuk menandatangani formulir yang telah disediakan. Selanjutnya semua sampel penelitian dikelola sesuai dengan prosedur. Penanganan pasien IMA sesuai Pedoman Terapi Lab/SMF Penyakit Jantung dan Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FK UNUD/ RSUP Sanglah Denpasar. Data diperoleh dari catatan medis penderita berupa nama, nomer rekam medis, jenis kelamin, umur, diagnosa, hasil laboratorium, morbiditas pasien IMA selama perawatan di UPIJ RS Sanglah. Pengukuran kadar laktat menggunakan Accutrend lactate meter, pengukuran dilakukan saat pertama pasien masuk pertama kali, dua jam dan 24 jam setelahnya. Pasien diikuti selama perawatan di rumah sakit untuk melihat adanya morbiditas yaitu gagal jantung dan/atau syok kardiogenik dan/atau aritmia pada sampel penelitian. Pasien yang mengeluh sesak dilakukan evaluasi klinis yaitu anamnesis dan

pemeriksaan fisik, dan dilakukan pemeriksaan penunjang rontgen thorak. Bila menemukan tanda gagal jantung dari pemeriksaan klinis dan/atau dari penunjang rontgen maka pasien didiagnosa sebagai gagal jantung akibat infark miokard dan dimasukkan sebagai luaran. Pasien yang selama perawatan didapatkan tekanan darah turun dengan tanpa bukti hipovolemik ataupun sepsis dimasukkan sebagai luaran. Pasien yang mengeluh berdebar dan/atau didapatkan aritmia dari monitor berupa takikardi ventrikel, fibrilasi ventrikel, atrial fibrilasi onset baru, total AV blok dilakukan perekaman jantung satu atau 12 lead untuk dokumentasi terjadinya aritmia. Pasien dengan jenis aritmia yang telah disebutkan diatas dan telah terdokumentasi tersebut dimasukkan sebagai luaran. Setiap luaran yang didapatkan dicatat hari keberapa munculnya, terhitung sejak hari pasien dirawat. Hasil pemeriksaan dikumpulkan oleh peneliti dan selanjutnya dilakukan analisis. 4.7.2 Prosedur Pengumpulan Data Pasien memenuhi kriteria penelitian dan sudah menandatangani formulir persetujuan dilakukan evalusi klinis oleh pasien atau keluarga. Dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, EKG, pemeriksaan rontgen, dan pasien/keluarga diminta memberi keterangan untuk mengisi lembar pengumpulan data. Pemeriksaan laktat dari darah kapiler dengan menggunakan Accutrend lactate meter pada saat pasien masuk rumah sakit, 2 jam, dan 24 jam setelah perawatan. Sampel darah kapiler 15-50 µl diletakkan pada area aplikasi pada tes strip, dimasukkan ke chamber flap dan ditutup. Sampel diambil dari ujung jari tangan atau

kaki yang tidak terpasang infus pada tempat yang sama. Sampel darah akan mengalami reaksi enzimatik dengan pembentukan warna. Jumlah warna yang dihasilkan meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi laktat. Intensitas warna diukur dengan iluminasi area aplikasi dari bawah dengan menggunakan LED. Intensitas dari cahaya yang direfleksikan diukur dengan detektor (reflectance photometry). Nilai yang terukur ditentukan oleh kekuatan sinyal dan cahaya yang direfleksikan. Hasil akan tertera pada alat dan secara langsung tersimpan ke dalam memori. 4.7.3 Alur Penelitian Pasien nyeri dada yang masuk ke UGD RSUP Sanglah didiagnosa sebagai IMA berdasarkan klinis dan data penunjang. Dari populasi ini pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi diambil sebagai sampel secara konsekutif sampai dengan jumlah sampel yang dibutuhkan. Pada pasien ini dilakukan pengisian lembar pengumpulan data, pemeriksan laboratorium dan pemeriksaan kadar laktat dengan alat pengukur kadar laktat Accutrend lactate meter. Hasil pemeriksaan dikumpulkan oleh peneliti dan selanjutnya dilakukan analisis. Alur penelitian ditunjukkan pada gambar 4.3 dibawah ini.

Populasi Target Pasien IMA Populasi Terjangkau Semua penderita IMA yang dirawat di RSUP Sanglah Denpasar Kriteria Inklusi Kriteria Eksklusi Informed Concent Eligible study subject EKG Foto dada Tekanan darah Hasil laboratorium Identitas Pemeriksaan Fisik Lembar Pengumpulan data Pemeriksaan Penunjang Diagnosa

4.3 Gambar Alur Penelitian 4.8 Analisis Data Analisis data dilakukan dalam 4 tahap, pertama dilakukan analisis univariat, kemudian dilakukan analisis kurva ROC, analisis bivariat dan analisis multivariat. 1. Analisis univariat, bertujuan untuk menggambarkan karakteristik subjek penelitian dengan cara membuat tabel distribusi frekuensi. 2. Analisis kurva ROC. Analisis ini bertujuan untuk mendapatkan cutt of point terbaik untuk menyatakan hiperlaktasemia. Pada analisis ini kadar laktat akan menjadi variabel kategorikal, dan morbiditas sebagai refference variabel. Kemudian akan terbentuk kurva ROC yang terdiri dari sumbu X dan Y. Sumbu X adalah 1-spesifisitas, dan sumbu Y adalah sensitivitas. Cutt of point

terbaik adalah nilai hiperlaktasemia tertentu yang menghasilkan nilai akurasi tertinggi sebagai prediktor morbiditas. 3. Analisis bivariat, bertujuan untuk mengetahui pengaruh satu variabel bebas terhadap variabel tergantung. Variabel bebas pada penelitian ini adalah hiperlaktasemia. Variabel tergantung adalah morbiditas yang terdiri dari tiga subvariabel, yaitu gagal jantung, syok kardiogenik, dan aritmia. Selain pengaruh hiperlaktasemia terhadap morbiditas secara keseluruhan, analisis bivariat juga dilakukan untuk menilai pengaruh hiperlaktasemia terhadap masing-masing subvariabel dari morbiditas. Hasil analisis bivariat ditampilkan menggunakan grafik estimasi survival Kaplan-Meier kemudian dinilai perbedaan median time dan probabilitas survival berdasarkan variabel bebas. Uji statistik yang digunakan pada analisis bivariat adalah Logrank test. Pertimbangan penggunaan metode Kaplan-Meier karena pada penelitian ini terdapat variabel time (waktu), event dan sensor. Selain itu keuntungan penggunaan analisis Kaplan-Meier pada subjek penelitian yang datanya dianalisis sesuai dengan waktu aslinya adalah menghasilkan perhitungan probabilitas survival yang lebih akurat (Kleinbaum and Klein, 2005). 4. Analisis stratifikasi bertujuan untuk mengetahui hiperlaktasemia sebagai prediktor morbiditas pada masing-masing kelompok (subgrup) berdasarkan jenis IMA (STEMI dan NSTEMI). 5. Analisis multivariat bertujuan untuk menganalisis apakah hiperlaktasemia merupakan prediktor independen terjadinya morbiditas dengan mengontrol

variabel lain yang diduga sebagai confounder. Uji statistik yang digunakan pada analisis multivariat adalah Cox regression atau Cox Proportional Hazard Model. Penggunaan uji statistik ini didasari karena hazard rasio yang dihasilkan diharapkan berasal dari perbandingan kelompok pajanan yang tidak berubah (konstan) sepanjang waktu atau dikenal dengan istilah proportional hazard assumption. Untuk mengetahui apakah proportional hazard assumption sudah terpenuhi atau belum maka sebelum masuk ke dalam model regresi Cox, pengaruh variabel bebas utama di uji proportional hazards assumption (Global test). Bila nilai p > 0,05 maka proportional hazard assumption terpenuhi dan bila nilai p 0,05 maka proportional hazard assumption tidak terpenuhi. Bila proportional hazard assumption tidak terpenuhi maka terlebih dahulu dilakukan stratifikasi berdasarkan waktu (Kleinbaum and Klein, 2005). Selanjutnya dilakukan penilaian variabel yang diduga memiliki efek confounding. Dalam metode statistik penilaian confounding dilakukan dengan menilai perubahan hazard ratio (HR) antara model dasar dengan sesudah variabel tersebut dikeluarkan dari model multivariat. Semua variabel yang diduga sebagai confounding yang memiliki nilai p < 0,25 berdasarkan uji Logrank test dimasukkan kedalam model. Variabel confounding kemudian dikeluarkan satu per satu dimulai dari nilai p yang tertinggi. Perubahan HR lebih dari atau sama dengan 10% maka variabel tersebut merupakan confounding dan harus tetap dimasukkan kedalam model dan bila kurang dari

10% maka variabel tersebut bukan sebagai perancu dan dikeluarkan dari model. BAB V HASIL PENELITIAN Selama periode bulan Juli 2014 sampai dengan September 2014, telah dilakukan studi observasional dengan rancangan kohort prospektif, yang bertempat di RSUP Sanglah-Denpasar. Penelitian ini dimulai setelah mendapat persetujuan dari unit penelitian dan pengembangan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar dengan surat Kelaikan Etik (Ethical Clearance) dan surat ijin

penelitian dari Direktur Sumber Daya manusia (SDM) dan Pendidikan RSUP Sanglah Denpasar. Sampel dalam penelitian ini adalah penderita IMA baik STEMI maupun NSTEMI yang memenuhi kriteria inklusi yang diambil secara consecutive sampling dari populasi penelitian. Sebanyak 70 pasien IMA yang diikutkan dan menjalani perawatan di UPIJ RSUP Sanglah Denpasar, dilakukan pemeriksaan laktat dari darah kapiler dengan menggunakan Accutrend lactate meter pada saat pasien masuk rumah sakit, 2 jam, dan 24 jam setelah perawatan. Selama perawatan di rumah sakit pasien diamati timbulnya morbiditas akibat infark miokard akut, yaitu adanya gagal jantung dan/atau syok kardiogenik dan/atau aritmia. Variabel yang dianalisis dalam penelitian ini adalah: kadar laktat sebagai variabel bebas, morbiditas selama perawatan di UPIJ sebagai variabel tergantung, serta gagal jantung, syok kardiogenik, dan aritmia sebagai subvariabel tergantung. Penderita IMA yang dilibatkan dalam penelitian ini, yaitu: 48 orang pasien STEMI dan 22 orang pasien NSTEMI. Hasil analisis deskriptif populasi penelitian ditunjukkan pada tabel 5.1. Pasien dikelompokkan menjadi dua kelompok berdasarkan ada tidaknya hiperlaktasemia. Dimana cutt of point dalam menyatakan hiperlaktasemia ditunjukkan dengan membuat kurva ROC. Kurva ROC untuk menyatakan hiperlaktasemia sebagai prediktor morbiditas ditunjukkan pada gambar 5.1 5.1 Karakteristik Subyek Penelitian

Tabel 5.1 Karakteristik Subyek Penelitian Karakteristik Total (n=70) Hiperlaktasemia Ya (n=23) Tidak (n=47) Demografi Laki-laki Perempuan Umur(tahun), rerata ± SD 63 (90%) 7(10%) 57.9 ±11.5 18 (78.26%) 5 (21.74%) 58.1 ± 13.3 45 (95.74%) 2 (4.26%) 57.7 ± 10.6 Pendidikan Tidak Sekolah SD SMP SMA Perguruan Tinggi Karakteristik saat datang Onset nyeri dada <12 jam >12 jam Diagnosis STEMI NSTEMI Laboratorium CKMB 40 IU/mL >40 IU/mL Troponin 2000 ng/ml >2000 ng/ml 6 (8.57%) 16 (22.86%) 11 (15.71%) 16 (22.86%) 21 (30%) 48(68.57%) 22 (31.43%) 48 (68.57%) 22 (31.43%) 52 (74.29%) 18 (25.71%) 2 (8.7%) 10 (43.48%) 3 (13.4%) 1 (4.35%) 7 (30.43%) 14 (60.87%) 9 (39.13%) 18 (78.26%) 5 (21.74%) 14 (60.87) 9 (39.13%) 4 (8.5%) 8 (17.2%) 15 (31.91%) 14(29.79%) 7 (30.43%) 34 (72.34%) 13 (27.66%) 30 (63.83%) 17 (36.17%) 38 (80.85%) 9 (19.15%) 53 (75.71%) 17 (24.29%) 18 (78.26%) 5 (21.74%) 35 (74.47%) 12 (25.53%) Hemoglobin(mg/dL), 13.9 ± 2.2 13.8 ± 2.9 14.1 ± 1.8 rerata ± SD po 2 (mmhg), rerata± SD 138.5±38.8 140.3 ± 39.7 137.6 ± 38.7 Albumin(g/dL),rerata±SD 3.7±0.5 3.7 ± 0.6 3.7 ± 0.4 Gula darah sewaktu 172 ±80.2 144.7 ± 49.2 186.6 ± 88.9 (mg/dl), rerata ± SD Faktor risiko kardiovaskular Riwayat keluarga Ya Tidak 8 (11.43%) 62 (88.57%) 4 (17.39%) 19 (82.61%) 4 (8.51%) 43 (91.49%) Dislipidemia Ya Tidak 21 (30%) 49 (70%) 4 (17.39%) 19 (82.61%) 17 (36.17%) 30 (63.83%)

Hipertensi Ya Tidak Diabetes Ya Tidak 32 (45.71%) 38 (54.71%) 21 (30%) 49 (70%) 11 (47.83%) 12 (52.17%) 4 (17.39%) 19 (82.61%) 21 (44.68%) 26 (55.32%) 17 (36.17%) 30(63.83%) Merokok Ya Tidak Terapi reperfusi Ya Tidak 45 (64.29%) 25 (35.71%) 29 (41.43%) 41 (58.57%) 11 (47.83%) 12 (52.17%) 8 (34.78%) 15 (65.22%) 34 (72.34%) 13 (27.66%) 21 (44.68%) 26 (55.32%) 5.2 Analisis Kurva ROC Batas nilai untuk menentukan hiperlaktasemia menggunakan data yang dikumpulkan dari penelitian ini dengan cara membuat kurva ROC. Gambar 5.1 Kurva ROC dalam Menentukan Cutt of Point Hiperlaktasemia Berdasarkan analisis kurva ROC didapatkan nilai cutt of point terbaik dalam menyatakan hiperlaktasemia untuk memprediksi luaran dengan mendapatkan hubungan optimal antara sensitivitas dan spesifisitas yaitu 3 mmol/l. Area Under Curve (AUC) yaitu 0.70 6, standard error 0.0647, (95% CI = 0.57916-0.83284).

Dengan menggunakan nilai cutt of point 3 mmol/l maka didapatkan sebanyak 23 pasien dengan hiperlaktasemia, dan 47 pasien tanpa hiperlaktasemia. Kadar laktat yang merupakan skala numerik dirubah menjadi skala nominal dengan dua kategori yaitu hiperlaktasemia dan tidak hiperlaktasemia. 5.3 Hiperlaktasemia sebagai Prediktor Morbiditas IMA Untuk mengetahui pengaruh hiperlaktasemia terhadap morbiditas dilakukan analisis bivariat. Metode analisis yang digunakan adalah metode estimasi survival dari Kaplan-Meier yang disajikan dalam bentuk grafik estimasi Kaplan-Meier. Gambar 5.2 Kurva Estimasi Survival Kaplan Meier Terjadinya Morbiditas Pada IMA Berdasarkan Hiperlaktasemia Pada Gambar 5.2 grafik estimasi survival dibagi menjadi 2 kelompok kadar laktat yaitu kelompok hiperlaktasemia dan tanpa hiperlaktasemia. Dari 70 kasus IMA yang diamati selama penelitian, diketahui sebesar 23 pasien mengalami morbiditas, 17 pasien diantaranya mengalami hiperlaktasemia, sedangkan

5 pasien tanpa hiperlaktasemia. Terlihat bahwa pasien yang mengalami hiperlaktasemia lebih banyak yang mengalami event dari pada yang tidak. Akan tetapi narasi data diatas belum memperhitungkan waktu pengamatan. Pada pasien dengan hiperlaktasemia probabilitas survival pada hari pertama sebesar 0.34, sedangkan pada pasien tanpa hiperlaktasemia sebesar 0.72. Hal ini berarti bahwa pada hari pertama 34% pasien dengan hiperlaktasemia tidak mengalami morbiditas, sedangkan pada pasien tanpa hiperlaktasemia 72% pasien tidak mengalami morbiditas. Pada hari kedua sebesar probabilitas survival pasien dengan hiperlaktasemia sebesar 0.26, sedangkan tanpa hiperlaktasemia nilainya tetap. Hari ketiga probabilitas survival pada pasien tanpa hiperlaktasemia sebesar 0.68. Setelah dilakukan Uji Logrank test didapatkan bahwa survival rate antara pasien dengan hiperlaktasemia dan tanpa hiperlaktasemia berbeda secara bermakna dengan nilai p sebesar 0,006. Pengaruh independen hiperlaktasemia terhadap morbiditas dilihat dengan nilai hazard ratio yaitu sebesar 4.1, dan ditunjukkan pada tabel 5.2 dibawah ini. Tabel 5.2 Hazard Ratio (HR) Terjadinya Morbiditas Pada IMA dengan Variabel Hiperlaktasemia dan Tanpa Hiperlaktasemia Jumlah morbiditas Jumlah orangwaktu IR HR 95% CI Nilai p Hiperlaktasemia Ya 17 49 0.347 4.1 1.945-8.903 0.0001 Tidak 5 179 0.084 Ref Risiko morbiditas pada pasien IMA jika ditemukan dengan hiperlaktasemia yaitu 4 kali lebih tinggi dibandingkan dengan pasien tanpa hiperlaktasemia. Perbedaan

risiko tersebut bermakna secara statistik dengan p=0.0001. Nilai HR ini masih bersifat kasar dan belum mengontrol variabel lain yang dianggap sebagai perancu. 5.4 Hiperlaktasemia sebagai Prediktor Syok Kardiogenik pada IMA Dari 70 kasus IMA yang diamati selama penelitian, diketahui sebesar 7 pasien mengalami syok kardiogenik, 6 pasien diantaranya mengalami hiperlaktasemia, sedangkan 1 pasien tanpa hiperlaktasemia. Gambaran estimasi survival Kaplan Meier terjadinya syok kardiogenik berdasarkan ada atau tidaknya hiperlaktasemia ditunjukkan pada gambar 5.3 dibawah ini. Gambar 5. 3 Kurva Estimasi Survival Kaplan Meier Terjadinya Syok Kardiogenik pada IMA Berdasarkan Hiperlaktasemia Berdasarkan grafik survival rate kelompok pasien dengan hiperlaktasemia berbeda dengan survival rate kelompok tanpa hiperlaktasemia. Survival rate pada hiperlaktasemia lebih rendah dibandingkan dengan kelompok tanpa hiperlaktasemia. Pada hari pertama probabilitas survival kelompok hiperlaktasemia menjadi 0.98

sedangkan pada kelompok tanpa hiperlaktasemia menjadi 0.74. Probabilitas ini tetap hingga akhir pengamatan. Setelah dilakukan Uji Logrank test didapatkan nilai p sebesar 0,0018 sehingga perbedaan tersebut bermakna secara statistik. Pengaruh independen hiperlaktasemia terhadap syok kardiogenik dilihat dengan nilai hazard ratio yaitu sebesar 15, dan ditunjukkan pada tabel 5.3 dibawah ini. Tabel 5.3 Hazard Ratio (HR) Terjadinya Syok Kardiogenik Pada IMA Variabel Hiperlaktasemia Ya Tidak dengan Hiperlaktasemia dan Tanpa Hiperlaktasemia Jumlah syok kardiogenik 6 1 Jumlah orangwaktu 91 231 IR HR 95% CI Nilai p 0.066 0.004 15.2 Ref 1.848-700.579 0.0014 5.5 Hiperlaktasemia sebagai Prediktor Gagal Jantung pada IMA Dari 70 kasus IMA yang diamati selama penelitian, diketahui sebesar 19 pasien mengalami gagal jantung, 12 pasien diantaranya mengalami hiperlaktasemia, sedangkan 7 pasien tanpa hiperlaktasemia. Kurva estimasi survival Kaplan Meier terjadinya gagal jantung berdasarkan ada atau tidaknya hiperlaktasemia ditunjukkan pada gambar 5.4 dibawah ini.

Gambar 5.4 Kurva Estimasi Survival Kaplan-Meier Terjadinya Gagal Jantung pada IMA Berdasarkan Hiperlaktasemia Nilai probabilitas survival pada hari pertama pada pasien dengan hiperlaktasemia sebesar 0.52, sedangkan pada pasien tanpa hiperlaktasemia sebesar 0.87. Hal ini berarti bahwa pada hari pertama 52% pasien dengan hiperlaktasemia tidak mengalami gagal jantung, sedangkan pada pasien tanpa hiperlaktasemia 87% pasien tidak mengalami gagal jantung. Pada hari kedua sebesar probabilitas survival pasien dengan hiperlaktasemia sebesar 0.47 dan menetap hingga akhir pengamatan. Sedangkan tanpa hiperlaktasemia probabilitas survival berubah menjadi 0.85 pada hari ketiga dan kemudian menetap hingga akhir masa pengamatan. Setelah dilakukan Uji Logrank test didapatkan nilai p sebesar 0,0009 sehingga perbedaan tersebut bermakna secara statistik. Pengaruh independen hiperlaktasemia terhadap gagal jantung dilihat dengan nilai hazard ratio yaitu sebesar 5.3, dan ditunjukkan pada tabel 5.4 dibawah ini.

Tabel 5.4 Hazard Ratio (HR) Terjadinya Gagal Jantung Pada IMA dengan Variabel Hiperlaktasemia Ya Tidak Hiperlaktasemia dan Tanpa Hiperlaktasemia Jumlah gagal jantung 12 7 68 209 IR HR 95% CI Nilai p 0.176 0.033 5.3 Ref Jumlah orangwaktu 1.913-15.796 0.0001 5.6 Hiperlaktasemia sebagai Prediktor Aritmia pada IMA Selama waktu pengamatan penelitian, diketahui sebesar 13 pasien mengalami aritmia, 8 pasien diantaranya mengalami hiperlaktasemia, sedangkan 5 pasien tanpa hiperlaktasemia. Gambar 5.5 Kurva Estimasi Survival Kaplan Meier Terjadinya Aritmia pada IMA Berdasarkan Hiperlaktasemia Gambran estimasi survival Kaplan Meier terjadinya aritmia berdasarkan ada atau tidaknya hiperlaktasemia ditunjukkan pada gambar 5.5 diatas. Pada pasien dengan hiperlaktasemia probabilitas tidak terjadinya aritmia pada hari pertama sebesar 0.83,